#1

Sebelumnya di malam hari

Alden masih berkutat dengan handphone-nya mengirim pesan kepada teman dan saudara, meminta doa untuk kesembuhan tunangannya tersebut.

“Alden kenapa belum tidur?” tanya Aira lemas.

Alden terperanjat, seketika handphone-nya langsung ia simpan ke dalam saku celana.

“Udah bangun? Kenapa? Pengen apa?” tanya Alden sambil menyelimuti Aira.

“Gapapa. Ibu mana?”

“Ketemu Om Hendra dulu.”

Tidak lama kemudian Farah datang dengan tangan yang sibuk membawa selimut kecil kiriman dari bibi, ART-nya Farah.

“Alden ... makan dulu gih di ruangan Hendra, kasian kamu baru sekali makan dari pagi,” pinta Farah.

“Belum laper, Bu,” balas Alden.

“A, paksain dulu aja.”

Baru saja Alden berniat untuk menghampiri Hendra, namun Aira menarik ujung kemeja yang Alden kenakan.

“Mau, ke mana?” tanya Aira pelan.

“Hmm? Sebentar ya? Gak akan lama kok.”

“Jangan ... jangan ke mana-mana ...”

Alden menoleh ke arah Farah.

“Biar Ibu saja yang ambilkan ya, A? sepertinya Aira gak mau di tinggal kamu.”

“Gak usah, Bu ....”

“Ibu ... jangan pergi ...” pinta Aira.

Farah menatap Alden.

“Gak apa-apa, Bu. Kita ikuti saja permintaan Kakak.”

“Minum sama makan roti aja dulu ya? Yang penting kamu ada makan, walaupun sedikit.”

Alden mengangguk, sementara Farah mebawa kursi untuk duduk di dekat ranjang Aira.

“Ibu duduk di sofa aja, pegel pasti, apalagi lagi mengandung.”

“Boleh?”

“Iya, Ibu istirahat dulu, biar Alden yang jaga Aira, boleh kan, sayang?” pinta Alden kemudian menatap Aira.

Aira mengangguk tanda setuju.

Tangan Alden, Aira genggam seolah-olah tidak mau lepas.

“Alden .... .”

“Ya? Kenapa? Pengen sesuatu?”

“Pengen mandi.”

“Kan lagi sakit, nanti lagi aja ya? Mana sekarang udah malem gini.”

“Gak enak badan, Alden ... .”

“Di lap pake lap basah air hangat, mau?”

“Pengen mandi ... .”

Mendengar itu, Farah yang baru saja istirahat, kini menghampiri Aira kembali.

“Di lap aja, ya, Kak? Biar Alden siapkan, nanti Ibu yang lakuin, segernya sama seperti mandi kok.”

Seperti halnya bayi yang baru saja di mandikan, timbulah rasa kantuk dan kini Aira terlelap dalam tidurnya. Aira tidur tanpa melepaskan genggaman tangan Alden.

Perlahan terdengar isakan pedih seorang Ibu yang sudah putus asa dan pasrah atas semua kejadian ini.

“Bu?” Alden menghampiri Farah dengan melepaskan genggaman tangan Aira pelan.

Isakan Farah semakin terdengar keras dan pilu. “Takut ...” lirih Farah pasrah.

“Ibu pasti kuat menghadapi ini, jangan berpikiran aneh-aneh dulu, ya? Keadaan Kakak pasti lebih baik nanti,” ungkap Alden berpura-pura kuat padahal hatinya ingin sekali menangis.


Sudah lewat pukul tiga pagi hari, Alden dan Farah belum juga tidur. Masih setia menunggu Aira agar tidak terjadi apa-apa.

Namun, tiba-tiba terdengar suara nafas mendengkur dari arah Aira. Farah langsung menitikkan air mata setelah beberapa menit yang lalu pelupuk matanya mulai kering, kini basah kembali. Dengan cepat menghampiri Aira dan menepuk pipinya pelan.

“KAKAK! BANGUN, SAYANG, BANGUN!, JANGAN TINGGALIN IBU, NAK?”

Alden yang sedang duduk termenung di depan Aira pun terperanjat, sebenarnya apa yang terjadi?

“KAK! BANGUN NAK! TUHAAN, BAGAIMANA INI? SAYANG BANGUNNN!”

“Bu ... .”

Pundak Farah semakin bergetar naik turun, kisah lama terulang kembali dimana dulu mendiang suaminya juga mendengkur sebelum meninggal.

“AIRA FALISHA! GAKKK, KAMU HARUS BANGUN, NAK! IBU GAK PUNYA SIAPA-SIAPA LAGI.” Farah menangis sejadi-jadinya, berteriak, dan terus menggerakan tubuh dan terus memeluknya.

“Bu ... gak mungkin, gak mungkin secepat ini ...”

“Ra ... gak mungkin secepat ini kan?” lirih Alden. Tubuhnya melemas dan mulai kehilangan keseimbangan.

Tidak lama kemudian Hendra masuk setelah mendengar Farah menangis.

“Farah, tenang dulu, banyak berdoa dulu ya?” pinta Hendra.

“Hendraa ... tolong anak aku ... aku cuman punya Kakak ...” lirih Farah pasrah.

“Aira, sayang?” Hendra berusaha membangunkan tubuh Aira.

“Kalau hanya tidur, harusnya bangun, Ndra ...” tangisan Farah semakin menjadi.

Sedangkan Alden masih tidak menyangka dengan kejadian ini, pertahanan Alden semakin runtuh, telah sampai pada titik paling menyakitkan, hingga tidak sadar sudah meluruhkan cairan bening dari pelupuk matanya.

“Ra ... .”

Ketika Hendra sedang mengurus Aira, giliran Farah yang menenangkan dengan merengkuh tubuh Alden “Aa harus ikhlas ya? Berdoa supaya Kakak dimudahkan dalam sakaratul mautnya.”

“Buu ... secepat ini? tadi Kakak masih ngobrol loh sama kita ...” lirih Alden dan air matanya mulai mengalir deras.

Ditengah itu, Aira terbatuk hingga tidak lagi mendengkur, matanya sudah mulai kembali terbuka.

“Syukurlah ... ” ungkap Hendra bernapas lega.

“Kakak ... .”

“Aira ... .”

“Kavin mana?” tiba-tiba Hendra menanyakan keberadaanya.

Farah hanya menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, ndra.”

“Ayah ... Ayah ... mana ... ” ungkap Aira pelan, sangat pelan namun Hendra masih mengerti.

“Rah ... Kakak nanyain Kavin! Cepat telfon dia.”

“Airaa?”

“Alden ... .”

“Iya, ini aku, kenapa? Sakit?”

“Ayah mana ...”

Alden melihat ke arah Farah, “Bu ... .”

Karena ini permintaan Aira, Farah langsung menelfon Kavin, untungnya langsung di angkat.

“Halo? Mas?”

“Kenapa sayang?”

“Masih mentingin kerjaan? Padahal anak lagi sekarat?!”

“Sayang ... .”

“Kalau masih punya hati nurani, tolong ke rs sekarang!”

“Mas, di Jal—“

“Tuut ... tuut ...” Farah lansung mematikan telfonnya.

Melihat situasi ini Alden langsung mengerti.

“Raa ... Ayahnya lagi di jalan, sebentar ya?”

Aira mengangguk pelan.

“Kak? Kalau Ayah gak ke sini, jangan sedih ya? Tau sendiri kan, kalau Ayah itu sayang banget sama Kakak ...”

Tidak ada jawaban dari Aira.


Dengan penuh emosi, Hendra menunggu kedatangan Kavin di kursi tunggu tempat Aira di rawat. Bisa-bisanya di saat seperti ini, malah mementingkan pekerjaan. Tidak lama kemudian Kavin datang dengan penuh keringat di wajahnya, sepertinya Kavin berlari melewati tangga, dikarenakan lift selalu penuh.

“Anjing! Dari mana aja lo?” pekik Hendra sambil menarik kerah kemeja Kavin.

“Lepas!! Gak mau ribut, anak gue lagi sakit.”

“Anak lo? Tumben?”

“Ck.”

Kavin masuk ke dalam ruangan, dan langsung mencari Aira yang diikuti oleh Hendra di belakangnya.

“Kak? Ini Ayah, Nak ... maafkan Ayah ...” “Harusnya kemarin Ayah sampe ke sini, tapi ada masalah waktu mau penerbangan,” “Maaf ... maafkan Ayah ya, Nak?”

“Pe ... pesan ...” ungkap Aira.

“Iya, Ayah sudah baca semua pesan Kakak, Ayah janji sama Kakak, Ayah bakalan ngelakuin apa yang semua Kakak minta, tapi tolong, kuat ya? Kakak harus ngumpul lagi bareng ayah di rumah, sarapan bareng, dan Ayah mau jadi Ayah yang baik buat Kakak, jadi tolong ...” lirih Kavin yang kini posisinya lutut menyentuh lantai dan mulai menangis sambil menggenggam tangan mungil Aira.

“Ayah ... capek ...” ungkap Aira.

“Kalau Kakak sudah gak kuat lagi, Kakak boleh nyerah, kita semua di sini sudah ikhlas. Alden, Ibu, Om Hendra di sini sudah ikhlas, asal Kakak gak ngerasain sakit lagi ... .”

“Mas ... .”

Mendengar semua ucapan itu, Aira langsung menarik nafas dan memejamkan mata kemudian tertidur.

“KAKAK!”

“AIRA!”

“Gak apa-apa Farah, Alden. Aira hanya tertidur, Aira masih bersama kita,” ungkap Hendra.