Teringat Masa Lalu
Pagi hari ini, seperti biasa selalu diisi dengan kegiatan produktif, termasuk karyawan yang bekerja di bawah naungan perusahaan keluarga Mahatma. Perusahaan yang menjunjung nilai kemanusiaan, disiplin, dan keadilan. Salah satunya adil dalam memberikan upah sebagai imbalan yang harus di terima setelah kerja keras.
Thio yang akan menggantikan peran Johan hari ini kini telah telah ada di ruangan Aliesha untuk pemeriksaan dan juga mendiskusikan tentang adanya perubahan gaji, uang lembur dan bonus menjadi lebih tinggi, ini semua karena meningkatnya benefit perusahaan pada tiga bulan terakhir, maka dari itu Thio harus membahasnya dengan staff accounting yaitu Aliesha.
Dinda, vina, serta staf lain sedang fokus bekerja, kini sedang menatap tak berkedip dikarenakan kedatangan Thio yang secara tiba-tiba.
“Selamat siang, saya boleh masuk?” Sapa Thio sambil meminta izin pada staf yang ada di ruangan tersebut.
“Silakan, pak,” sahut beberapa staf di sana.
“Ini benar ruangannya Aliesha dari staff accounting?” tanya Thio sopan.
“Benar, pak,” jawab Dinda yang berada tepat di hadapan Thio.
“Aliesha nya di mana kalau boleh tahu?” tanya Thio lagi, dengan mata sibuk mencari Aliesha, namun nihil.
“Tadi izin ke kamar mandi pak—“ sambung Vina.
“Itu Yaya?!” seru Dinda.
”Yaya?” gerutu batin Thio yang seketika menoleh ke arah Aliesha, merasa tidak asing dengan nama panggilan tersebut yang dulu digunakan untuk memanggil orang yang sangat ia cintai.
Thio terus memandang Aliesha tanpa alasan.
“Maaf, pak, barusan saya dari belakang, ada yang bisa saya bantu?” tanya Aliesha yang menyadarkan Thio.
“Oh, ya. Begini, Sha. Saya yang menggantikan peran Johan, karena beliau sakit, dan ada yang perlu saya diskusikan, tapi ini privasi perusahaan, boleh kita diskusi sebentar di ruangan saya?” pinta Thio baik-baik.
“Di atas ya, pak?”
“Iya, Sha. Soalnya ditakutkan ada yang masuk ke ruangan saya meminta persetujuan dan sebagainya.”
“Boleh, pak. Biar saya siap-siap terlebih dahulu.”
“Silakan, Sha. Nanti langsung masuk saja, ya? Tahu kan ruangan saya?”
“Tahu, pak.”
Tidak lama kemudian Aliesha datang mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk ruangan.
“Masuk saja, Sha.”
“Begini, Sha. Sambil saya meriksa laporan kamu, tolong rubah beberapa tentang kenaikan gaji, bonus maupun uang lembur, nanti saya kasih catatannya, nah nanti, tolong data, ya?”
“Baik, pak,”
Kini dua orang tersebut, sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
“Waduh, Sha. Saya minta maaf, boleh izin buka jas gak? Badan saya panas dari tadi, padahal AC full,” pinta Thio dengan wajah yang mulai memerah dan keringat dingin bercucuran.
Seketika Aliesha langsung menoleh ke arah Thio “Lho, bapak sakit, ya?” tanya Aliesha panik.
“Tadi pagi agak pusing sih, Sha. Tapi kenapa sekarang malah makin lemas ya?” balas Thio.
“Saran saya, bapak periksa deh.”
“Tadi pagi sempat ke rumah sakit dekat kantor, tapi penuh.”
“Bapak ke apotek yang dekat kantor saja pak, yang depan kafe Indah, nah disitu ada praktik dokternya.”
“Dokternya ada jam berapa kalau boleh tahu?”
“Saya kemarin-kemarin pernah periksa kesana, jam segini ada dokternya kok.”
“Setelah selesai periksa ini, saya langsung turun.”
“Sekarang aja, pak. Takut kenapa-napa. Kasian caca lho, kalau bapak sakit.”
Mendengar itu, Thio langsung tersadar.
“Saya berangkat sekarang, kamu di sini saja dulu ya? Soalnya saya belum selesai memeriksa laporan kamu.”
“Baik, hati-hati, pak.”
“Iya, Sha.”