Pamit

Cuaca hari ini sangat bagus, lelaki yang sudah berdandan rapi nampak tidak berhenti tersenyum sedari tadi, tersenyum secerah matahari yang menyinari bumi pagi ini. Dengan bunga di tangannya, Alden sungguh tidak sabar karena akan menemui tunangannya—dulu. Perjalanan yang cukup jauh dari rumah, karena Aira dimakamkan di kampung halamannya di Cianjur bersama mendiang papahnya.

Setibanya di sana, Alden langsung membersihkan makam yang sudah mulai banyak ditumbuhi tumbuhan kecil. Alden duduk di depan makam tersebut dan terus merapalkan doa-doa baik sebagai hadiah istimewa. Setelah doa dirapalkan, kini Alden mulai berceloteh.

“Halo, Aira? Apa kabar, sayang?” ungkap Alden sembari tangannya sibuk membersihkan makamnya.

“Halo, teh, ini Sarah, kangen banget tauu,” lirih Sarah pelan.

“Sudah hampir dua tahun aku gak pernah datang lagi ke sini, maaf ... aku terlalu sibuk,” “Aku datang sama Sarah adik aku, yang sebentar lagi akan menikah dengan laki-laki pilihannya, Jaffan,” “Pernikahannya lusa, Sarah datang sendiri untuk meminta restu sama kamu, karena bagaimanapun juga kamu sudah Sarah anggap sebagai keluarga sendiri ...” Alden menceritakan semuanya.

Mulai dari menceritakan adiknya Aira yang sudah berumur tiga tahun yan sudah mulai bisa berlari tanpa sering terjatuh, mampu makan sendiri menggunakan sendok, memakai pakaian sendiri dan kemampuan motorik yang lainnya, semua ini berhasil atas didikan seseorang yang hebat yaitu Ayah dan Ibunya. Alden menceritakan Ibu Farah dan Kavin bahwasannya mereka baik-baik saja, hubungan mereka semakin membaik setelah putri mereka Zaira Falisha lahir. Nama Aira Falisha tidak mereka lepas, mereka ingin anak pertamanya selalu ada di tengah keluarganya.

Selain menceritakan keluarganya, Alden juga menceritakan seseorang yang telah menjadi sahabat sampai sekarang, iya Araf. Araf sudah jadi orang yang hebat. Baru saja Araf sudah menyelesaikan S1 nya dan akan lanjut untuk koas dan sebagainya. Sesekali Araf ke sini dengan keluarganya namun, katanya dua tahun terakhir tidak bisa ke sini karena kesibukan mereka.

“A, udah?” tanya Sarah pelan sambil menepuk punggung Alden yang terus bergetar karena menangis. “A ....”

Alden beranjak dari duduknya.

“Aira ... sayang ... aku pamit ya? Mungkin sekitar satu tahun aku gak akan ke sini, aku mau menyelesaikan kuliah profesi di Australia. Kita akan bertemu lagi nanti, kalaupun aku lanjut S2 di sana, mungkin kita gak akan ketemu selama 3 tahun, ya? Gak apa-apa, kekuatan doa lebih dahsyat kan? Sesekali Sarah pasti ke sini kok buat membersihkan rumah kamu ini ...” “Aku pamit, ya?” “sampai ketemu nanti ... Aira Falisha ...” “Aku selalu sayang kamu, I Love You selalu.”

Dengan langkah kaki yang sangat berat, Alden rasanya tidak mampu meninggalkan Aira di sana sendirian. Namun, kerja keras Sarah dalam membujuk kakaknya tersebut, kini Alden mulai bisa pergi dari sana dengan ikhlas.

“A, gapapa kan?” tanya Sarah. “A? aku yang nyetir, ya?”

“Boleh, hati-hati,” “Aa capek, mau tidur selama perjalanan.”

“Iya ...”

Sarah menatap Kakaknya tersebut dengan Iba, Kakaknya tersebut belum benar-benar sembuh, hatinya selalu terluka seperti ini, ikhlas itu tidak mudah, Alden harus bertarung melawan diri sendiri untuk melakukanya.

-Nay.