Damai

Sarah sedang asyik bersantai di sofa sambil menonton televisi dengan tangan sibuk mengambil camilan. Samar-samar terdengar orang mengetuk pintu rumah, Sarah langsung membuka pintu tersebut.

“Lho? Kak Araf? Eh, bener, kan?” tanya Sarah memastikan.

“Iya, benar, Sarah,” balas Araf dengan senyum khasnya.

”Anjrit, Kak Araf ganteng banget?”

“Siapa, Cil?” timpal Alden dari arah dapur.

“Ya, tamu,” jawab Sarah singkat.

”....”

Alden dan Araf beradu pandang, canggung, dan juga serba salah.

Alden menjaga sikap di hadapan Sarah agar ketegangan diantara mereka tidak terlihat jelas.

“Cil, tolong bikinin kopi sama ada cemilan yang aa beli kemarin, terus anterin ke atas, ya?”

“Ke kamar? Kalian berdua?”

“Iya, kamu kan lagi nonton tv, takut ganggu, kita di atas aja, di balkon.”

“Oalah, siap laksanakan!”


Setelah Sarah mengantarkan jamuan, kini mereka berdua hanya saling diam tidak ada yang memulai pembicaraan.

Tidak lama kemudian, Araf memecah kesunyian tersebut. “Apa kabar, Den?” tanya Araf memberanikan diri menatap Alden yang kini raut mukanya tidak ada nampak kebencian padanya.

“Kalau lahir sih sehat, tapi kalau batin, ya gitu. Kalau lo, gimana? Sibuk banget keliatannya?” ungkap Alden sambil memegang cangkir kopi untuk meghangatkan tubuhnya.

“Iya, gitu, gue juga ...” “Bro! yang sabar, ya? Gue tau, lo itu kuat,” ucap Araf tiba-tiba dengan menepuk pundak Alden.

“Pelan-pelan sih, harusnya bisa,” lirih Alden dengan kepala yang menunduk ke bawah.

“Cinta kalian itu abadi, cinta sepanjang usia, maaf ... cinta yang di bawa sampai mati,” ucap Araf menghibur Alden.

“Sorry.”

“Buat?”

“Kalian kan belum putus, har—“

“Udah putus dari lama, Den. Aira yang minta, dulu. Walaupun gak ngobrol secara langsung, tapi gue baca semua chat dia, semua kekecewaan dia, emang dasar gue aja yang gila!” “Harusnya gue yang minta maaf, Den ... gue tau banget kalau lo suka Aira dari lama, sejak SMP. Tapi, gue juga jadi suka gara-gara lo sering nyeritain dia, pada akhirnya gue yang berhasil deketin Aira. Setelah itu, lo jadi menghindar dari gue—“

“Gak menghindar, gue malu, malu sama keluarga lo. Asal lo tau, setelah lo jadian sama Aira, ada satu kejadian lagi kalau keluarga gue nipu keluarga lo. Papi bawa uang perusahaan papa lo. Tapi, yang gue heran, kenapa keluarga lo gak pernah laporin kita ke polisi?”

“Gak bisa ....”

“Kenapa?”

“Keluarga gue juga ngerasa bersalah sama keluarga lo, Den. Lo gak salah kalau lo pernah nyebut gue pembunuh, memang kondisi seperti itu bisa disebut begitu. Karena, dulu papi lo mentingin gue buat masuk rumah sakit dan operasi duluan dibandingkan nyelamatin adik lo yang sama-sama lagi sekarat.”

”Sorry” “Ucapan gue waktu itu membuat lo keliatan buruk. Adik gue, udah takdirnya begitu, gak ada yang harus disesali dari kejadian itu, adik gue udah tenang di sana. Jadi, biar gak ada lagi yang mengganggu pikiran gue, uang yang di bawa kabur sama papi gue, gue lunasin minggu ini, Raf. Gue bakalan jual kafe berikut dengan tanahnya, gue pastikan lunas di minggu ini atau maksimal hari kedua di minggu berikutnya dipastikan selesai.”

“Den ... Udah gak usah, Den .... Alden!” Araf mulai menghentikan Alden yang sedari tadi bericara sambil mencari-cari sertifikat tanah yang di pakai untuk kafe.

“Iya tau gue telat buat bayar semua ini, tapi ini kesadaran keluarga kita, kita udah ngerencanain ini dari lama,” ucap Alden dengan nada suara yang lebih tinggi dari Araf.

“Bukan masalah telat atau enggaknya, masalahnya gue juga punya utang sama keluarga lo, utang yang lebih besar ... iya nyawa! Udahlah, Den ... jangan apa-apain itu kafe. Gue tau, kafe lo itu berguna juga buat Sarah, nanti kalau lo jual, Sarah kehilangan pekerjaannya, yang ada dia makin gak enak numpang di keluarga lo.”

“Jaga omongan lo, ya! Sarah itu udah gue anggap adik sendiri! Dan lo seenanknya ngomong numpang?”

“IYA! MAKANNYA LO DENGERIN GUE, DEN!!”

“Apa?!”

“Setidaknya dia gak canggung karena harus minta uang jajan atau minta kebutuhan yang dia pengen, karena dia punya upah sendiri dari kafe itu, Den. Lo harus mikir sampe situ. Perasaan orang gak ada yang tau. Lo bisa minta uang ke papi atau ke mami, tapi Sarah? Ayolah, Masalah utang harta kita saling bebaskan sekarang, keluarga lo udah gak ada utang apa-apa lagi sama keluarga gue, udah, selesai ....”

“Sebanyak itu—“

“Den, tolong. Gue mau hidup tenang, damai, gue pengen akrab lagi sama lo, gue pengen temenen lagi tanpa ada halangan diantara kita, gue pengen bebas.”

Perang adu mulut masih terus berlanjut, berlanjut dengan egonya masing-masing. Hingga, pada akhirnya tidak ada yang berkomentar lagi, kini mulai berdamai ... berdamai dengan masa lalu dan mulai memperbaki kesalahan lainnya satu persatu.