Pertemuan pertama

Pagi hari ini rintik hujan mengiringi langkah kami untuk beraktivitas salah satunya mengikuti ujian masuk Universitas. Aira di antar oleh supir kantor Ayahnya, karena terburu-buru, Aira pun lupa membawa payung. Aira harus berlari saat turun dari mobil agar tidak basah kuyup, ketika turun dari mobil tersebut, banyak sekali penjual yang menawarkan alat tulis, buku panduan tes psikotes dan sebagainya, namun Aira terus melanjutkan langkahnya menuju ruangan kelas tanpa menghiraukan tawaran tersebut.

Di koridor kampus. “Ohiya, aku bawa pensil gak ya?” “Gak enak perasaan nih,” “....” “Mampus, ketinggalan di rumah arghhh,” “Mau gak mau mesti lari ke depan gerbang, tadi banyak yang jualan di sana,” gerutu Aira sambil menutup kembali tasnya dan langsung berlari.

Tiba-tiba ...“Bruk!” Aira menabrak seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar, memakai topi yang menutupi setengah wajah sehingga wajahnya hampir tak terlihat.

“Maaf ... Maaf ... aku gak sengaja,” “Loh? ... kamu kapten basket kelas sebelah kan?” tanya Aira dengan memastikan wajah laki-laki tersebut.

“Mau ke mana buru-buru? Dua menit lagi masuk psikotes loh.” Alden malah balik tanya.

“Alat tulis aku ketinggalan, ini mau beli dulu ke depan gerbang.”

“Hujan.”

“Ya terus gimana? Orang tesnya pake pensil.”

“Gue bawa,” “Gue pinjemin.”


Tes psikotes berlangsung selam tiga jam, Aira dan calon mahasiswa lainnya keluar dari kelas dengan wajah frustasinya. Sambil memijat pelipis yang berdenyut, Aira duduk menunggu supir menjemputnya. “Masih hujan?” “Harusnya Alhamdulillah gaksi, hujan kan rezeki,” gerutu Aira sambil mengecek pesan dari supirnya.

“Lo di jemput?” tanya Alden yang tiba-tiba muncul di dekat Aira.

“Eh kaget! Iya lagi nunggu supir, tapi mau isi bensin dulu katanya,” “Lupa! pensil kamu, bentar,” ucap Aira sambil mengeluarkan pensil yang tadi ia pinjam dari Alden.

“Gak usah di balikin,” “Masih lama?”

“Hah?! Apanya?”

“Supir lo.”

“Oh, gatau juga sih, tapi kayaknya gak lama deh.”

“Yaudah, nih pake jaket gue, dingin.”

“Gapapa gak usah.”

“Kasian tubuh lo kedinginan, mana muka udah pucet kayak gitu,” “Gue mau pulang duluan, sorry gak bisa ajak lo, gue pake motor, bawa jas hujan sama helmnya cuman satu.”

“Gapapa kok, makasih banyak ya, kamu banyak bantu aku dari tadi, maaf jadi ngerepotin kayak gini,” “Nanti aku balikin jaketnya.”

“Iya,” balas Alden kemudian berjalan menjauh meninggalkan Aira di sana.

Aira sangat bersyukur untuk kejadian hari ini, setelah beberapa hari ribut perkara jurusan yang mau di ambil, kini semuanya terasa hilang karena tergantikan dengan munculnya orang baik seperti Alden, sehingga Aira percaya bahwa dia tidak akan pernah benar-benar sendirian.