jwooshining

Setelah mendapatkan pesan dari seseorang yang menerornya selama ini, kesabaran Thio semakin menipis. Secara kebetulan Thio dijadwalkan pulang hari ini, batalnya rencana yang di Surabaya menjadi sebuah kabar bahagia untuknya. Thio saat ini sedang menyetir dengan kecepatan tinggi demi menyusul wanitanya. Awalnya Thio tidak langsung mempercayai pesan tersebut, namun setelah menghubungi bibi, ternyata Aliesha sedang makan malam bersama teman-temannya, sedangkan Handphone Aliesha sepertinya habis baterai dikarenakan nomor telfonnya tidak aktif.

Terus mencoba menghubungi ponsel Aliesha, namun hasilnya nihil.

Setelah sampai di lokasi, Thio buru-buru mencari Aliesha, mata sibuk mencari ke segala sudut ruangan rumah makan tersebut. Matanya terhenti ketika seseorang yang ia cari kini sudah ada di hadapannya dengan jarak cukup jauh. Dilihat di sana ada tiga perempuan dalam satu meja sedang asyik mengobrol sambil memakan makanan mereka yang sudah mulai habis dilahapnya.

Thio melangkahan kaki menuju meja tersebut dan cukup membuat Vina yang duduk menghadap ke arahnya cukup di buat kaget, bagaimana bisa seorang pemimpin perusahaan tersebut berada di sebuah tempat makan biasa.

“Pak Thio?” gumam Vina terheran sambil terus menelisik orang tersebut agar benar-benar tidak salah orang.

“Kenapa Vin?” tanya Dinda penasaran.

Alih-alih menjawab Dinda, Vina tiba-tiba berdiri kemudian menyapa Thio sopan.

“Selamat malam, pak? Bapak mau makan di sini juga, ya?” tanya Vina.

Dua orang yang membelakangi Thio yakni Dinda dan Aliesha kini melihat ke arah Thio, ekspresi Aliesha cukup dibuat kaget karena malam ini bukan jadwal Thio untuk pulang dari luar kota. Sedangkan Thio menjawab sapaan dari Dinda dengan senyum ramah. Kedua mata aliesha dan Thio saling bertemu, sikap Aliesha yang masih tidak percaya kini disadarkan oleh Thio.

“Kenapa harus sampai malam,” “Pulang sekarang, ya?” pinta Thio.

Aliesha masih terdiam di sana.

“Hey, ayo?” ajak Thio.

“Kok udah di sini? Katanya mau pulang hari minggu?” balas Aliesha dengan santai. Sedangkan kedua temannya terheran karena melihat keakraban mereka.

“Ada perubahan jadwal, makannya bisa pulang lebih awal.”

“Terus, kenapa bisa tau aku di sini?”

“Tadi sempat tanya bibi.”

“Bibi?” gumam Vina, sambil menyiku Dinda.

“Tapi aku gak kasih tau bibi soal tempatnya, lho?” balas Aliesha bingung.

“Ya? Sekarang pulang dulu yang penting, gak baik kalau perempuan masih di luar jam segini,” Thio mengabaikan pertanyaan Aliesha.

Aliesha menatap teman-temannya bingung.

“Kalian ke sini bawa kendaraan tidak?” tanya Thio ke arah Vina dan Dinda.

“Kita bawa motor, pak,” ungkap Dinda Vina bersaman.

“Hati-hati pulangnya, ya? Untuk semua makanannya biar saya yang bayar,” ungkap Thio cukup membuat kagum para staf-nya tersebut.

“Tidak usah, pak,” ungkap Vina.

“Tidak apa-apa,” ungkap Thio meyakinkan.

“Ayo?” ajak Thio terhadap Aliesha.

Kemudian Aliesha berdiri, mengambil tas dan pamit kepada teman-temannya. Sebelum pergi kedua temannya tersebut terus memmberikan peringatan terhadap Aliesha kenapa dirinya tidak pernah bercerita tentang hubungannya denga atasannya tersebut. sedangkan Thio sibuk mencari seseorang yang mencurigakan yang sedari dulu menerornya.

Kini Aliesha dan Thio mulai berjalan pulang, dengan tatapan pengawasan dari teman-temannya.

“Nyari siapa?” tanya Aliesha, ikut mengarahkan pandangannya seperti yang di lihat Thio.

“Hmm? Gapapa.” Thio mengembalikan atensinya kembali terhadap Aliesha sambil memakaikan jas agar wanitanya tidak kedinginan.

“Pak? Di sini ada teman-teman Yaya, lho?”

“Kenapa? Bagus dong, biar kita gak perlu menjelaskan kedekatan kita.”

“Yang ada mereka minta penjelasan lebih, tauuuu,” ungkap Aliesha kesal.

“Hahaha, mau saya bantu menjelaskan?”

“Gak usah!”

“Kamu lucu kalau lagi kesal begini?”

“Gak , ya!!”

Thio hanya tersenyum sambil membukakan pintu mobilnya dan mengusap pucuk rambut wanita tersebut pelan.

Kini mereka sudah berada di dalam mobil untuk menuju rumah Thio. Keduanya terlarut dalam pembicaraan yang di mulai dari saling menanyakan kabar hingga obrolan yang menghangatkan.

Mobil terus melaju dalam kecepatan normal. Namun, tiba-tiba Thio memarkirkan mobilnya secara mendadak, padahal belum sampai di tujuan.

“Maaf ...” lirih Thio karena cukup membuat Aliesha terkaget karena Thio menginjak rem mendadak, sehingga Aliesha cukup terpental ke depan, untungnya masih tertahan dengan sabuk pengaman.

Keadaan Thio saat ini sedang menelungkup pada setir mobil dengan tangan kiri meremat perut bagian atas karena menahan sakit.

“Yaya? Sebentar, ya?” lirih Thio dengan diiringi erangan kesakitan.

“Bapak kenapa? Sakit?” tanya Aliesha khawatir.

Thio hanya bisa mengangguk di sana.

Aliesha melepaskan sabuk pengamannya agar bisa lebih bebas bergerak, terutama untuk mengecek kedaan Thio.

“Sebelah sini?” ungkap Aliesha dengan tangan menyentuh pelan area sakitnya.

“Arghh.” Thio mengerang lebih keras, diraihnya tangan Aliesha agar tidak menyentuh area tersebut, digenggamnya tangan Aliesha kuat-kuat karena Thio menahan sakit yang cukup hebat.

“Ke rumah sakit, ya?” bujuk Aliesha.

“Jam segini?”

“Gapapa, UGD kan bukanya 24 jam.”

“Kamu bisa nyetir, tapi?”

Aliesha menggelengkan kepalanya. Aliesha memang tidak bisa mengendarai kendaraan. Jangankan mobil, motor saja dia tidak bisa mengendarainya.

“Gimana, ya?” “Minta tolong Firdhan?”

“Jangan, biar saya saja yang nyetir, tapi pelan-pelan, gapapa?”

“Gapapa, semampunya bapak saja.”

Kini mobil tersebut mula melaju kembali, namun dengan kecepatan pelan. Sedangkan Aliesha terus bertanya keadaannya sepanjang jalan, karena kondisi saat ini sepertinya sangat kesakitan.

Hari ini kegiatan Aliesha masih sama seperti sebelumnya, menikmati masa-masa menganggur sebelum tangannya sibuk untuk apply surat lamaran kerja secara online ke beberapa perusahaan.

Kegiatan hari ini hanya mengajak Caca untuk bermain sekedar jalan-jalan di taman bermain dan sesekali mampir ke minimarket untuk mengisi perutnya.

Setelah bosan melakukan aktivitas tersebut, kini mereka berdua memutuskan untuk pulang ke rumah. Suasana rumah sangat sepi, bibi yang selalu tinggal di rumah, kini sedang pergi membeli keperluan dapur ke super market sendirian.

Tangan Aliesha sibuk membuka kode rumahnya sedangkan caca sibuk memakan roll ice cream. “Ca, lanjut makannya di meja makan ya? Abis ini mandi, biar tante yang siapkan bajunya dulu, ya?” pinta Aliesha sambil mendudukkan aca di kursi dan menyeka mulutnya untuk membersihkan sisa es krim menggunakan tangannya.

“Baik, tante,” jawab Caca sambil menatap Aliesha, kemudian atensinya kembali berfokus pada es krim yang sedang ia makan.

Langkahnya terhenti ketika telinganya mendengar suara dari dalam kamar Thio, saat ini kamar tersebut keadaannya gelap karena tirai yang tertutup dan kondisi lampu yang tidak dinyalakan, namun pintu sedikit terbuka sehingga dapat melihat ada atau tidaknya orang di dalam. Karena dirasa mencurigakan, dengan penuh keberanian, Aliesha membuka pintunya pelan dan mencoba masuk ke dalam. Dilihat dari gestur tubuhnya seperti tidak asing bagi dirinya. Terus mendekat kemudian Aliesha memberanikan diri untuk menepuk pundak laki-laki yang mengenakan kaos berwarna hitam tersebut.

Setelah ditepuknya pundak laki-laki tersebut, sontak langsung terkaget dan menghamburkan sesuatu dari jangkauannya, yang berhambur tersebut ternyata beberapa obat berbentuk kapsul.

“Firdhan?” ungkap Aliesha heran.

Firdhan hanya fokus membereskan kembali obat yang berhamburan tanpa membalas sapaan dari Aliesha. Ekspresi Firdhan saat ini seperti sedang ketakutan karena melakukan kesalahan.

Tanpa bertanya lagi, Aliesha langsung membantu memunguti obat yang berjatuhan dengan hati yang masih bertanya-tanya karena sikap Firdhan saat ini.

“Terima kasih, kak,” ungkap Firdhan seadanya demgan melemparkan senyum tips terhadap Aliesha.

“Sebentar! Kamu sakit, Fir?” tanya Aliesha lagi.

“Enggak, kak. Firdhan lagi butuh istirahat aja,” “Firdhan duluan ya kak?” Firdhan pamit dan langsung menuju ke luar kamar.

Aliesha mengangguk di sana tanda mempersilakan pria tersebut untuk pergi. Karena kondisi kamar yang gelap, kini Aliesha membuka tirai agar terlihat terang. Karena rasa penasarannya, Aliesha mengecek obat yang baru saja Firdhan simpan di nakas Thio. Menilik obat tersebut dengan wajah terheran.

“Vitamin? Emang jaman sekarang masih ada bentuk obat yang di kemas kayak gini?” guman Aliesha sambil mneyimpan kembali obat tersebut ke tempatnya.

Yang membuat Aliesha merasa aneh, obat tersebut dikemas dalam sediaan kapsul disimpan dalam botol, namun hanya tertulis vitamin dengan spidol permanen. Aliesha beranggapan kalau botol obatnya tersebut mungkin labelnya memang sudah hilang sehingga dituliskan Vitamin karena takut tertukar dengan obat disebelahnya yang bertuliskan obat nyeri.

“Entahlah ....” Aliesha bergumam lagi, memendam rasa penasarannya.

image

Pagi ini, Thio sudah berada di kantin Rumah Sakit untuk mengisi perutnya yang kelaparan karena dari kemarin sore tidak sempat untuk makan. Selesai melakukan aktivitas tersebut, Thio langsung bergegas untuk kembali ke kamar Aliesha. Dilihatnya perempuan tersebut baru saja meminum obat yang dikonsumsi sebelum makan.

“Cari apa, Sha?” tanya Thio sambil menutup kembali pintu kamar pasien.

”Handphone, pak,” balas Aliesha sambil terus mencari.

“Buat apa? Kan kata dokter jangan main handphone dulu,” ungkap Thio melarang Aliesha, mengingat tentang postingan mantan isterinya tentang Winar, maka dari itu Thio terus mencari alasan agar perempuannya tersebut tidak bisa melihatnya.

“Mau telfon Ibu,” lirih Aliesha.

Dengan segera Thio menyerahkan ponselnya untuk Aliesha pakai, “Pakai punya saya saja.”

“Ngaco, kan bapak gak punya nomor ibu,” ungkap Aliesha kesal.

Tidak lama kemudian terlihat sebuah pesan dari ponsel Thio yang masih tepat dihadapan Aliesha.

Raut wajah Aliesha seketika berubah menjadi murung, melihat namaya saja rasanya sudah muak untuk dilihat.

“Pak, ini ada pesan,” ungkap Aliesha sambil menyerahkan kembali ponselnya.

“Oh, Bundanya Caca,” ungkap Thio yang langsung membalas pesan tersebut.

” Dia lagi, dia lagi,” ungkap batin Aliesha.

Thio sudah selesai membalas pesan dari Clara, kini fokus kembali terhadap Aliesha.

“Jangan salah paham, barusan itu Bundanya Caca ... tapi bukan istri saya lagi,” celetuk Thio tanpa aba-aba.

Wajah Aliesha yang asalnya menunduk, murung, kini melihat kembali ke arah Thio.

“Bukannya itu pacar bapak?”

“Iya—tapi dulu, kita memutuskan menikah muda, tapi nasib gak ada yang tahu, kita memilih untuk berpisah ketika Caca masih bayi,” “Keputusan ini kita pilih, karena ini jalan terbaik buat kita,” “Kok saya jadi curhat, maaf ....”

“Saya penggemarnya Mbak Clara, lho. Kok gak pernah dengar beliau pernah menikah, apalagi sampai mempunyai anak?”

“Iya, karena Clara itu baru di dunia model, sekitar dua tahun yang lalu, sedangkan kita menikah itu, tiga tahun yang lalu,” “Wajar, kalau gak banyak orang tahu,” “Bahkan orang kantor juga, ngiranya kalau saya itu belum menikah.”

“Caca?”

“Gak pernah saya bawa ke kantor, kalau tiba-tiba saja, Caca saya bawa ke kantor, heboh nanti.”

“Paraaaah,” ungkap Aliesha tiba-tiba.

“Apanya yang parah?”

“Padahal bapak dulu sempet bilang ke saya, kalau Bundanya Caca itu, sudah—maaf,” “Meninggal ....”

“Kapan? Gak pernah, saya?”

“Pernah, waktu bapak mampir ke apart saya, yang waktu ngembaliin dompet?”

“Sha, kamu salah dengar kali.”

“Enggak kok?”

“RIBUTNYA BISA NANTI DULU GAK, DI KAMAR KEK, JANGAN DI TEMPAT UMUM GINI,” “Dari tadi saya punten puntenan gak ada yang jawab,” gerutu Firdhan sambil meletakkan buah di atas nakas.

“Firdhan?!”

“Halo, gimana kabarnya?”

“Lebih baik pokonya, nanti jam sembilanan mau pulang kok, jadinya nanti rawat jalan aja.”

“Bentar lagi juga jam sembilan?”

“Iya,” “Emm, Fir, boleh titip buat Rafa?”

“Boleh banget, nitip apaan?”

Aliesha langsung menyerahkan satu buah amplop putih yang berisi uang, untuk mengganti uang pendaftaran kemarin.

Dengan segera Thio menarik amplopnya, kemudian menghitung jumlah nominal uang tersebut. Dikembalikannya uang dari Aliesha dan Thio langsung mengeluarkan sejumlah uang untuk dibayarkan terhadap Rafa.

“Jadinya pakai duit Bang Thio, nih?” tanya Firdhan bingung.

“Iya, nih ongkir buat lo, dua ratus cukup kan?”

“Eh kebanyakan ini.”

“Bacot, udah sana berangkat! kuliah yang bener.”

“Pak ....” lirih Aliesha.

“Simpan saja uang kamu, biaya Rumah Sakit, saya yang tanggung.”

“Pak ....”

Hari ini merupakan hari bahagia untuk Aliesha, karena akan bertemu dengan idolanya yaitu Clara. Hadiah kecil yang akan ia berikan yaitu satu buket bunga cantik yang menggambarkan kecantikan seorang model panutannya.

Aliesha berangkat lebih pagi dijemput oleh kekasihnya yaitu Winar. Sebenarnya jadwal pemotretan dilaksanakan pukul delapan pagi, namun karena permintaan Winar yang ingin mengenalkan Aliesha kepada Clara, maka Winar meminta Clara untuk datang lebih pagi, agar ada kesempatan untuk mengobrol satu sama lain.

Kini kedua model tersebut telah sampai di lokasi tujuan. Winar yang sibuk mengarahkan pandangannya untuk menemukan seseorang yang ia cari, namun sepertinya berada di tempat yang lain. Sambil menenteng bunga yang ingin Aliesha berikan, Winar terus mencari keberadaan Clara.

“Sayang, tunggu sebentar, ya? Aku mau cari Clara dulu ke arah sana,” ungkap Winar menunjuk ke arah kanan dirinya.

“Gapapa aku pengen ikut juga,” balas Aliesha.

“Biar cepet, nanti kalau orangnya gak ada gimana? Bolak-balik yang ada,” ungkap Winar sambil berbicara menjauh dari Aliesha.

Sudah lima belas menit, Winar tidak kunjung datang. Aliesha terus mencoba menelfonnya, namun tidak bisa dihubungi, Winar sedang menelfon orang lain.

“Kak Winar telfon siapa sih?” gerutu Aliesha.

Aliesha berniat menyusul Winar, namun Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa anak kecil yang menggemaskan dari salah satu ruangan sebelah kiri dari tempat Aliesha berdiri. Pelan-pelan Aliesha melangkahkan kaki untuk sekedar melihat-lihat.

Langkah kaki Aliesha sontak langsung terhenti, ketika dilihatnya ada seorang anak kecil yang tertawa riang karena orang tuanya terus menghujani dirinya secara bergantian dengan kecupan di pipi dan diberikan pelukan hangat tanpa henti.

“Mbak Clara? Caca ... Pak Thio juga?” lirih batin Aliesha.

Tubuh aliesha mematung di sana, dengan tatapan kosong, mencoba mengerti situasi yang baru saja ia lihat. Pikirannya sibuk menerka tentang hubungan mereka sebenarnya.

Dalam beberapa waktu terakhir pertemuannya dengan Thio, cukup membuat hati Aliesha merasa tersentuh dan mulai tumbuh perasaan yang seharusnya tidak boleh terjadi, mengingat dirinya sedang ada hubungan dengan Winar.

Terlarut dalam pikirannya, hingga tidak sadar kalau Thio sudah menatap jauh terhadap dirinya. Menyadari itu, jantung Aliesha seperti mau lepas karena terlalu kaget kalau Thio sudah menatap heran sedari tadi.

Dengan segera Aliesha pergi dari sana tanpa memedulikan tentang pertemuannya dengan Clara.

Baru saja Thio akan menyusul Aliesha, namun tertahan karena adanya Winar.

“Ra, ada Aliesha gak tadi ke sini? Gue udah cari kemana-mana tapi gak ada, di telfon juga gak di angkat,” tanya Winar dengan nafas yang masih tersenggal-senggal.

“Aliesha siapa?” tanya Clara kebingungan.

“Itu, temen gue yang mau ketemu sama lo,” jawab Winar.

“Dari tadi belum ada orang yang masuk ke sini, selain lo, perasaan,” ungkap Clara.

“Aduh, sorry ya, Ra. Padahal lo bela-belain kesini pagi, tapi orangnya malah pergi, padahal tadi berangkat sama gue.”

“Gapapa kali, toh aku juga pagi-pagi kesini mau ketemu anak dulu.”

Sedangkan Thio, hanya terdiam tidak ingin memberitahukan keberadaan Aliesha, yang baru saja terlihat dihadapannya. Thio melihat ada kejanggalan dalam diri Winar, maka dari itu Thio memilih diam dan hanya menyimak pembicaraan antara Clara dan Winar yang sepertinya sudah kenal dekat, karena Clara secara terang-terangan mengaku kalau Caca adalah anaknya.

Setelah menerima pesan dari Firdhan, Thio langsung bergegas untuk menjemput Caca dan Aliesha. Thio semakin khawatir karena saat ini di luar sedang hujan lebat disertai petir. Merasa ada sesuatu yang tertinggal, Thio yang sudah berada di garasi, kini kembali lagi membuka pintu rumahnya untuk mengambil barang yang diperlukan pada kondisi saat ini. Dengan segera Thio membawa payung, jaket untuk Caca kenakan, serta kebutuhan lainnya.

Sedangkan suasana di kafe, Firdhan masih asyik bercanda dengan caca, Aliesha hanya bisa tertawa melihat mereka yang terlalu lucu untuk dilihat. Tidak lama kemudian, Thio sampai ke depan kafe, memakia pakaian begitu sederhana, dirinya hanya memekai t-shirt dilengkapi dengan jaket, serta celana kain yang ia singsingkan agar tidak terkena basah oleh air hujan, dan karena hujan, thio memaksa menggunakan sandal jepit.

“Yeayy, ayah Caca udah sampe, tuh,” ungkap Firdhan langsung pergi mengantarkan barang yang Caca beli untuk dimasukkan ke dalam mobil Thio. Sedangkan Caca langsung mendekat ke arah Aliesha, dan bersembunyi di balik tubuh Aliesha seperti menghindari ayahnya tersebut.

“Ca ... kenapa?”

“....” Caca semakin erat memegang ujung baju Aliesha.

“Ca ... dengarkan tante, ya?” Aliesha membalikan badan, terduduk, memegang bahu Caca. “Kenapa? Masih marah sama Ayah?” Tanya Aliesha pelan.

“Takut ....” lirih Caca yang hampir menangis.

“Ca ... kemarin ayah bersikap seperti itu, karena sayang sama Caca, ayah ingin Caca menjadi pribadi yang lebih baik lagi,” “Caca lihat ke sana coba, ayah datang ke sini demi Caca, Lho. Padahal di luar sedang hujan lebat, tapi karena sayang sama Caca, ayah bela-belain kesini,” “Kalau Caca bersikap seperti ini terus, nanti ayahnya sedih,” “Yang ayah punya itu cuman Caca.”

“....” kini caca melihat ke arah Thio yang sudah ada di depan sana, tersenyum melihatnya.

“Ayo, di sambut ayahnya?” dengan segera Caca berlari menghampiri ayahnya dan langsung memeluknya erat.

Aliesha mendekat ke arah mereka berdua yang saling melepaskan rindu.

“Ca ....”

“Ayaaah ....”

“Caca kenapa menangis, sayang?”

“Caca minta maaf sama ayah, caca salah, caca sayang sama ayah,” lirih Caca.

Thio melihat nanar ke arah Caca sambil mengangguk tanda memaafkan anaknya tersebut “Anak baik, ayah juga sayang sama Caca,” ungkap Thio dengan tangan yang sibuk mengoleskan minyak telon ke badan Caca, kemudian memakaikan jaket agar tubuhnya tidak kedinginan.


Kini mereka sudah ada di mobil degan posisi Aliesha dan Thio duduk di depan, sedangkan caca duduk di belakang yang sudah dilengkapi dengan car seat khusus. Mobil sudah melaju dengan kecepatan pelan, karena hujan lebat yang tak kunjung berhenti. Sedangkan Firdhan pulang ke rumahnya menggunakan motor yang tadi digunakan untuk membonceng Caca dan Aliesha.

Thio terus melihat ke arah spion depan, didapatnya Caca sedang menguap menahan kantuk.

“Ca ... kalau ngantuk, tidur aja, sayang?”

“Enggak mau, nanti mau main sama tante.”

“Sudah malam, sayang, tantenya harus pulang.”

“Tapi, Om Fildhan bilang, kalau tante udah janji mau temenin caca tidul di lumah.”

“Oh, ya?” Aliesha terkaget mendengar ucapan Caca.

Aliesha langsung melihat ke arah Thio, dan menjelaskan lewat bahasa tubuhnya kalau dia tidak berjanji dan tidak mengatakan itu kepada Firdhan.

Thio hanya tersenyum di sana, dan menjawab, “Iya, tante tidur sama Caca hari ini, ya? Jangan khawatir”.

“Pak ....”

Thio terduduk di kursi mobil sambil memijat pelipisnya, hari ini sangat melelahkan karena pekerjaan yang begitu banyak. Thio berusaha menyelesaikan hari ini agar weekend besok bisa bersantai di rumah dan menghabiskan waktu bersama anaknya. Namun, rencana hanya rencana, nyatanya semua pekerjaan masih banyak yang belum dikerjakan.

Thio berpikir lagi, akan berusaha memberi pengertian terhadap anaknya dan menghabiskan waktu di hari minggu saja. Setelah berdebat dengan pikirannya sendiri, kini Thio melajukan mobilnya untuk pulang.

Selesai memarkirkan mobilnya, dengan cepat Thio membuka pintu rumahnya, dilihatnya bibi yang baru beres memasak untuk dirinya, sedangkan Caca yang sedang asyik memainkan boneka yang Aliesha berikan sebagai kado ulang tahun waktu itu.

Caca tidak menghiraukan kedatangan Thio, dirinya hanya fokus memainkan bonekanya.

“Ca? Ayah pulaaaang,” seru Thio antusias.

“....” Caca masih tidak menjawab, yang ada raut mukanya semakin membersut.

“Ca? Gak mau sambut ayah? Peluk ciumnya mana?” sapa lagi sambil mengelus, merapikan rambut Caca.

“....” Caca tidak menggubris sedikitpun.

Thio melihat ke arah bibi, di sana bibi memberikan kode untuk tidak mengganggu Caca untuk saat ini.

“Pak, mau langsung makan, atau bagaimana?” Tanya bibi mengalihkan Thio dari anaknya.

“Saya ngikut Caca aja, bi, ” balas Thio.

“Caca mau makan sekarang aja?” Tanya bibi hati-hati.

“CACA ENGGAK MAU MAKAN, BIBI!!” teriak Caca sambil melempar bonekanya ke arah bibi.

“Caca!” “Kenapa harus teriak sama orang tua?!” “Gak sopan!” ungkap Thio dengan wajah yang mulai memerah karena menahan marah.

“....”

“Siapa yang ngajarin Caca seperti itu? Caca bisa menolak baik-baik, gak perlu teriak seperti itu!” emosi Thio mulai memuncak.

“Caca mau pulang ke rumah bunda!”

Mendengar itu, Thio langsung meredam emosinya.

“Ca ... nanti ayah antar, ya? Kita telfon dulu, takutnya Bunda Ara lagi sibuk, nak,” lirih Thio.

“MAU SEKARANG, AYAH!”

“FARICA AQILA!!!” Thio memanggil nama lengkap Caca dengan intonasi tinggi, tanda sedang marah.

Caca mulai menangis, langsung dihampiri oleh bibi, “Caca ... jangan nangis sayang, ayahnya lagi capek ....” ungkap bibi menenangkan Caca.

Caca terus menangis, “Ayah jahat!” lagi-lagi Caca berteriak.

“Ca ... ayah enggak jahat sayang ....” ungkap bibi memberi pengertian terhadap Caca yang masih menangis keras.

Thio hanya bisa menyesal karena tidak berusaha mengerti anaknya, menyesal karena telah berteriak, meluapkan emosi terhadap Caca, terlihat jelas kalau anaknya tersebut ketakutan melihat dirinya karena marah. Thio hanya bisa merenung, sebenarnya Thio bisa lebih lembut dalam mendidik anaknya tersebut, hanya saja urusan kantor yang rumit, semua emosi, Thio luapkan sampai tidak terkendali.

”Sayang, maafkan ayah, nak ...”

Thio terduduk di kursi mobil sambil memijat pelipisnya, hari ini sangat melelahkan karena pekerjaan yang begitu banyak. Thio berusaha menyelesaikan hari ini agar weekend besok bisa bersantai di rumah dan menghabiskan waktu bersama anaknya. Namun, rencana hanya rencana, nyatanya semua pekerjaan masih banyak yang belum dikerjakan.

Thio berpikir lagi, akan berusaha memberi pengertian terhadap anaknya dan menghabiskan waktu di hari minggu saja. Setelah berdebat dengan pikirannya sendiri, kini Thio melajukan mobilnya untuk pulang.

Selesai memarkirkan mobilnya, dengan cepat Thio membuka pintu rumahnya, dilihatnya bibi yang baru beres memasak untuk dirinya, sedangkan Caca yang sedang asyik memainkan boneka yang Aliesha berikan sebagai kado ulang tahun waktu itu.

Caca tidak menghiraukan kedatangan Thio, dirinya hanya fokus memainkan bonekanya.

“Ca? Ayah pulaaaang,” seru Thio antusias.

“....” Caca masih tidak menjawab, yang ada raut mukanya semakin membersut.

“Ca? Gak mau sambut ayah? Peluk ciumnya mana?” sapa lagi sambil mengelus, merapikan rambut Caca.

“....” Caca tidak menggubris sedikitpun.

Thio melihat ke arah bibi, di sana bibi memberikan kode untuk tidak mengganggu Caca untuk saat ini.

“Pak, mau langsung makan, atau bagaimana?” Tanya bibi mengalihkan Thio dari anaknya.

“Saya ngikut Caca aja, bi, ” balas Thio.

“Caca mau makan sekarang aja?” Tanya bibi hati-hati.

“CACA ENGGAK MAU MAKAN, BIBI!!” teriak Caca sambil melempar bonekanya ke arah bibi.

“Caca!” “Kenapa harus teriak sama orang tua?!” “Gak sopan!” ungkap Thio dengan wajah yang mulai memerah karena menahan marah.

“....”

“Siapa yang ngajarin Caca seperti itu? Caca bisa menolak baik-baik, gak perlu teriak seperti itu!” emosi Thio mulai memuncak.

“Caca mau pulang ke rumah bunda!”

Mendengar itu, Thio langsung meredam emosinya.

“Ca ... nanti ayah antar, ya? Kita telfon dulu, takutnya Bunda Ara lagi sibuk, nak,” lirih Thio.

“MAU SEKARANG, AYAH!”

“FARICA AQILA!!!” Thio memanggil nama lengkap Caca dengan intonasi tinggi, tanda sedang marah.

Caca mulai menangis, langsung dihampiri oleh bibi, “Caca ... jangan nangis sayang, ayahnya lagi capek ....” ungkap bibi menenangkan Caca.

Caca terus menangis, “Ayah jahat!” lagi-lagi Caca berteriak.

“Ca ... ayah enggak jahat sayang ....” ungkap bibi memberi pengertian terhadap Caca yang masih menangis keras.

Thio hanya bisa menyesal karena tidak berusaha mengerti anaknya, menyesal karena telah berteriak, meluapkan emosi terhadap Caca, terlihat jelas kalau anaknya tersebut ketakutan melihat dirinya karena marah. Thio hanya bisa merenung, sebenarnya Thio bisa lebih lembut dalam mendidik anaknya tersebut, hanya saja urusan kantor yang rumit, semua emosi, Thio luapkan sampai tidak terkendali.

”Sayang, maafkan ayah, nak ...”

Suasana kantor kini sudah sepi, kantor tersebut bekerja secara normal yaitu empat puluh jam perminggu atau delapan jam perhari, seharusnya kantor tutup pukul tiga sore. Namun, karena ada rapat mendadak dan ketidak sanggupan klien, maka Thio memberikan toleransi agar rapat dimundurkan.

Tidak semua orang dapat melakukan rapat diluar jam kerja seperti ini, akan tetapi klien tersebut sudah bersama semenjak perusahaan ini berdiri.

Rapat sudah selesai tepat pukul setengah lima sore, dengan segera Thio pergi karena ditakutkan Caca akan khawatir jika mengingat kejadian siang tadi. Langkah Thio berhenti ketika dilihatnya seorang perempuan yang sedang duduk dan termenung di sana. Kemudian terlihat seperti sedang menangis diam-diam, terlihat dengan pundak yang bergetar.

Baru saja Thio ingin menghampiri perempuan tersebut, namun ia urungkan. Thio memilih untuk membiarkan perempuan itu menangis sampai kesedihan dalam dirinya hilang. Thio memilih duduk menunggu, mengawasi dari kursi sebrang sana. Terus menatap, kini perempuan tersebut sudah bisa menegakkan kepalanya tidak lagi menunduk, melihat kosong ke depan.

Beberapa menit kemudian ada sebuah mobil berhenti di depan perempuan tersebut, dan seorang laki-laki turun menghampirinya. Thio terkaget, langsung berdiri dari duduknya menghampiri mereka berdua.

“Papa? Ngapain nyamperin anak gadis?” gerutu Thio.

Entah apa yang Harlan dan Aliesha bicarakan, namun terlihat dari keduanya seperti layaknya teman lama yang langsung asyik mengobrol.

“Pa?” sapa Thio sambil menyapa Aliesha dengan senyum ramahnya.

“Kebetulan ada kamu di sini. Tadinya papa mau kasih tumpangan buat Aliesha, tapi karena ada kamu, tolong ajak pulang, ya? Ponsel Aliesha habis baterai,” pinta Harlan.

“Gak apa-apa, pak. Saya bisa naik ojek kok.”

“Hujan, nak. Yo cepat,” tegas Harlan.

“Papa mau kemana?” tanya Thio bingung.

“Mau ngambil barang di ruangan papa dulu, papa lagi butuh. Duluan sana.” “Aliesha, saya duluan, ya?” Harlan pamit kepada Aliesha.

“Iya, pak. Terima kasih.”


“Ayo, Sha. Kita ke parkiran dulu,” ajak Thio.

“Gak usah, pak. Bapak duluan aja.”

Tanpa bicara lagi, Thio langsung menarik tangan Aliesha pelan dengan terpaksa Aliesha mengikuti kemana Thio pergi. “Kamu harus jelaskan ke saya, kenapa kamu bisa akrab sama papa,” ungkap Thio.

“Maksud bapak?”

“...”

Mereke berdua akhirnya kini sampai di parkiran.

“Masuk, Sha.” Thio membukakan pintu mobil depan.

“Maksud bapak apa?!” kini suara Aliesha mulai meninggi karena tidak ada jawaban dari Thio.

“Kita bicara di dalam saja, gak enak tadi ada karyawan lain melihat kita.”

“....”

Di dalam mobil.

“Sha ... jangan berpikir negatif dulu, saya tanya begitu bukan saya menganggap kamu selingkuhannya papa, saya hanya heran saja, kenapa kamu bisa akrab sama papa saya, papa saya bukan tipikal orang yang mudah akrab dengan orang lain, bahkan sama cucunya sendiri,” ungkap Thio dengan tangan yang sibuk memainkan setir mobil.

“Pak Harlan emang baik, pak. Kita banyak mengobrol, waktu saya jadi penumpang beliau.”

“Banyak mengobrol?”

“Iya, pak.”

Thio hanya mengangguk-angguk, dan fokus menyetir. Kemudian hening selama beberapa menit.

“Beliau bilang, kalau saya mirip dengan seseorang, ” ungkap Aliesha tiba-tiba.

“Mirip? Mirip siapa?” Thio langsung menoleh ke arah Aliesha heran.

“Pak, itu Caca?” Aliesha belum sempat menjawab pertanyaan Thio karena teralihkan dengan melihat Caca di cafe outdoor dengan seseorang.

Melihat itu,Thio langsung memarkirkan mobilnya, berniat menyusul anaknya.

“Iya, itu Caca sama Firdhan,” “Ikut turun dulu, ya?” ajak Thio.

Aliesha hanya bisa mengikuti perintah Thio, untuk menghampiri mereka berdua.


“Caaa ....” panggil Thio dari kejauhan.

“Ayaaaah!” seru Caca antusias.

“Fir, pegangin anak gue! Kursinya tinggi, itu,” ungkap Thio sambil meringis karena Caca hampir saja terjatuh karena berusaha turun dari kursi.

“Biasa aja Ca.. biasa, bapak lo gak akan kabur elah,” gerutu Firdhan sambil menurunkan Caca yang langsung berlari menghampiri Thio.

Dengan segera Thio memangku anaknya.

“Ayah benelan gak sakit?” tanya Caca dengan memegang dahi Thio.

“Dibilangin ayah sehat-sehat aj—“ ucapan Thio terpotong ketika Caca menyeru Aliesha.

“Tante?” seru Caca dengan mata yang berbinar melihat Aliesha.

“Halo Caca?” ungkap Aliesha yang langsung mengambil alih Caca dari pangkuan Thio. “Kangen tante, gak?”

“Tante kemana aja? Katanya mau main sama Caca, sama boneka-bonekanya Caca?”

“Haha, maafkan tante, ya. Akhir-akhir ini tante sibuk, Ca.” mereka berdua terus mengobrol saling melepaskan kerinduan.

“Pacar?” ungkap Firdhan ngasal.

“Seenak jidat kalau ngomong,” sanggah Thio dengan tangan sibuk membawa kursi dari tempat lain.

“Biasa aja dong, gak usah sewot,” balas Firdhan.

Tidak enak rasanya jika Thio hanya mampir ke kafe tersebut tanpa memesan, akhirnya Thio memesan minuman dan makanan ringan untuk dirinya dan Aliesha. Sambil menunggu pesanannya datang, Thio mengenalkan Aliesha kepada Firdhan begitupun sebaliknya.

“Kak, punya akun twitter gak?” tanya Firdhan tiba-tiba kepada Aliesha.

“Fir, baru juga ketemu, gak sopan banget,” ungkap Thio sembari menyuapi anaknya memakan cheesecake.

Aliesha tersenyum melihat kelakuan Firdhan yang cukup mengagetkan. “Ada kok, kenapa emang?”

Thio hanya menggelengkan kepalanya.

“Saya teh punya tugas bikin video dari kampus, nah biasalah jaman now tugasnya serba pake teknologi terus update akun media sosial, nah, berhubung saya pakenya twitter doang, jadi mau minta feedback-nya di sana, boleh like, coment, QRT, atau retweet, nanti untuk penilaiannya di lihat dari itu sama tayangannya juga, jadi kalau kakak lagi gabut misanya, boleh tuh mampir ke akun saya, begitu kak,” tutur Firdhan sopan.

Aliesha tertawa di sana karena melihat Firdhan berbicara dengan begitu panjang yang menggemaskan di tambah dengan logat sundanya yang khas.

“Boleh, eh tapi handphone-nya mati,” keluh Aliesha.

“Gapapa, Firdhan aja yang follow kakak duluan,” pinta Firdhan sambil memberikan ponselnya ke Aliesha.

“Modus,” celetuk Thio.

“Apaan sih bang.”

“Saya udah follow ya kak, jangan lupa, sampe rumah langsung pencet follow back,” pinta Firdhan.

“Iya, pasti,” jawab Aliesha ramah.

“Udah ngerepotin orangnya? Gue mau pulang nih, kasian Aliesha di sini, lo ganggu terus,” sindir Thio.

“Yaudah pulang aja sana, gue masih mau main sama Caca, mau ngabisin duit dari lo, tadi,” balas Firdhan.

“Caca gak akan pulang sama ayah emangnya?” tanya Thio terhadap Caca.

“Enggak, nanti aja pulangnya, Caca masih mau nge-date sama Om Fildhan,” balas Caca lantang.

“Fir, please lah, anak gue jangan lo ajarin kata-kata yang gak sesuai sama umurnya, masa anak gue tau kata-kata begitu?” ungkap Thio kesal.

“Om Fildhan, jadi kapan Caca bisa nge-date sama Om Lafa, Om Afiq?” tanya bertanya kepada Firdhan yang membuat Thio semakin kesal mendengarnya.

Firdhan hanya terdiam mematung di sana, namun batin tetap menggerutu “Aduh, ca ....”

“Fir, kalau lo ajarin anak gue yang enggak-enggak, transfer balik duit jajan lo yang tadi gue transfer,” ungkap Thio sebelum pergi pulang.

“Ngancam mulu,” gerutu Firdhan pelan.

Melihat percakapan mereka, cukup membuat Aliesha merasa terhibur. Kemudian Aliesha pergi mengikuti Thio dan berpamitan kepada Firdhan dan Caca.

-Nay.

Pagi hari ini, seperti biasa selalu diisi dengan kegiatan produktif, termasuk karyawan yang bekerja di bawah naungan perusahaan keluarga Mahatma. Perusahaan yang menjunjung nilai kemanusiaan, disiplin, dan keadilan. Salah satunya adil dalam memberikan upah sebagai imbalan yang harus di terima setelah kerja keras.

Thio yang akan menggantikan peran Johan hari ini kini telah telah ada di ruangan Aliesha untuk pemeriksaan dan juga mendiskusikan tentang adanya perubahan gaji, uang lembur dan bonus menjadi lebih tinggi, ini semua karena meningkatnya benefit perusahaan pada tiga bulan terakhir, maka dari itu Thio harus membahasnya dengan staff accounting yaitu Aliesha.

Dinda, vina, serta staf lain sedang fokus bekerja, kini sedang menatap tak berkedip dikarenakan kedatangan Thio yang secara tiba-tiba.

“Selamat siang, saya boleh masuk?” Sapa Thio sambil meminta izin pada staf yang ada di ruangan tersebut.

“Silakan, pak,” sahut beberapa staf di sana.

“Ini benar ruangannya Aliesha dari staff accounting?” tanya Thio sopan.

“Benar, pak,” jawab Dinda yang berada tepat di hadapan Thio.

“Aliesha nya di mana kalau boleh tahu?” tanya Thio lagi, dengan mata sibuk mencari Aliesha, namun nihil.

“Tadi izin ke kamar mandi pak—“ sambung Vina.

“Itu Yaya?!” seru Dinda.

”Yaya?” gerutu batin Thio yang seketika menoleh ke arah Aliesha, merasa tidak asing dengan nama panggilan tersebut yang dulu digunakan untuk memanggil orang yang sangat ia cintai.

Thio terus memandang Aliesha tanpa alasan.

“Maaf, pak, barusan saya dari belakang, ada yang bisa saya bantu?” tanya Aliesha yang menyadarkan Thio.

“Oh, ya. Begini, Sha. Saya yang menggantikan peran Johan, karena beliau sakit, dan ada yang perlu saya diskusikan, tapi ini privasi perusahaan, boleh kita diskusi sebentar di ruangan saya?” pinta Thio baik-baik.

“Di atas ya, pak?”

“Iya, Sha. Soalnya ditakutkan ada yang masuk ke ruangan saya meminta persetujuan dan sebagainya.”

“Boleh, pak. Biar saya siap-siap terlebih dahulu.”

“Silakan, Sha. Nanti langsung masuk saja, ya? Tahu kan ruangan saya?”

“Tahu, pak.”


Tidak lama kemudian Aliesha datang mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk ruangan.

“Masuk saja, Sha.”

“Begini, Sha. Sambil saya meriksa laporan kamu, tolong rubah beberapa tentang kenaikan gaji, bonus maupun uang lembur, nanti saya kasih catatannya, nah nanti, tolong data, ya?”

“Baik, pak,”

Kini dua orang tersebut, sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

“Waduh, Sha. Saya minta maaf, boleh izin buka jas gak? Badan saya panas dari tadi, padahal AC full,” pinta Thio dengan wajah yang mulai memerah dan keringat dingin bercucuran.

Seketika Aliesha langsung menoleh ke arah Thio “Lho, bapak sakit, ya?” tanya Aliesha panik.

“Tadi pagi agak pusing sih, Sha. Tapi kenapa sekarang malah makin lemas ya?” balas Thio.

“Saran saya, bapak periksa deh.”

“Tadi pagi sempat ke rumah sakit dekat kantor, tapi penuh.”

“Bapak ke apotek yang dekat kantor saja pak, yang depan kafe Indah, nah disitu ada praktik dokternya.”

“Dokternya ada jam berapa kalau boleh tahu?”

“Saya kemarin-kemarin pernah periksa kesana, jam segini ada dokternya kok.”

“Setelah selesai periksa ini, saya langsung turun.”

“Sekarang aja, pak. Takut kenapa-napa. Kasian caca lho, kalau bapak sakit.”

Mendengar itu, Thio langsung tersadar.

“Saya berangkat sekarang, kamu di sini saja dulu ya? Soalnya saya belum selesai memeriksa laporan kamu.”

“Baik, hati-hati, pak.”

“Iya, Sha.”

Seorang anak kecil terus menghampiri Aliesha. Aliesha tidak menghampiri juga tidak menghindar, hanya memastikan anak kecil tersebut.

“Hallo, tante,” tanya Caca ceria. Sambil terus menghampiri Aliesha, sehingga tubuhnya sangat dekat, berhadapan.

“Caca, ya?” tanya Aliesha terus memastikan, karena terhalang masker. Kini Alesha merasa lega karena anak kecil tersebut tidak memanggil dirinya dengan sebutan bunda, seperti terakhir kali bertemu waktu itu.

Caca hanya mengangguk di sana. Aliesha menekuk lutut-menyamakan tingi badannya dengan Caca dan terus bertanya dengan siapa dia datang, menanyakan kabar, bahkan menanyakan bagaimana hari ini, apa yang dilakukannya. Dengan antusias Caca terus menjawab pertanyaan dari Aliesha.

Tidak lama kemudian wanita paruh baya menghampiri mereka berdua yang sedang asyik bercerita. “Ca? maaf ya Kak, Caca memang senang mengobrol, sekali lagi, maaf , ya?” ungkap bibi sopan.

“Tidak apa-apa, jangan minta maaf,” ungkap Aliesha dengan ramah.

“Ayo, Ca. kita pergi sekarang, ya? Bibi kan belum masak buat Caca sama ayah,” bujuk bibi.

Caca hanya semakin mendekat dengan Aliesha yang sudah berdiri tidak lagi menekuk lututnya. Digenggamnya tangan lembut Aliesha oleh Caca.

“Tante kan sudah janji sama Caca,” ungkap Caca yang membuat Aliesha dan bibi terheran.

“Caca kenal tante ini?” tanya bibi.

“Kita pernah bertemu, bi. Sama bapak juga,” balas Aliesha.

“Janji apa, Ca?” tanya bibi.

Caca semakin mengeratkan genggaman tangannya terhadap Aliesha.

“Katanya mau lihat koleksi boneka Caca, kalau kita beltemu lagi,” ungkap Caca gemas karena belum bisa menyebutkan huruf R dengan jelas.

Caca benar-benar ingat dengan jelas, sewaktu Aliesha membujuk Caca untuk makan sebelum makan obat waktu itu. Aliesha berpikir dengan serius, bukan ha yang sulit kalau untuk memenuhi permintaan Caca, apalagi kebetulan kalau Aliesha juga baru pulang dari kantor.

“Tante ... ikut kan?” tanya Caca lagi.

Aliesha menoleh ke arah bibi dan saling memberikan sinyal dengan raut wajah mereka.

“Kakaknya pulang bawa kendaraan sendiri?”

“Saya naik ojek bi, seperti biasa.”

Bibi terus bertanya dengan segala kemungkinan. Bertanya mulai dari arah pulang Aliesha, berada dalam jam kerja atau tidak. Ketika semua pertanyaan sudah terjawab dengan jelas dan tidak merepotkan pihak manapun. Akhirnya Aliesha setuju untuk ikut dengan Caca.


Di rumah Thio.

Waktu menunjukan pukul tujuh malam, Caca sudah menunjukan koleksi bonekanya dan dimainkannya dengan Aliesha. Aliesha mulai risau karena dirinya harus sudah pulang sebelum Thio pulang. Teringat beberapa waktu yang lalu di kantor, Thio seakan tidak mau bertemu dan membatasi jarak di antara keduanya. Walaupun Aliesha yakin seratus persen kalau dirinya tidak melakukan kesalahan, akan tetapi mendengar desas-desus dari orang kantor, bahwasannya Thio memang selalu bersikap seperti itu. Thio harus bisa membatasi diri sendiri agar sebagai seorang pemimpin tidak mudah tertipu.

“Ca ... tante pulang, ya? Tante ada urusan,” ungkap Aliesha hati-hati.

“Katanya mau jadi teman Caca?” balas Caca dengan raut muka yang mulai murung.

Aliesha semakin tidak enak hati, bagaimana kalau Caca mulai menangis.

“Gak apa-apa Kak ... di sini saja dulu, sekalian pendekatan sama Caca,” ungkap bibi mencurigakan.

Sungguh, Aliesha tidak mengerti dengan kalimat yang baru saja dilontarkan.

“Saya sudah kirim pesan ke bapak, tapi sepertinya ponselnya mati. Kakaknya temenin Caca saja dulu sampai tidur, biar nanti saya bangunkan, kakak juga terlihat kecapean,” ungkap bibi sungguh-sungguh.

Aliesha berpikir sejenak. “Janji ya, bi? Bangunkan saya?” pinta Aliesha memohon.

“Iya,” jawab bibi sambil pergi dari hadapan mereka.


Beberapa jam kemudian suara klakson mobil berbunyi tandanya Thio sudah pulang.

“Bi? Caca sudah tidur?” tanya Thio sambil membuka sepatu dan kaos kakinya.

“Sudah,” “Pak? Bibi pulang sekarang ya?” ungkap bibi sambil menepuk punggung Thio dan tersenyum jahil.

“Kenapa, bi?” Thio merasa aneh dengan sikap bibi.

“Bibi pulang dulu, semoga kali ini berhasil, ya, pak? Bibi setuju,” ungkap bibi yang sudah mendekat ke arah pintu.

“Ini sepatu siapa, bi? Clara?”

Bibi hanya menggeleng dan masih dengan senyum jahilnya untuk menggoda Thio dan langsung pergi dari sana.

“Bibi, aneh?” ungkap Thio pelan.

Dengan segera, Thio menghampiri Caca sebagai obat kangen karena seharian ini sibuk bekerja.

Thio terkaget melihat kehadiran seorang wanita yang sedang tidur dengan buah hatinya. Dengan pelan, Thio menyibakkan rambut yang menghalangi wajahnya, tenyata wanita tersebut adalah Aliesha karyawan yang dulu pernah Caca temui pada saat mengembalikan dompet.

Thio berpikir sejenak antara membangunkan wanita tersebut atau membiarkannya tertidur dengan Caca. Setelah berpikir akhirnya Thio masuk ke kamarnya yang berbeda dengan kamar Caca yang berada di sebrangnya. Thio membawa selimut untuk dipakaikan tehadap wanita tersebut. dengan pelan Thio menyelimuti tubuh Aliesha yang tampaknya kelelahan karena terlalu banyak bekerja.


Beberapa jam kemudian, Aliesha terbangun pada pukul sebelas malam, dan langsung terkaget karena keberadaannya masih ada di rumah atasannya. Aliesha langsung melepaskan genggaman tangan Caca dan merapihkan pakaiannya serta merapikan selimut yang ia pakai dan langsung melangkahkan kaki ke arah ruang tamu.

“Bi, katanya mau bangunin saya?” ungkap Aliesha pelan sambil terus mencari keberadaan bibi. Rumah tersebut sudah sepi, dan Aliesha berpikir kalau Thio belum pulang atau kalaupun sudah pulang, pasti sudah tidur.

“Mau ke mana sha,” ungkap Thio dari ruang tamu yang duduk di pojok sambil memegang ponsel.

“ALLAHU AKBAR, BAPAKKKK, SAYA KAGETTTT,” ungkap Aliesha benar-benar terkaget karena tiba-tiba ada suara dan lebih kagetnya itu adalah Thio.

Thio hanya tersenyum di sana.

“Sudah malam, Sha. Tidur lagi saja dengan Caca. Saya gak akan gabung kok, saya tidur di kamar berbeda dengan Caca.”

“Maaf, pak. Tadi—“

“Tadi bibi sudah cerita ke saya.”

“Saya pamit ya, pak?”

“Maksa nih, mau pulang?”

“Iya, Pak. Soalnya gojek masih ada kok jam segini.”

“Jangan gojek, biar saya antar, pakai motor gak apa-apa ya? Biar cepet soalnya Caca sendirian di rumah.”

“Demi, pak. Gak usah.”

“Bawa jaket gak?”

Aliesha hanya menggelengkan kepalanya.

“Sebentar saya bawa jaketnya dulu.”

“Pak ... gak usah ....”

“Gak apa-apa.”

Mereka berangkat memakai motor matix yang biasa bibi pakai untu keperluan belanja ke pasar.

-Nay.