Tertumbuk Akal

Setelah mendapatkan pesan dari dokter Hendra, Araf langsung pergi ke rumah Dokter Hendra untuk meluapkan semua kekesalannya.

Setelah sampai di rumah Hendra.

Araf langsung masuk ke rumah Hendra, ART di rumah ini sudah biasa dengan kedatangan Araf, sehingga Araf sangat mudah untuk masuk ke rumah ini.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Viona yang sedang membawa air putih untuk di bawa ke kamarnya.

“Papah ada?” tanya Araf buru-buru.

“Baru aja sampe, masuk aja, ada kok di ruangannya,” ungkap Viona.

Araf membuka pintu dengan keras. Hendra sudah menduga akan terjadi seperti ini, raut waja Araf merah padam dan dengan tangan yang mengepal, menandakan ada emosi yang ia tahan.

“Kenapa tiba-tiba dibatalkan?!”

“Ini gak bisa Raf, semua ini gak mudah.”

“Ini cuman pemeriksaan doang, Om. Apanya yang susah?!”

“Kamu mau melakukan kebodohan ini, demi siapa?”

“Demi Aira!! Dan ini bukan suatu kebodohan! Ini ketulusan!”

“Gak gini caranya, Raf. Kita juga harus bisa mengira ini berhasil atau tidak?” “Biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit, kita harus tes darah juga pemeriksaan DNA, belum lagi syarat-syarat yang lain!”

“Uang gak seberapa bagi aku, Om. Uang bisa di cari.”

“Gak semudah itu, Raf. Yang mendonor biasanya harus anggota keluarga, baru kemungkinan berhasilnya besar.”

“Bisa, Om. Kita coba dulu,”

“Sejuta berbanding satu, peluang kecocokan sumsum tulang pasien dengan pendonor asing, be smart Araf!”

“Demi Aira. Sebaiknya kita coba dulu, Om....”

“Gak bisa, Orang tua kamu akan sakit hati jika mendengar kamu akan mendonorkan ini bagi orang lain, Raf.” “Om tau perjuangan Bunda kamu untuk bisa memiliki anak,” “Yumna kosong selama dua tahun, kesana kemari belau cari cara agar bisa hamil,” “Tapi setelah kamu sempurna seperti ini, kenapa kamu malah berulah!”

“Pendonor banyak yang selamat dan dunia kedokteran di Indo juga udah berkembang sangat baik.”

“Iya, banyak yang berhasil. Tapi selain itu, kamu alergi terhadap anestesi. Dan itu bahaya!!!”

“Terus aku harus gimana, Om. Aku pengen Aira sembuh ....”

“Araf? ....” lirih Aira.