Emosi
Thio terduduk di kursi mobil sambil memijat pelipisnya, hari ini sangat melelahkan karena pekerjaan yang begitu banyak. Thio berusaha menyelesaikan hari ini agar weekend besok bisa bersantai di rumah dan menghabiskan waktu bersama anaknya. Namun, rencana hanya rencana, nyatanya semua pekerjaan masih banyak yang belum dikerjakan.
Thio berpikir lagi, akan berusaha memberi pengertian terhadap anaknya dan menghabiskan waktu di hari minggu saja. Setelah berdebat dengan pikirannya sendiri, kini Thio melajukan mobilnya untuk pulang.
Selesai memarkirkan mobilnya, dengan cepat Thio membuka pintu rumahnya, dilihatnya bibi yang baru beres memasak untuk dirinya, sedangkan Caca yang sedang asyik memainkan boneka yang Aliesha berikan sebagai kado ulang tahun waktu itu.
Caca tidak menghiraukan kedatangan Thio, dirinya hanya fokus memainkan bonekanya.
“Ca? Ayah pulaaaang,” seru Thio antusias.
“....” Caca masih tidak menjawab, yang ada raut mukanya semakin membersut.
“Ca? Gak mau sambut ayah? Peluk ciumnya mana?” sapa lagi sambil mengelus, merapikan rambut Caca.
“....” Caca tidak menggubris sedikitpun.
Thio melihat ke arah bibi, di sana bibi memberikan kode untuk tidak mengganggu Caca untuk saat ini.
“Pak, mau langsung makan, atau bagaimana?” Tanya bibi mengalihkan Thio dari anaknya.
“Saya ngikut Caca aja, bi, ” balas Thio.
“Caca mau makan sekarang aja?” Tanya bibi hati-hati.
“CACA ENGGAK MAU MAKAN, BIBI!!” teriak Caca sambil melempar bonekanya ke arah bibi.
“Caca!” “Kenapa harus teriak sama orang tua?!” “Gak sopan!” ungkap Thio dengan wajah yang mulai memerah karena menahan marah.
“....”
“Siapa yang ngajarin Caca seperti itu? Caca bisa menolak baik-baik, gak perlu teriak seperti itu!” emosi Thio mulai memuncak.
“Caca mau pulang ke rumah bunda!”
Mendengar itu, Thio langsung meredam emosinya.
“Ca ... nanti ayah antar, ya? Kita telfon dulu, takutnya Bunda Ara lagi sibuk, nak,” lirih Thio.
“MAU SEKARANG, AYAH!”
“FARICA AQILA!!!” Thio memanggil nama lengkap Caca dengan intonasi tinggi, tanda sedang marah.
Caca mulai menangis, langsung dihampiri oleh bibi, “Caca ... jangan nangis sayang, ayahnya lagi capek ....” ungkap bibi menenangkan Caca.
Caca terus menangis, “Ayah jahat!” lagi-lagi Caca berteriak.
“Ca ... ayah enggak jahat sayang ....” ungkap bibi memberi pengertian terhadap Caca yang masih menangis keras.
Thio hanya bisa menyesal karena tidak berusaha mengerti anaknya, menyesal karena telah berteriak, meluapkan emosi terhadap Caca, terlihat jelas kalau anaknya tersebut ketakutan melihat dirinya karena marah. Thio hanya bisa merenung, sebenarnya Thio bisa lebih lembut dalam mendidik anaknya tersebut, hanya saja urusan kantor yang rumit, semua emosi, Thio luapkan sampai tidak terkendali.
”Sayang, maafkan ayah, nak ...”