Maaf

Setelah mendapatkan pesan singkat dari Alden, dengan segera Aira turun untuk mempersilakan Alden masuk ke rumahnya. Alden hanya memberikan senyum singkat, kemudian masuk ke rumah, mendahului tuan rumah. Tangan kanan sibuk membawa helm sedangkan tangan kiri membawa makanan untuk Aira yang dibuatkan khusus oleh Maminya.

Aira berhenti sejenak matanya hanya mengikuti gerakan Alden mulai dari menyimpan makanan di meja, membawa piring, mangkuk, dan sendok, mencuci tangan sampai duduk di kursi meja makan.

“Sini, Ra, duduk,” pinta Alden dingin dengan tanpa menatap Aira.

“Kamu aja, aku belum pengen sarapan.”

“Kalau aku aja, ngapain aku dateng ke sini, aku juga bisa sarapan di rumah,” ucap Alden dengan nada yang tidak enak didengar.

“....”

“Duduk sini, Aira,” tegas Alden.

“Gak bisa, perut aku mual terus.”

“Banyak alas—” ucapan Alden terpotong ketika Aira dengan sigap duduk di hadapannya.

“Kenapa gak berangkat kuliah? Hari ini ada presentasi loh, bentar lagi masuk.”

Alden tidak menggubris pertanyaan Aira. “Buka mulutnya, paksain buat makan.”

“Gak mau, Alden!”

“Kamu harus minum obat tepat waktu, ayo sarapan dulu, Aira!”

“Jawab dulu pertanyaan aku, Alden!”

“MAKAN DULU, AIRA!”

“....”

Dengan terpaksa Aira menerima satu suap makan yang Alden berikan.

“Ayo, lagi.”

“Bentar dulu.”

Hening selama beberapa menit.

“Kenapa kamu susah buat jujur sama aku, Ra,” “Kan udah aku bilang, apapun itu, tolong kasih tau aku, termasuk kondisi kamu,” “Bagaiman kata dokter Alvin, kemarin?

“Gak ada apa-apa, gak ada yang aku sembunyiin kok,” lirih Aira.

“Bohong aja terusss!” wajah Alden memerah menahan marah.

“Alden, bentar lagi jam delapan, ayo kuliah dulu.”

“TERSERAH! TERSERAAH, AIRA!!!” “Kalau kamu gak bisa ngandelin aku, TERSERAH! Aku gak maksa!” ungkap Alden sambil beranjak dari kursi dan bergegas membawa helm dan kunci motor.

Pada saat itu juga, Aira berlari menuju wastafel dan langsung memuntahkan semua makanannya. Makanan yang baru saja ia telan seolah-olah langsung ada penolaka dari perutnya.

Melihat itu, Alden langsung menjatuhkan tas, helm, dan kunci motor tersebut ke sembarang tempat, dan langsung menghampiri Aira.

“Ra!” “Aira, kamu gak apa-apa, kan?”

“Mual ...” lirih Aira lemas.

“Muntahin aja semuanya, kalau kamu ngerasa lebih baik,” ungkap Alden sambil memukul punggung leher Aira pelan.

“Bruk!” tubuh Aira ambruk di pangkuan Alden.

“Ra!” panggil Alden sambil menepuk-nepuk pipi Aira pelan.

“Alden ... Alden ... .”

“Iya, ini aku ... kamu kenapa? Sakit? Yang mana yang sakit? Pusing?”

“Alden ... .”

“Iya, kenapa?”

“Alden ... maaf ... .”

“Gak apa-apa, kamu gak ada salah, aku yang gak ngertiin kondisi kamu.”

“Alden ... maaf ... .”

“Gak perlu minta maaf, sayang, mana yang sakit?” “Kita ke dokter ya?”

“Alden ... .”

Dilihatnya keringat Aira mulai bercucuran, pergerakan tubuh yang semakin melemah. Wajah Aira benar-benar seperti sedang menahan sakit yang luar biasa sampai akhirnya gadisnya tersebut memuntahkan darah. Darah tersebut mengenai tangan, dan celana Alden. Dengan sigap, Alden mengambil tisu yang berada di meja makan yang tempatnya tidak jauh dari wastafel.

“Kita ke dokter ya? Tahan sebentar,” ungkap Alden dengan suara bergetar karena panik dengan kejadian tersebut.

“Sayang ... sebentar ya? “

Baru saja Alden akan menelpon dokter Alvin, tidak lama kemudian seseorang membuka pintu dan langsung memanggil, mencari Aira.

“Kak, kakak di dalam kan?!” “Kak?!”

Pemilik suara tersebut adalah Farah. Semalam Aira menelpon Farah yang tak kunjung di angkat, dan Aira hanya mengirim pesan tentang kondisi dirinya karena mual muntah semalaman, pesan tersebut Farah buka dua jam setelah Aira mengirim pesan. Melihat itu Farah langsung melakukan penerbangan dari Sumatera.

Sebelumnya Farah pergi atas paksaan Kavin dengan alasan ingin ditemani karena sibuknya pekerjaan, namun semua itu hanya bualan belaka, Sebenarnya Kavin ingin memberikan kejutan untuk istrinya yang tengah mengandung, Kavin mengajak jalan-jalan Farah dan memanjakan istrinya tersebut.

Selama perjalanan, Farah kesal terhadap Kavin karena selalu tidak tahu waktu dalam mengambil tindakan. Sebenarnya Farah bisa mengabari Alden atas kejadian tersebut, minimal membawa Aira ke rumah sakit. Namun, Aira larang, karena Alden mulai sibuk kuliah dan takut mengganggu kesibukannya.

“Kakak!!”

“Di sini, Bu!” sahut Alden yang masih merasa panik.

“Alden?!”

“Bu, Aira kenapa? Aira barusan memuntahkan darah?”

“Gapapa Alden, jangan panik dulu ya? Tenang,” ungkap Farah menenangkan Alden, walaupun dirinya sendiri juga sedang panik luar biasa.

“Tapi, Bu ... .” Alden semakin terlihat ketakutan.

“Gapapa, mungkin ini efek kemoterapi kemarin, memang sudah biasa seperti ini,” ungkap Farah untuk meyakinkan Alden, namun jujur saja, Farah juga merasa khawatir melihat kondisi Aira.

“Alden bisa bawa mobil, kan?”

“Bisa, Bu,” “Loh ... Pak Kavin—“

“Masih di Sumatera, sudahlah, apa yang di harapkan dari dia,” ungkap Farah kesal.

“Kak? Sebentar ya?”

“Bu, Pak Alvin gak mengangkat telfonnya dari tadi.”

“Pasti lagi sibuk, pasien dia juga banyak, gapapa Alden,” “Kita bawa langsung aja ke UGD.”


Sebelum berangkat, Alden menyempatkan mengirim pesan terhadap Jaffan, bahwa hari ini tidak bisa mengikuti kuliah termasuk presentasi.

Di dalam mobil.

Aira terkapar lemah di pangkuan Farah.

Sesekali Alden melihat Aira dari kaca spion mobilnya dan menatapnya iba, perasaan khawatir yang luar biasa masih menyelimutinya. Rasanya nafasnya begitu sesak karena melihat gadisnya tersebut kesakitan.

Dalam perjalanan ke rumah sakit Alvin menghubungi handphone Farah kembali, sehingga Aira langsung di bawa ke ruangan pemeriksaan tempat Alvin Dinas.


Kondisi Aira telah lebih baik dari sebelumnya, yang tadinya tertidur, kini sudah bisa duduk kembali.

“Ibu?”

“Iya, Kak?”

“Alden ke kampus?”

“Alden di luar, Nak. Katanya mau sarapan dulu.”

“Gak masuk kuliah?”

“Enggak, Kak. Kenapa emang?”

“Mau ngobrol dulu bentar, boleh?”

“Boleh dong Kak, biar Ibu telfon dulu ya? Takutnya belum selesai.”


Di ruangan tersebut hanya ada mereka berdua yaitu Alden dan Aira.

“Gimana? Udah enakan? Ada yang masih kerasa sakit?” ungkap Alden menghampiri Aira.

“Alden ... .”

“Iya, sayang, kenapa?”

Hening sejenak.

“Kita selesai aja ya?”

Alden tahu maksud dari percakapan Aira, namun Alden seolah-olah tidak mendengar ucapan tersebut.

“Kamu masih capek, ya? Masih lemes?”

“Enggak Alden ... tolong dengerin aku dulu.”

“Ra ... .” rasanya tenggorokan Alden seperti tertusuk, sakit, menahan perih, mata memanas, menahan tangis karena mendengar permintaan Aira yang tidak terduga.

“Ra, tenangkan diri dulu ya? Kamu pasti butuh waktu buat sendiri, kalau ada apa-apa, aku di luar sama Ibu,” ungkap Alden seraya mengusap pelan surai legam gadisnya tersebut, kemudian meninggalkan Aira berada di ruang pasien sendirian.

Alden ... .