jwooshining

Sikap Aliesha yang ramah dan hangat, cukup membuat hati seorang anak kecil yakni Farica atau sering di panggil Caca merasa tersentuh bahkan langsung merasa nyaman, manja layaknya kepada seorang ibu. Thio merasa tidak enak hati kepada Aliesha dengan cara menegur Caca agar tidak bertindak melewati batas. Namun, Aliesha tidak keberatan sama sekali, dikarenakan dia senang dengan anak kecil, maklum karena dia adalah anak tunggal, selalu merasa kesepian dan cukup jauh dari kehangatan keluarga.

Sudah dua jam Caca terus bermain dengan boneka-boneka lucu milik Aliesha, sehingga Caca tidak menghiraukan ajakan ayahnya untuk pulang.

“Ca ... pulang ya? Bibi udah nunggu Caca, lho,” pinta Thio dengan hati-hati.

Di sana Caca hanya menggelengkan kepala, tanda tidak mau menerima ajakan ayahnya.

“Kalau Caca main, terus ayah ngapain di sini? Pulang yuk? Biar sekalian ayah mengerjakan pekerjaan kantor,” pinta Thio lagi.

Caca masih diam.

“Caca marah sama ayah?” tanya Thio lembut.

“Caca suka makan apa, nak?” tiba-tiba Aliesha berteriak dari arah dapur sambil menghampiri Caca.

“....”

“Kalau nugget bentuk bintang suka gak? Tante punya banyak, lho.” tanya Aliesha ceria.

“Ca, tantenya tanya, masa gak di jawab,” ucap Thio berusaha mengambil boneka yang sedari tadi dimainkan.

“Suka ...” jawab Caca singkat sambil merebut kembali bonekanya.

“Pak, gak apa-apa Caca makan makanan siap saji?” tanya Aliesha memastikan.

“Boleh saja, Sha. Kita coba saja dulu, soalnya dari pagi Caca makannya sedikit,” ucap Thio khawatir.

“Saya masak sayur sekalian ya pak, semoga saja Caca suka.”

“Jadi merepotkan.”

“Gak sama sekali, pak.”


Karena merasa tidak enak, Thio langsung menghampiri Aliesha ke dapur untuk membantu mengurangi pekerjaannya.

“Kenapa, pak?” tanya Aliesha dengan tangan sibuk memainkan pisau dan alat masak lainnya.

“Aliesha ... maafkan Caca, ya? Nanti saya didik lebih tegas lagi.”

“Gak apa-apa, pak. Mungkin Caca memang lagi kangen bundanya. Bundanya sibuk juga ya?” tanya Aliesha sembari menyalakan air keran di wastafel sehingga ucapan Thio tidak begitu jelas terdengar.

“Iya Caca suda lama berpisah sama bundanya yang berada di luar kota.”

“Pasti istri bapak lebih tenang dan bahagia melihat dari surga sana, karena kalian tumbuh dengan baik, yang sabar ya, pak?” ucap Aliesha sambil mematikan air wastafelnya kembali.

“Bagaimana?” tanya Thio karena suaranya bener-benar tidak terdengar dengan jelas.

“Ayah?!” tiba-tiba Caca berteriak dari arah ruang tamu, sehingga percakapan mereka tidak menghasilkan jawaban yang tepat. Seketika, Thio langsung menghampiri Caca.

“Kasian Caca ... mana masih kecil,” lirih Aliesha. Aliesha benar-benar menganggap kalau bundanya Caca memang sudah meninggal. Entahlah, akhir-akhir ini Aliesha sering merasa tidak fokus.


Kini mereka bertiga berada di meja makan dan Caca tidak kunjung makan, dilihatnya makanan tanpa ia sentuh sedikitpun.

“Caca? Kenapa gak makan? Caca gak suka?” tanya Aliesha pelan dan memandang Caca lamat-lamat. “Lho, sebentar.” Aliesha menghampiri Caca yang duduk di hadapannya.

“Pak, badannya anget ini, Caca sakit?” tanya Aliesha, sambil menggendong agar berada di pangkuannya.

“Dari kemarin, Sha,” ungkap Thio semakin khawatir.

“Ya ampun, Caca mulutnya ngerasa pahit, gak?”

“Iya, nda ...” lirih Caca lemas.

“Paksa buat makan ya? Gak apa-apa sedikit juga, biar nanti kita ke dokter?” pinta Aliesha.

“...”

“Sha, kemarin bibi sudah konsultasi dengan apoteker untuk obatnya, kita coba pakai obat yang ada dulu saja, saya ambil dulu di mobil,” ungkap Thio.

“Boleh, pak. Bapak ambil dulu obatnya, biar saya saja yang minta Caca buat makan.”

“Baik, sebentar, ya.” Thio langsung pergi untuk mengambil obatnya yang bibi beli.

Dengan segala bujuk rayu Aliesha, akhirnya Caca memakan makanannya walaupun hanya empat suap nasi. Setelah itu, Caca meminum obatnya dan tertidur dengan lelap di pangkuan Aliesha.

“Caca tidur, pak.”

“Saya pulang sekarang saja, Sha. Tolong bantu bawa Caca ke mobil, bisa?”

“Tapi susah lho, pak?”

“Tidak apa-apa, mobil saya ada sealt belt buat anak kok.”

“Syukurlah, jaket ada?”

“Kebetulan gak bawa, soalnya tadi Caca kegerahan.”

“Sebentar, saya ambilkan selimut kecil dulu.”

Kejadian tidak terduga hari ini terhadap Thio maupun Aliesha cukup membuat mereka terheran-heran. Namun, berkat kejadian ini, Thio mengetahui salah satu karyawannya. Maklum, Thio terkenal dengan sikap pemimpin yang adil namun terkenal dengan orang yang kaku dan tidak pernah bergaul dengan orang lain selain dengan sahabat karib dan keluarganya.

-Nay.

Cuaca hari ini sangat bagus, lelaki yang sudah berdandan rapi nampak tidak berhenti tersenyum sedari tadi, tersenyum secerah matahari yang menyinari bumi pagi ini. Dengan bunga di tangannya, Alden sungguh tidak sabar karena akan menemui tunangannya—dulu. Perjalanan yang cukup jauh dari rumah, karena Aira dimakamkan di kampung halamannya di Cianjur bersama mendiang papahnya.

Setibanya di sana, Alden langsung membersihkan makam yang sudah mulai banyak ditumbuhi tumbuhan kecil. Alden duduk di depan makam tersebut dan terus merapalkan doa-doa baik sebagai hadiah istimewa. Setelah doa dirapalkan, kini Alden mulai berceloteh.

“Halo, Aira? Apa kabar, sayang?” ungkap Alden sembari tangannya sibuk membersihkan makamnya.

“Halo, teh, ini Sarah, kangen banget tauu,” lirih Sarah pelan.

“Sudah hampir dua tahun aku gak pernah datang lagi ke sini, maaf ... aku terlalu sibuk,” “Aku datang sama Sarah adik aku, yang sebentar lagi akan menikah dengan laki-laki pilihannya, Jaffan,” “Pernikahannya lusa, Sarah datang sendiri untuk meminta restu sama kamu, karena bagaimanapun juga kamu sudah Sarah anggap sebagai keluarga sendiri ...” Alden menceritakan semuanya.

Mulai dari menceritakan adiknya Aira yang sudah berumur tiga tahun yan sudah mulai bisa berlari tanpa sering terjatuh, mampu makan sendiri menggunakan sendok, memakai pakaian sendiri dan kemampuan motorik yang lainnya, semua ini berhasil atas didikan seseorang yang hebat yaitu Ayah dan Ibunya. Alden menceritakan Ibu Farah dan Kavin bahwasannya mereka baik-baik saja, hubungan mereka semakin membaik setelah putri mereka Zaira Falisha lahir. Nama Aira Falisha tidak mereka lepas, mereka ingin anak pertamanya selalu ada di tengah keluarganya.

Selain menceritakan keluarganya, Alden juga menceritakan seseorang yang telah menjadi sahabat sampai sekarang, iya Araf. Araf sudah jadi orang yang hebat. Baru saja Araf sudah menyelesaikan S1 nya dan akan lanjut untuk koas dan sebagainya. Sesekali Araf ke sini dengan keluarganya namun, katanya dua tahun terakhir tidak bisa ke sini karena kesibukan mereka.

“A, udah?” tanya Sarah pelan sambil menepuk punggung Alden yang terus bergetar karena menangis. “A ....”

Alden beranjak dari duduknya.

“Aira ... sayang ... aku pamit ya? Mungkin sekitar satu tahun aku gak akan ke sini, aku mau menyelesaikan kuliah profesi di Australia. Kita akan bertemu lagi nanti, kalaupun aku lanjut S2 di sana, mungkin kita gak akan ketemu selama 3 tahun, ya? Gak apa-apa, kekuatan doa lebih dahsyat kan? Sesekali Sarah pasti ke sini kok buat membersihkan rumah kamu ini ...” “Aku pamit, ya?” “sampai ketemu nanti ... Aira Falisha ...” “Aku selalu sayang kamu, I Love You selalu.”

Dengan langkah kaki yang sangat berat, Alden rasanya tidak mampu meninggalkan Aira di sana sendirian. Namun, kerja keras Sarah dalam membujuk kakaknya tersebut, kini Alden mulai bisa pergi dari sana dengan ikhlas.

“A, gapapa kan?” tanya Sarah. “A? aku yang nyetir, ya?”

“Boleh, hati-hati,” “Aa capek, mau tidur selama perjalanan.”

“Iya ...”

Sarah menatap Kakaknya tersebut dengan Iba, Kakaknya tersebut belum benar-benar sembuh, hatinya selalu terluka seperti ini, ikhlas itu tidak mudah, Alden harus bertarung melawan diri sendiri untuk melakukanya.

-Nay.

Sarah sedang asyik bersantai di sofa sambil menonton televisi dengan tangan sibuk mengambil camilan. Samar-samar terdengar orang mengetuk pintu rumah, Sarah langsung membuka pintu tersebut.

“Lho? Kak Araf? Eh, bener, kan?” tanya Sarah memastikan.

“Iya, benar, Sarah,” balas Araf dengan senyum khasnya.

”Anjrit, Kak Araf ganteng banget?”

“Siapa, Cil?” timpal Alden dari arah dapur.

“Ya, tamu,” jawab Sarah singkat.

”....”

Alden dan Araf beradu pandang, canggung, dan juga serba salah.

Alden menjaga sikap di hadapan Sarah agar ketegangan diantara mereka tidak terlihat jelas.

“Cil, tolong bikinin kopi sama ada cemilan yang aa beli kemarin, terus anterin ke atas, ya?”

“Ke kamar? Kalian berdua?”

“Iya, kamu kan lagi nonton tv, takut ganggu, kita di atas aja, di balkon.”

“Oalah, siap laksanakan!”


Setelah Sarah mengantarkan jamuan, kini mereka berdua hanya saling diam tidak ada yang memulai pembicaraan.

Tidak lama kemudian, Araf memecah kesunyian tersebut. “Apa kabar, Den?” tanya Araf memberanikan diri menatap Alden yang kini raut mukanya tidak ada nampak kebencian padanya.

“Kalau lahir sih sehat, tapi kalau batin, ya gitu. Kalau lo, gimana? Sibuk banget keliatannya?” ungkap Alden sambil memegang cangkir kopi untuk meghangatkan tubuhnya.

“Iya, gitu, gue juga ...” “Bro! yang sabar, ya? Gue tau, lo itu kuat,” ucap Araf tiba-tiba dengan menepuk pundak Alden.

“Pelan-pelan sih, harusnya bisa,” lirih Alden dengan kepala yang menunduk ke bawah.

“Cinta kalian itu abadi, cinta sepanjang usia, maaf ... cinta yang di bawa sampai mati,” ucap Araf menghibur Alden.

“Sorry.”

“Buat?”

“Kalian kan belum putus, har—“

“Udah putus dari lama, Den. Aira yang minta, dulu. Walaupun gak ngobrol secara langsung, tapi gue baca semua chat dia, semua kekecewaan dia, emang dasar gue aja yang gila!” “Harusnya gue yang minta maaf, Den ... gue tau banget kalau lo suka Aira dari lama, sejak SMP. Tapi, gue juga jadi suka gara-gara lo sering nyeritain dia, pada akhirnya gue yang berhasil deketin Aira. Setelah itu, lo jadi menghindar dari gue—“

“Gak menghindar, gue malu, malu sama keluarga lo. Asal lo tau, setelah lo jadian sama Aira, ada satu kejadian lagi kalau keluarga gue nipu keluarga lo. Papi bawa uang perusahaan papa lo. Tapi, yang gue heran, kenapa keluarga lo gak pernah laporin kita ke polisi?”

“Gak bisa ....”

“Kenapa?”

“Keluarga gue juga ngerasa bersalah sama keluarga lo, Den. Lo gak salah kalau lo pernah nyebut gue pembunuh, memang kondisi seperti itu bisa disebut begitu. Karena, dulu papi lo mentingin gue buat masuk rumah sakit dan operasi duluan dibandingkan nyelamatin adik lo yang sama-sama lagi sekarat.”

”Sorry” “Ucapan gue waktu itu membuat lo keliatan buruk. Adik gue, udah takdirnya begitu, gak ada yang harus disesali dari kejadian itu, adik gue udah tenang di sana. Jadi, biar gak ada lagi yang mengganggu pikiran gue, uang yang di bawa kabur sama papi gue, gue lunasin minggu ini, Raf. Gue bakalan jual kafe berikut dengan tanahnya, gue pastikan lunas di minggu ini atau maksimal hari kedua di minggu berikutnya dipastikan selesai.”

“Den ... Udah gak usah, Den .... Alden!” Araf mulai menghentikan Alden yang sedari tadi bericara sambil mencari-cari sertifikat tanah yang di pakai untuk kafe.

“Iya tau gue telat buat bayar semua ini, tapi ini kesadaran keluarga kita, kita udah ngerencanain ini dari lama,” ucap Alden dengan nada suara yang lebih tinggi dari Araf.

“Bukan masalah telat atau enggaknya, masalahnya gue juga punya utang sama keluarga lo, utang yang lebih besar ... iya nyawa! Udahlah, Den ... jangan apa-apain itu kafe. Gue tau, kafe lo itu berguna juga buat Sarah, nanti kalau lo jual, Sarah kehilangan pekerjaannya, yang ada dia makin gak enak numpang di keluarga lo.”

“Jaga omongan lo, ya! Sarah itu udah gue anggap adik sendiri! Dan lo seenanknya ngomong numpang?”

“IYA! MAKANNYA LO DENGERIN GUE, DEN!!”

“Apa?!”

“Setidaknya dia gak canggung karena harus minta uang jajan atau minta kebutuhan yang dia pengen, karena dia punya upah sendiri dari kafe itu, Den. Lo harus mikir sampe situ. Perasaan orang gak ada yang tau. Lo bisa minta uang ke papi atau ke mami, tapi Sarah? Ayolah, Masalah utang harta kita saling bebaskan sekarang, keluarga lo udah gak ada utang apa-apa lagi sama keluarga gue, udah, selesai ....”

“Sebanyak itu—“

“Den, tolong. Gue mau hidup tenang, damai, gue pengen akrab lagi sama lo, gue pengen temenen lagi tanpa ada halangan diantara kita, gue pengen bebas.”

Perang adu mulut masih terus berlanjut, berlanjut dengan egonya masing-masing. Hingga, pada akhirnya tidak ada yang berkomentar lagi, kini mulai berdamai ... berdamai dengan masa lalu dan mulai memperbaki kesalahan lainnya satu persatu.

Hi, Araf, apa kabar? Pasti lagi sibuk, ya? Araf kan hebat anaknya. Boleh luangin waktu sebentar buat baca surat ini? harus bolehhh, ya.

Araf, kenapa kamu gak nengok aku ke rumah sakit, padahal setiap hari aku nunggu kamu loh. Sempet marah, kesal, tapi Araf kan sibuk juga, apalagi kuliah kedokteran.

Jadi inget, aku denger dari om Hendra, katanya kamu masuk kedokteran gara-gara aku, ya? Keinginan kamu buat ngobatin aku ya kan? Makasih banget loh raf, tapi timbal baliknya, masa muda kamu jadi sibuk kayak gini, pasti gak sempet nongkrong ya? Sekali-kali nongkrong gih biar gak stress hehe.

Araf, keinget satu lagi, kamu satu-satunya orang yang rela mau donorin sum-sum tulang belakang kamu buat aku, mendengar itu hati aku sempet sakit, ingin sekali marahin kamu, tapi jika di lihat dari sisi lain, ada satu ketulusan buat aku yang sebelumnya gak ada orang seperti kamu. Waktu itu aku marah besar sama kamu, waktu kita di rumah om hendra, ingat? Pulang dari sana aku menyesal karena udah mematahkan ketulusan kamu, kenapa aku gak ngomong baik-baik? Kenapa kesannya jadi memutus tali kekeluargaan kita? Ini semua salah aku, araf. Araf aku minta maaf ya, aku terlalu banyak salah. Aku gak marah kok sama kamu. Semua kebaikan kamu dulu ke aku, gak menjadikannya terkubur karena satu kesalahan. Aku pernah benci, tapi hanya sesaat. Kamu satu-satunya orang yang menguatkan aku waktu papah aku meninggal karena sakit keras, kamu yang menguatkan aku waktu Ibu menikah lagi. Kamu yang selalu mengurus aku karena sering sakit-sakitan, sampai pada akhirnya kamu pergi ke luar negri berusaha, itupun demi aku.

Araf, kamu udah aku anggap seperti keluarga sendiri, karena kamu selalu ada buat aku baik suka maupun duka. Semoga semua kebaikan kamu selama ini, menjadikan suatu kebahagiaan yang tanpa henti menghampirimu di masa depan.

Araf, sekali lagi aku minta maaf, ya?

Salam buat keluarga.

Aira.

Halo Alden kesayangan Aira, apa kabar? Harus selalu baik-baik aja, ya? Janji? Jangan sedih gitu dong, kan katanya asalkan aku sembuh, salah gak? Salah sih, karena aku gak ngertiin perasaan kamu. Aku hanya bisa minta maaf, aku sebagai makhluk hanya bisa mengikuti titah Tuhan saja, kan aku juga udah berusaha sebisa mungkin buat bisa hidup seperti kalian, tapi takdir berkata lain.

Alden kesayangan Aira, jangan lama-lama ya sedihnya? Kamu harus tetep hidup, menjalankan misi lainnya menuju hidup yang lebih bahagia. Kalau kamu berpikiran mau nyusul aku, aku marah besar loh. Tapi aku percaya, kamu itu laki-laki kuat yang pernah aku temui setelah papah. Ohiya, aku udah sama papah di sini, aku ceritakan semua tentang kamu, dan ayah gak berhenti bersyukur tauu. Makasih ya, udah hadir di hidup aku, walapun singkat, tapi ini sangat sangat berharga sekali, aku bahagia selama bersama kamu. Kamu terlalu sempurna buat aku, sayangnya aku gak bisa menggenggam tangan kamu lebih lama, mau sedih tapi sama aja aku gak nurut sama Tuhan. Sekarang aku udah ikhlas walaupun asalnya berat banget, tapi kalau ini yang terbaik kenapa gak kita turuti saja?

Alden kesayangan Aira, seperti yang aku bilang, kalau aku udah ikhlas dengan semuanya, termasuk diri kamu ... Alden di dunia ini cuman ada satu, awalnya berat, gak sanggup kalau kamu harus bersama wanita lain. Tapi aku sadar, sikap seperti inituh terlalu egois. Kamu harus tetap hidup, bahagia, bangkit dari keterpurukan. Cari wanita lain yang bisa menemanimu sampai tua, cari wanita yang bisa mengurus kamu dan anak-anak kamu nanti. Impian kita tentang membuat satu keluarga kecil dan bahagia, tolong wujudkan bersama wanita pilihan kamu itu. Pasti kamu dapet wanita yang jauh lebih baik dan lebih sempurna dari aku. Aku gak akan marah, atau menghantui kamu setiap malam? Konon katanya hantu perawan itu pendendam? Haha enggak kok, tenang aja, yang ada aku ikut bahagia.

Alden kesayangan Aira, makasih ya udah menemani aku sampai saat-saat terakhir aku ada di dunia ini, padahal kamu sendiri sedang capek karena beban kuliah yang makin banyak, belum lagi masalah keluarga, masalah bersama teman, itulah hidup. Tapi kamu tegar menahan semuanya, kamu selalu menunjukkan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Makasih ya, udah rela begadang demi ngejagain aku dari tidur sampai tidur lagi, makasih karena selalu menggenggam tangan aku, menguatkan, meyakinkan kalau ini cara Tuhan menyayangi aku. Makasih karena selalu tersenyum di hadapan aku, memikul cobaan ini berdua. Tuhan pasti membalas semua kebaikan dan ketulusan kamu.

Alden kesayangan Aira, harus kamu ingat, kalau nanti kamu menemukan wanita pilihanmu, tolong jangan ingat lagi tentang aku, sedih juga sih kalau bener-bener dilupakan. Maksud aku, fokuslah sama wanita kamu nanti, jangan ungkit tentang aku, jangan kamu bandingkan aku sama dia, aku berkata begini bukan jadi wanita yang ngerasa paling sempurna, aku yakin di luaran sana, banyak banget yang lebih dari aku, yakin. Hanya saja jangan sekali-kali kamu menyakiti wanitamu kelak.

Alden kesayangan Aira, andaikan aku dulu bertemu kamu lebih awal, pasti moment kita lebih banyak, pasti hari-hari itu lebihhh berharga, eh ... lupa ... kita sebagai manusia gak boleh mengatakan seandainya, ya? Maaf. Karena aku terlalu bersyukur mengenal kamu, makannya aku berpikiran seperti tadi.

Alden kesayangan Aira, kita berpisah di sini ya? Ini cincinnya aku kasih lagi sama kamu, semoga cincin ini segera menemukan jari manis wanita yang tepat dan terbaik. Aku kembalikan cincin indah ini, jaga baik-baik sampai menemukan pengganti yang jauh lebih baik. Aku tunggu kabar baiknya, ya?

Selamat tinggal kesayangan Aira, ALDEN RAJENDRA.

#Kembali

Sendirian di ruang gelap, terduduk di sudut ruangan tanpa ditemani seorang pun, mengeluarkan semua kesedihan yang dipendam selama bersama Aira. Rasa sesak yang di rasa, tidak sepenuhnya bisa dikeluarkan lewat tangisan, sehingga timbulah rasa kesal dan berpikir untuk menyusul kekasihnya tersebut.

Satu botol minuman keras dipegangnya, namun Alden belum menenggak sedikit pun. Dia sadar bahwa dia tidak kuat meminum minuman seperti ini walaupun sedikit. Masih berpikir jernih, karena di ruangan ini Alden mengunci diri sendiri di dalam kafe, sehingga kalau dipaksakan minum, maka siapa yang akan mengurusnya.

Tiba-tiba terdengar seseorang membuka pintu tersebut, kemudian menghampiri ke arah Alden duduk. Alden menyadari, namun Alden mengabaikan kedatangan seseorang tersebut dengan mata yang terus menunduk melihat minuman yang ia pegang.

“Kenapa diliatin doang? Kenapa gak di minum?”

Akhirnya alden melihat seseorang tersebut, setelah itu menunduk kembali dan terus menjatuhkan air mata yang seakan tidak mau berhenti mengalir.

Seseorang tersebut menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan Alden, dengan pelan mengambil minuman dari genggamannya kemudian menyimpannya di tempat agak jauh dari posisi Alden sekarang. Setelah itu dipeluknya tubuh Alden lalu berbisik lembut, “Gapapa, aku di sini, kalau mau nangis-nangis aja,” lirih seseorang tersebut sambil menepuk punggung Alden pelan yang terus bergetar karena menangis.

“Rah …,” ungkap Alden dengan suara seperti tercekik, susah untuk di keluarkan.

“Hmm?”

“Aira … .”

“Kalau kayak gini caranya, Teh Aira, perginya gak akan tenang loh,” balas Sarah pelan.

“Pengen nyusul, boleh?” tanya Alden pasrah.

Sarah hanya terdiam, dan terus menenangkan yang sudah dia anggap seperti kakak kandungnya sendiri.

Terus menenangkan, sampai pada akhirnya Sarah melihat satu botol obat yang isinya pil di saku jaket hitam Alden, kemudian diambilnya. Melepaskan pelukan dengan kasar, kemudian Sarah membanting botol tersebut dengan keras ke arah sana tepatnya ke dekat pintu belakang di kafe tersebut sehingga isinya berhamburan ke mana-mana.

“Ck, bisa-bisanya?! Kapan beli ini?!” “TOLONG SADAR A, TOLONGG!!!” “Inge—“ ucapan Sarah terhenti ketika dilihatnya tubuh Alden semakin bergetar karena tangisan yang tidak dapat berhenti.

Sarah kembali merengkuh tubuh lemah Alden, kemudian menenangkannya kembali. “Pulang sekarang, mau ya?” ucap Sarah dengan penuh harap.

“Lagi pengen sendiri dulu, pengen nenangin diri dulu di sini,” lirih Alden yang terus terisak dalam tangisnya.

“Mami sama papi udah khawatir loh … .”

“Tetep mau di sini, Rah … .”

“Okay, aku juga tidur di sini aja nemenin aa,” ungkap Sarah memaksa.

“Rah … .”

“Ya gak apa-apa, masa aku ninggalin aa sendirian? Yakali,” ungkap Sarah tulus.

“…”

“Rah … di sini dingin, kamu pulang aja,”

“Gak apa-apa, beneran,” tegas Sarah.

“Rah …”

“Apaaa?! Gak usah khawatir, kalau mau di sini ya silakan, aku tidur di mesh aja kalau aa mau di sini,” ungkap sarah sambil membuka jaketnya untuk ia gantung.

“Kita pulang aja,” ucap Alden singkat dan meyakinkan.

“Aku beneran gak apa-apa, kan lagi pengen sendiri dulu, maaf karena aku gak ngertiin perasaan aa, maaf …”

“Tiba-tiba, aa kangen mami sama papi,”

Sarah hanya melirik ke arah Alden dengan heran.

“Yuk, pulang aja.” Alden beranjak dari duduknya, dan pergi ke rumah bersama Sarah.

“Beneran?” Sarah meyakinkan kembali.

Alden hanya mengangguk.

“Aku gak maksa loh,” ungkap sarah sambil mengambil jaket yang baru saja ia gantung.

Tanpa mendengar balasan dari Alden, kini Sarah hanya bisa mengikuti kemauannya yang sudah terlebih dulu ke luar kafe tersebut.

#1

Alden masih berkutat dengan handphone-nya mengirim pesan kepada teman dan saudara, meminta doa untuk kesembuhan tunangannya tersebut.

“Alden kenapa belum tidur?” tanya Aira lemas.

Alden terperanjat, seketika handphone-nya langsung ia simpan ke dalam saku celana.

“Udah bangun? Kenapa? Pengen apa?” tanya Alden sambil menyelimuti Aira.

“Gapapa. Ibu mana?”

“Ketemu Om Hendra dulu.”

Tidak lama kemudian Farah datang dengan tangan yang sibuk membawa selimut kecil kiriman dari bibi, ART-nya Farah.

“Alden ... makan dulu gih di ruangan Hendra, kasian kamu baru sekali makan dari pagi,” pinta Farah.

“Belum laper, Bu,” balas Alden.

“A, paksain dulu aja.”

Baru saja Alden berniat untuk menghampiri Hendra, namun Aira menarik ujung kemeja yang Alden kenakan.

“Mau, ke mana?” tanya Aira pelan.

“Hmm? Sebentar ya? Gak akan lama kok.”

“Jangan ... jangan ke mana-mana ...”

Alden menoleh ke arah Farah.

“Biar Ibu saja yang ambilkan ya, A? sepertinya Aira gak mau di tinggal kamu.”

“Gak usah, Bu ....”

“Ibu ... jangan pergi ...” pinta Aira.

Farah menatap Alden.

“Gak apa-apa, Bu. Kita ikuti saja permintaan Kakak.”

“Minum sama makan roti aja dulu ya? Yang penting kamu ada makan, walaupun sedikit.”

Alden mengangguk, sementara Farah mebawa kursi untuk duduk di dekat ranjang Aira.

“Ibu duduk di sofa aja, pegel pasti, apalagi lagi mengandung.”

“Boleh?”

“Iya, Ibu istirahat dulu, biar Alden yang jaga Aira, boleh kan, sayang?” pinta Alden kemudian menatap Aira.

Aira mengangguk tanda setuju.

Tangan Alden, Aira genggam seolah-olah tidak mau lepas.

“Alden .... .”

“Ya? Kenapa? Pengen sesuatu?”

“Pengen mandi.”

“Kan lagi sakit, nanti lagi aja ya? Mana sekarang udah malem gini.”

“Gak enak badan, Alden ... .”

“Di lap pake lap basah air hangat, mau?”

“Pengen mandi ... .”

Mendengar itu, Farah yang baru saja istirahat, kini menghampiri Aira kembali.

“Di lap aja, ya, Kak? Biar Alden siapkan, nanti Ibu yang lakuin, segernya sama seperti mandi kok.”

Seperti halnya bayi yang baru saja di mandikan, timbulah rasa kantuk dan kini Aira terlelap dalam tidurnya. Aira tidur tanpa melepaskan genggaman tangan Alden.

Perlahan terdengar isakan pedih seorang Ibu yang sudah putus asa dan pasrah atas semua kejadian ini.

“Bu?” Alden menghampiri Farah dengan melepaskan genggaman tangan Aira pelan.

Isakan Farah semakin terdengar keras dan pilu. “Takut ...” lirih Farah pasrah.

“Ibu pasti kuat menghadapi ini, jangan berpikiran aneh-aneh dulu, ya? Keadaan Kakak pasti lebih baik nanti,” ungkap Alden berpura-pura kuat padahal hatinya ingin sekali menangis.

Sudah lewat pukul tiga pagi hari, Alden dan Farah belum juga tidur. Masih setia menunggu Aira agar tidak terjadi apa-apa.

Namun, tiba-tiba terdengar suara nafas mendengkur dari arah Aira. Farah langsung menitikkan air mata setelah beberapa menit yang lalu pelupuk matanya mulai kering, kini basah kembali. Dengan cepat menghampiri Aira dan menepuk pipinya pelan.

“KAKAK! BANGUN, SAYANG, BANGUN!, JANGAN TINGGALIN IBU, NAK?”

Alden yang sedang duduk termenung di depan Aira pun terperanjat, sebenarnya apa yang terjadi?

“KAK! BANGUN NAK! TUHAAN, BAGAIMANA INI? SAYANG BANGUNNN!”

“Bu ... .”

Pundak Farah semakin bergetar naik turun, kisah lama terulang kembali dimana dulu mendiang suaminya juga mendengkur sebelum meninggal.

“AIRA FALISHA! GAKKK, KAMU HARUS BANGUN, NAK! IBU GAK PUNYA SIAPA-SIAPA LAGI.” Farah menangis sejadi-jadinya, berteriak, dan terus menggerakan tubuh dan terus memeluknya.

“Bu ... gak mungkin, gak mungkin secepat ini ...”

“Ra ... gak mungkin secepat ini kan?” lirih Alden. Tubuhnya melemas dan mulai kehilangan keseimbangan.

Tidak lama kemudian Hendra masuk setelah mendengar Farah menangis.

“Farah, tenang dulu, banyak berdoa dulu ya?” pinta Hendra.

“Hendraa ... tolong anak aku ... aku cuman punya Kakak ...” lirih Farah pasrah.

“Aira, sayang?” Hendra berusaha membangunkan tubuh Aira.

“Kalau hanya tidur, harusnya bangun, Ndra ...” tangisan Farah semakin menjadi.

Sedangkan Alden masih tidak menyangka dengan kejadian ini, pertahanan Alden semakin runtuh, telah sampai pada titik paling menyakitkan, hingga tidak sadar sudah meluruhkan cairan bening dari pelupuk matanya.

“Ra ... .”

Ketika Hendra sedang mengurus Aira, giliran Farah yang menenangkan dengan merengkuh tubuh Alden “Aa harus ikhlas ya? Berdoa supaya Kakak dimudahkan dalam sakaratul mautnya.”

“Buu ... secepat ini? tadi Kakak masih ngobrol loh sama kita ...” lirih Alden dan air matanya mulai mengalir deras.

Ditengah itu, Aira terbatuk hingga tidak lagi mendengkur, matanya sudah mulai kembali terbuka.

“Syukurlah ... ” ungkap Hendra bernapas lega.

“Kakak ... .”

“Aira ... .”

“Kavin mana?” tiba-tiba Hendra menanyakan keberadaanya.

Farah hanya menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, ndra.”

“Ayah ... Ayah ... mana ... ” ungkap Aira pelan, sangat pelan namun Hendra masih mengerti.

“Rah ... Kakak nanyain Kavin! Cepat telfon dia.”

“Airaa?”

“Alden ... .”

“Iya, ini aku, kenapa? Sakit?”

“Ayah mana ...”

Alden melihat ke arah Farah, “Bu ... .”

Karena ini permintaan Aira, Farah langsung menelfon Kavin, untungnya langsung di angkat.

“Halo? Mas?”

“Kenapa sayang?”

“Masih mentingin kerjaan? Padahal anak lagi sekarat?!”

“Sayang ... .”

“Kalau masih punya hati nurani, tolong ke rs sekarang!”

“Mas, di Jal—“

“Tuut ... tuut ...” Farah lansung mematikan telfonnya.

Melihat situasi ini Alden langsung mengerti.

“Raa ... Ayahnya lagi di jalan, sebentar ya?”

Aira mengangguk pelan.

“Kak? Kalau Ayah gak ke sini, jangan sedih ya? Tau sendiri kan, kalau Ayah itu sayang banget sama Kakak ...”

Tidak ada jawaban dari Aira.

Dengan penuh emosi, Hendra menunggu kedatangan Kavin di kursi tunggu tempat Aira di rawat. Bisa-bisanya di saat seperti ini, malah mementingkan pekerjaan. Tidak lama kemudian Kavin datang dengan penuh keringat di wajahnya, sepertinya Kavin berlari melewati tangga, dikarenakan lift selalu penuh.

“Anjing! Dari mana aja lo?” pekik Hendra sambil menarik kerah kemeja Kavin.

“Lepas!! Gak mau ribut, anak gue lagi sakit.”

“Anak lo? Tumben?”

“Ck.”

Kavin masuk ke dalam ruangan, dan langsung mencari Aira yang diikuti oleh Hendra di belakangnya.

“Kak? Ini Ayah, Nak ... maafkan Ayah ...” “Harusnya kemarin Ayah sampe ke sini, tapi ada masalah waktu mau penerbangan,” “Maaf ... maafkan Ayah ya, Nak?”

“Pe ... pesan ...” ungkap Aira.

“Iya, Ayah sudah baca semua pesan Kakak, Ayah janji sama Kakak, Ayah bakalan ngelakuin apa yang semua Kakak minta, tapi tolong, kuat ya? Kakak harus ngumpul lagi bareng ayah di rumah, sarapan bareng, dan Ayah mau jadi Ayah yang baik buat Kakak, jadi tolong ...” lirih Kavin yang kini posisinya lutut menyentuh lantai dan mulai menangis sambil menggenggam tangan mungil Aira.

“Ayah ... capek ...” ungkap Aira.

“Kalau Kakak sudah gak kuat lagi, Kakak boleh nyerah, kita semua di sini sudah ikhlas. Alden, Ibu, Om Hendra di sini sudah ikhlas, asal Kakak gak ngerasain sakit lagi ... .”

“Mas ... .”

Mendengar semua ucapan itu, Aira langsung menarik nafas dan memejamkan mata kemudian tertidur.

“KAKAK!”

“AIRA!”

“Gak apa-apa Farah, Alden. Aira hanya tertidur, Aira masih bersama kita,” ungkap Hendra.

#2

Semua teman-teman Aira dan Alden kini sudah sampai di depan ruangan pasien. Namun, mereka tidak bisa langsung masuk begitu saja, karena yang boleh masuk ke dalam itu dilakukan secara bergiliran.

“Loh kok ada Araf di sini?” ungkap Celyn heran.

“Keluarganya kenal sama Aira,” balas Jaffan.

“Kok bisa? Airanya kenal Araf berarti?” tanya Celyn kembali.

“Mana aku tau,” balas Jaffan singkat.


“Bagaimana bisa Kakak tanpa alat bantu, Ndra? Kamu gak mau ngobatin anak aku? Dia lagi kesakitan, Ndra ...” tanya Farah.

“Om, mohon, tolong ...” sambung Alden dengan kondisi yang sudah kacau.

“Farah ... Alden ... kalau kalian punya permintaan dari pasien, dan dia mengeluhkan sakit yang luar biasa, apakah kalian tetap akan melakukan itu? Dia sendiri sudah pasrah, ikhlas ... dan pertolongan sudah kami kerahkan semua, kami hanya seorang dokter, kami manusia biasa, sisanya Tuhan yang tentukan ... maaf ....” ungkap Hendra yang sama rapuhnya.

“Tapi, Kakak udah gak bisa ngenalin kita, dia gak inget siapa-siapa. Apakah kamu sanggup, kalau anak kamu sendiri gak mengenali kita sebagai orang tuanya? Jawab Hendra! Jawab!” “Apakah kamu sanggup, mengalami keadaan menyakitkan ini dua kali? Papahnya Kakak sudah cukup! Kenapa sekarang harus Kakak?!”

Dengan cepat Hendra menguatkan Farah, memberikan pengertian sebisa mungkin, sedangkan Kavin terus menenangkan Alden yang sudah mulai tak terkendali.

“Nak, boleh sedih, nangis, tapi jangan putus asa ya? Mungkin ini jalan terbaik buat Kakak ...” ungkap Kavin terus menyadarkan Alden yang kini sudah terduduk di lantai, tidak ada kekuatan, kakinya sudah tidak bisa menopang tubuhnya karena lemas.

“Yah ... sesakk ... sakittt ... “ungkap Alden yang terus menerus memukul dadanya sendiri.

Tidak lama dari itu keluarga Sahlan datang untuk membesuk Aira yang keadaanya sudah parah. “Sepertinya sudah melebihi kapasitas, saya dan Yumna akan tetap di luar saja, tolong biarkan Araf masuk ke dalam, saya mohon ...” pinta Sahlan terhadap perawat yang ada di sana.

“Araf? Araf ...” lirih Aira dengan suara samar-samar hampir tidak terdengar.

Karena Hendra sibuk menenangkan Farah, kini Aira ditangani oleh Alvin.

“Ada yang bernama Araf di sini?” tanya Alvin tiba-tiba.

Semua terkejut atas pernyataan Alvin.

“Saya sendiri, Dok,” jawab Araf kemudian menghampiri Aira.

“Araf ... .”

“Ini aku, Araf ... kenapa Aira?”

“Papah ... Papah ... .”

“Hmm?”

“Papah ... .”

Araf kini mulai menitikkan air mata, entahlah jiwa Aira masih ada atau sudah pergi, Aira hanya mengingat kejadian dahulu yang menurutnya sangat menyakitkan. “Ra ...” lirih Araf. Araf menatapnya iba, menyisir rambutnya yang sudah menipis akibat efek samping dari kemoterapi. “Ra ... Papah kan udah sembuh dari lama, sekarang udah gak sakit lagi, sekarang papah udah bahagia,” “Maka dari itu, Aira juga harus sembuh ya?”

“Papah ... .”

“Nak Alden, sini Nak ...” pinta Alvin sambil membopong tubuh Alden yang sudah tidak berdaya untuk mendekat ke arah Aira.

Digenggamnya tangan Aira oleh Alden yang sudah mulai dingin, detak jantung yang semakin cepat namun nadi yang sudah mulai melemah, serta seluruh tubuhnya bergetar hebat menandakan rohnya sudah keluar dari tubuhnya ...

“RA! AIRA!”

Air mata Alden mengalir semakin deras, sakit ... sakit ... terlampau sakit, memukul dada terus menerus dan kini tubuhnya ambruk tak berdaya.


Teman-teman Aira masih setia menunggu di luar, namun dari dalam sana terdengar suara orang-orang sedang menangis, namun mereka masih berpikiran positif mungkin mereka menangis karena sakitnya Aira semakin parah.

Namun, tiba-tiba Alvin membukakan pintu dan langsung menghampiri Jaffan, anaknya. “Pah ...” ungkap Jaffan.

“Alden di dalam, tolong kuatkan dia ya? Orang tuanya masih dalam perjalanan ke sini.”

“Pah ...”

“Papah harus segera mengurus jenazah Aira.”

Mendengar itu, Celyn, Una , dan Lia mulai memeluk satu sama lain, menangis sejadi-jadinya karena kini temannya sudah tiada. Sedangkan Jaffan berlari untuk masuk ke dalam dan menenangkan Alden di sana.

Terima kasih karena sudah hadir di hidup aku, terima kasih karena sudah menjadi sumber kebahagiaanku selama ini, saatnya kamu beristirahat dengan tenang bersama Papaphmu. Papahnya Aira ... aku titip kembali malikat kecilku ini, tunggu aku di sana ya? Selamat jalan Aira, kekasihku ... .

#1

Sebelumnya di malam hari

Alden masih berkutat dengan handphone-nya mengirim pesan kepada teman dan saudara, meminta doa untuk kesembuhan tunangannya tersebut.

“Alden kenapa belum tidur?” tanya Aira lemas.

Alden terperanjat, seketika handphone-nya langsung ia simpan ke dalam saku celana.

“Udah bangun? Kenapa? Pengen apa?” tanya Alden sambil menyelimuti Aira.

“Gapapa. Ibu mana?”

“Ketemu Om Hendra dulu.”

Tidak lama kemudian Farah datang dengan tangan yang sibuk membawa selimut kecil kiriman dari bibi, ART-nya Farah.

“Alden ... makan dulu gih di ruangan Hendra, kasian kamu baru sekali makan dari pagi,” pinta Farah.

“Belum laper, Bu,” balas Alden.

“A, paksain dulu aja.”

Baru saja Alden berniat untuk menghampiri Hendra, namun Aira menarik ujung kemeja yang Alden kenakan.

“Mau, ke mana?” tanya Aira pelan.

“Hmm? Sebentar ya? Gak akan lama kok.”

“Jangan ... jangan ke mana-mana ...”

Alden menoleh ke arah Farah.

“Biar Ibu saja yang ambilkan ya, A? sepertinya Aira gak mau di tinggal kamu.”

“Gak usah, Bu ....”

“Ibu ... jangan pergi ...” pinta Aira.

Farah menatap Alden.

“Gak apa-apa, Bu. Kita ikuti saja permintaan Kakak.”

“Minum sama makan roti aja dulu ya? Yang penting kamu ada makan, walaupun sedikit.”

Alden mengangguk, sementara Farah mebawa kursi untuk duduk di dekat ranjang Aira.

“Ibu duduk di sofa aja, pegel pasti, apalagi lagi mengandung.”

“Boleh?”

“Iya, Ibu istirahat dulu, biar Alden yang jaga Aira, boleh kan, sayang?” pinta Alden kemudian menatap Aira.

Aira mengangguk tanda setuju.

Tangan Alden, Aira genggam seolah-olah tidak mau lepas.

“Alden .... .”

“Ya? Kenapa? Pengen sesuatu?”

“Pengen mandi.”

“Kan lagi sakit, nanti lagi aja ya? Mana sekarang udah malem gini.”

“Gak enak badan, Alden ... .”

“Di lap pake lap basah air hangat, mau?”

“Pengen mandi ... .”

Mendengar itu, Farah yang baru saja istirahat, kini menghampiri Aira kembali.

“Di lap aja, ya, Kak? Biar Alden siapkan, nanti Ibu yang lakuin, segernya sama seperti mandi kok.”

Seperti halnya bayi yang baru saja di mandikan, timbulah rasa kantuk dan kini Aira terlelap dalam tidurnya. Aira tidur tanpa melepaskan genggaman tangan Alden.

Perlahan terdengar isakan pedih seorang Ibu yang sudah putus asa dan pasrah atas semua kejadian ini.

“Bu?” Alden menghampiri Farah dengan melepaskan genggaman tangan Aira pelan.

Isakan Farah semakin terdengar keras dan pilu. “Takut ...” lirih Farah pasrah.

“Ibu pasti kuat menghadapi ini, jangan berpikiran aneh-aneh dulu, ya? Keadaan Kakak pasti lebih baik nanti,” ungkap Alden berpura-pura kuat padahal hatinya ingin sekali menangis.


Sudah lewat pukul tiga pagi hari, Alden dan Farah belum juga tidur. Masih setia menunggu Aira agar tidak terjadi apa-apa.

Namun, tiba-tiba terdengar suara nafas mendengkur dari arah Aira. Farah langsung menitikkan air mata setelah beberapa menit yang lalu pelupuk matanya mulai kering, kini basah kembali. Dengan cepat menghampiri Aira dan menepuk pipinya pelan.

“KAKAK! BANGUN, SAYANG, BANGUN!, JANGAN TINGGALIN IBU, NAK?”

Alden yang sedang duduk termenung di depan Aira pun terperanjat, sebenarnya apa yang terjadi?

“KAK! BANGUN NAK! TUHAAN, BAGAIMANA INI? SAYANG BANGUNNN!”

“Bu ... .”

Pundak Farah semakin bergetar naik turun, kisah lama terulang kembali dimana dulu mendiang suaminya juga mendengkur sebelum meninggal.

“AIRA FALISHA! GAKKK, KAMU HARUS BANGUN, NAK! IBU GAK PUNYA SIAPA-SIAPA LAGI.” Farah menangis sejadi-jadinya, berteriak, dan terus menggerakan tubuh dan terus memeluknya.

“Bu ... gak mungkin, gak mungkin secepat ini ...”

“Ra ... gak mungkin secepat ini kan?” lirih Alden. Tubuhnya melemas dan mulai kehilangan keseimbangan.

Tidak lama kemudian Hendra masuk setelah mendengar Farah menangis.

“Farah, tenang dulu, banyak berdoa dulu ya?” pinta Hendra.

“Hendraa ... tolong anak aku ... aku cuman punya Kakak ...” lirih Farah pasrah.

“Aira, sayang?” Hendra berusaha membangunkan tubuh Aira.

“Kalau hanya tidur, harusnya bangun, Ndra ...” tangisan Farah semakin menjadi.

Sedangkan Alden masih tidak menyangka dengan kejadian ini, pertahanan Alden semakin runtuh, telah sampai pada titik paling menyakitkan, hingga tidak sadar sudah meluruhkan cairan bening dari pelupuk matanya.

“Ra ... .”

Ketika Hendra sedang mengurus Aira, giliran Farah yang menenangkan dengan merengkuh tubuh Alden “Aa harus ikhlas ya? Berdoa supaya Kakak dimudahkan dalam sakaratul mautnya.”

“Buu ... secepat ini? tadi Kakak masih ngobrol loh sama kita ...” lirih Alden dan air matanya mulai mengalir deras.

Ditengah itu, Aira terbatuk hingga tidak lagi mendengkur, matanya sudah mulai kembali terbuka.

“Syukurlah ... ” ungkap Hendra bernapas lega.

“Kakak ... .”

“Aira ... .”

“Kavin mana?” tiba-tiba Hendra menanyakan keberadaanya.

Farah hanya menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, ndra.”

“Ayah ... Ayah ... mana ... ” ungkap Aira pelan, sangat pelan namun Hendra masih mengerti.

“Rah ... Kakak nanyain Kavin! Cepat telfon dia.”

“Airaa?”

“Alden ... .”

“Iya, ini aku, kenapa? Sakit?”

“Ayah mana ...”

Alden melihat ke arah Farah, “Bu ... .”

Karena ini permintaan Aira, Farah langsung menelfon Kavin, untungnya langsung di angkat.

“Halo? Mas?”

“Kenapa sayang?”

“Masih mentingin kerjaan? Padahal anak lagi sekarat?!”

“Sayang ... .”

“Kalau masih punya hati nurani, tolong ke rs sekarang!”

“Mas, di Jal—“

“Tuut ... tuut ...” Farah lansung mematikan telfonnya.

Melihat situasi ini Alden langsung mengerti.

“Raa ... Ayahnya lagi di jalan, sebentar ya?”

Aira mengangguk pelan.

“Kak? Kalau Ayah gak ke sini, jangan sedih ya? Tau sendiri kan, kalau Ayah itu sayang banget sama Kakak ...”

Tidak ada jawaban dari Aira.


Dengan penuh emosi, Hendra menunggu kedatangan Kavin di kursi tunggu tempat Aira di rawat. Bisa-bisanya di saat seperti ini, malah mementingkan pekerjaan. Tidak lama kemudian Kavin datang dengan penuh keringat di wajahnya, sepertinya Kavin berlari melewati tangga, dikarenakan lift selalu penuh.

“Anjing! Dari mana aja lo?” pekik Hendra sambil menarik kerah kemeja Kavin.

“Lepas!! Gak mau ribut, anak gue lagi sakit.”

“Anak lo? Tumben?”

“Ck.”

Kavin masuk ke dalam ruangan, dan langsung mencari Aira yang diikuti oleh Hendra di belakangnya.

“Kak? Ini Ayah, Nak ... maafkan Ayah ...” “Harusnya kemarin Ayah sampe ke sini, tapi ada masalah waktu mau penerbangan,” “Maaf ... maafkan Ayah ya, Nak?”

“Pe ... pesan ...” ungkap Aira.

“Iya, Ayah sudah baca semua pesan Kakak, Ayah janji sama Kakak, Ayah bakalan ngelakuin apa yang semua Kakak minta, tapi tolong, kuat ya? Kakak harus ngumpul lagi bareng ayah di rumah, sarapan bareng, dan Ayah mau jadi Ayah yang baik buat Kakak, jadi tolong ...” lirih Kavin yang kini posisinya lutut menyentuh lantai dan mulai menangis sambil menggenggam tangan mungil Aira.

“Ayah ... capek ...” ungkap Aira.

“Kalau Kakak sudah gak kuat lagi, Kakak boleh nyerah, kita semua di sini sudah ikhlas. Alden, Ibu, Om Hendra di sini sudah ikhlas, asal Kakak gak ngerasain sakit lagi ... .”

“Mas ... .”

Mendengar semua ucapan itu, Aira langsung menarik nafas dan memejamkan mata kemudian tertidur.

“KAKAK!”

“AIRA!”

“Gak apa-apa Farah, Alden. Aira hanya tertidur, Aira masih bersama kita,” ungkap Hendra.

Sempat ragu dalam membuat keputusan, akhirnya dirinya membuat satu pilihan yang ia yakini bahwa ini adalah keputusan yang terbaik. Alden yang baru saja selesai melakukan praktikum dengan keringat yang masih bercucuran karena sibuknya kegiatan praktikum yang dituntut harus gesit. Dengan cepat ia melajukan mobil dan meninggalkan kampus tersebut.

Setelah sampai, dilihatnya seorang wanita yang sedang duduk menunduk seakan-akan pasrah pada semesta yang seakan-akan tidak pernah memihaknya, menangis dan terisak pelan.

“Bu ... ini Alden.”

Mendengar itu, Farah langsung menangis sejadi-jadinya. Sedari tadi menahan tangis sendirian, kini Farah merasa menemukan sandaran dengan kehadirannya.

“Terima kasih sudah datang, Nak,” “Kakak ... “ “Kakak masih belum bangun ... “ lirih Farah di tengah isakannya.

Rasanya ingin sekali Alden mengatakan tidak apa-apa terhadap Farah. Namun, setelah melihat kenyataanya, apakah kalimat tersebut tepat? Alden hanya bisa menepuk bahunya, berharap bisa menenangkan jiwanya yang tengah rapuh.

Ketika dirinya sudah mulai tenang, Farah mulai berbicara kembali. Berbicara sambil menunduk pasrah.

“Padahal kemarin, Kakak masih baik-baik aja, masih bercerita ... Kakak bercerita banyak seperti gak kehabisan topik. Mulai dari keseruannya masuk kuliah, menceritakan semua teman-temannya, menceritakan Nak Alden ... .”

Alden yang menunduk, mengangkat kepalanya menatap Farah ketika nama dirinya disebutkan.

“Tapi anehnya, Ibu gak bosan mendengar ceritanya. Dari semua yang Kakak ceritakan, tidak ada keburukan yang ia katakan. Semua kebaikan-kebaikannya Kakak ceritakan. Ibu bersyukur sekali, karena temen-temannya sangat baik memperlakukan Kakak.”

“Tapi ... . “ Lirih Farah.

Alden menatap iba Ke arah Farah.

“Akhir-akhir ini gelagatnya aneh ... “Suara Farah mulai bergetar. “Tidak seperti biasanya kakak manja, membuntuti Ibu kemanapun pergi,” “Tiba-tiba menceritakan Papahnya, bahkan tidur juga sambil memeluk foto Papahnya waku masih ada,” “Mungkin saja Kakak memang selalu bersikap seperti ini, ketika Ibu dan Ayah Kavin sedang pergi,” “Tapi, rasanya gak biasa ... atau karena Ibu yang selalu meninggalkan Kakak sendirian, membuat Ibu gak kenal lagi sama kebiasaannya Kakak,” “Ibu rasa, Ibu terlalu berpikiran buruk .... maaf ... Ibu gak bermaksud apa-apa, maaf ... . ”

“Buuu ... .”

“Ini semua gara-gara Ibu, Nak,” “Ibu sering meninggalkan Kakak sendirian, memikirkan kesenangan pribadi, tanpa tahu ada orang yang lagi kesepian bahkan menahan sakit sendirian,” “Ibu tidak pantas dapat pengampunan dari Kakak ... . “

“Ibu jangan berbicara seperti itu, Kalau Kakak dengar ini, pasti sedih banget lho,” ungkap Alden sambil terus menenangkan Farah.

“Makasih ya Nak, makasih selalu ada buat Kakak, mau nerima kekurangan Kakak,” “Kakak adalah orang yang beruntung bisa bertemu orang seperti Kamu, Nak.”

“Buu ... udah ya? Kita semua beruntung, bahkan saling menguatkan sampai detik ini,” “Kita tunggu Kakak bentar lagi, pasti Kakak ngumpul lagi bareng kita.”

Farah hanya mengangguk pelan sambil terus memegang dadanya yang semakin sesak.


Tidak lama kemudian, pintu UGD terbuka.

“Eh ada Alden? Pantesan Aira bangun,” celetuk Hendra sambil menghampiri keduanya yang sedang duduk di kursi tunggu.

“Ndra? Kakak udah bangun?”

“Iya, bentar ya, kita pindahkan dulu ke bangsal umum.”

“VIP aja, Ndra.”

“Siap, tunggu, ya?”

Alden dan Farah mengikuti Hendra.

Dilihatnya Aira yang tengah berbaring lemah tak berdaya, hanya saja matanya sudah mulai terbuka dan tangannya sudah mulai ada pergerakan.

“Sayang ... .” ucap batin Alden.

“Di sini aja ya? Saya pesankan khusus, apasih yang enggak buat anak saya.” Seperti biasa Hendra selalu mengoceh seakan-akan Aira adalah puteri kandungnya.

“Kak ... sayang ... gimana? Masih kerasa ada yang sakit?” tanya Farah sembari mengecek semua keadaan tubuh anak sulungnya tersebut.

“Farah, Kakak udah membaik kok,” “Farah ... Kondisi kamu itu gak boleh stres seperti ini, kasihan bayinya,” “Rah ... Denger saya ngomong gak?” tegas Hendra.

“Bu?” panggil Alden tiba-tiba.

Farah langsung menoleh ke arah Alden.

“Kenapa, Nak?”

“Ibu ikut dulu Om Hendra, ya? Kakak, biar Alden yang jaga,” “Ibu belum sarapan, kan?”

“Rah ... saya sudah bela-belain titip ke perawat yang mau ke supermarket bawah, buat beli susu Ibu hamil, yuk ikut dulu bentar, ya?” pinta Hendra.

“Iya ... “ balas Farah, terpaksa mengikuti perintahnya.

“Alden, titip Aira sebentar ya?” “Jangan paksa buat ngobrol terlalu banyak, pelan-pelan aja dulu, Aira masih lemah,” pinta Hendra terhadap Alden.

“Iya Om.”

Alden langsung membawa kursi dan duduk di sebelah ranjang Aira. Aira tersenyum ke arah Alden.

“Kenapa ngeliatin terus? Ganteng, ya?” ujar Alden sambil memegang tangan lembut Aira.

Aira hanya tersenyum.

“Alden ... “ panggil Aira dengan suara sangat kecil, namun dapat dimengerti oleh Alden.

“Kenapa, sayang? Lagi pengen sesuatu? Atau ada yang sakit?” sahut Alden dengan tanggap.

“Udah makan? Makan dulu sama Ibu,” pinta Aira pelan.

“Udah sempet sarapan tadi sebelum kuliah,” “Jangan coba usir aku, yang. Aku tetep mau di sini, nemenin kamu.”

Aira hannya bisa tertawa melihat raut muka Alden yang menggemaskan untuk di lihat.

“Yang ... makasih ya, makasih udah mau bangun, sekarang tinggal nunggu pulihnya, ya?”

Aira hanya mengangguk dengan mata yang tidak mau berpaling dari Alden.

“Ngeliatin terus? Ada sesuatu di muka aku? Soalnya, tadi abis praktikum gak sempet cuci muka dulu,” ungkap Alden sambil merogoh ponsel dari saku celananya untuk ia gunakan sebagai cermin.

“Ganteng ... .”

“Mulai deh, tapi gak apa-apa, kalau dengan ngeliatin aku bisa buat kamu pulih.”

“Iyain deh,” “Tangannya dingin gini, yakin udah sarapan?” tanya Aira.

“Tok ... tok ... tok ... .”

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, keduanya langsung mengarahkan pandangan ke sumber suara.

“Viona?!”

“Jangan kaget gitu dong, kayak ke gep lagi ngapain aja.” “Alden, gue bawa makanan buat lo, gue simpen di ruangan Papah, makan dulu gih?” pinta Viona.

Alden langsung melihat ke arah Aira, di sana Aira mengisyaratkan bahwasannya Viona seperti ingin mengatakan sesuatu padanya. Alden langsung melepaskan genggaman tangan Aira dan langsung pergi meninggalkan mereka berdua.

“Apa kabar, Kak?”

“Lebih baik,” ungkap Aira sambil tersenyum ke arah Viona.

“Kak ... “ suara Viona mulai bergetar, menimbulkan perasaan sendu.

“Maafkan aku ... maaf karena telah melukai perasaan Kakak,” “Soal Papah, waktu itu aku lagi emosi, gak ada yang Kakak rebut dari aku, maaf karena aku selalu mengatakan hal buruk sama Kakak ...” Viona mulai terisak.

Aira memajukan tangan kanan untuk meraih tangan Viona yang sibuk mengusap air mata yang mulai menetes. Kemudian digenggamnya.

“Viona ... aku paham, aku gak menganggap kamu melakukan hal buruk, kok,” ungkap Aira pelan.

“Kak ...” Viona semakin terisak.

“Kak ... Ayo ke rumah lagi? Ngumpul sama Papah ... Asal kaka harus sehat seperti dulu,” ungkap Viona memohon.

“Iya, ayo, tapi udah dulu nangisnya? Kan Kakak udah mulai membaik? Kok sedih?” balas Aira.

“Kak ... janji ya? Kakak harus sehat, aku tau kakak kuat, tunggu sebentar lagi, ya? Kakak pasti sehat, tolong percaya ... tolong ...”

“Janji ... .”

“Bolehkah aku peluk Kakak?”

Aira tersenyum dan mengangguk tanda memberi izin Viona untuk memeluknya.

“Sepuasnya,” balas Aira.

“Makasih Kak, makasih udah jadi manusia baik ... .”