Halo Caca
Sikap Aliesha yang ramah dan hangat, cukup membuat hati seorang anak kecil yakni Farica atau sering di panggil Caca merasa tersentuh bahkan langsung merasa nyaman, manja layaknya kepada seorang ibu. Thio merasa tidak enak hati kepada Aliesha dengan cara menegur Caca agar tidak bertindak melewati batas. Namun, Aliesha tidak keberatan sama sekali, dikarenakan dia senang dengan anak kecil, maklum karena dia adalah anak tunggal, selalu merasa kesepian dan cukup jauh dari kehangatan keluarga.
Sudah dua jam Caca terus bermain dengan boneka-boneka lucu milik Aliesha, sehingga Caca tidak menghiraukan ajakan ayahnya untuk pulang.
“Ca ... pulang ya? Bibi udah nunggu Caca, lho,” pinta Thio dengan hati-hati.
Di sana Caca hanya menggelengkan kepala, tanda tidak mau menerima ajakan ayahnya.
“Kalau Caca main, terus ayah ngapain di sini? Pulang yuk? Biar sekalian ayah mengerjakan pekerjaan kantor,” pinta Thio lagi.
Caca masih diam.
“Caca marah sama ayah?” tanya Thio lembut.
“Caca suka makan apa, nak?” tiba-tiba Aliesha berteriak dari arah dapur sambil menghampiri Caca.
“....”
“Kalau nugget bentuk bintang suka gak? Tante punya banyak, lho.” tanya Aliesha ceria.
“Ca, tantenya tanya, masa gak di jawab,” ucap Thio berusaha mengambil boneka yang sedari tadi dimainkan.
“Suka ...” jawab Caca singkat sambil merebut kembali bonekanya.
“Pak, gak apa-apa Caca makan makanan siap saji?” tanya Aliesha memastikan.
“Boleh saja, Sha. Kita coba saja dulu, soalnya dari pagi Caca makannya sedikit,” ucap Thio khawatir.
“Saya masak sayur sekalian ya pak, semoga saja Caca suka.”
“Jadi merepotkan.”
“Gak sama sekali, pak.”
Karena merasa tidak enak, Thio langsung menghampiri Aliesha ke dapur untuk membantu mengurangi pekerjaannya.
“Kenapa, pak?” tanya Aliesha dengan tangan sibuk memainkan pisau dan alat masak lainnya.
“Aliesha ... maafkan Caca, ya? Nanti saya didik lebih tegas lagi.”
“Gak apa-apa, pak. Mungkin Caca memang lagi kangen bundanya. Bundanya sibuk juga ya?” tanya Aliesha sembari menyalakan air keran di wastafel sehingga ucapan Thio tidak begitu jelas terdengar.
“Iya Caca suda lama berpisah sama bundanya yang berada di luar kota.”
“Pasti istri bapak lebih tenang dan bahagia melihat dari surga sana, karena kalian tumbuh dengan baik, yang sabar ya, pak?” ucap Aliesha sambil mematikan air wastafelnya kembali.
“Bagaimana?” tanya Thio karena suaranya bener-benar tidak terdengar dengan jelas.
“Ayah?!” tiba-tiba Caca berteriak dari arah ruang tamu, sehingga percakapan mereka tidak menghasilkan jawaban yang tepat. Seketika, Thio langsung menghampiri Caca.
“Kasian Caca ... mana masih kecil,” lirih Aliesha. Aliesha benar-benar menganggap kalau bundanya Caca memang sudah meninggal. Entahlah, akhir-akhir ini Aliesha sering merasa tidak fokus.
Kini mereka bertiga berada di meja makan dan Caca tidak kunjung makan, dilihatnya makanan tanpa ia sentuh sedikitpun.
“Caca? Kenapa gak makan? Caca gak suka?” tanya Aliesha pelan dan memandang Caca lamat-lamat. “Lho, sebentar.” Aliesha menghampiri Caca yang duduk di hadapannya.
“Pak, badannya anget ini, Caca sakit?” tanya Aliesha, sambil menggendong agar berada di pangkuannya.
“Dari kemarin, Sha,” ungkap Thio semakin khawatir.
“Ya ampun, Caca mulutnya ngerasa pahit, gak?”
“Iya, nda ...” lirih Caca lemas.
“Paksa buat makan ya? Gak apa-apa sedikit juga, biar nanti kita ke dokter?” pinta Aliesha.
“...”
“Sha, kemarin bibi sudah konsultasi dengan apoteker untuk obatnya, kita coba pakai obat yang ada dulu saja, saya ambil dulu di mobil,” ungkap Thio.
“Boleh, pak. Bapak ambil dulu obatnya, biar saya saja yang minta Caca buat makan.”
“Baik, sebentar, ya.” Thio langsung pergi untuk mengambil obatnya yang bibi beli.
Dengan segala bujuk rayu Aliesha, akhirnya Caca memakan makanannya walaupun hanya empat suap nasi. Setelah itu, Caca meminum obatnya dan tertidur dengan lelap di pangkuan Aliesha.
“Caca tidur, pak.”
“Saya pulang sekarang saja, Sha. Tolong bantu bawa Caca ke mobil, bisa?”
“Tapi susah lho, pak?”
“Tidak apa-apa, mobil saya ada sealt belt buat anak kok.”
“Syukurlah, jaket ada?”
“Kebetulan gak bawa, soalnya tadi Caca kegerahan.”
“Sebentar, saya ambilkan selimut kecil dulu.”
Kejadian tidak terduga hari ini terhadap Thio maupun Aliesha cukup membuat mereka terheran-heran. Namun, berkat kejadian ini, Thio mengetahui salah satu karyawannya. Maklum, Thio terkenal dengan sikap pemimpin yang adil namun terkenal dengan orang yang kaku dan tidak pernah bergaul dengan orang lain selain dengan sahabat karib dan keluarganya.
-Nay.