Meletihkan
“Araf? ... .” lirih Aira.
Araf menengok ke arah suara yang terdengar tidak asing. Betul sekali, Araf terkejut sekaligus gugup.
Semua rencana sepertinya akan berubah menjadi bencana. Araf sudah memikirkan semua ini dari lama. Ternyata rencana dan harapan memang tidak selamanya sesuai dengan keinginan, kejadian yang tak terduga saat ini sedang terjadi.
“Ra ... sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Araf dengan suara yang mulai bergetar.
“Kenapa kamu ngelakuin ini semua?” “Aku bener-bener gak ngerti sama semua cara berpikir kamu, Raf,” “Aku ada salah sama kamu? Kalau iya, tolong kasih tau, biar aku introspeksi diri,” “Aku gak akan mikir apa kesalahan aku, kalau kamu aja gak kasih tau dimana letak kesalah—“
“Gak ada, Ra. Kamu gak salah apa-apa.”
“Tolong jangan lakukan apapun lagi, Raf. Itu semua bakalan sia-sia,” “Bukannya aku gak menghargai semua pengorbanan kamu, Raf. Tapi buat saat ini aku gak butuh itu, yang aku butuhkan adalah kehangatan dari orang-orang terdekat aku,” “Aku pengen kalian menguatkan aku, supaya aku sabar menghadapi ini semua,” “Aku udah gak ada harapan lagi, Raf. Jadi, tolong, jangan lakukan apapun lagi.”
“Ra!!!”
“Kenyataannya begitu, Raf. Aku juga gak mau sebenarnya, tapi ini semua udah takdir dari Tuhan.”
“Kamu bisa sembuh, Ra. Ayo kita lakukan transplantasi ya? Ayo kita berjuang bareng-bareng.”
“Sekarang aku ngerti, kenapa Bunda Yumna bersikeras buat nyembuhin aku, ternyata ini.”
“Maksudnya?”
“Raf ... Om ... aku tetap ikhtiar kok buat kesembuhan penyakit aku,” “Aku memang udah pasrah sama Tuhan baiknya gimana, tapi aku juga masih berusaha,” “Jadi, jangan khawatir, aku, Ibu dan Ayah, kita lagi berusaha buat menyelesaikan ujian ini.”
“Aku mau bantu.”
“Diam, Raf!! Lama-lama aku muak sama kamu, kenapa kamu selalu bersikap seenaknya sama aku,” “Aku bener-bener gak ngerti dengan kamu yang tiba-tiba ngilang, terus datang lagi tanpa Izin,” “Aku bukan orang yang seenaknya bisa kamu permainkan!”
Araf hanya terdiam, memang benar ia hanya bersikap seenaknya terhadap Aira karena tindakannya selalu merasa paling benar.
Aira pergi meninggalkan rumah ini dengan emosi yang tidak terkontrol.
Viona yang melihat kejadian ini, hanya bisa terdiam. Viona masih terkejut dengan semua apa yang terjdi, baru saja akan mengejar Aira, namun di tahan oleh Hendra. Untuk saat ini Aira hanya perlu sendiri untuk menenangkan dirinya.
Sekarang Aira hanya terduduk di kursi halte bus. Ditatapnya jam tangan yang melingkari pergelangan sudah menunjukan pukul dua siang. Ketika Aira sedang merasa banyak masalah, pasti akan lari ke tempat peristirahatan terakhir Papahnya, namun jarak dari kota ini cukup jauh sehingga memerlukan bus untuk sampai ke sana.
Baru saja Aira akan melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam bus, tiba-tiba tubuhnya merasa lemas sekali, kaki terasa berat untuk dilangkahkan. Aira mengurungkan niat tersebut dan memilih menunggu bus selanjutnya. Dan ternyata sudah tiga bus terlewati, tetap saja Aira tak mampu beranjak.
“Sesusah inikah mau cerita sama Papah?” lirih Aira.
Tiba-tiba badan Aira berkeringat dingin, telinga berdengung dan suara orang disekitar semakin menjauh, dan pandangan mulai kabur.
Kemudian ada seorang laki-laki yang langsung mendekati Aira yang sudah setengah sadar.
“Aira!!” Alden langsung menyangga tubuh Aira agar tidak terjatuh lemas ke bawah, menepuk-nepuk pelan pipinya agar tersadar.
“Ra? Kita pulang ya? Gue anter ke rumah lo” tanya Alden yang masih berusaha menyadarkan kembali Aira yang benar-benar lemas.
Tidak ada jawaban dari Aira.
Alden langsung mengantarkan Aira ke rumahnya, namun sesampainya di sana, tidak ada satu orang pun di dalam rumah tersebut, terpaksa putar balik dan langsung membawa Aira ke rumahnya.