Semua Sayang Aira
Sempat ragu dalam membuat keputusan, akhirnya dirinya membuat satu pilihan yang ia yakini bahwa ini adalah keputusan yang terbaik. Alden yang baru saja selesai melakukan praktikum dengan keringat yang masih bercucuran karena sibuknya kegiatan praktikum yang dituntut harus gesit. Dengan cepat ia melajukan mobil dan meninggalkan kampus tersebut.
Setelah sampai, dilihatnya seorang wanita yang sedang duduk menunduk seakan-akan pasrah pada semesta yang seakan-akan tidak pernah memihaknya, menangis dan terisak pelan.
“Bu ... ini Alden.”
Mendengar itu, Farah langsung menangis sejadi-jadinya. Sedari tadi menahan tangis sendirian, kini Farah merasa menemukan sandaran dengan kehadirannya.
“Terima kasih sudah datang, Nak,” “Kakak ... “ “Kakak masih belum bangun ... “ lirih Farah di tengah isakannya.
Rasanya ingin sekali Alden mengatakan tidak apa-apa terhadap Farah. Namun, setelah melihat kenyataanya, apakah kalimat tersebut tepat? Alden hanya bisa menepuk bahunya, berharap bisa menenangkan jiwanya yang tengah rapuh.
Ketika dirinya sudah mulai tenang, Farah mulai berbicara kembali. Berbicara sambil menunduk pasrah.
“Padahal kemarin, Kakak masih baik-baik aja, masih bercerita ... Kakak bercerita banyak seperti gak kehabisan topik. Mulai dari keseruannya masuk kuliah, menceritakan semua teman-temannya, menceritakan Nak Alden ... .”
Alden yang menunduk, mengangkat kepalanya menatap Farah ketika nama dirinya disebutkan.
“Tapi anehnya, Ibu gak bosan mendengar ceritanya. Dari semua yang Kakak ceritakan, tidak ada keburukan yang ia katakan. Semua kebaikan-kebaikannya Kakak ceritakan. Ibu bersyukur sekali, karena temen-temannya sangat baik memperlakukan Kakak.”
“Tapi ... . “ Lirih Farah.
Alden menatap iba Ke arah Farah.
“Akhir-akhir ini gelagatnya aneh ... “Suara Farah mulai bergetar. “Tidak seperti biasanya kakak manja, membuntuti Ibu kemanapun pergi,” “Tiba-tiba menceritakan Papahnya, bahkan tidur juga sambil memeluk foto Papahnya waku masih ada,” “Mungkin saja Kakak memang selalu bersikap seperti ini, ketika Ibu dan Ayah Kavin sedang pergi,” “Tapi, rasanya gak biasa ... atau karena Ibu yang selalu meninggalkan Kakak sendirian, membuat Ibu gak kenal lagi sama kebiasaannya Kakak,” “Ibu rasa, Ibu terlalu berpikiran buruk .... maaf ... Ibu gak bermaksud apa-apa, maaf ... . ”
“Buuu ... .”
“Ini semua gara-gara Ibu, Nak,” “Ibu sering meninggalkan Kakak sendirian, memikirkan kesenangan pribadi, tanpa tahu ada orang yang lagi kesepian bahkan menahan sakit sendirian,” “Ibu tidak pantas dapat pengampunan dari Kakak ... . “
“Ibu jangan berbicara seperti itu, Kalau Kakak dengar ini, pasti sedih banget lho,” ungkap Alden sambil terus menenangkan Farah.
“Makasih ya Nak, makasih selalu ada buat Kakak, mau nerima kekurangan Kakak,” “Kakak adalah orang yang beruntung bisa bertemu orang seperti Kamu, Nak.”
“Buu ... udah ya? Kita semua beruntung, bahkan saling menguatkan sampai detik ini,” “Kita tunggu Kakak bentar lagi, pasti Kakak ngumpul lagi bareng kita.”
Farah hanya mengangguk pelan sambil terus memegang dadanya yang semakin sesak.
Tidak lama kemudian, pintu UGD terbuka.
“Eh ada Alden? Pantesan Aira bangun,” celetuk Hendra sambil menghampiri keduanya yang sedang duduk di kursi tunggu.
“Ndra? Kakak udah bangun?”
“Iya, bentar ya, kita pindahkan dulu ke bangsal umum.”
“VIP aja, Ndra.”
“Siap, tunggu, ya?”
Alden dan Farah mengikuti Hendra.
Dilihatnya Aira yang tengah berbaring lemah tak berdaya, hanya saja matanya sudah mulai terbuka dan tangannya sudah mulai ada pergerakan.
“Sayang ... .” ucap batin Alden.
“Di sini aja ya? Saya pesankan khusus, apasih yang enggak buat anak saya.” Seperti biasa Hendra selalu mengoceh seakan-akan Aira adalah puteri kandungnya.
“Kak ... sayang ... gimana? Masih kerasa ada yang sakit?” tanya Farah sembari mengecek semua keadaan tubuh anak sulungnya tersebut.
“Farah, Kakak udah membaik kok,” “Farah ... Kondisi kamu itu gak boleh stres seperti ini, kasihan bayinya,” “Rah ... Denger saya ngomong gak?” tegas Hendra.
“Bu?” panggil Alden tiba-tiba.
Farah langsung menoleh ke arah Alden.
“Kenapa, Nak?”
“Ibu ikut dulu Om Hendra, ya? Kakak, biar Alden yang jaga,” “Ibu belum sarapan, kan?”
“Rah ... saya sudah bela-belain titip ke perawat yang mau ke supermarket bawah, buat beli susu Ibu hamil, yuk ikut dulu bentar, ya?” pinta Hendra.
“Iya ... “ balas Farah, terpaksa mengikuti perintahnya.
“Alden, titip Aira sebentar ya?” “Jangan paksa buat ngobrol terlalu banyak, pelan-pelan aja dulu, Aira masih lemah,” pinta Hendra terhadap Alden.
“Iya Om.”
Alden langsung membawa kursi dan duduk di sebelah ranjang Aira. Aira tersenyum ke arah Alden.
“Kenapa ngeliatin terus? Ganteng, ya?” ujar Alden sambil memegang tangan lembut Aira.
Aira hanya tersenyum.
“Alden ... “ panggil Aira dengan suara sangat kecil, namun dapat dimengerti oleh Alden.
“Kenapa, sayang? Lagi pengen sesuatu? Atau ada yang sakit?” sahut Alden dengan tanggap.
“Udah makan? Makan dulu sama Ibu,” pinta Aira pelan.
“Udah sempet sarapan tadi sebelum kuliah,” “Jangan coba usir aku, yang. Aku tetep mau di sini, nemenin kamu.”
Aira hannya bisa tertawa melihat raut muka Alden yang menggemaskan untuk di lihat.
“Yang ... makasih ya, makasih udah mau bangun, sekarang tinggal nunggu pulihnya, ya?”
Aira hanya mengangguk dengan mata yang tidak mau berpaling dari Alden.
“Ngeliatin terus? Ada sesuatu di muka aku? Soalnya, tadi abis praktikum gak sempet cuci muka dulu,” ungkap Alden sambil merogoh ponsel dari saku celananya untuk ia gunakan sebagai cermin.
“Ganteng ... .”
“Mulai deh, tapi gak apa-apa, kalau dengan ngeliatin aku bisa buat kamu pulih.”
“Iyain deh,” “Tangannya dingin gini, yakin udah sarapan?” tanya Aira.
“Tok ... tok ... tok ... .”
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, keduanya langsung mengarahkan pandangan ke sumber suara.
“Viona?!”
“Jangan kaget gitu dong, kayak ke gep lagi ngapain aja.” “Alden, gue bawa makanan buat lo, gue simpen di ruangan Papah, makan dulu gih?” pinta Viona.
Alden langsung melihat ke arah Aira, di sana Aira mengisyaratkan bahwasannya Viona seperti ingin mengatakan sesuatu padanya. Alden langsung melepaskan genggaman tangan Aira dan langsung pergi meninggalkan mereka berdua.
“Apa kabar, Kak?”
“Lebih baik,” ungkap Aira sambil tersenyum ke arah Viona.
“Kak ... “ suara Viona mulai bergetar, menimbulkan perasaan sendu.
“Maafkan aku ... maaf karena telah melukai perasaan Kakak,” “Soal Papah, waktu itu aku lagi emosi, gak ada yang Kakak rebut dari aku, maaf karena aku selalu mengatakan hal buruk sama Kakak ...” Viona mulai terisak.
Aira memajukan tangan kanan untuk meraih tangan Viona yang sibuk mengusap air mata yang mulai menetes. Kemudian digenggamnya.
“Viona ... aku paham, aku gak menganggap kamu melakukan hal buruk, kok,” ungkap Aira pelan.
“Kak ...” Viona semakin terisak.
“Kak ... Ayo ke rumah lagi? Ngumpul sama Papah ... Asal kaka harus sehat seperti dulu,” ungkap Viona memohon.
“Iya, ayo, tapi udah dulu nangisnya? Kan Kakak udah mulai membaik? Kok sedih?” balas Aira.
“Kak ... janji ya? Kakak harus sehat, aku tau kakak kuat, tunggu sebentar lagi, ya? Kakak pasti sehat, tolong percaya ... tolong ...”
“Janji ... .”
“Bolehkah aku peluk Kakak?”
Aira tersenyum dan mengangguk tanda memberi izin Viona untuk memeluknya.
“Sepuasnya,” balas Aira.
“Makasih Kak, makasih udah jadi manusia baik ... .”