#2
Semua teman-teman Aira dan Alden kini sudah sampai di depan ruangan pasien. Namun, mereka tidak bisa langsung masuk begitu saja, karena yang boleh masuk ke dalam itu dilakukan secara bergiliran.
“Loh kok ada Araf di sini?” ungkap Celyn heran.
“Keluarganya kenal sama Aira,” balas Jaffan.
“Kok bisa? Airanya kenal Araf berarti?” tanya Celyn kembali.
“Mana aku tau,” balas Jaffan singkat.
“Bagaimana bisa Kakak tanpa alat bantu, Ndra? Kamu gak mau ngobatin anak aku? Dia lagi kesakitan, Ndra ...” tanya Farah.
“Om, mohon, tolong ...” sambung Alden dengan kondisi yang sudah kacau.
“Farah ... Alden ... kalau kalian punya permintaan dari pasien, dan dia mengeluhkan sakit yang luar biasa, apakah kalian tetap akan melakukan itu? Dia sendiri sudah pasrah, ikhlas ... dan pertolongan sudah kami kerahkan semua, kami hanya seorang dokter, kami manusia biasa, sisanya Tuhan yang tentukan ... maaf ....” ungkap Hendra yang sama rapuhnya.
“Tapi, Kakak udah gak bisa ngenalin kita, dia gak inget siapa-siapa. Apakah kamu sanggup, kalau anak kamu sendiri gak mengenali kita sebagai orang tuanya? Jawab Hendra! Jawab!” “Apakah kamu sanggup, mengalami keadaan menyakitkan ini dua kali? Papahnya Kakak sudah cukup! Kenapa sekarang harus Kakak?!”
Dengan cepat Hendra menguatkan Farah, memberikan pengertian sebisa mungkin, sedangkan Kavin terus menenangkan Alden yang sudah mulai tak terkendali.
“Nak, boleh sedih, nangis, tapi jangan putus asa ya? Mungkin ini jalan terbaik buat Kakak ...” ungkap Kavin terus menyadarkan Alden yang kini sudah terduduk di lantai, tidak ada kekuatan, kakinya sudah tidak bisa menopang tubuhnya karena lemas.
“Yah ... sesakk ... sakittt ... “ungkap Alden yang terus menerus memukul dadanya sendiri.
Tidak lama dari itu keluarga Sahlan datang untuk membesuk Aira yang keadaanya sudah parah. “Sepertinya sudah melebihi kapasitas, saya dan Yumna akan tetap di luar saja, tolong biarkan Araf masuk ke dalam, saya mohon ...” pinta Sahlan terhadap perawat yang ada di sana.
“Araf? Araf ...” lirih Aira dengan suara samar-samar hampir tidak terdengar.
Karena Hendra sibuk menenangkan Farah, kini Aira ditangani oleh Alvin.
“Ada yang bernama Araf di sini?” tanya Alvin tiba-tiba.
Semua terkejut atas pernyataan Alvin.
“Saya sendiri, Dok,” jawab Araf kemudian menghampiri Aira.
“Araf ... .”
“Ini aku, Araf ... kenapa Aira?”
“Papah ... Papah ... .”
“Hmm?”
“Papah ... .”
Araf kini mulai menitikkan air mata, entahlah jiwa Aira masih ada atau sudah pergi, Aira hanya mengingat kejadian dahulu yang menurutnya sangat menyakitkan. “Ra ...” lirih Araf. Araf menatapnya iba, menyisir rambutnya yang sudah menipis akibat efek samping dari kemoterapi. “Ra ... Papah kan udah sembuh dari lama, sekarang udah gak sakit lagi, sekarang papah udah bahagia,” “Maka dari itu, Aira juga harus sembuh ya?”
“Papah ... .”
“Nak Alden, sini Nak ...” pinta Alvin sambil membopong tubuh Alden yang sudah tidak berdaya untuk mendekat ke arah Aira.
Digenggamnya tangan Aira oleh Alden yang sudah mulai dingin, detak jantung yang semakin cepat namun nadi yang sudah mulai melemah, serta seluruh tubuhnya bergetar hebat menandakan rohnya sudah keluar dari tubuhnya ...
“RA! AIRA!”
Air mata Alden mengalir semakin deras, sakit ... sakit ... terlampau sakit, memukul dada terus menerus dan kini tubuhnya ambruk tak berdaya.
Teman-teman Aira masih setia menunggu di luar, namun dari dalam sana terdengar suara orang-orang sedang menangis, namun mereka masih berpikiran positif mungkin mereka menangis karena sakitnya Aira semakin parah.
Namun, tiba-tiba Alvin membukakan pintu dan langsung menghampiri Jaffan, anaknya. “Pah ...” ungkap Jaffan.
“Alden di dalam, tolong kuatkan dia ya? Orang tuanya masih dalam perjalanan ke sini.”
“Pah ...”
“Papah harus segera mengurus jenazah Aira.”
Mendengar itu, Celyn, Una , dan Lia mulai memeluk satu sama lain, menangis sejadi-jadinya karena kini temannya sudah tiada. Sedangkan Jaffan berlari untuk masuk ke dalam dan menenangkan Alden di sana.
Terima kasih karena sudah hadir di hidup aku, terima kasih karena sudah menjadi sumber kebahagiaanku selama ini, saatnya kamu beristirahat dengan tenang bersama Papaphmu. Papahnya Aira ... aku titip kembali malikat kecilku ini, tunggu aku di sana ya? Selamat jalan Aira, kekasihku ... .