Hari bahagia?

“Aa yang nyetir atau Papi yang nyetir?” tanya Dimas sembari sibuk merogoh saku celana untuk mengambil kunci mobil.

“Papi aja, Aa gak bisa ngapa-ngapain?” balas Alden singkat.

“Santai A', jangan gemetar gitu, baru juga ngelamar anak orang, kan nanti Papi yang ngomong,” goda Dimas.

“Tapi jawaban Aira yang bikin tegang, Pi,” lirih Alden dengan raut muka sedih.

“Ya gak apa-apa, kalau di tolak, tinggal coba lagi.” Dimas masih senang menggoda Alden.

“Pi ... .” Alden semakin tidak karuan.

“Cepet masuk mobil A', duduknya di depan bareng papi, ada yang mau Papi sampaikan,” pinta Dimas yang sudah membuka pintu mobil untuk anak bujangnya tersebut.

“Tuh, Papi mau ngasih kiat-kiat cara menanggung kesedihan karena di tolak,” ungkap Sarah yang tiba-tiba ikut menggoda Alden.

“Diem, Cil. Gue lagi tegang, bisa-bisanya, lo.” Alden menggerutu.

“Baru juga ngomong,” balas Sarah kesal.

“Penasaran banget ya kalau gak ribut, sehari aja,” ungkap Yura sambil geleng-geleng kepala.


Di rumah Aira.

“Ya ampun Alden, gagah gini?” ungkap Farah sambil memeluk Alden sopan.

“Gimana kabarnya, Bu,” tanya Alden sambil membalas pelukannya.

“Alhamdulillah, Nak,” balas Farah melepaskan pelukan tersebut dan mengarahkan ke ruang utama.

“Papinya gak di peluk nih, Rah?” ungkap Dimas tiba-tiba.

“Papi ... .” ungkap Sarah, Alden dan Yura secara berbarengan.

“Genitnya masih melekat ya, dari jaman kuliah, masih aja,” sindir Farah yang merupakan adik tingkat dari Dimas dulu sewaktu kuliah.

“Bercanda, Rah. Aslinya setia kok,” balas Dimas.

“Setiap tikungan ada?” Farah masih menyaut.

“Iya,” balas Dimas dengan diiringi gelak tawa. Sedangkan Sarah, Alden dan Yura hanya bisa menatap tajam Dimas, namun pada akhirnya mereka juga tertawa atas lelucon tersebut.


“Nak Aira nya di mana?” tanya Dimas.

“Masih di kamar. Sayang, coba jemput Kakak nya,” pinta Kavin terhadap Farah.

“Sebentar, ya,” balas Farah.

Tidak lama kemudian, Aira menampakkan diri dengan memakai gaun hitam yang cantik, berjalan dengan anggun, dan memberikan senyum ramah kepada seluruh tamu yang hadir.

“Ngedip A',” goda Sarah terhadap Alden dengan suara pelan. Dengan spontan Alden memalingkan muka, dan menunduk kembali.

Setelah perbincangan yang cukup lama, kini akhirnya Kavin buka suara tentang maksud kedatangan keluarga Dimas tersebut.

“Jadi, tujuan keluarga Pak Dimas datang ke sini? Tentu saja ingin bersilaturahmi mengingat kita dulu pernah satu sekolah bahkan satu Universitas. Tapi saya rasa ini terlalu formal jika hanya bersilaturahmi saja, tentu ada maksud lain. Bagaimana Pak Dimas?” tanya Kavin ramah.

“Begini Pak, sebetulnya untuk jaman sekarang itu tidak sulit untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain, terutama orang yang kita suka, betul kan, Pak?”

“Betul sekali.”

“Bukan lagi di jaman harus pakai perantara untuk mengakui satu hal termasuk soal perasaan.”

Semua orang hanya mengangguk mengerti.

“Saya tahu kalau anak bujang saya, Alden Rajendra sudah bisa melakukannya sendiri. Kita gak tahu kan kalau misalnya Alden dan Nak Aira sudah manggil Ayah-Bunda, Papi-Mami, Mamah-Papah. Layaknya kita dulu, karena saya juga pernah muda.”

Candaan tersebut membuat semua orang tertawa.

“Tapi ... .” ungkap Dimas.

“Tapi saya takut kalau ini semua atas paksaan Alden misalnya? Atau sebenarnya anak saya ini berbohong sudah berteman baik dengan Nak Aira padahal nyatanya tidak? Atau ditakutkan nak Aira terpaksa berhubungan baik dengan Alden? Bukannya berburuk sangka. Tapi alangkah baiknya kita pastikan sekarang supaya tidak ada pihak yang di rugikan. Jadi, maksud kedatangan kami ke sini yaitu membawa niat baik bahwa anak saya Alden ingin melamar putri pak Kavin yaitu Nak Aira,” ungkap Dimas.

“Terimakasih atas kedatangannya, Saya sungguh tidak menyangka akan secepat ini mengurus tentang hal seperti ini, mengingat Kakak sama Nak Alden juga masih muda. Namun kedatangan Bapak sekeluarga membuat saya senang karena gak mudah sebenarnya, butuh keberanian juga karena saya juga dulu mengalaminya. Keberanian meminta Izin terhadap orang tua terlebih dahulu, keberanian untuk datang ke sini, dan jangan lupa keberanian mendengar jawaban juga membutuhkan mental yang sangat kuat, benar tidak Pak? Karena saya juga laki-laki, ya itu, pernah mengalaminya,” ungkap Kavin.

Lagi-lagi semua orang hanya bisa mengangguk tandanya memang benar seperti itu.

“Kalau saya dengar, Alden dan Aira itu suka sama suka, istri saya sering bilang kalau Kakak sering bercerita tentang Alden, semuanya Kakak ceritakan ketulusan, kebaikan, dan keseriusan Nak Alden,” ungkap Kavin.

Mendengar itu Alden langsung menatap Aira yang sedang menunduk mendengarkan.

“Tapi benar seperti yang Pak Dimas katakan, kita juga harus memastikan, dan menanyakan secara langsung terhadap Aira,” ungkap Kavin.

“Aira ... .” akhirnya Alden memberanikan diri untuk berbicara.

“Aira ... Aku sudah menentukan pilihan yang tepat untuk menjadikan kamu satu-satunya wanita yang aku cinta setelah Ibuku? Aku ingin, kamu menjadi cinta pertama dan terakhirku. Aira ... maukah kamu menikah denganku?” ungkap Alden tulus yang masih menatap Aira lembut.

Aira membalas tatapannya tersebut. Jeda beberapa detik akhirnya Aira menjawab. “Iya, aku mau, mau menikah denganmu, Alden,” balas Aira tanpa ragu sedikitpun.

“Alhamdulillah,” semua orang langsung mengucap syukur atas Jawaban tersebut. Akhirnya Alden dapat bernapas lega setelah berhari-hari merasakan keresahan dalam dirinya.

“Sok atuh diikat dulu pakai cincin, sebagai tanda kalau kalian itu sudah bertunangan,” ungkap Dimas yang sudah kembali ke mode bercanda.

“Biar bisa dipamerin ke mantan ya, Pak?” canda Kavin.

“Hahaha, benar,” balas Dimas.

Semua orang hanya bisa tertawa melihat kelakuan dua bapak-bapak tersebut.

Setelah bertukar cincin, acara dilanjutkan dengan makan-makan yang dilanjutkan dengan kegiatan mengobrol.


“Bu, Aira di mana, ya?” tanya Alden terhada Farah.

“Oh, katanya mau ambil tisu ke kamar, tapi kok lama, ya. Sebentar Ibu panggil dulu.”

“Biar Alden aja, Bu.” “Boleh banget Nak, tau kan kamar kakak?”

“Tau, Bu.”

“Yaudah sana, takut kakak kenapa-napa.”

Alden langsung menyusul Aira ke kamar yang ada di lantai dua.

Alden masuk dan benar Aira sedang mengambil tisu, namun tisu tersebut hanya di genggamnya. Sayup-sayup terdengar suara isakan tangis. Iya, Aira menangis.

“Ra? Kenapa? Kok nangis?” “Ada yang sakit?” “Pusing?”

Aira hanya menggelengkan kepala pelan.

Yang di tanya hanya membelakangi laki-laki yang baru saja resmi jadi tunangannya. Alden membalikan tubuh perempuannya tersebut pelan, menatap Aira dan kemudian merengkuhnya.

“Kenapa? Bilang sama aku.” “Ra?”

“Makasih ... .”

“Loh, kok makasih?”

“Udah mau datang ke rumah.”

“Iya, sama-sama. Makasih juga karena udah mau nerima aku tanpa ragu.”

“Tapi ... aku sakit, Alden. Aku gak seperti perempuan yang lain.”

“Suuut ... jangan ngomong kayak gitu, aku kan udah nerima semuanya, termasuk kondisi kamu,” “Jangan kayak gini lagi ya? Kita berjuang sama-sama,” “Udah nangisnya, nanti orang-orang beranggapan kalau kamu di apa-apain,” “Yuk, turun lagi, yang lain udah pada nunggu.”

”Terimakasih, Tuhan ... ini adalah hari yang paling bahagia buat aku ... I Love You, Alden ... . ”