jwooshining

Setelah mendapatkan pesan dari Aira, Alden langsung keluar dari kelas menuju basement. Dalam keadaan panik, Alden mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Berkali-kali Alden terus menelfon Aira namun ternyata sedang ada dalam panggilan lain. Alden terus menerus memberikan pesan namun tak kunjung di balas.

Beberapa menit kemudian akhirnya sampai di rumah Aira. Alden memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah Aira yang ternyata tidak di kunci. Baru saja masuk, ternyata ada Air mineral yang berserakan di lantai, sepertinya Aira dapatkan dari supermarket pagi ini, tidak hanya itu, ada bubur dalam kantong plastik yang belum sempat Aira buka dan ada beberapa blister kapsul yang digunakan untuk mengobati kanker darah yang di derita Aira.

Alden berjalan pelan seraya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kini netranya menemukan sosok yang ia cari, Wajah Alden berubah sendu ketika dilihatnya Aira yang sedang meringkuk dekat meja makan sambil memegang kepalanya.

“Aira!!” teriak Alden sambil menghampiri Aira.

“....” Aira hanya meringis kesakitan.

“Ra ... kita ke Rumah sakit ya?” pinta Alden pelan.

“Sakit ....” lagi-lagi Aira meringis.

“Tahan ya?” ungkap Alden yang masih memikirkan cara, kemana harus membawa Aira pergi.

Tidak lama kemudian handphone Aira berbunyi kembali.

“Om Hendra ....” lirih Aira.

“Hmm? Kenapa? Om siapa?” tanya Alden sembari menghentikan Aira yang terus memukul kepalanya.

“Dokter Hendra .... handphone,” lirih Aira lemah.

“Bentar gue ambil dulu, tapi jangan terus memukul kepala, Ra ... nanti makin sakit,” pinta Alden.

Alden dengan segera meraih handphone yang berada di meja makan dan langsung menerima panggilan tersebut.

“Halo?”

“Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apanya yang sakit? Om jemput ke sana?”

“Saya temennya Aira, Dok. Saat ini Aira kesakitan, dari tadi terus memegang kepalanya.”

“Yasudah saya jemput kesana ya?”

“Tidak usah Dok, saya bawa mobil, Saya antar sekarang.”

“Syukurlah, tolong bawa Aira ke Rumah sakit Neo ya? Saya tunggu di depan UGD.”

“Baik, Dok.”

“Aira ... maaf ya,” pinta Alden meminta izin untuk menggendong Aira dan membawanya ke dalam mobil.

Di dalam mobil.

“Aira ... jangan di pukul-pukul terus kepalanya ya?”

“Sakit ....”

“Iya, tahan ya? Sebentar lagi kita sampai.”

Karena Alden merasa terganggu dengan pukulan Aira, dengan cepat Alden meraih tangan Aira dan memegangnya dan mengusap punggung tangannya dengan tangan sebelah kiri, sedangkan tangan satunya sibuk untuk menyetir.


Di Rumah Sakit, setelah pemeriksaan.

“Aira? Gimana udah baikan sekarang?” tanya Hendra ceria.

“Sudah, Om. Makasih ya,” ucap Aira.

“Makasihnya sama temen kamu, Sayang. Dari tadi dia panik terus tau,” ungkap Hendra.

“Siapa?” tanya Aira.

Tidak lama kemudian Alden datang.

“Aira? Gimana udah baikan?” tanya Alden.

“Alden?!” Aira terheran-heran.

“Iya, sayang, barusan Alden ngurusin dulu administrasi di depan,” “Sebentar?!” “Alden?” Hendra seperti tidak asing dengan namanya.

“Kenapa, Dok?” Alden tidak kalah heran.

“Kamu kenal Viona gak?” tanya Hendra.

“Viona? Pernah dengar,” ucap Alden.

“Oh ini orangnya,” Hendra terkekeh.

“Kenapa, Dok? Saya ada salah?” Tanya Alden penasaran.

“Biasa, anak muda,” “Dulu, Viona sering banget menceritakan kamu ke saya, semuanya dia ceritakan, sepertinya Viona benar-benar suka sama kamu, Den,” “Masa gak ngerti urusan anak muda, Vionanya saya cantik loh, Den,” “Sering-sering mampir ke rumah saya, Den. Main sama Viona, pasti Viona seneng banget,” ungkap Hendra.

“Lain kali Alden usahakan mampir, Dok, kalau gak sibuk,” jawab Alden ramah.

“Mau pulang!” tiba-tiba Aira mengeluh ingin pulang.

“Sekarang emang boleh?” tanya Alden memastikan.

“Boleh kok,” ucap Hendra, untuk aturan obatnya nanti saya kirim pesan saja ya? Biar gak lupa.

“Alden, boleh sekalian minta nomer handphone-nya? Barangkali ada hal penting,” pinta Hendra.

“Boleh banget, Dok,” jawab Alden.

“Panggil saya Om saja, Den. Atau mau panggil saya Papah seperti Viona juga boleh, kan gak ada yang tau kedepannya bagaimana?,” Goda Hendra.

“....” Di sana Alden hanya tersenyum sopan terhadap Hendra.

Hari senin telah tiba, saatnya anak kelas Farmasi A mengikuti mata kuliah Kimia Dasar. Alden dan Aira duduk bersebelahan.

Selama Kuliah berjalan, Alden tidak fokus mengikuti penjelasan Ibu Hana dalam menjelaskan materinya, dari tadi Alden terus mendengar Aira meringis pelan karena kesakitan. Sesekali, Alden melirik ke arah Aira yang sedari tadi terus menyita perhatiannya. Seketika nyali Alden menciut karena kedapatan menatap Aira yang di balas senyum manis oleh Aira. Alden yang biasanya memasang muka cuek, seketika menjadi malu-malu dan mukanya memerah.

Alden mengalihkan salah tingkah tersebut dengan mengirim pesan terhadap Jaffar yang sedang sok sibuk belajar, katanya memerhatikan dan memaknai setiap materi yang Ibu Hana sampaikan. Alasan! dari tadi Jaffan hanya menatap kagum Dosen tersebut, bukan mengagumi Kimianya.

Lima belas menit sebelum berakhir, Alden memberanikan diri untuk tanya Aira.

“Ra” panggil Alden pelan.

“Kenapa Den.” Aira langsung menoleh.

“Lo, sakit?”

“Keliatan banget ya?”

“Beneran sakit?!”

“Kepala aku agak sakit, terus badan aku agak menggigil juga,” “Tapi gapapa kok, nanti juga sembuh sendiri kok.”

“Habis ini ikut gue.”

“Ke mana?”

“Ke KUA.”

“Hah?!!”

“Ke rumah makan lah, lo harus makan banyak, gue yang traktir .”

“Ish iseng banget. Tapi, aku lagi gak nafsu makan deh, Den.”

“Jadi, lo nolak rezeki dari gue?!”

“Jangan marah, Den. Aku kan belum selesai ngomong.”

“Jadi mau ya?”

Aira mengangguk tanda setuju.


Di Rumah Makan Sate

Rumah Makan Sate? ungkap Aira dalam hati.

“Sebentar ya, gue pesenin dulu, inituh makanan kesukaan gue, Mami, Papi, sama Arah juga. Nah gue pengen lo juga ngerasain makanan seenak ini, siapa tau lo nafsu makan, syukur-syukur kalau nambah.”

“Kalau selain sate gak ada ya?”

“Gak ada, kan rumah makannya khusus, bentar ya? Lo duduk manis aja dulu.”

Tidak butuh waktu lama, akhirnya Alden datang sambil menenteng dua piring makanannya. “Bentar ya, gue ambil minumnya dulu,” ungkap Alden.

Beberapa menit kemudian.

“Ini dia, udah siap, sekarang lo harus cobain,” pinta Alden.

Baru saja Aira mengangkat sendok ke mulut, namun tiba-tiba seseorang menghentikannya.

“Aira!!!”

“Araf?”

Araf tidak sendirian, teman Araf berikut Shaka, Ezra dan Daffa juga ada di tempat ini, kini mereka hanya sedikit kikuk, dikarenakan Araf tidak pernah mengenalkan teman perempuannya selain Celyn dan Viona.

“Makan aja Ra! Ayo di makan! Sia-sia tuh Om Hendra rutin ngobatin kamu?”

“Kamu?” ungkap Shaka pelan.

“Raf, aku lagi pengen makan ini sekali aja, gapapa kan?”

“Jangan bertingka bodoh, Ra! Tolong sadar!” “Leukosit lo makin tinggi, sorry maksudnya sel kankernya yang tingg—“ ucapan Araf tehenti ketika Aira menutup mulut Araf yang sedang mengoceh.

“Raf?!!! Maksud lo apa?” tanya Alden kebingungan.

“Raf udah!! Ada Alden dan temen kamu di sini, jangan buat keributan, Ayo pulang!” ungkap Aira dengan emosi yang mulai memuncak.

Araf dan Aira akhirnya pergi dari sana.


Ketiga teman Araf bingung dibuatnya, namun mereka juga tidak bisa menyusul Araf dengan situasi seperti ini.

“Den, jatah buat Aira biar gue yang makan ya?” tanya Ezra tiba-tiba.

“Gak usah kasihanin gue, Zra,”

“Orang laper, mana bisa ngasihanin orang, mending ngasihanin perut gue lah,” “Buat lo Shaka, Daffa, ngapain kalian masih berdiri ngeliatin gue kayak gitu? Mending kalian bawa kursi terus gabung di meja sini, jangan lupa pesen dulu makanannya,” celoteh Ezra.

“Iya, bro! Ayo Shak” ajak Daffa. Akhirnya Daffa dan Sandra pergi untuk memesan makanannya.

“Kalian cocok tau,” ungkap Ezra tiba-tiba.

”...” Alden hanya menatap sinis Ezra.

“Gue tau, sejak SMP dulu, gue gak pernah liat lo suka sama cwewk, jangan salah paham, maksudnya belum tertarik, dan sekarang tuh lo kayak udah berubah banya—“

“Nanti lagi bahas giniannya, ada temen lo tuh udah bawa makan, nanti gue chat, sekalian ada yang mau gue tanyain,” ungkap Alden dingin.

“Ok,” balas Ezra singkat.


Araf dan Aira di mobil.

“Raf, bukain pintu mobilnya gak?!”

“Gak!”

“Araf, kamu apa-apaan sih?” “Kenapa kamu selalu kayak gini? Datang dan pergi seenak itu? “Bukannya kamu udah gak peduli lagi sama aku?” “Buat saat ini, mari kita fokus pada urusan masing-masing.”

“Aku antar pulang ya?”

“Araf! Kamu dengerin aku ngomong gak sih?!” “Permintaan aku gak sulit sama sekali, Raf!!”

Baru kali ini Araf melihat Aira semarah ini, dan kenapa rasanya sakit sekali ketika Araf mendengarnya.

“Silakan, Ra.” Akhirnya Araf membuka pintu mobil tersebut.

“Dan satu lagi, tolong balas pesan aku Raf, aku pengen nyelesain semuanya,” ungkap Aira dan langsung pergi.

Apa yang mau diselesaikan, Ra? ... Gak ada yang perlu diselesaikan ... Aku gak mau kita benar-benar selesai, Aira ....

-Nay.

Alden melangkahkan kakinya masuk ke dalam kafe. Entah kenapa Alden tiba-tiba merasa nervous. Salah tingkah. Di sana Aira melambaikan tangan dan melempar senyum manisnya terhadap Alden. Dengan senyum ramah Alden langsung menyapa wanita yang belakangan ini selalu mengganggu pikirannya.

“Aira? Kenapa baru main sekarang?” tanya Alden sambil membuka jaket dan topinya.

“Aku ke sini sekalian mau ngembaliin jaket kamu,” balas Aira.

“Jadi, kalau gak ada jaket, gak akan ke sini, gitu?” tanya Alden lagi.

“Napas dulu atuh, A. Ngebet banget,” ungkap Sarah tiba-tiba.

“Ngebet apa?” tanya Aira polos.

Di sana Alden sudah mengawasi Sarah agar tidak memberitahukan tentang perasaannya terhadap Aira.

“Ngebet nugas? Jurnal atau apalah itu, katanya mau ngerjain bareng, di sini,” ungkap Sarah memutar pembicaraan.

“Oh ya? Tapi aku gak bawa laptop,” ungkap Aira.

“Gampang, ada laptop gue kok, gantian aja.”

“Boleh tuh, Eh, tapi Arah kerja sendirian dong?”

“Gapapa, diamah gak bisa di ganggu kalau udah fokus kerja, nanti buyar.”

“Mana ada!!!!” ungkap Sarah kesal.

“Bilang aja, Aa mau modus ya?” goda Sarah.

“Apasih, Cil. Kerja aja yang bener sono,” balas Alden kesal.

Hari Senin merupakan awal untuk segala kegiatan yang akan dilakukan dalam seminggu ke depan. Bagi anak-anak kelas Farmasi A di Universitas Neo ini, hari senin merupakan hari penyiksaan baik lahir maupun batin secara terselubung.

Bagaimana tidak, kelas ini harus mengikuti kelas secara paralel, lima mata kuliah berturut-turut. Tiga mata kuliah sebelum dzuhur dan dua mata kuliah sesudah istirahat dzuhur, belum lagi semua mata kuliah ada tugas atau ada kuis dadakan.

Tidak semua beranggapan bahwa hari senin merupakan hari yang buruk, banyak juga yang menyalurkan energi positif dalam mengikuti kuliah dengan dalih harus semangat melewati hari ini, karena nikmat setelah hari senin adalah yang di tunggu-tunggu.

Jika kelas lain harus mengikuti kuliah dengan jadwal rata, sehari dua sampai tiga mata kuliah, sisa yang lainnya mereka lakukan di hari Jumat dan Sabtu, sedangkan kelas A bisa menikmati indahnya kuliah dengan satu mata kuliah di hari Jumat dengan bobot satu SKS dan libur di hari Sabtu.


Akhirnya tiba di mata kuliah terakhir yang di tutup dengan mata kuliah Fisika dasar 1 yang sebentar lagi selesai. Lima belas menit sebelum berakhir, Aira terkejut karena lagi-lagi keluar darah dari hidungnya, dengan cepat ia mencari tisu untuk membersihkan darah tersebut, namun tidak seperti biasanya, ternyata darah yang keluar cukup banyak, sehingga Aira memutuskan untuk pergi ke toilet.

Ternyata, di balik kejadiaan itu, ada seseorang yang memerhatikan gerak-gerik Aira dengan tatapan cemas siapa lagi kalau bukan Alden. Lima belas menit berlalu, kuliah telah selesai, akan tetapi Aira belum juga kembali dari toilet. Karena khawatir, akhirnya Alden berinisiatif untuk menyusul Aira sambil menenteng tasnya.

Alden menunggu di luar toilet wanita sekitar lima menit, tidak lama kemudian akhirnya Aira muncul.

“Lama banget Ra,” ucap Alden yang membuat Aira kaget.

“Heh?! Ngagetin banget tau gak,” “Kamu bawain tas aku? Ya ampun, makasih banyak Den,” ungkap Aira terharu.

Alden menatap Aira dengan intens , tiba-tiba Alden menaruh tangannya di dahi Aira. “Lo demam? Mana pucet gini?” “Masih belum ke dokter juga?”

“Kuliah woy! Bukan pacaran.” Tiba-tiba seseorang meledek Alden.

Aira dan Alden menoleh ke sumber suara secara bersamaan. “Ezr ...” ucapan Alden terhenti, karena bukan hanya ada Ezra saja di sana, melainkan ada Araf, Shaka, dan Daffa yang kebetulan Fakultasnya melewati Fakultas Farmasi.

“Udah selesai kuliah Den?” tanya Ezra, namun tak kunjung di jawab oleh Alden. Suasana berubah tegang ketika di lihatnya, Alden menatap Araf dengan tatapan kebencian dengan waktu yang cukup lama. Aira yang bingung dengan keadaan ini, akhirnya menyadarkan Alden.

“Den, ayo pulang,” pinta Aira pelan.

“Iya, Ra. Sekarang kita pulang, gue yang anter lo pulang,” balas Alden dengan menggenggam tangan Aira, menarik dan membawanya pergi.


“Ini perasaan gue doang apa gimana? Barusan tatapan Alden kayak mau makan lo Raf,” “Lo kenal?” tanya Ezra penasaran.

“Lo salah liat kali,” balas Araf singkat.

Aneh ....

Alden bersicepat menuju Bandara setelah menerima pesan dari Ibunya Aira. Matanya sibuk mengedarkan pandangan ke segala arah demi menemukan sosok wanita yang baru ia kenal akhir-akhir ini. Mata yang sibuk mencari dan tangan yang sibuk memberi pesan yang tak kunjung di balas dan telfon yang tak kunjung di angkat.

Setelah beberapa menit, akhirnya Alden menemukan wanita tersebut yang sedang duduk di kursi bandara, dia sendirian, terdiam lemas, menunduk, seakan-akan kekecewaa hanya miliknya sekarang.

Alden melangkah menghampiri tepat di hadapan Aira. Aira menatap Alden dari ujung kaki, hingga wajah Aira tidak lagi menunduk, di lihatnya Alden dengan wajah khawatir dan napas yang masih tersengal-sengal

“Alden?!”

“Kenapa lo ilang-ilangan?” “Kenapa belum pulang? Gimana kalau Ibu lo nyariin lo?”

“Ibu mana peduli, Den.” Aira beranjak dari duduknya.

“Kok kamu tau, kalau aku di sini?”

“Gue kebetulan lewat, ternyata ada lo di sini.”

“Ck. Alasan kamu tuh ya, haha.”

“Kenapa? Serius loh.”


Tiba-tiba.

“Ra ... Ra! Aira!!! Hidung lo mimisan,” ucap Alden dan dengan sigap mencari saputangan akan tetapi sepertinya Alden tidak membawanya, dengan segera, Alden melepaskan jaket hitamnya untuk membersihkan darah yang keluar.

“Gak papa, Den, nanti jaket lo kotor. Aku cari toliet dulu bentar ya?” ucap Aira dengan menengadahkan kepalanya.

“Ra, gak boleh menengadah kayak gitu, bahaya. Coba lo duduk dulu, terus condongkan tubuh lo ke depan?”

“Terus?”

“Cubit cuping hidung lo.”

“Eh, gimana?”

“Iya, cubit pake Ibu Jari dan jari telunjuk, tahan sampai lima belas menitan.”

“Lama banget?!”

“Jangan bandel, lakuin aja.”

“Eh iya, udah gak ngalir lagi, makasih ya.” “Bau anyir, aku izin ke toilet dulu ya? Bentar doang kok.”

“Boleh. Hati-hati tapi.”

“Iya.”

Setelah lima menit berlalu, akhirnya Aira datang.

“Udah gak anyir lagi, yuk pulang, kamu bawa helm dua kan?”

“Naik taksi aja ya? Gue yang bayar, tenang.”

“Kenapa sih? Seriusan gapapa, aku kayaknya kurang tidur aja.”

“Ada syaratnya!”

“.....” Aira hanya menatap Alden heran.

“Pake dulu jaket gue, kalau gak mau, gue cariin taksi sekarang.”

“Iya bawel. Padahal jaket kamu aja masih ada di aku.”

“Gak usah dibalikin juga gak papa.”

“Mulutmu gapapa, nanti Ibu kamu nyariin terus gaada, auto di amuk loh.”

“Mulut lo yang harusnya diem,” ucap Alden sambil memasangkan helm dan tidak sengaja mata mereka beradu pandang yang membuat keadaan menjadi sangat canggung. Alden tersenyum singkat “Biasa aja ngeliatinnya.”

“....” Aira hanya bisa menelan ludahnya karena gugup.

Perasaan apa ini?

Pagi hari ini rintik hujan mengiringi langkah kami untuk beraktivitas salah satunya mengikuti ujian masuk Universitas. Aira di antar oleh supir kantor Ayahnya, karena terburu-buru, Aira pun lupa membawa payung. Aira harus berlari saat turun dari mobil agar tidak basah kuyup, ketika turun dari mobil tersebut, banyak sekali penjual yang menawarkan alat tulis, buku panduan tes psikotes dan sebagainya, namun Aira terus melanjutkan langkahnya menuju ruangan kelas tanpa menghiraukan tawaran tersebut.

Di koridor kampus. “Ohiya, aku bawa pensil gak ya?” “Gak enak perasaan nih,” “....” “Mampus, ketinggalan di rumah arghhh,” “Mau gak mau mesti lari ke depan gerbang, tadi banyak yang jualan di sana,” gerutu Aira sambil menutup kembali tasnya dan langsung berlari.

Tiba-tiba ...“Bruk!” Aira menabrak seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar, memakai topi yang menutupi setengah wajah sehingga wajahnya hampir tak terlihat.

“Maaf ... Maaf ... aku gak sengaja,” “Loh? ... kamu kapten basket kelas sebelah kan?” tanya Aira dengan memastikan wajah laki-laki tersebut.

“Mau ke mana buru-buru? Dua menit lagi masuk psikotes loh.” Alden malah balik tanya.

“Alat tulis aku ketinggalan, aku mau beli dulu ke depan gerbang.”

“Hujan.”

“Ya terus gimana? Orang tesnya pake pensil.”

“Gue bawa,” “Gue pinjemin.”


Tes psikotes berlangsung selam tiga jam, Aira dan calon mahasiswa lainnya keluar dari kelas dengan wajah frustasinya. Sambil memijat pelipis yang berdenyut, Aira duduk menunggu supir menjemputnya. “Masih hujan?” “Harusnya Alhamdulillah gaksi, hujan kan rezeki,” gerutu Aira sambil mengecek pesan dari supirnya.

“Lo di jemput?” tanya Alden yang tiba-tiba muncul di dekat Aira.

“Eh kaget! Iya lagi nunggu supir, tapi mau isi bensin dulu katanya,” “Lupa! pensil kamu, bentar,” ucap Aira sambil mengeluarkan pensil yang tadi ia pinjam dari Alden.

“Gak usah di balikin,” “Masih lama?”

“Hah?! Apanya?”

“Supir lo.”

“Oh, gatau juga sih, tapi kayaknya gak lama deh.”

“Yaudah, nih pake jaket gue, dingin.”

“Gapapa gak usah.”

“Kasian tubuh lo kedinginan, mana muka udah pucet kayak gitu,” “Gue mau pulang duluan, sorry gak bisa ajak lo, gue pake motor, bawa jas hujan sama helmnya cuman satu.”

“Gapapa kok, makasih banyak ya, kamu banyak bantu aku dari tadi, maaf jadi ngerepotin kayak gini,” “Nanti aku balikin jaketnya.”

“Iya,” balas Alden kemudian berjalan menjauh meninggalkan Aira di sana.

Aira sangat bersyukur untuk kejadian hari ini, setelah beberapa hari ribut perkara jurusan yang mau di ambil, kini semuanya terasa hilang karena tergantikan dengan munculnya orang baik seperti Alden, sehingga Aira percaya bahwa dia tidak akan pernah benar-benar sendirian.

Pagi hari ini rintik hujan mengiringi langkah kami untuk beraktivitas salah satunya mengikuti ujian masuk Universitas. Aira di antar oleh supir kantor Ayahnya, karena terburu-buru, Aira pun lupa membawa payung. Aira harus berlari saat turun dari mobil agar tidak basah kuyup, ketika turun dari mobil tersebut, banyak sekali penjual yang menawarkan alat tulis, buku panduan tes psikotes dan sebagainya, namun Aira terus melanjutkan langkahnya menuju ruangan kelas tanpa menghiraukan tawaran tersebut.

Di koridor kampus. “Ohiya, aku bawa pensil gak ya?” “Gak enak perasaan nih,” “....” “Mampus, ketinggalan di rumah arghhh,” “Mau gak mau mesti lari ke depan gerbang, tadi banyak yang jualan di sana,” gerutu Aira sambil menutup kembali tasnya dan langsung berlari.

Tiba-tiba ...“Bruk!” Aira menabrak seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar, memakai topi yang menutupi setengah wajah sehingga wajahnya hampir tak terlihat.

“Maaf ... Maaf ... aku gak sengaja,” “Loh? ... kamu kapten basket kelas sebelah kan?” tanya Aira dengan memastikan wajah laki-laki tersebut.

“Mau ke mana buru-buru? Dua menit lagi masuk psikotes loh.” Alden malah balik tanya.

“Alat tulis aku ketinggalan, aku mau beli dulu ke depan gerbang.”

“Hujan.”

“Ya terus gimana? Orang tesnya pake pensil.”

“Gue bawa,” “Gue pinjemin.”


Tes psikotes berlangsung selam tiga jam, Aira dan calon mahasiswa lainnya keluar dari kelas dengan wajah frustasinya. Sambil memijat pelipis yang berdenyut, Aira duduk menunggu supir menjemputnya. “Masih hujan?” “Harusnya Alhamdulillah gaksi, hujan kan rezeki,” gerutu Aira sambil mengecek pesan dari supirnya.

“Lo di jemput?” tanya Alden yang tiba-tiba muncul di dekat Aira.

“Eh kaget! Iya lagi nunggu supir, tapi mau isi bensin dulu katanya,” “Lupa! pensil kamu, bentar,” ucap Aira sambil mengeluarkan pensil yang tadi ia pinjam dari Alden.

“Gak usah di balikin,” “Masih lama?”

“Hah?! Apanya?”

“Supir lo.”

“Oh, gatau juga sih, tapi kayaknya gak lama deh.”

“Yaudah, nih pake jaket gue, dingin.”

“Gapapa gak usah.”

“Kasian tubuh lo kedinginan, mana muka udah pucet kayak gitu,” “Gue mau pulang duluan, sorry gak bisa ajak lo, gue pake motor, bawa jas hujan sama helmnya cuman satu.”

“Gapapa kok, makasih banyak ya, kamu banyak bantu aku dari tadi, maaf jadi ngerepotin kayak gini,” “Nanti aku balikin jaketnya.”

“Iya,” balas Alden kemudian berjalan menjauh meninggalkan Aira di sana.

Aira sangat bersyukur untuk kejadian hari ini, setelah beberapa hari ribut perkara jurusan yang mau di ambil, kini semuanya terasa hilang karena tergantikan dengan munculnya orang baik seperti Alden, sehingga Aira percaya bahwa dia tidak akan pernah benar-benar sendirian.

Pagi hari ini rintik hujan mengiringi langkah kami untuk beraktivitas salah satunya mengikuti ujian masuk Universitas. Aira di antar oleh supir kantor Ayahnya, karena terburu-buru, Aira pun lupa membawa payung. Aira harus berlari saat turun dari mobil agar tidak basah kuyup, ketika turun dari mobil tersebut, banyak sekali penjual yang menawarkan alat tulis, buku panduan tes psikotes dan sebagainya, namun Aira terus melanjutkan langkahnya menuju ruangan kelas tanpa menghiraukan tawaran tersebut.

Di koridor kampus. “Ohiya, aku bawa pensil gak ya?” “Gak enak perasaan nih,” “....” “Mampus, ketinggalan di rumah arghhh,” “Mau gak mau mesti lari ke depan gerbang, tadi banyak yang jualan di sana,” gerutu Aira sambil menutup kembali tasnya dan langsung berlari.

Tiba-tiba ...“Bruk!” Aira menabrak seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar, memakai topi yang menutupi setengah wajah sehingga wajahnya hampir tak terlihat.

“Maaf ... Maaf ... aku gak sengaja,” “Loh? ... kamu kapten basket kelas sebelah kan?” tanya Aira dengan memastikan wajah laki-laki tersebut.

“Mau ke mana buru-buru? Dua menit lagi masuk psikotes loh.” Alden malah balik tanya.

“Alat tulis aku ketinggalan, ini mau beli dulu ke depan gerbang.”

“Hujan.”

“Ya terus gimana? Orang tesnya pake pensil.”

“Gue bawa,” “Gue pinjemin.”


Tes psikotes berlangsung selam tiga jam, Aira dan calon mahasiswa lainnya keluar dari kelas dengan wajah frustasinya. Sambil memijat pelipis yang berdenyut, Aira duduk menunggu supir menjemputnya. “Masih hujan?” “Harusnya Alhamdulillah gaksi, hujan kan rezeki,” gerutu Aira sambil mengecek pesan dari supirnya.

“Lo di jemput?” tanya Alden yang tiba-tiba muncul di dekat Aira.

“Eh kaget! Iya lagi nunggu supir, tapi mau isi bensin dulu katanya,” “Lupa! pensil kamu, bentar,” ucap Aira sambil mengeluarkan pensil yang tadi ia pinjam dari Alden.

“Gak usah di balikin,” “Masih lama?”

“Hah?! Apanya?”

“Supir lo.”

“Oh, gatau juga sih, tapi kayaknya gak lama deh.”

“Yaudah, nih pake jaket gue, dingin.”

“Gapapa gak usah.”

“Kasian tubuh lo kedinginan, mana muka udah pucet kayak gitu,” “Gue mau pulang duluan, sorry gak bisa ajak lo, gue pake motor, bawa jas hujan sama helmnya cuman satu.”

“Gapapa kok, makasih banyak ya, kamu banyak bantu aku dari tadi, maaf jadi ngerepotin kayak gini,” “Nanti aku balikin jaketnya.”

“Iya,” balas Alden kemudian berjalan menjauh meninggalkan Aira di sana.

Aira sangat bersyukur untuk kejadian hari ini, setelah beberapa hari ribut perkara jurusan yang mau di ambil, kini semuanya terasa hilang karena tergantikan dengan munculnya orang baik seperti Alden, sehingga Aira percaya bahwa dia tidak akan pernah benar-benar sendirian.

Setelah melewati kehidupan dewasa yang cukup sulit, kini Ayleen dan Jay merasakan nikmatnya kebahagiaan. Segala rintangan telah mereka hadapi walaupun tidak cukup sampai sini, badai pasti selalu menghampiri yang hadir sebagai bumbu pernikahan mereka.

Ayleen dan Jay yang sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang gagah bernama Ajisa Arvin Zafar yang sering dipanggil Kakak.

Ketika Ajisa lahir, banyak sekali perdebatan, bukan tentang masalah serius tapi memperebutkan cucu pertama mereka untuk tinggal di rumah mereka setelah pulang dari rumah sakit.

Ajisa diperebutkan oleh tigak kakek yaitu Teza, Sanjaya dan Juga Tirta. Tirta?, ya sebelum pernikahan Jay dan Ayleen, Tirta akhirnya menikahi Salmira yang merupakan cinta pertamanya sewaktu SMA dulu. Beberapa bulan jadi Ayah tiri Ayleen, Tirta sudah dikaruniai cucu pertamanya dari Ayleen. Ketiga laki-laki tersebut memperebutkan Ajisa agar pada saat keluar dari rumah sakit, Ajisa tinggal di rumah mereka.

Karena perdebatan tersebut tak kunjung selesai akhirnya Jay dan Ayleen memutuskan untuk pulang ke rumah mereka sendiri, agar terasa adil maka untuk ketiga kakeknya Ajisa bisa datang kapanpun yang mereka mau. Akhirnya keluarga Teza, Sanjaya dan Tirta datang bergantian ke rumah Jay untuk menengok dan menjaga cucu pertama mereka.

Tidak lupa terhadap Tian, beberapa tahun terakhir ini tidak ada kabar tentangnya. Dalam beberapa tahun ini Tian fokus mengurus bisnis dan juga keluarga kecilnya di Malaysia. Tian sempat menemui Ayleen saat Ajisa lahir di rumah sakit. Tian juga sudah dikaruniai dua orang anak yang sangat manis.

Saat ini Ajisa sudah berumur dua belas tahun, sebentar lagi Ajisa akan berumur tiga belas tahun, di umur tersebut Ajisa bukan lagi anak tunggal, melainkan akan jadi seorang Kakak bagi adik perempuannya yang sebentar lagi akan lahir. Ajisa sangat menyayangi kedua orang tuanya. Namun ada kalanya anak itu pasti pernah melakukan kesalahan, dan tugas orang tualah yang selalu mengingatkan anaknya tersebut agar kembali ke jalan yang benar.


Dalam beberapa hari ini Ajisa sering tidak mendengarkan Bundanya, Jay yang selalu menitipkan Ayleen yang sedang hamil besar terhadap Ajisa, sering kali Ajisa tidak menggubris. Permintaan Ayleen selalu Ajisa abaikan. Ajisa semakin berani tidak mendengarkan Bundanya karena Bundanya tersebut mudah memaafkan dan memaklumi dirinya.

Jay yang selalu memeriksa room chat antara Ajisa dan Ayleen, kini merasa geram dibuatnya. Jay merasa kalau dirinya sangat buruk dalam mendidik anaknya. Bisa-bisanya Ajisa sering mengabaikan permintaan Bundanya padahal sedang hamil besar.

Sesampainya dari supermarket Jay langsung mandi dan langsung masak untuk makan malam nanti. “Mas, biar aku aja yang masak,” “Mas pasti capek abis kerja di kantor.”

“Gapapa sayang, mas lagi semangat masak nih,” “Kamu istirahat aja, percayakan semuanya sama Mas ya.”

“Yasudah aku mau mandi aja.”

Setelah mandi, Ayleen langsung meluncur ke dapur untuk melihat suaminya yang masih sibuk memasak. Jay menolak bantuan Ayleen dan memaksa Ayleen untuk duduk manis di kursi meja makan. Ayleen menganggap Jay lebih menawan untuk saat ini, tidak lama kemudian Ayleen memposting sesuatu untuk mengabadikan moment tersebut di akun twitternya.

Akhirnya Jay telah selesai memasak dan langsung menghampiri istrinya yang sedang santai di sofa sambil menonton televisi.

“Sini ...” pinta Ayleen sambil pukpuk paha. Jay duduk dipangkuan istrinya tersebut menghadap ke perut Ayleen yang sudah membesar.

“Ay, bentar lagi anak kedua kita lahir,” “Gak sabar banget rasanya, tapi takut juga.”

“Takut kenapa?”

“Takut kamu kesakitan, aku masih gak tega Ay.” “Aku aja yang ngerasain sakit.”

“Hush jangan ngomong kayak gitu, aku gak mau ya saat lahiran nanti kamu gak ada di samping aku kayak waktu ngelahirin kakak,” “Kamu di infus tiga hari, aku panik tau,” “Doanya minta dilancarin dan disehatkan aja dua-duanya,” “Perihal sakit, itu udah jadi kodratnya aku sebagai perempuan.”

“Tapi yang, aku gak bisa.”

“Gak! Aku mau Mas ada di samping aku pas nanti aku lahiran,” “Dengerin aku, semua sakit yang aku rasain, akan hilang seketika,” “Kenapa? Karena saking bahagianya anak kita lahir.”

“Janji sama Mas, kamu harus kuat.”

“iya aku janji.”

Tidak lama kemudian Ajisa datang, dengan sigap Jay kembali duduk tegap karena sikap manjanya tidak mau diketahui Ajisa.

“Akhirnya kakak pulang, Bunda kangen banget tau,” ungkap Ayleen sambil peluk cium anaknya tersebut dengan senyum bahagianya.

“Ayo makan,” ucap Jay dengan sikap dingin terhadap Ajisa.

Makan malam saat ini dalam situasi yang canggung dan mencekam ketika Jay bersikap tidak seperti biasanya, kekecewaan Jay terhadap Ajisa sangat jelas terlihat. Ayleen tidak bisa berbuat apa-apa, karena baru pertama kali melihat Jay semarah ini. Setelah makan malam selesai akhirnya Jay membuka suara.

“Tadi Ayah liat room chat Bunda sama Kakak,” “Permintaan Bunda gak begitu sulit loh,” ungakp Jay dingin.

“Ayah, jangan mulai deh, Kakak lagi makan,” pinta Ayleen.

“Sekarang Ayah tanya,” “Kakak sayang gak sama Bunda?” ucap Jay dengan tanpa menatap anaknya tersebut.

“Kakak ...” “Kakak sayang sekali sama Bunda, Yah,” balas Ajisa dengan suara yang mulai bergetar karena gugup dan takut.

“Syukurlah ....” ungkap Jay sambil beranjak dari kursi meninggalkan mereka dan langsung menuju kamar tidur.

Melihat situasi tersebut Ayleen langsung memeluk Ajisa. “Gapapa, Ayah lagi capek aja, sekarang kakak naik juga ya? mandi terus langsung tidur” pinta Ayleen sambil mengelus puncak kepala Ajisa pelan.

“Ayah marah banget Bun,” lirih Ajisa yang mulai berkaca-kaca.

“Enggak, percaya sama Bunda ya?” tegas Ayleen.

-Nay.

Jay dan Ayleen hanya bisa saling menatap tak percaya. Keduanya hanya bisa diam pada posisi masing-masing, tubuh keduanya mendadak kaku tidak bisa bergerak. Keduanya masih tetap saling menatap dan memastikan bahwa yang ada di depan mata mereka adalah sosok yang dirindukan selama ini. Sampai pada akhirnya Jay mendekati Ayleen dan langsung memeluk hangat tubuhnya, Jay berusaha untuk mengatur nafas dan degup jantungnya masih sama seperti dulu.

“Ayleen ...” “Syukurlah nyatanya memang kamu selalu baik-baik saja,” lirih Jay yang masih memeluk erat tubuh Ayleen.

“....”

“Ay, datanglah disaat kamu udah siap dengan semuanya,” “Aku juga sedang berusaha jadi orang lebih baik kok,” “Tolong jangan terluka lagi ya? Hubungi aku kapanpun kalau kamu mau, kalau gak bisa? Gapapa, kita gak tau kedepannya seperti apa,” “Tolong selalu baik-baik saja kayak gini ya?” “Aku harus pergi, aku harus memberikan bunga ini sekarang,” lirih Jay dan melepaskan pelukannya setelah beberapa menit, Jay menatap dalam mata Ayleen dan menghapus air mata yang membasahi pipi Ayleen.

Dengan kesedihan yang amat mendalam , dan langkah kaki yang berat untuk melangkah, akhirnya Jay meninggalkan Ayleen. Ayleen hanya menatap punggung Jay yang perlahan menjauh, lalu berlari mengejar Jay.

“Jay!” “Kamu akan pergi gitu aja?”

“....”

“Tolong bawa aku pergi dari sini,” pinta Ayleen dengan air mata yang mulai menetes kembali.

Mendengar itu, langkah Jay terhenti dan berbalik badan, memandang hangat Ayleen di sana, Jay kemudian menghampiri Ayleen lagi.

“Ay, kenapa kamu melakukan ini? bagaimana kalau nanti Ibu kamu tau?”

Ayleen mulai kesal dengan kenyataan ini. “Aku udah gak peduli lagi Jay, aku udah capek hidup yang serba dibatasi, jadi tolong bawa aku pergi,” pinta Ayleen sambil meremas tangannya sendiri karena emosi yang sudah mulai memuncak.

Melihat itu Jay langsung menggenggam tangan Ayleen.

“Aku yang gak bisa, Ay. Tolong mengerti.”

“Ga bisa kenapa?” “....” “Ah, kenapa aku lamban sekali,” “Maaf Jay, pasti hari ini tanggal penting buat kamu ya?” “Lupa kalau kamu harus memberikan bunga ini pada seseorang,” “Maaf, tadi aku terlalu emosi,” “Kamu boleh pergi sekarang,” “Bahagia terus ya Jay?”

Baru saja Ayleen yang akan pergi dari hadapan Jay, langsung di tahan oleh Jay. “ Apa yang kamu pikirkan tentang bunga ini, Ay?”

“Aku tau arti dari bunga itu, Jay,” “Pasti sekarang pacar kamu atau istri kamu? Sedang menunggu hadiah ini kan?”

“Apakah bunga ini harus tentang itu?” “Bukan itu alasannya, Ay! Tapi aku gak bisa lihat kamu kritis seperti tiga tahun yang lalu,” “Hatiku hancur melihat kamu seperti itu?” “Aku gak bisa mengurus kamu waktu itu,” “Aku selalu gak bisa tidur karena belum memastkan kamu udah sadar dan baik-baik saja,” ungkap Jay yang sudah mulai emosi.

“Kamu beneran ke sana?”

“Iya, waktu itu situasinya aku lagi jemput Reta karena ketinggalan Bis. Entah ada apa dengan hari itu mobil aku mogok, alhasil aku harus menginap dan mencari hotel, baru saja akan memesan dua kamar, tiba-tiba Om Tirta mengirim pesan lagi, dan aku di beri kesempatan buat menjaga kamu selama satu malam sebelum Ibu kamu datang di pagi hari untuk ganti shift dengan Om Tirta,” “Jadinya aku pesan satu hotel untuk Reta, paginya setelah menjenguk kamu, aku pergi ke hotel itu sambil menunggu mobil yang ada di bengkel, siangnya baru kita pulang,” “Percayalah, setelah itu aku makin gak bisa tenang, karena gak tau, kamu baik-baik saja atau enggak,” “Untungnya Om Tirta selalu rutin ngasih kabar, baik atau enggak, selebihnya aku gak tau kamu ngapain aja dan apa yang kamu lakukan,” “Tapi aku bersyukur, dengan mendengar kabar kamu saja itu sudah cukup bagi aku,” ungkap Jay meluruskan prasangka Ayleen.

Dengan tangan yang masih di genggam, Jay memeriksa pesan melalu Handphone, di sana Jay tersenyum lebar.

“Ay, ayo kita pulang,” “Kali ini aku gak akan pernah melepaskan kamu lagi, apapun yang terjadi,” ungkap Jay bertekad kuat.

Jay menarik Ayleen untuk masuk ke dalam mobil Jay, dan langsung membawa Ayleen pergi dari sana.

-Nay.