jwooshining

Setelah mendapatkan pesan singkat dari Alden, dengan segera Aira turun untuk mempersilakan Alden masuk ke rumahnya. Alden hanya memberikan senyum singkat, kemudian masuk ke rumah, mendahului tuan rumah. Tangan kanan sibuk membawa helm sedangkan tangan kiri membawa makanan untuk Aira yang dibuatkan khusus oleh Maminya.

Aira berhenti sejenak matanya hanya mengikuti gerakan Alden mulai dari menyimpan makanan di meja, membawa piring, mangkuk, dan sendok, mencuci tangan sampai duduk di kursi meja makan.

“Sini, Ra, duduk,” pinta Alden dingin dengan tanpa menatap Aira.

“Kamu aja, aku belum pengen sarapan.”

“Kalau aku aja, ngapain aku dateng ke sini, aku juga bisa sarapan di rumah,” ucap Alden dengan nada yang tidak enak didengar.

“....”

“Duduk sini, Aira,” tegas Alden.

“Gak bisa, perut aku mual terus.”

“Banyak alas—” ucapan Alden terpotong ketika Aira dengan sigap duduk di hadapannya.

“Kenapa gak berangkat kuliah? Hari ini ada presentasi loh, bentar lagi masuk.”

Alden tidak menggubris pertanyaan Aira. “Buka mulutnya, paksain buat makan.”

“Gak mau, Alden!”

“Kamu harus minum obat tepat waktu, ayo sarapan dulu, Aira!”

“Jawab dulu pertanyaan aku, Alden!”

“MAKAN DULU, AIRA!”

“....”

Dengan terpaksa Aira menerima satu suap makan yang Alden berikan.

“Ayo, lagi.”

“Bentar dulu.”

Hening selama beberapa menit.

“Kenapa kamu susah buat jujur sama aku, Ra,” “Kan udah aku bilang, apapun itu, tolong kasih tau aku, termasuk kondisi kamu,” “Bagaiman kata dokter Alvin, kemarin?

“Gak ada apa-apa, gak ada yang aku sembunyiin kok,” lirih Aira.

“Bohong aja terusss!” wajah Alden memerah menahan marah.

“Alden, bentar lagi jam delapan, ayo kuliah dulu.”

“TERSERAH! TERSERAAH, AIRA!!!” “Kalau kamu gak bisa ngandelin aku, TERSERAH! Aku gak maksa!” ungkap Alden sambil beranjak dari kursi dan bergegas membawa helm dan kunci motor.

Pada saat itu juga, Aira berlari menuju wastafel dan langsung memuntahkan semua makanannya. Makanan yang baru saja ia telan seolah-olah langsung ada penolaka dari perutnya.

Melihat itu, Alden langsung menjatuhkan tas, helm, dan kunci motor tersebut ke sembarang tempat, dan langsung menghampiri Aira.

“Ra!” “Aira, kamu gak apa-apa, kan?”

“Mual ...” lirih Aira lemas.

“Muntahin aja semuanya, kalau kamu ngerasa lebih baik,” ungkap Alden sambil memukul punggung leher Aira pelan.

“Bruk!” tubuh Aira ambruk di pangkuan Alden.

“Ra!” panggil Alden sambil menepuk-nepuk pipi Aira pelan.

“Alden ... Alden ... .”

“Iya, ini aku ... kamu kenapa? Sakit? Yang mana yang sakit? Pusing?”

“Alden ... .”

“Iya, kenapa?”

“Alden ... maaf ... .”

“Gak apa-apa, kamu gak ada salah, aku yang gak ngertiin kondisi kamu.”

“Alden ... maaf ... .”

“Gak perlu minta maaf, sayang, mana yang sakit?” “Kita ke dokter ya?”

“Alden ... .”

Dilihatnya keringat Aira mulai bercucuran, pergerakan tubuh yang semakin melemah. Wajah Aira benar-benar seperti sedang menahan sakit yang luar biasa sampai akhirnya gadisnya tersebut memuntahkan darah. Darah tersebut mengenai tangan, dan celana Alden. Dengan sigap, Alden mengambil tisu yang berada di meja makan yang tempatnya tidak jauh dari wastafel.

“Kita ke dokter ya? Tahan sebentar,” ungkap Alden dengan suara bergetar karena panik dengan kejadian tersebut.

“Sayang ... sebentar ya? “

Baru saja Alden akan menelpon dokter Alvin, tidak lama kemudian seseorang membuka pintu dan langsung memanggil, mencari Aira.

“Kak, kakak di dalam kan?!” “Kak?!”

Pemilik suara tersebut adalah Farah. Semalam Aira menelpon Farah yang tak kunjung di angkat, dan Aira hanya mengirim pesan tentang kondisi dirinya karena mual muntah semalaman, pesan tersebut Farah buka dua jam setelah Aira mengirim pesan. Melihat itu Farah langsung melakukan penerbangan dari Sumatera.

Sebelumnya Farah pergi atas paksaan Kavin dengan alasan ingin ditemani karena sibuknya pekerjaan, namun semua itu hanya bualan belaka, Sebenarnya Kavin ingin memberikan kejutan untuk istrinya yang tengah mengandung, Kavin mengajak jalan-jalan Farah dan memanjakan istrinya tersebut.

Selama perjalanan, Farah kesal terhadap Kavin karena selalu tidak tahu waktu dalam mengambil tindakan. Sebenarnya Farah bisa mengabari Alden atas kejadian tersebut, minimal membawa Aira ke rumah sakit. Namun, Aira larang, karena Alden mulai sibuk kuliah dan takut mengganggu kesibukannya.

“Kakak!!”

“Di sini, Bu!” sahut Alden yang masih merasa panik.

“Alden?!”

“Bu, Aira kenapa? Aira barusan memuntahkan darah?”

“Gapapa Alden, jangan panik dulu ya? Tenang,” ungkap Farah menenangkan Alden, walaupun dirinya sendiri juga sedang panik luar biasa.

“Tapi, Bu ... .” Alden semakin terlihat ketakutan.

“Gapapa, mungkin ini efek kemoterapi kemarin, memang sudah biasa seperti ini,” ungkap Farah untuk meyakinkan Alden, namun jujur saja, Farah juga merasa khawatir melihat kondisi Aira.

“Alden bisa bawa mobil, kan?”

“Bisa, Bu,” “Loh ... Pak Kavin—“

“Masih di Sumatera, sudahlah, apa yang di harapkan dari dia,” ungkap Farah kesal.

“Kak? Sebentar ya?”

“Bu, Pak Alvin gak mengangkat telfonnya dari tadi.”

“Pasti lagi sibuk, pasien dia juga banyak, gapapa Alden,” “Kita bawa langsung aja ke UGD.”


Sebelum berangkat, Alden menyempatkan mengirim pesan terhadap Jaffan, bahwa hari ini tidak bisa mengikuti kuliah termasuk presentasi.

Di dalam mobil.

Aira terkapar lemah di pangkuan Farah.

Sesekali Alden melihat Aira dari kaca spion mobilnya dan menatapnya iba, perasaan khawatir yang luar biasa masih menyelimutinya. Rasanya nafasnya begitu sesak karena melihat gadisnya tersebut kesakitan.

Dalam perjalanan ke rumah sakit Alvin menghubungi handphone Farah kembali, sehingga Aira langsung di bawa ke ruangan pemeriksaan tempat Alvin Dinas.


Kondisi Aira telah lebih baik dari sebelumnya, yang tadinya tertidur, kini sudah bisa duduk kembali.

“Ibu?”

“Iya, Kak?”

“Alden ke kampus?”

“Alden di luar, Nak. Katanya mau sarapan dulu.”

“Gak masuk kuliah?”

“Enggak, Kak. Kenapa emang?”

“Mau ngobrol dulu bentar, boleh?”

“Boleh dong Kak, biar Ibu telfon dulu ya? Takutnya belum selesai.”


Di ruangan tersebut hanya ada mereka berdua yaitu Alden dan Aira.

“Gimana? Udah enakan? Ada yang masih kerasa sakit?” ungkap Alden menghampiri Aira.

“Alden ... .”

“Iya, sayang, kenapa?”

Hening sejenak.

“Kita selesai aja ya?”

Alden tahu maksud dari percakapan Aira, namun Alden seolah-olah tidak mendengar ucapan tersebut.

“Kamu masih capek, ya? Masih lemes?”

“Enggak Alden ... tolong dengerin aku dulu.”

“Ra ... .” rasanya tenggorokan Alden seperti tertusuk, sakit, menahan perih, mata memanas, menahan tangis karena mendengar permintaan Aira yang tidak terduga.

“Ra, tenangkan diri dulu ya? Kamu pasti butuh waktu buat sendiri, kalau ada apa-apa, aku di luar sama Ibu,” ungkap Alden seraya mengusap pelan surai legam gadisnya tersebut, kemudian meninggalkan Aira berada di ruang pasien sendirian.

Alden ... .

“Aa yang nyetir atau Papi yang nyetir?” tanya Dimas sembari sibuk merogoh saku celana untuk mengambil kunci mobil.

“Papi aja, Aa gak bisa ngapa-ngapain?” balas Alden singkat.

“Santai A', jangan gemetar gitu, baru juga ngelamar anak orang, kan nanti Papi yang ngomong,” goda Dimas.

“Tapi jawaban Aira yang bikin tegang, Pi,” lirih Alden dengan raut muka sedih.

“Ya gak apa-apa, kalau di tolak, tinggal coba lagi.” Dimas masih senang menggoda Alden.

“Pi ... .” Alden semakin tidak karuan.

“Cepet masuk mobil A', duduknya di depan bareng papi, ada yang mau Papi sampaikan,” pinta Dimas yang sudah membuka pintu mobil untuk anak bujangnya tersebut.

“Tuh, Papi mau ngasih kiat-kiat cara menanggung kesedihan karena di tolak,” ungkap Sarah yang tiba-tiba ikut menggoda Alden.

“Diem, Cil. Gue lagi tegang, bisa-bisanya, lo.” Alden menggerutu.

“Baru juga ngomong,” balas Sarah kesal.

“Penasaran banget ya kalau gak ribut, sehari aja,” ungkap Yura sambil geleng-geleng kepala.


Di rumah Aira.

“Ya ampun Alden, gagah gini?” ungkap Farah sambil memeluk Alden sopan.

“Gimana kabarnya, Bu,” tanya Alden sambil membalas pelukannya.

“Alhamdulillah, Nak,” balas Farah melepaskan pelukan tersebut dan mengarahkan ke ruang utama.

“Papinya gak di peluk nih, Rah?” ungkap Dimas tiba-tiba.

“Papi ... .” ungkap Sarah, Alden dan Yura secara berbarengan.

“Genitnya masih melekat ya, dari jaman kuliah, masih aja,” sindir Farah yang merupakan adik tingkat dari Dimas dulu sewaktu kuliah.

“Bercanda, Rah. Aslinya setia kok,” balas Dimas.

“Setiap tikungan ada?” Farah masih menyaut.

“Iya,” balas Dimas dengan diiringi gelak tawa. Sedangkan Sarah, Alden dan Yura hanya bisa menatap tajam Dimas, namun pada akhirnya mereka juga tertawa atas lelucon tersebut.


“Nak Aira nya di mana?” tanya Dimas.

“Masih di kamar. Sayang, coba jemput Kakak nya,” pinta Kavin terhadap Farah.

“Sebentar, ya,” balas Farah.

Tidak lama kemudian, Aira menampakkan diri dengan memakai gaun hitam yang cantik, berjalan dengan anggun, dan memberikan senyum ramah kepada seluruh tamu yang hadir.

“Ngedip A',” goda Sarah terhadap Alden dengan suara pelan. Dengan spontan Alden memalingkan muka, dan menunduk kembali.

Setelah perbincangan yang cukup lama, kini akhirnya Kavin buka suara tentang maksud kedatangan keluarga Dimas tersebut.

“Jadi, tujuan keluarga Pak Dimas datang ke sini? Tentu saja ingin bersilaturahmi mengingat kita dulu pernah satu sekolah bahkan satu Universitas. Tapi saya rasa ini terlalu formal jika hanya bersilaturahmi saja, tentu ada maksud lain. Bagaimana Pak Dimas?” tanya Kavin ramah.

“Begini Pak, sebetulnya untuk jaman sekarang itu tidak sulit untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain, terutama orang yang kita suka, betul kan, Pak?”

“Betul sekali.”

“Bukan lagi di jaman harus pakai perantara untuk mengakui satu hal termasuk soal perasaan.”

Semua orang hanya mengangguk mengerti.

“Saya tahu kalau anak bujang saya, Alden Rajendra sudah bisa melakukannya sendiri. Kita gak tahu kan kalau misalnya Alden dan Nak Aira sudah manggil Ayah-Bunda, Papi-Mami, Mamah-Papah. Layaknya kita dulu, karena saya juga pernah muda.”

Candaan tersebut membuat semua orang tertawa.

“Tapi ... .” ungkap Dimas.

“Tapi saya takut kalau ini semua atas paksaan Alden misalnya? Atau sebenarnya anak saya ini berbohong sudah berteman baik dengan Nak Aira padahal nyatanya tidak? Atau ditakutkan nak Aira terpaksa berhubungan baik dengan Alden? Bukannya berburuk sangka. Tapi alangkah baiknya kita pastikan sekarang supaya tidak ada pihak yang di rugikan. Jadi, maksud kedatangan kami ke sini yaitu membawa niat baik bahwa anak saya Alden ingin melamar putri pak Kavin yaitu Nak Aira,” ungkap Dimas.

“Terimakasih atas kedatangannya, Saya sungguh tidak menyangka akan secepat ini mengurus tentang hal seperti ini, mengingat Kakak sama Nak Alden juga masih muda. Namun kedatangan Bapak sekeluarga membuat saya senang karena gak mudah sebenarnya, butuh keberanian juga karena saya juga dulu mengalaminya. Keberanian meminta Izin terhadap orang tua terlebih dahulu, keberanian untuk datang ke sini, dan jangan lupa keberanian mendengar jawaban juga membutuhkan mental yang sangat kuat, benar tidak Pak? Karena saya juga laki-laki, ya itu, pernah mengalaminya,” ungkap Kavin.

Lagi-lagi semua orang hanya bisa mengangguk tandanya memang benar seperti itu.

“Kalau saya dengar, Alden dan Aira itu suka sama suka, istri saya sering bilang kalau Kakak sering bercerita tentang Alden, semuanya Kakak ceritakan ketulusan, kebaikan, dan keseriusan Nak Alden,” ungkap Kavin.

Mendengar itu Alden langsung menatap Aira yang sedang menunduk mendengarkan.

“Tapi benar seperti yang Pak Dimas katakan, kita juga harus memastikan, dan menanyakan secara langsung terhadap Aira,” ungkap Kavin.

“Aira ... .” akhirnya Alden memberanikan diri untuk berbicara.

“Aira ... Aku sudah menentukan pilihan yang tepat untuk menjadikan kamu satu-satunya wanita yang aku cinta setelah Ibuku? Aku ingin, kamu menjadi cinta pertama dan terakhirku. Aira ... maukah kamu menikah denganku?” ungkap Alden tulus yang masih menatap Aira lembut.

Aira membalas tatapannya tersebut. Jeda beberapa detik akhirnya Aira menjawab. “Iya, aku mau, mau menikah denganmu, Alden,” balas Aira tanpa ragu sedikitpun.

“Alhamdulillah,” semua orang langsung mengucap syukur atas Jawaban tersebut. Akhirnya Alden dapat bernapas lega setelah berhari-hari merasakan keresahan dalam dirinya.

“Sok atuh diikat dulu pakai cincin, sebagai tanda kalau kalian itu sudah bertunangan,” ungkap Dimas yang sudah kembali ke mode bercanda.

“Biar bisa dipamerin ke mantan ya, Pak?” canda Kavin.

“Hahaha, benar,” balas Dimas.

Semua orang hanya bisa tertawa melihat kelakuan dua bapak-bapak tersebut.

Setelah bertukar cincin, acara dilanjutkan dengan makan-makan yang dilanjutkan dengan kegiatan mengobrol.


“Bu, Aira di mana, ya?” tanya Alden terhada Farah.

“Oh, katanya mau ambil tisu ke kamar, tapi kok lama, ya. Sebentar Ibu panggil dulu.”

“Biar Alden aja, Bu.” “Boleh banget Nak, tau kan kamar kakak?”

“Tau, Bu.”

“Yaudah sana, takut kakak kenapa-napa.”

Alden langsung menyusul Aira ke kamar yang ada di lantai dua.

Alden masuk dan benar Aira sedang mengambil tisu, namun tisu tersebut hanya di genggamnya. Sayup-sayup terdengar suara isakan tangis. Iya, Aira menangis.

“Ra? Kenapa? Kok nangis?” “Ada yang sakit?” “Pusing?”

Aira hanya menggelengkan kepala pelan.

Yang di tanya hanya membelakangi laki-laki yang baru saja resmi jadi tunangannya. Alden membalikan tubuh perempuannya tersebut pelan, menatap Aira dan kemudian merengkuhnya.

“Kenapa? Bilang sama aku.” “Ra?”

“Makasih ... .”

“Loh, kok makasih?”

“Udah mau datang ke rumah.”

“Iya, sama-sama. Makasih juga karena udah mau nerima aku tanpa ragu.”

“Tapi ... aku sakit, Alden. Aku gak seperti perempuan yang lain.”

“Suuut ... jangan ngomong kayak gitu, aku kan udah nerima semuanya, termasuk kondisi kamu,” “Jangan kayak gini lagi ya? Kita berjuang sama-sama,” “Udah nangisnya, nanti orang-orang beranggapan kalau kamu di apa-apain,” “Yuk, turun lagi, yang lain udah pada nunggu.”

”Terimakasih, Tuhan ... ini adalah hari yang paling bahagia buat aku ... I Love You, Alden ... . ”

Setelah melihat pesan dari Alden, Aira langsung berlari untuk menemuinya. Berlari menuruni anak tangga dengan setelan baju tidur yang ditutupi jubah tidurnya.

“Pelan-pelan, Ra ... nanti kesandung,” ucap Alden tenang.

Aira hanya tersenyum, tangannya sibuk membuka gerbang dengan terburu-buru.

Sekarang Aira sudah tepat ada di hadapan Alden. Aira mendengus pelan namun tidak ada tanda-tanda bahwa Alden sudah minum.

Alden menyadari tingkah gadisnya tersebut. Alden menatap dan menunjukan senyum smirk kemudian meraih tangan lembutnya dan memeluknya erat. “Gue gak minum, Ra ....” ucap lembut di telinga Aira.

“....” Aira tidak menjawab dan tidak membalas pelukannya, terdiam, tubuh yang tegang karena perlakuan Alden yang tiba-tiba memeluknya cukup membuat dirinya syok.

Alden melepaskan pelukannya tersebut dan masih meraih tangan lentik gadisnya, diberikan kantong kresek yang berisikan makanan.

“Karena udah malem, gue gak bisa masuk ke rumah lo. Jadi, ambil ini, terus masuk, di luar dingin.”

“Pulang sekarang?”

“Iya, Ra ... gue pamit ya, besok kita ketemu lagi.”

Aira menatap kantong kresek satunya yang masih Alden pegang, matanya melotot karena kaget terhadap isinya, terlihat namun tak begitu jelas.

“Kamu sakit?” tanya Aira sambil memegang dahi Alden untuk memastkan keadaannya. “Tapi gak panas?”

“Ini buat Sarah, Ra. Tadi Sarah ngeluh sakit, dan ternyata badannya panas. Mami sama Papi belum pulang. Jadi gue yang urus,” “Padahal tadi baru mau berangkat buat ke acara Reuni. Eh, gak jadi,” sesal Alden.

“Sekarang keadaan Sarah gimana?”

“Udah baikan kok,” “Lo juga masuk gih, cuacanya lagi gini, takut sakit,” “Jadi masuk ya? Terus langsung istirahat.”

Disana Aira mengangguk. “Hati-hati bawa motornya, kabarin kalau udah sampe.”

Alden menjawab sambil menyalakan motornya. “Siap Ibu Negara!!!”

“Farah, kan sudah saya bilang, kalau uangnya tidak usah di ganti,” ungkap Hendra di dalam sana.

“Gak bisa, Ndra. Aku juga gak bisa kalau harus berutang banyak seperti ini,” ucap Farah sambil memberikan setengah uang untuk biaya kemoterapi Aira.

“Saya terima, asalkan kamu harus berhenti kerja, nanti kalau Kavin tahu, bagimana?” pinta Hendra.

“Kalau aku berhenti, lantas siapa yang akan mengobati Kakak? Gak bisa, Ndra,” tegas Farah.

“Saya yang bertanggung jawab penuh untuk Aira. Saya ikhlas, Rah,” ucap Hendra kekeh.

“Kamu juga punya tanggung jawab, Ndra. Kamu punya anak!” Kali ini Farah benar-benar marah.

Kurang lebih seperti itu yang Aira dengar dari balik pintu ruangan Hendra. Mendengar itu badan Aira seketika membeku, pikiran mulai kacau, dan cukup membuat hati hancur.

Aira memilih untuk pergi, berjalan pelan ke arah kantin rumah sakit dan meninggalkan orang yang sedang berdebat di sana.

“Araf? ... .” lirih Aira.

Araf menengok ke arah suara yang terdengar tidak asing. Betul sekali, Araf terkejut sekaligus gugup.

Semua rencana sepertinya akan berubah menjadi bencana. Araf sudah memikirkan semua ini dari lama. Ternyata rencana dan harapan memang tidak selamanya sesuai dengan keinginan, kejadian yang tak terduga saat ini sedang terjadi.

“Ra ... sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Araf dengan suara yang mulai bergetar.

“Kenapa kamu ngelakuin ini semua?” “Aku bener-bener gak ngerti sama semua cara berpikir kamu, Raf,” “Aku ada salah sama kamu? Kalau iya, tolong kasih tau, biar aku introspeksi diri,” “Aku gak akan mikir apa kesalahan aku, kalau kamu aja gak kasih tau dimana letak kesalah—“

“Gak ada, Ra. Kamu gak salah apa-apa.”

“Tolong jangan lakukan apapun lagi, Raf. Itu semua bakalan sia-sia,” “Bukannya aku gak menghargai semua pengorbanan kamu, Raf. Tapi buat saat ini aku gak butuh itu, yang aku butuhkan adalah kehangatan dari orang-orang terdekat aku,” “Aku pengen kalian menguatkan aku, supaya aku sabar menghadapi ini semua,” “Aku udah gak ada harapan lagi, Raf. Jadi, tolong, jangan lakukan apapun lagi.”

“Ra!!!”

“Kenyataannya begitu, Raf. Aku juga gak mau sebenarnya, tapi ini semua udah takdir dari Tuhan.”

“Kamu bisa sembuh, Ra. Ayo kita lakukan transplantasi ya? Ayo kita berjuang bareng-bareng.”

“Sekarang aku ngerti, kenapa Bunda Yumna bersikeras buat nyembuhin aku, ternyata ini.”

“Maksudnya?”

“Raf ... Om ... aku tetap ikhtiar kok buat kesembuhan penyakit aku,” “Aku memang udah pasrah sama Tuhan baiknya gimana, tapi aku juga masih berusaha,” “Jadi, jangan khawatir, aku, Ibu dan Ayah, kita lagi berusaha buat menyelesaikan ujian ini.”

“Aku mau bantu.”

“Diam, Raf!! Lama-lama aku muak sama kamu, kenapa kamu selalu bersikap seenaknya sama aku,” “Aku bener-bener gak ngerti dengan kamu yang tiba-tiba ngilang, terus datang lagi tanpa Izin,” “Aku bukan orang yang seenaknya bisa kamu permainkan!”

Araf hanya terdiam, memang benar ia hanya bersikap seenaknya terhadap Aira karena tindakannya selalu merasa paling benar.

Aira pergi meninggalkan rumah ini dengan emosi yang tidak terkontrol.

Viona yang melihat kejadian ini, hanya bisa terdiam. Viona masih terkejut dengan semua apa yang terjdi, baru saja akan mengejar Aira, namun di tahan oleh Hendra. Untuk saat ini Aira hanya perlu sendiri untuk menenangkan dirinya.


Sekarang Aira hanya terduduk di kursi halte bus. Ditatapnya jam tangan yang melingkari pergelangan sudah menunjukan pukul dua siang. Ketika Aira sedang merasa banyak masalah, pasti akan lari ke tempat peristirahatan terakhir Papahnya, namun jarak dari kota ini cukup jauh sehingga memerlukan bus untuk sampai ke sana.

Baru saja Aira akan melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam bus, tiba-tiba tubuhnya merasa lemas sekali, kaki terasa berat untuk dilangkahkan. Aira mengurungkan niat tersebut dan memilih menunggu bus selanjutnya. Dan ternyata sudah tiga bus terlewati, tetap saja Aira tak mampu beranjak.

“Sesusah inikah mau cerita sama Papah?” lirih Aira.

Tiba-tiba badan Aira berkeringat dingin, telinga berdengung dan suara orang disekitar semakin menjauh, dan pandangan mulai kabur.

Kemudian ada seorang laki-laki yang langsung mendekati Aira yang sudah setengah sadar.

“Aira!!” Alden langsung menyangga tubuh Aira agar tidak terjatuh lemas ke bawah, menepuk-nepuk pelan pipinya agar tersadar.

“Ra? Kita pulang ya? Gue anter ke rumah lo” tanya Alden yang masih berusaha menyadarkan kembali Aira yang benar-benar lemas.

Tidak ada jawaban dari Aira.

Alden langsung mengantarkan Aira ke rumahnya, namun sesampainya di sana, tidak ada satu orang pun di dalam rumah tersebut, terpaksa putar balik dan langsung membawa Aira ke rumahnya.

“Araf? ... .” lirih Aira.

Araf menengok ke arah suara yang terdengar tidak asing. Betul sekali, Araf terkejut sekaligus gugup.

Semua rencana sepertinya akan berubah menjadi bencana. Araf sudah memikirkan semua ini dari lama. Ternyata rencana dan harapan memang tidak selamanya sesuai dengan keinginan, kejadian yang tak terduga saat ini sedang terjadi.

“Ra ... sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Araf dengan suara yang mulai bergetar.

“Kenapa kamu ngelakuin ini semua?” “Aku bener-bener gak ngerti sama semua cara berpikir kamu, Raf,” “Aku ada salah sama kamu? Kalau iya, tolong kasih tau, biar aku introspeksi diri,” “Aku gak akan mikir apa kesalahan aku, kalau kamu aja gak kasih tau dimana letak kesalah—“

“Gak ada, Ra. Kamu gak salah apa-apa.”

“Tolong jangan lakukan apapun lagi, Raf. Itu semua bakalan sia-sia,” “Bukannya aku gak menghargai semua pengorbanan kamu, Raf. Tapi buat saat ini aku gak butuh itu, yang aku butuhkan adalah kehangatan dari orang-orang terdekat aku,” “Aku pengen kalian menguatkan aku, supaya aku sabar menghadapi ini semua,” “Aku udah gak ada harapan lagi, Raf. Jadi, tolong, jangan lakukan apapun lagi.”

“Ra!!!”

“Kenyataannya begitu, Raf. Aku juga gak mau sebenarnya, tapi ini semua udah takdir dari Tuhan.”

“Kamu bisa sembuh, Ra. Ayo kita lakukan transplantasi ya? Ayo kita berjuang bareng-bareng.”

“Sekarang aku ngerti, kenapa Bunda Yumna bersikeras buat nyembuhin aku, ternyata ini.”

“Maksudnya?”

“Raf ... Om ... aku tetap ikhtiar kok buat kesembuhan penyakit aku,” “Aku memang udah pasrah sama Tuhan baiknya gimana, tapi aku juga masih berusaha,” “Jadi, jangan khawatir, aku, Ibu dan Ayah, kita lagi berusaha buat menyelesaikan ujian ini.”

“Aku mau bantu.”

“Diam, Raf!! Lama-lama aku muak sama kamu, kenapa kamu selalu bersikap seenaknya sama aku,” “Aku bener-bener gak ngerti dengan kamu yang tiba-tiba ngilang, terus datang lagi tanpa Izin,” “Aku bukan orang yang seenaknya bisa kamu permainkan!”

Araf hanya terdiam, memang benar ia hanya bersikap seenaknya terhadap Aira karena tindakannya selalu merasa yang paling benar.

Aira pergi meninggalkan rumah ini dengan emosi yang tidak terkontrol.

Viona yang melihat kejadian ini, hanya bisa terdiam. Viona masih terkejut dengan semua yang terjadi dihadapannya barusan.

Viona baru saja akan mengejar Aira, namun di tahan oleh Hendra. Untuk saat ini Aira hanya perlu sendiri untuk menenangkan dirinya.


Sekarang Aira hanya terduduk di kursi halte bus. Ditatapnya jam tangan yang melingkari pergelangan sudah menunjukan pukul dua siang. Ketika Aira sedang merasa banyak masalah, pasti akan lari ke makam tempat Papahnya di kuburkan. Namun jarak dari kota ini cukup jauh sehingga memerlukan bus untuk sampai ke sana.

Baru saja Aira akan melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam bus, tiba-tiba tubuhnya merasa lemas sekali, kaki terasa berat untuk dilangkahkan. Akhirnya, Aira mengurungkan niat tersebut dan memilih menunggu bus selanjutnya. Dan ternyata sudah tiga bus terlewati, tetap saja Aira tak mampu beranjak.

“Sesusah inikah mau cerita sama Papah?” lirih Aira.

Tiba-tiba badan Aira berkeringat dingin, telinga berdengung dan suara orang disekitar semakin menjauh, dan pandangan mulai kabur.

Kemudian ada seorang laki-laki yang langsung mendekati Aira yang sudah setengah sadar.

“Aira!!” Alden langsung menyangga tubuh Aira agar tidak terjatuh lemas ke bawah, menepuk-nepuk pelan pipinya agar tersadar.

“Ra? Kita pulang ya? Gue anter ke rumah lo” tanya Alden yang masih berusaha menyadarkan kembali Aira yang benar-benar lemas.

Tidak ada jawaban dari Aira.

Alden langsung mengantarkan Aira ke rumahnya, namun sesampainya di sana, tidak ada satu orang pun di dalam rumah tersebut.

Terpaksa Alden pun putar balik dan langsung membawa Aira ke rumahnya.

“Araf? ... .” lirih Aira.

Araf menengok ke arah suara yang terdengar tidak asing. Betul sekali, Araf terkejut sekaligus gugup.

Semua rencana sepertinya akan berubah menjadi bencana. Araf sudah memikirkan semua ini dari lama. Ternyata rencana dan harapan memang tidak selamanya sesuai dengan keinginan, kejadian yang tak terduga saat ini sedang terjadi.

“Ra ... sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Araf dengan suara yang mulai bergetar.

“Kenapa kamu ngelakuin ini semua?” “Aku bener-bener gak ngerti sama semua cara berpikir kamu, Raf,” “Aku ada salah sama kamu? Kalau iya, tolong kasih tau, biar aku introspeksi diri,” “Aku gak akan mikir apa kesalahan aku, kalau kamu aja gak kasih tau dimana letak kesalah—“

“Gak ada, Ra. Kamu gak salah apa-apa.”

“Tolong jangan lakukan apapun lagi, Raf. Itu semua bakalan sia-sia,” “Bukannya aku gak menghargai semua pengorbanan kamu, Raf. Tapi buat saat ini aku gak butuh itu, yang aku butuhkan adalah kehangatan dari orang-orang terdekat aku,” “Aku pengen kalian menguatkan aku, supaya aku sabar menghadapi ini semua,” “Aku udah gak ada harapan lagi, Raf. Jadi, tolong, jangan lakukan apapun lagi.”

“Ra!!!”

“Kenyataannya begitu, Raf. Aku juga gak mau sebenarnya, tapi ini semua udah takdir dari Tuhan.”

“Kamu bisa sembuh, Ra. Ayo kita lakukan transplantasi ya? Ayo kita berjuang bareng-bareng.”

“Sekarang aku ngerti, kenapa Bunda Yumna bersikeras buat nyembuhin aku, ternyata ini.”

“Maksudnya?”

“Raf ... Om ... aku tetap ikhtiar kok buat kesembuhan penyakit aku,” “Aku memang udah pasrah sama Tuhan baiknya gimana, tapi aku juga masih berusaha,” “Jadi, jangan khawatir, aku, Ibu dan Ayah, kita lagi berusaha buat menyelesaikan ujian ini.”

“Aku mau bantu.”

“Diam, Raf!! Lama-lama aku muak sama kamu, kenapa kamu selalu bersikap seenaknya sama aku,” “Aku bener-bener gak ngerti dengan kamu yang tiba-tiba ngilang, terus datang lagi tanpa Izin,” “Aku bukan orang yang seenaknya bisa kamu permainkan!”

Araf hanya terdiam, memang benar ia hanya bersikap seenaknya terhadap Aira karena tindakannya selalu merasa yang paling benar.

Aira pergi meninggalkan rumah ini dengan emosi yang tidak terkontrol.

Viona yang melihat kejadian ini, hanya bisa terdiam. Viona masih terkejut dengan semua yang terjadi dihadapannya barusan.

Viona baru saja akan mengejar Aira, namun di tahan oleh Hendra. Untuk saat ini Aira hanya perlu sendiri untuk menenangkan dirinya.


Sekarang Aira hanya terduduk di kursi halte bus. Ditatapnya jam tangan yang melingkari pergelangan sudah menunjukan pukul dua siang. Ketika Aira sedang merasa banyak masalah, pasti akan lari ke makam tempat Papahnya di kuburkan. Namun jarak dari kota ini cukup jauh sehingga memerlukan bus untuk sampai ke sana.

Baru saja Aira akan melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam bus, tiba-tiba tubuhnya merasa lemas sekali, kaki terasa berat untuk dilangkahkan. Akhirnya, Aira mengurungkan niat tersebut dan memilih menunggu bus selanjutnya. Dan ternyata sudah tiga bus terlewati, tetap saja Aira tak mampu beranjak.

“Sesusah inikah mau cerita sama Papah?” lirih Aira.

Tiba-tiba badan Aira berkeringat dingin, telinga berdengung dan suara orang disekitar semakin menjauh, dan pandangan mulai kabur.

Kemudian ada seorang laki-laki yang langsung mendekati Aira yang sudah setengah sadar.

“Aira!!” Alden langsung menyangga tubuh Aira agar tidak terjatuh lemas ke bawah, menepuk-nepuk pelan pipinya agar tersadar.

“Ra? Kita pulang ya? Gue anter ke rumah lo” tanya Alden yang masih berusaha menyadarkan kembali Aira yang benar-benar lemas.

Tidak ada jawaban dari Aira.

Alden langsung mengantarkan Aira ke rumahnya, namun sesampainya di sana, tidak ada satu orang pun di dalam rumah tersebut.

Terpaksa Alden pun putar balik dan langsung membawa Aira ke rumahnya.

“Araf? ... .” lirih Aira.

Araf menengok ke arah suara yang terdengar tidak asing. Betul sekali, Araf terkejut sekaligus gugup.

Semua rencana sepertinya akan berubah menjadi bencana. Araf sudah memikirkan semua ini dari lama. Ternyata rencana dan harapan memang tidak selamanya sesuai dengan keinginan, kejadian yang tak terduga saat ini sedang terjadi.

“Ra ... sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Araf dengan suara yang mulai bergetar.

“Kenapa kamu ngelakuin ini semua?” “Aku bener-bener gak ngerti sama semua cara berpikir kamu, Raf,” “Aku ada salah sama kamu? Kalau iya, tolong kasih tau, biar aku introspeksi diri,” “Aku gak akan mikir apa kesalahan aku, kalau kamu aja gak kasih tau dimana letak kesalah—“

“Gak ada, Ra. Kamu gak salah apa-apa.”

“Tolong jangan lakukan apapun lagi, Raf. Itu semua bakalan sia-sia,” “Bukannya aku gak menghargai semua pengorbanan kamu, Raf. Tapi buat saat ini aku gak butuh itu, yang aku butuhkan adalah kehangatan dari orang-orang terdekat aku,” “Aku pengen kalian menguatkan aku, supaya aku sabar menghadapi ini semua,” “Aku udah gak ada harapan lagi, Raf. Jadi, tolong, jangan lakukan apapun lagi.”

“Ra!!!”

“Kenyataannya begitu, Raf. Aku juga gak mau sebenarnya, tapi ini semua udah takdir dari Tuhan.”

“Kamu bisa sembuh, Ra. Ayo kita lakukan transplantasi ya? Ayo kita berjuang bareng-bareng.”

“Sekarang aku ngerti, kenapa Bunda Yumna bersikeras buat nyembuhin aku, ternyata ini.”

“Maksudnya?”

“Raf ... Om ... aku tetap ikhtiar kok buat kesembuhan penyakit aku,” “Aku memang udah pasrah sama Tuhan baiknya gimana, tapi aku juga masih berusaha,” “Jadi, jangan khawatir, aku, Ibu dan Ayah, kita lagi berusaha buat menyelesaikan ujian ini.”

“Aku mau bantu.”

“Diam, Raf!! Lama-lama aku muak sama kamu, kenapa kamu selalu bersikap seenaknya sama aku,” “Aku bener-bener gak ngerti dengan kamu yang tiba-tiba ngilang, terus datang lagi tanpa Izin,” “Aku bukan orang yang seenaknya bisa kamu permainkan!”

Araf hanya terdiam, memang benar ia hanya bersikap seenaknya terhadap Aira karena tindakannya selalu merasa yang paling benar.

Aira pergi meninggalkan rumah ini dengan emosi yang tidak terkontrol.

Viona yang melihat kejadian ini, hanya bisa terdiam. Viona masih terkejut dengan semua yang terjadi dihadapannya barusan.

Viona baru saja akan mengejar Aira, namun di tahan oleh Hendra. Untuk saat ini Aira hanya perlu sendiri untuk menenangkan dirinya.


Sekarang Aira hanya terduduk di kursi halte bus. Ditatapnya jam tangan yang melingkari pergelangan sudah menunjukan pukul dua siang. Ketika Aira sedang merasa banyak masalah, pasti akan lari ke makam tempat Papahnya di kuburkan. Namun jarak dari kota ini cukup jauh sehingga memerlukan bus untuk sampai ke sana.

Baru saja Aira akan melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam bus, tiba-tiba tubuhnya merasa lemas sekali, kaki terasa berat untuk dilangkahkan. Akhirnya, Aira mengurungkan niat tersebut dan memilih menunggu bus selanjutnya. Dan ternyata sudah tiga bus terlewati, tetap saja Aira tak mampu beranjak.

“Sesusah inikah mau cerita sama Papah?” lirih Aira.

Tiba-tiba badan Aira berkeringat dingin, telinga berdengung dan suara orang disekitar semakin menjauh, dan pandangan mulai kabur.

Kemudian ada seorang laki-laki yang langsung mendekati Aira yang sudah setengah sadar.

“Aira!!” Alden langsung menyangga tubuh Aira agar tidak terjatuh lemas ke bawah, menepuk-nepuk pelan pipinya agar tersadar.

“Ra? Kita pulang ya? Gue anter ke rumah lo” tanya Alden yang masih berusaha menyadarkan kembali Aira yang benar-benar lemas.

Tidak ada jawaban dari Aira.

Alden langsung mengantarkan Aira ke rumahnya, namun sesampainya di sana, tidak ada satu orang pun di dalam rumah tersebut.

Terpaksa Alden pun putar balik dan langsung membawa Aira ke rumahnya.

Setelah mendapatkan pesan dari dokter Hendra, Araf langsung pergi ke rumah Dokter Hendra untuk meluapkan semua kekesalannya.

Setelah sampai di rumah Hendra.

Araf langsung masuk ke rumah Hendra, ART di rumah ini sudah biasa dengan kedatangan Araf, sehingga Araf sangat mudah untuk masuk ke rumah ini.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Viona yang sedang membawa air putih untuk di bawa ke kamarnya.

“Papah ada?” tanya Araf buru-buru.

“Baru aja sampe, masuk aja, ada kok di ruangannya,” ungkap Viona.

Araf membuka pintu dengan keras. Hendra sudah menduga akan terjadi seperti ini, raut waja Araf merah padam dan dengan tangan yang mengepal, menandakan ada emosi yang ia tahan.

“Kenapa tiba-tiba dibatalkan?!”

“Ini gak bisa Raf, semua ini gak mudah.”

“Ini cuman pemeriksaan doang, Om. Apanya yang susah?!”

“Kamu mau melakukan kebodohan ini, demi siapa?”

“Demi Aira!! Dan ini bukan suatu kebodohan! Ini ketulusan!”

“Gak gini caranya, Raf. Kita juga harus bisa mengira ini berhasil atau tidak?” “Biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit, kita harus tes darah juga pemeriksaan DNA, belum lagi syarat-syarat yang lain!”

“Uang gak seberapa bagi aku, Om. Uang bisa di cari.”

“Gak semudah itu, Raf. Yang mendonor biasanya harus anggota keluarga, baru kemungkinan berhasilnya besar.”

“Bisa, Om. Kita coba dulu,”

“Sejuta berbanding satu, peluang kecocokan sumsum tulang pasien dengan pendonor asing, be smart Araf!”

“Demi Aira. Sebaiknya kita coba dulu, Om....”

“Gak bisa, Orang tua kamu akan sakit hati jika mendengar kamu akan mendonorkan ini bagi orang lain, Raf.” “Om tau perjuangan Bunda kamu untuk bisa memiliki anak,” “Yumna kosong selama dua tahun, kesana kemari belau cari cara agar bisa hamil,” “Tapi setelah kamu sempurna seperti ini, kenapa kamu malah berulah!”

“Pendonor banyak yang selamat dan dunia kedokteran di Indo juga udah berkembang sangat baik.”

“Iya, banyak yang berhasil. Tapi selain itu, kamu alergi terhadap anestesi. Dan itu bahaya!!!”

“Terus aku harus gimana, Om. Aku pengen Aira sembuh ....”

“Araf? ....” lirih Aira.

Yumna telah sampai terlebih dahulu di salah satu Restoran dekat kantor tempat Yumna bekerja.

Tidak lama kemudian, Aira pun sampai.

“Tante, udah nunggu lama?” tanya Aira langsung.

“Minum dulu, sayang,” “Tante juga baru sampai kok,” jawab Yumna.

“Tante gak libur kerja? Ini kan hari sabtu,” celoteh Aira.

“Ada keperluan di kantor, terus sebelum itu, Tante mau ngobrol sama kamu,” “Sering ketemu Om Hendra?” ungkap Yumna sambil menatap Aira dengan lembut namun di tatap dengan penuh rasa iba.

Tampak terlihat kalau senyum Aira memudar ketika Yumna menyebutkan nama Dokter tersebut. “Akhir-akhir ini aku sering menemui beliau, mungkin penyakitnya makin parah,” lirih Aira sambil menunduk.

“Nak ...” “Mulai sekarang, Tante mau bertanggung jawab atas semua pengobatan Aira,” “Tante siap buat biayain Aira berobat baik itu rawat jalan, kemoterapi maupun transplantasi sumsum tulang sekalipun,” “Tante bakalan cari pendonor yang cocok dan dipastikan tidak merugikan siapapun,” “Pokoknya tante pengen Aira sembuh seperti semula,” ungkap Yumna tulus.

“Tante ....” lirih Aira.

“Tolong jangan tolak niat baik Tante, Tante sayang sekali sama Aira.”

“Tapi Tante ....”

Aira hanya bisa mengernyitkan dahi, karena ini semua terlalu mendadak.

”Kok aneh ya? ....”