Ibu Negara

Setelah melihat pesan dari Alden, Aira langsung berlari untuk menemuinya. Berlari menuruni anak tangga dengan setelan baju tidur yang ditutupi jubah tidurnya.

“Pelan-pelan, Ra ... nanti kesandung,” ucap Alden tenang.

Aira hanya tersenyum, tangannya sibuk membuka gerbang dengan terburu-buru.

Sekarang Aira sudah tepat ada di hadapan Alden. Aira mendengus pelan namun tidak ada tanda-tanda bahwa Alden sudah minum.

Alden menyadari tingkah gadisnya tersebut. Alden menatap dan menunjukan senyum smirk kemudian meraih tangan lembutnya dan memeluknya erat. “Gue gak minum, Ra ....” ucap lembut di telinga Aira.

“....” Aira tidak menjawab dan tidak membalas pelukannya, terdiam, tubuh yang tegang karena perlakuan Alden yang tiba-tiba memeluknya cukup membuat dirinya syok.

Alden melepaskan pelukannya tersebut dan masih meraih tangan lentik gadisnya, diberikan kantong kresek yang berisikan makanan.

“Karena udah malem, gue gak bisa masuk ke rumah lo. Jadi, ambil ini, terus masuk, di luar dingin.”

“Pulang sekarang?”

“Iya, Ra ... gue pamit ya, besok kita ketemu lagi.”

Aira menatap kantong kresek satunya yang masih Alden pegang, matanya melotot karena kaget terhadap isinya, terlihat namun tak begitu jelas.

“Kamu sakit?” tanya Aira sambil memegang dahi Alden untuk memastkan keadaannya. “Tapi gak panas?”

“Ini buat Sarah, Ra. Tadi Sarah ngeluh sakit, dan ternyata badannya panas. Mami sama Papi belum pulang. Jadi gue yang urus,” “Padahal tadi baru mau berangkat buat ke acara Reuni. Eh, gak jadi,” sesal Alden.

“Sekarang keadaan Sarah gimana?”

“Udah baikan kok,” “Lo juga masuk gih, cuacanya lagi gini, takut sakit,” “Jadi masuk ya? Terus langsung istirahat.”

Disana Aira mengangguk. “Hati-hati bawa motornya, kabarin kalau udah sampe.”

Alden menjawab sambil menyalakan motornya. “Siap Ibu Negara!!!”