jwooshining

Aliesha menyadari sesuatu, bahwasannya Thio sedang tidak baik-baik saja. Setelah membalas pesan dari Rafa, Aliesha dengan segera menghampiri Thio. Diketuknya pintu kamar Thio, namun tidak ada respon dari dalam ruangan tersebut. Mencoba mengetuk pintu lebih keras lagi, namun hasilnya nihil.

Dengan terpaksa Aliesha membuka pintu tersebut yang kebetulan tidak di kunci dari dalam. Aliesha mencari sosok Thio, namun sepertinya beliau ada di balkon, maka dari itu kenapa asap rokok tersebut sampai ke atas tepatnya di balkon kamar Rafa lantai dua.

Berjalan pelan menghampiri Thio, ternyata dugaannya benar, Thio sedang menghisap rokok tersebut, yang entah berapa bungkus ia habiskan, tempat puntung rokok yang cukup besar pun sudah terisi penuh bahkan sudah melebar sampai meja dikarenakan puntung tersebut sudah sangat banyak.

Thio menyadari, kalau Aliesha masuk ke kamarnya dan melihat kalau wanitanya menghampiri dirinya dengan raut muka yang begitu khawatir, Thio mematikan rokok yang yang sedang ia hisap, dan menyimpannya di atas asbak.

“Udah abis berapa bungkus ini?!” gerutu Aliesha sambil membersihkan sisa rokok, bertanya kemudian menatap wajah Thio dengan sedikit kesal.

Mereka sempat beradu pandang, namun Thio memalingkan wajah datarnya dan melihat ke arah depan sana tanpa menjawab pertanyaan wanitanya tersebut.

Hening selama beberapa menit, dan tidak ada interaksi antara mereka. Aliesha sudah selesai membereskan sisa rokok tersebut, kemudian menghampiri Thio kembali.

Masih tidak ada tanggapan dari Thio, Aliesha kemudian mendekatkan tubuhnya dengan Thio kemudian memegang kedua pundaknya. Thio membalikan badannya menghadap Aliesha, Thio masih menatap wanitanya datar, namun lama kelamaan Thio mengalihkan tatapannya ke bawah yaitu menunduk melihat lantai.

“Kenapa?” tanya Aliesha pelan.

Masih tidak ada tanggapan dari Thio.

“Hey, jawab aku dong, dari tadi aku tanya, dan gak ada satupun yang di jawab?” “Kenapa?”

Thio masih terdiam.

Tidak lama kemudian Aliesha tiba-tiba memeluk Thio dan mengusap punggungnya.

“Lagi ada masalah, ya?” tanya Aliesha sambil terus menepuk punggung laki-laki tersebut pelan.

Thio yang awalnya hanya berdiri tegak, kini mulai membalas pelukan wanitanya tersebut.

“Lagi capek?” Aliesha terus bertanya.

”....”

Aliesha sedikit kesal dibuatnya, maka dia berusaha melepaskan pelukannya, namun ditahan oleh Thio.

“Jangan pergi ...” lirih Thio dengan suara bergetar sambil terus mengeratkan pelukannya.

“Aku gak kemana-mana, ini aku ada di sini?”

“Tolong ... jangan pergi ....”

“Emang aku mau ke mana? Enggak kan?”

“Saya serius kok, waktu itu juga saya sudah bilang, kalau saya itu benar-benar serius, tapi waktunya saja yang belum tepat.”

“Apa lagi ini?”

“Beri saya waktu beberapa minggu lagi, papah juga belum lama ini meninggalkan kita semua, jadi saya mengurus itu dulu, saya janji, Yaya ....”

“Janji buat apa?”

“Saya akan melamar kamu, secepatnya, setelah urusan ini selesai, ya?”

Aliesha hanya terdiam karena mendengar ungkapan tersebut secara tiba-tiba.

“Kenapa, Ya ...? Kamu ragu sama saya, karena saya sudah punya an—”

“Jangan jadikan anak sebagai kekurangan bapak, hadirnya Caca adalah hadiah buat bapak, begitu juga buat aku, jangan menyalahkan diri sendiri karena pernah menikah dan punya anak,” “Aku gak ragu sama sekali, tolong, jangan memperdebatkan perasaan seperti ini lagi, aku pasti memilih bapak.”

Thio masih memeluk perempuan tersebut dan kini dirinya mulai melepaskan pelukannya tersebut berganti dengan meraih wajah mungil perempuannya didekatkan dengan wajahnya.

“Maaf ...” lirih Thio. Baru saja akan mencium wanitanya tersebut namun Thio sadar diri, kalau dirinya baru selesai merokok.

Sedangkan Aliesha masih mematung karena perlakuan Thio secara tiba-tiba.

“Saya mandi dulu, habis itu kita jalan-jalan berdua tanpa Caca,” ungkap Thio.

“Malem-malem gini?”

“Iya, sayang. Boleh, ya?”

“Malem ini banget?”

“Iya.”

“Bawa Caca tapi.”

“Enggak bisa, saya maunya berduaan,” ungkap Thio sambil memasuki kamar mandi, meninggalkan Aliesha sendirian di kamarnya.

“Iya, iya,” gerutu Aliesha dan langsung menuju kamarnya untuk bersiap-siap.

Aliesha menyadari sesuatu, bahwasannya Thio sedang tidak baik-baik saja. Setelah membalas pesan dari Rafa, Aliesha dengan segera menghampiri Thio. Diketuknya pintu kamar Thio, namun tidak ada respon dari dalam ruangan tersebut. Mencoba mengetuk pintu lebih keras lagi, namun hasilnya nihil.

Dengan terpaksa Aliesha membuka pintu tersebut yang kebetulan tidak di kunci dari dalam. Aliesha mencari sosok Thio, namun sepertinya beliau ada di balkon, maka dari itu kenapa asap rokok tersebut sampai ke atas tepatnya di balkon kamar Rafa lantai dua.

Berjalan pelan menghampiri Thio, ternyata dugaannya benar, Thio sedang menghisap rokok tersebut, yang entah berapa bungkus ia habiskan, tempat puntung rokok yang cukup besar pun sudah terisi penuh bahkan sudah melebar sampai meja dikarenakan puntung tersebut sudah sangat banyak.

Thio menyadari, kalau Aliesha masuk ke kamarnya dan melihat kalau wanitanya menghampiri dirinya dengan raut muka yang begitu khawatir, Thio mematikan rokok yang yang sedang ia hisap, dan menyimpannya di atas asbak.

“Udah abis berapa bungkus ini?!” gerutu Aliesha sambil membersihkan sisa rokok, bertanya kemudian menatap wajah Thio dengan sedikit kesal.

Mereka sempat beradu pandang, namun thio memalingkan wajah datarnya dan melihat ke arah depan sana tanpa menjawab pertanyaan wanitanya tersebut.

Hening selama beberapa menit, dan tidak ada interaksi antara mereka. Aliesha sudah selesai membereskan sisa rokok tersebut, kemudian menghampiri Thio kembali.

Masih tidak ada tanggapan dari Thio, Aliesha kemudian mendekatkan tubuhnya dengan Thio kemudian memegang kedua pundaknya. Thio membalikan badannya menghadap Aliesha, Thio masih menatap wanitanya datar, namun lama kelamaan thio mengalihkan tatapannya ke bawah yaitu menunduk melihat lantai.

“Kenapa?” tanya Aliesha pelan.

Masih tidak ada tanggapan dari Thio.

“Hey, jawab aku dong, dari tadi aku tanya, dan gak ada satupun yang di jawab?” “Kenapa?”

Thio masih terdiam.

Tidak lama kemudian Aliesha tiba-tiba memeluk Thio dan mengusap punggungnya.

“Lagi ada masalah, ya?” tanya Aliesha sambil terus menepuk punggung laki-laki tersebut pelan.

Thio yang awalnya hanya berdiri tegak, kini mulai membalas pelukan wanitanya tersebut.

“Lagi capek?” Aliesha terus bertanya.

”....”

Aliesha sedikit kesal dibuatnya, maka dia berusaha melepaskan pelukannya, namun ditahan oleh Thio.

“Jangan pergi ...” lirih Thio dengan suara bergetar sambil terus mengeratkan pelukannya.

“Aku gak kemana-mana, ini aku ada di sini?”

“Tolong ... jangan pergi ....”

“Emang aku mau ke mana? Enggak kan?”

“Saya serius kok, waktu itu juga saya sudah bilang, kalau saya itu benar-benar serius, tapi waktunya saja yang belum tepat.”

“Apa lagi ini?”

“Beri saya waktu beberapa minggu lagi, papah juga belum lama ini meninggalkan kita semua, jadi saya mengurus itu dulu, saya janji, Yaya ....”

“Janji buat apa?”

“Saya akan melamar kamu, secepatnya, setelah urusan ini selesai, ya?”

Aliesha hanya terdiam karena mendengar ungkapan tersebut secara tiba-tiba.

“Kenapa, Ya ...? Kamu ragu sama saya, karena saya sudah punya an—”

“Jangan jadikan anak sebagai kekurangan bapak, hadirnya Caca itu hadiah buat bapak, begitu juga buat aku, jangan menyalahkan diri sendiri karena pernah menikah dan punya anak,” “Aku gak ragu sama sekali, tolong, jangan memperdebatkan perasaan seperti ini lagi, aku pasti memilih bapak,”

Thio masih memeluk perempuan tersebut dan kini dirinya mulai melepaskan pelukannya tersebut berganti dengan meraih wajah mungil perempuannya didekatkan dengan wajahnya.

“Maaf ...” lirih Thio. Baru saja akan mencium wanitanya tersebut namun Thio sadar diri, kalau dirinya baru selesai merokok.

Sedangkan Aliesha masih mematung karena perlakuan Thio secara tiba-tiba.

“Saya mandi dulu, habis itu kita jalan-jalan berdua tanpa Caca,” ungkap Thio.

“Malem-malem gini?”

“Iya, sayang. Boleh, ya?”

“Malem ini banget?”

“Iya.”

“Bawa Caca tapi.”

“Enggak bisa, saya maunya berduaan,” ungkap Thio sambil memasuki kamar mandi, meninggalkan Aliesha sendirian di kamarnya.

“Iya, iya,” gerutu Aliesha dan langsung menuju kamarnya untuk bersiap-siap.

#Takut

Aliesha menyadari sesuatu, bahwasannya Thio sedang tidak baik-baik saja. Setelah membalas pesan dari Rafa, Aliesha dengan segera menghampiri Thio. Diketuknya pintu kamar Thio, namun tidak ada respon dari dalam ruangan tersebut. Mencoba mengetuk pintu lebih keras lagi, namun hasilnya nihil.

Dengan terpaksa Aliesha membuka pintu tersebut yang kebetulan tidak di kunci dari dalam. Aliesha mencari sosok Thio, namun sepertinya beliau ada di balkon, maka dari itu kenapa asap rokok tersebut sampai ke atas tepatnya di balkon kamar Rafa lantai dua.

Berjalan pelan menghampiri Thio, ternyata dugaannya benar, Thio sedang menghisap rokok tersebut, yang entah berapa bungkus ia habiskan, tempat puntung rokok yang cukup besar pun sudah terisi penuh bahkan sudah melebar sampai meja dikarenakan puntung tersebut sudah sangat banyak.

Thio menyadari, kalau Aliesha masuk ke kamarnya dan melihat kalau wanitanya menghampiri dirinya dengan raut muka yang begitu khawatir, Thio mematikan rokok yang yang sedang ia hisap, dan menyimpannya di atas asbak.

“Udah abis berapa bungkus ini?!” gerutu Aliesha sambil membersihkan sisa rokok, bertanya kemudian menatap wajah Thio dengan sedikit kesal.

Mereka sempat beradu pandang, namun thio memalingkan wajah datarnya dan melihat ke arah depan sana tanpa menjawab pertanyaan wanitanya tersebut.

Hening selama beberapa menit, dan tidak ada interaksi antara mereka. Aliesha sudah selesai membereskan sisa rokok tersebut, kemudian menghampiri Thio kembali.

Masih tidak ada tanggapan dari Thio, Aliesha kemudian mendekatkan tubuhnya dengan Thio kemudian memegang kedua pundaknya. Thio membalikan badannya menghadap Aliesha, Thio masih menatap wanitanya datar, namun lama kelamaan thio mengalihkan tatapannya ke bawah yaitu menunduk melihat lantai.

“Kenapa?” tanya Aliesha pelan.

Masih tidak ada tanggapan dari Thio.

“Hey, jawab aku dong, dari tadi aku tanya, dan gak ada satupun yang di jawab?” “Kenapa?”

Thio masih terdiam.

Tidak lama kemudian Aliesha tiba-tiba memeluk Thio dan mengusap punggungnya.

“Lagi ada masalah, ya?” tanya Aliesha sambil terus menepuk punggung laki-laki tersebut pelan.

Thio yang awalnya hanya berdiri tegak, kini mulai membalas pelukan wanitanya tersebut.

“Lagi capek?” Aliesha terus bertanya.

”....”

Aliesha sedikit kesal dibuatnya, maka dia berusaha melepaskan pelukannya, namun ditahan oleh Thio.

“Jangan pergi ...” lirih Thio dengan suara bergetar sambil terus mengeratkan pelukannya.

“Aku gak kemana-mana, ini aku ada di sini?”

“Tolong ... jangan pergi ....”

“Emang aku mau ke mana? Enggak kan?”

“Saya serius kok, waktu itu juga saya sudah bilang, kalau saya itu benar-benar serius, tapi waktunya saja yang belum tepat.”

“Apa lagi ini?”

“Beri saya waktu beberapa minggu lagi, papah juga belum lama ini meninggalkan kita semua, jadi saya mengurus itu dulu, saya janji, Yaya ....”

“Janji buat apa?”

“Saya akan melamar kamu, secepatnya, setelah urusan ini selesai, ya?”

Aliesha hanya terdiam karena mendengar ungkapan tersebut secara tiba-tiba.

“Kenapa, Ya ...? Kamu ragu sama saya, karena saya sudah punya an—”

“Jangan jadikan anak sebagai kekurangan bapak, hadirnya Caca itu hadiah buat bapak, begitu juga buat aku, jangan menyalahkan diri sendiri karena pernah menikah dan punya anak,” “Aku gak ragu sama sekali, tolong, jangan memperdebatkan perasaan seperti ini lagi, aku pasti memilih bapak,”

Thio masih memeluk perempuan tersebut dan kini dirinya mulai melepaskan pelukannya tersebut berganti dengan meraih wajah mungil perempuannya didekatkan dengan wajahnya.

“Maaf ...” lirih Thio. Baru saja akan mencium wanitanya tersebut namun Thio sadar diri, kalau dirinya baru selesai merokok.

Sedangkan Aliesha masih mematung karena perlakuan Thio secara tiba-tiba.

“Saya mandi dulu, habis itu kita jalan-jalan berdua tanpa Caca,” ungkap Thio.

“Malem-malem gini?”

“Iya, sayang. Boleh, ya?”

“Malem ini banget?”

“Iya.”

“Bawa Caca tapi.”

“Enggak bisa, saya maunya berduaan,” ungkap Thio sambil memasuki kamar mandi, meninggalkan Aliesha sendirian di kamarnya.

“Iya, iya,” gerutu Aliesha dan langsung menuju kamarnya untuk bersiap-siap.

30 tahun yg lalu, Harlan sudah menikah dengan Ayudia, namun karena dalam dua tahun belum dikaruniai anak, maka orang tua Harlan dan Vinda dipaksa untuk menikah agar diberikan keturunan, tanpa memikirkan perasaan Ayudia. Vinda yang terlalu mencintai Harlan karena memang mereka sekolah secara bersamaan dari sejak SMA.

Ayudia mengikhlaskan Harlan untuk menikah lagi demi menjaga martabat keluarga besar Harlan. Setelah Harlan menikah, tidak lama kemudian dikaruniai anak laki-laki yaitu Thio, sedangkan Ayu masih belum dikaruniai juga.

Dirinya tidak kuat jika harus serumah dengan wanita lain, tangisan bayi yang semakin merenggangkan hubungan mereka, kini Ayu memilih berpisah rumah, bukan karena egois, sejak itu juga Ayu meminta untuk berpisah, namun Harlan tetap enggan untuk berpisah, akhirnya Harlan tetap egois untuk tidak menceraikan Ayu tapi membiarkan pisah rumah, yakni Ayu tinggal di kampung halamannya. Dua tahun bertahan di kampung tersebut, mencoba kuat untuk berpisah dengan Harlan, 4 tahun berlalu Ayu bertahan di kampung, Harlan sesekali menengok istri pertamanya tersebut setiap weekend. Jika dirinya tak sempat menemui Ayu, maka Harlan hanya mengirim sejumlah uang untuk kewajibannya menafkahi sang istri.

Harlan semakin sukses dengan bisnisnya, sehingga tidak sempat untuk menemui Ayu, dari satu minggu, dua minggu tidak bertemu, kini satu hingga empat bulan berlalu Harlan tak kunjung datang menemui dirinya.

Dirasa kehidupan Ayu mulai jenuh dengan rumah tangga seperti ini, cinta sudah tak sekuat dulu, kini Ayu memilih berpisah dari Harlan dengan alasan dirinya akan pergi ke luar negri bersama calon suaminya, iya, Ayu berpura-pura akan menikah lagi dengan laki-laki pilihannya, padahal waktu itu hanya teman dari Ayu.

Gugatan perceraian dilayangkan, dan Harlan pun menyetujui. Satu minggu kemudian, Ayu merasakan mual dan akhirnya diketahuilah kalau dirinya sedang mengandung, mau memberikan kabar baik ini terhadap Harlan, tapi mereka sudah bukan dalam hubungan apa-apa lagi.

Akhirnya Ayu membesarkan kehamilannya sendirian. Ayu mempunyai usaha yaitu laundry, modal yang digunakan adalah dari nafkah yang Harlan berikan beberapa tahun terakhir, dia gunakan sebijak mungkin karena dia juga harus bekerja keras untuk membesarkan bayinya tersebut. Setelah itu lahirlah seorang putra dengan nama Rafardhan Athalla bukan sekedar singkatan biasa, Ayu memberikan nama itu sebagai tanda bahwa anaknya masih keluarga Mahatma. Namun MA tetap ditulis seperti itu, bukan Mahatma agar tidak terlalu jelas dibuatnya.

Anak tersebut lahir dengan selamat dan tumbuh dengan baik. Mereka berdua bertahan saling menguatkan satu sama lain.

Ketika Rafa sudah menginjak umur 2 tahun, Ayu sering sekali melihat Harlan berada di televisi karena sebagai pengusaha yang sukses mengembangkan perusahaan dalam waktu singkat, begitupun Thio, seorang anak laki-laki yang tumbuh dengan baik.

Suatu saat, Ayu berjalan-jalan ke kota, untuk sekedar mengajak anaknya untuk berlibur. Melihat kota yang indah. Secara kebetulan Ayu bertemu seorang anak laki-laki yang berumur 10 tahun yang sering ia lihat di televisi, iya benar, dia adalah anak dari mantan suaminya yaitu Thio. Ayu mengambil foto mereka berdua, kemudian seseorang mencari keberadaan Thio yang ternyata itu adalah pengasuhnya yaitu bibi, bibi waktu itu masih muda. Bibi yang sekarang bekerja di rumah Thio.

Beberapa tahun kemudian, Rafa sudah menginjak bangku sekolah SMK, dia bersekolah di jurusan Farmasi, pilihannya hanya itu karena paling dekat dengan rumah, Rafa tidak ingin jauh dari seorang mamah, karena dia tidak tega meninggalkan mamahnya sendirian.

Menginjak tahun pertama sekolah, Rafa sering melihat kalau ibunya sering sakit, bahkan semakin lama, sakitnya semakin parah, Rafa sering sekali memergoki ibunya yang terus-terusan muntah darah.

Semakin khawatir, Rafa memaksa mamahnya untuk berobat, padahal waktu itu Ayu bersikeras tidak mau diobati karena uangnya digunakan untuk menyekolahkan Rafa.

Semakin parah, kini laundry-nya di jual untuk pengobatan, masih tidak cukup akhirnya Ayu meninggal dunia.

Meninggalkan Rafa sendirian, Ayu hanya meninggalkan rumah, surat dengan amplop warna biru serta foto Thio, agar dirinya mudah mencari kakaknya dan juga papahnya.

Akhirnya Rafa pergi ke kota karena ada panggilan kerja di apotek, kebetulan lokasi tersebut lumayan dekat dengan perusahaan papahnya. Rafa menyampaikan amanat tersebut namun tidak ada jawaban dari papahnya tersebut, lalu munculah rasa marah, yang pada akhirnya mencelakakan Thio untuk menggertak Harlan.

Namun, sifat buruknya malah mengantarkan pada kemalangan.

30 tahun yg lalu, Harlan sudah menikah dengan Ayudia, namun karena dalam dua tahun belum dikaruniai anak, maka orang tua Harlan dan Vinda dipaksa untuk menikah agar diberikan keturunan, tanpa memikirkan perasaan Ayudia. Vinda yang terlalu mencintai Harlan karena memang mereka sekolah secara bersamaan dari sejak SMA.

Ayudia mengikhlaskan Harlan untuk menikah lagi demi menjaga martabat keluarga besar Harlan. Setelah Harlan menikah, tidak lama kemudian dikaruniai anak laki-laki yaitu Thio, sedangkan Ayu masih belum dikaruniai juga.

Dirinya tidak kuat jika harus serumah dengan wanita lain, tangisan bayi yang semakin merenggangkan hubungan mereka, kini Ayu memilih berpisah rumah, bukan karena egois, sejak itu juga Ayu meminta untuk berpisah, namun Harlan tetap enggan untuk berpisah, akhirnya Harlan tetap egois untuk tidak menceraikan Ayu tapi membiarkan pisah rumah, yakni Ayu tinggal di kampung halamannya. Dua tahun bertahan di kampung tersebut, mencoba kuat untuk berpisah dengan Harlan, 4 tahun berlalu Ayu bertahan di kampung, Harlan sesekali menengok istri pertamanya tersebut setiap weekend. Jika dirinya tak sempat menemui Ayu, maka Harlan hanya mengirim sejumlah uang untuk kewajibannya menafkahi sang istri.

Harlan semakin sukses dengan bisnisnya, sehingga tidak sempat untuk menemui Ayu, dari satu minggu, dua minggu tidak bertemu, kini satu hingga empat bulan berlalu Harlan tak kunjung datang menemui dirinya.

Dirasa kehidupan Ayu mulai jenuh dengan rumah tangga seperti ini, cinta sudah tak sekuat dulu, kini Ayu memilih berpisah dari Harlan dengan alasan dirinya akan pergi ke luar negri bersama calon suaminya, iya, Ayu berpura-pura akan menikah lagi dengan laki-laki pilihannya, padahal waktu itu hanya teman dari Ayu.

Gugatan perceraian dilayangkan, dan Harlan pun menyetujui. Satu minggu kemudian, Ayu merasakan mual dan akhirnya diketahuilah kalau dirinya sedang mengandung, mau memberikan kabar baik ini terhadap Harlan, tapi mereka sudah bukan dalam hubungan apa-apa lagi.

Akhirnya Ayu membesarkan kehamilannya sendirian. Ayu mempunyai usaha yaitu laundry, modal yang digunakan adalah dari nafkah yang Harlan berikan beberapa tahun terakhir, dia gunakan sebijak mungkin karena dia juga harus bekerja keras untuk membesarkan bayinya tersebut. Setelah itu lahirlah seorang putra dengan nama Rafardhan Athalla bukan sekedar singkatan biasa, Ayu memberikan nama itu sebagai tanda bahwa anaknya masih keluarga Mahatma. Namun MA tetap ditulis seperti itu, bukan Mahatma agar tidak terlalu jelas dibuatnya.

Anak tersebut lahir dengan selamat dan tumbuh dengan baik. Mereka berdua bertahan saling menguatkan satu sama lain.

Ketika Rafa sudah menginjak umur 2 tahun, Ayu sering sekali melihat Harlan berada di televisi karena sebagai pengusaha yang sukses mengembangkan perusahaan dalam waktu singkat, begitupun Thio, seorang anak laki-laki yang tumbuh dengan baik.

Suatu saat, Ayu berjalan-jalan ke kota, untuk sekedar mengajak anaknya untuk berlibur. Melihat kota yang indah. Secara kebetulan Ayu bertemu seorang anak laki-laki yang berumur 10 tahun yang sering ia lihat di televisi, iya benar, dia adalah anak dari mantan suaminya yaitu Thio. Ayu mengambil foto mereka berdua, kemudian seseorang mencari keberadaan Thio yang ternyata itu adalah pengasuhnya yaitu bibi, bibi waktu itu masih muda. Bibi yang sekarang bekerja di rumah Thio.

Beberapa tahun kemudian, Rafa sudah menginjak bangku sekolah SMK, dia bersekolah di jurusan Farmasi, pilihannya hanya itu karena paling dekat dengan rumah, Rafa tidak ingin jauh dari seorang mamah, karena dia tidak tega meninggalkan mamahnya sendirian.

Menginjak tahun pertama sekolah, Rafa sering melihat kalau ibunya sering sakit, bahkan semakin lama, sakitnya semakin parah, Rafa sering sekali memergoki ibunya yang terus-terusan muntah darah.

Semakin khawatir, Rafa memaksa mamahnya untuk berobat, padahal waktu itu Ayu bersikeras tidak mau diobati karena uangnya digunakan untuk menyekolahkan Rafa.

Semakin parah, kini laundry-nya di jual untuk pengobatan, masih tidak cukup akhirnya Ayu meninggal dunia.

Meninggalkan Rafa sendirian, Ayu hanya meninggalkan rumah, surat dengan amplop warna biru serta foto Thio, agar dirinya mudah mencari kakaknya dan juga papahnya.

Akhirnya Rafa pergi ke kota karena ada panggilan kerja di apotek, kebetulan lokasi tersebut lumayan dekat dengan perusahaan papahnya. Rafa menyampaikan amanat tersebut namun tidak ada jawaban dari papahnya tersebut, lalu munculah rasa marah, yang pada akhirnya mencelakakan Thio untuk menggertak Harlan.

Namun, sifat buruknya malah mengantarkan pada kemalangan.

“Ini semua salah mama, kalau saja waktu itu mama tidak menyuruh papa pergi, pasti sekarang papa baik-baik saja, kan?” “Kalau saja mama waktu itu bisa menyikapi masalah dengan dewasa dan mau menerima anak itu, pasti papa tidak akan begini, kan?” “Bukan ini yang mama maksud, pa ... bukan pergi seperti ini ... papa boleh kembali ke rumah, papa boleh bawa anak itu, pa, maafkan mama ... mama salah karena hanya memikirkan perasaan mama sendiri ...” ungkap Vinda yang terus menyalahkan dirinya atas semua kejadian ini.

“Ma, jangan menyalahkan diri mama terus, ini semua adalah kecelakaan, tidak ada yang tahu, sekarang kita berdoa yang terbaik saja buat papa, ya?” ungkap Thio terus menenangkan mamanya tersebut padahal dirinya sendiri sangat hancur.

“Papa pasti sehat, kan? Papa akan kembali bersama kita, kan? Perkataan dokter tentang papa itu bohong, kan?” “Dokter itu bukan Tuhan! Kenapa dia memprediksi papa seperti itu?papa akan selamat kan?”

“Ma, dokter memprediksi seperti itu tidak sembarangan, itu berdasar pada kondisi pasien saat ini, selebihnya Tuhan yang akan menentukan, kita di sini hanya bisa berjaga-jaga atas kemungkinan terburuknya ...”

“Ini semua salah mama, papa kecelakaan, itu semua salah mama, mama yang membuat papa seperti ini, harusnya mama yang pergi, mama harus menyusul papa, untuk meminta pengampunan atas semua –“

“Mama!” teriak Thio menyadarkan mamanya.

“Fir! Tolong tenangkan Tante Vinda dulu, biarkan mereka tenang,” “Yo, jangan kayak gini, lo juga harus tenang, papa lo di sana sedang berjuang demi kalian,” ungkap Jeffrey memisahkan Thio dan Vinda agar lebih tenang lagi.

Vinda terduduk di kursi tunggu ditenangkan oleh Firdhan, sedangkan Thio mulai menangis, terduduk di kursi yang cukup jauh dari Vinda, duduk tunduk yang terus ditenangkan oleh Jeffrey, Johan, dan Yudha. karena ucapan Vinda yang secara langsung membuat Thio semakin takut, takut karena mamanya tersebut akan melakukan hal buruk untuk dirinya sendiri. Thio sudah sangat terluka jika harus kehilangan papanya dan akan lebih terluka lagi jika harus ditinggalkan oleh mamanya.


Tidak lama kemudian Aliesha sampai di rumah sakit tersebut sambil menggendong Caca.

“Sha?” sapa Jeffrey kemudian langsung mengambil Caca agar tidak melihat Thio yang sedang menangis saat ini.

Mendengar itu, Thio dengan sigap menyeka air matanya dengan tangannya, dan langsung menghampiri Aliesha.

“Yaya ... maaf jadi ngerepotin malam-malam ...” ungkap Thio dengan suara yang bergetar.

Aliesha terus memperhatikan Thio, dilihatnya sepasang mata yang sembab sepertinya air matanya terkuras sangat banyak. Thio benar-benar sedang tidak baik-baik saja saat ini, jika sebelumnya Thio selalu berhasil menyembunyikan rasa sedihnya, kini sudah tidak lagi, dirinya terlihat sangat hancur dan tidak sanggup untuk menutupi kesedihannya lagi.

Aliesha meraih tangan laki-lakinya tersebut, terus mengusap punggung tangannya pelan, kemudian merengkuh tubuhnya sambil berbisik, “Terima kasih udah kuat, padahal aku tau, ini semua gak mudah,” ungkap Aliesha yang terus menepuk punggung Thio menenangkan.

“Pak Harlan sedang berjuang juga di dalam sana demi kita semua, jadi kita hanya bisa mendoakan yang terbaik tanpa henti,” ungkap Aliesha menenangkan.

“Pak ...” “Bukan hanya kita saja yang terpukul atas kejadian ini,” lirih Aliesha sambil melepaskan pelukannya tersebut dan hanya memegang tangan Thio. “Seseorang juga sangat terpukul, bahkan lebih sakitnya lagi, dia belum sempat untuk saling mengobrol satu sama lain, apalagi memeluknya.”

“....”

“Ikut aku sebentar, boleh, ya?” pinta Aliesha yang di balas anggukan oleh Thio.

Dilihatnya seorang anak laki-laki terduduk di kursi tunggu rumah sakit tidak jauh dari ruangan Harlan dirawat. Anak laki-laki tersebut pergi ke rumah sakit setelah bertanya kepada Warto, ketika sampai di rumah Thio pada saat Aliesha menyiapkan makanan untuk dirinya.

Setelah sampai di tempat, dirinya tidak berani untuk menghampiri papahnya karena terlalu banyak orang di sana, apalagi melihat Vinda, Thio sampai semua saudara dan teman Thio berkumpul di sana. Yang dilakuan anak laki-laki tersebut hanya bisa menangis sendirian, membayangkan semua bayangan indah dengan papanya tentang pertemuannya hari ini.

“Rafa?” lirih Thio menghampiri adiknya tersebut.

Rafa tidak menggubris kehadiran Thio, dirinya terus menangis sambil memeluk jaket yang diberikan Harlan.

Thio berjongkok di hadapan Rafa, yang terus menangis tanpa henti.

“Rafa ... ini kakak, nak ...” “Rafa mau tengok papah, ya?”

Bukannya menjawab pertanyaan Thio, Rafa hanya terus menangis bahkan kini punggungnya semakin bergetar dan isakan yang semakin keras juga mengeratkan tangannya pada jaket pemberian Harlan, berusaha menguatkan diri atas kejadian ini.

Thio menyeka air mata Rafa dengan tangannya, kemudian merengkuh tubuh Rafa yang sama-sama hancur. Melihat itu Aliesha ikut meneteskan air matanya dan menepuk punggung Rafa pelan.

“Rafa ikut kakak, ya?” pinta Thio lembut.

Bahkan saat ini Rafa seperti tidak mampu untuk sekedar berdiri, kakinya begitu berat untuk menopang tubuhnya sendiri.

“Rafa masuk ketemu papah, ya? Sekarang, Rafa boleh ngobrol sama papah, ceritakan semuanya dengan papah, ya?” ungkap Aliesha sambil mengambil tas yang Rafa gendong dan memakaikan jaket yang sedari tadi ia peluk kemudian mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya.

Kini Rafa berada di tengah-tengah mereka, semua orang cukup dibuat kaget mengapa Thio membawa seseorang untuk masuk ke dalam sana.

“Rafa?!” tanya Firdhan terheran atas kehadirannya.

Rafa hanya diam, menghiraukan sapaan temannya itu, Rafa tetap tunduk dan terus mengeluarkan air matanya yang tidak bisa ia tahan untuk tidak mengalir seperti ini.

“Caca? Ikut ayah, ya? Kita tengok kakek dulu sebentar,” ajak Thio sambil mengambil alih dari pangkuan Jeffrey.

“Ma ...” pinta Thio agar Rafa diberikan akses untuk masuk ke dalam sana, sedangkan Vinda hanya mengangguk tanda setuju sudah mengerti atas apa permintaan Thio.

Thio memasuki ruangan tersebut terlebih dahulu, diikuti dengan Rafa yang terus terisak karena tak kuasa menahan kesedihannya.

Rafa, Thio, dan caca kini berada di tempat Harlan terbaring lemah.

“Pah, Thio bawa Farica ke sini, katanya mau tengok Papa,” “Sayang? Minta maaf dulu sama kakek, ya?” pinta Thio terhadap Caca. “Pa ... ini caca datang untuk papa, mohon dimaafkan atas semua kesalahan dan kenakalan Caca, ya?” pinta Thio mewakili Caca. “Sayang, peluk dulu kakeknya, ya?” pinta Thio dengan suara yang mulai bergetar kembali karena tak kuasa melihat Harlan yang masih tidak berdaya.

Caca kini memeluk Harlan yang terbaring tidak berdaya. Tidak seperti biasanya Caca memedulikan kakeknya tersebut, karena mereka memang tidak sedekat itu. Tapi kali ini Caca terus memeluk Harlan seakan-akan tidak mau melepaskan pelukannya.

“Sayang? Udah, ya? Biarkan kakek istirahat dulu untuk malam ini?” pinta Thio sambil memaksa melepaskan Caca yang sedang memeluk kakeknya tersebut.

“Pa ... ayo bangun? Rafa jagoan papa sudah ada di sini,” “Orang yang papa cari, dan selau papa rindukan, sekarang sudah ada di hadapan papa?” “Katanya mau mengobrol banyak dengan jagoan papa? Katanya ada yang perlu disampaikan sama Rafa? Sekarang anaknya sudah ada di sini, jadi papa bisa sampaikan sekarang, ya?” tutur Thio.

“Rafa? Kakak keluar dulu sama Caca, Rafa boleh mengobrol dengan papa semau Rafa, ya?” “Kami tunggu di luar sana, sampaikan apa yang ingin Rafa sampaikan sama papa,” “Papa pasti dengar semuanya apa yang Rafa sampaikan,” ungkap Thio menepuk pelan punggung Rafa kemudian keluar ruangan bersama Caca.

Di ruangan tersebut hanya tinggal berdua, anak dan Ayah yang belum sempat bertemu sama sekali, kini dipertemukan di satu ruangan dengan kondisi tak terduga seperti ini.

Rafa terus menatap papahnya tersebut, dan kini memberanikan diri untuk menghampiri dan menggenggam tangan yang sudah mulai dingin dengan tangan kirinya, serta tangan kanannya digunakan untuk memeluknya.

Selama beberapa menit, Rafa tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun, dirinya hanya terus menangis dengan harapan papahnya bisa membuka matanya kembali untuk melihat kehadirannya.

“Pah ... ini Rafardhan ....”

Rafa tidak sanggup berkata-kata, rasanya sulit untuk berbicara.

“Pah ... katanya mau jemput, Rafa? kok papah malah ada di sini?” “Katanya mau hidup bahagia sama Rafa?” “Katanya papah mau minta pengampunan sama Rafa?” “Tapi kenapa malah seperti ini?”

“Pah... sakit, ya?” “Mana yang sakit?”

“Pah ... kok tangannya makin dingin? Mau Rafa peluk, biar hangat?” Rafa terus bertanya terhadap papahnya tersebut, tanpa melepaskan genggaman serta pelukannya.

Badan Harlan yang semakin dingin, membuat Rafa terisak kembali dan pikiran buruk kini menghantuinya.

“Pah ... masih kuat, kan?” “Padahal Rafa masih rindu sama papah, pengen meluk papah lebih lama lagi ...” “Rafa benar-benar tidak ada kesempatan, ya?

“Pah ... ayo bangun, peluk anakmu ini walaupun sekali, dengan begitu Rafa bisa ikhlas dengan apa takdir kita seharusnya ...”

“Apapun pilihan papah, itu adalah pilihan yang baik,” “Kalaupun papah pergi, berarti ini kebahagiaan untuk mamah di sana, kalian bisa bersama lagi, ya?” “Tapi harapan terbesar Rafa yaitu kembalinya papah pada kami di sini ...”

“Pah ... ayo bangun ...”

Tidak lama kemudian air mata keluar dari sudut mata Harlan yang terlihat oleh Rafa.

Seperti keajaiban untuk Rafa, terlihat jelas oleh dirinya kalau Harlan mengeluarkan air mata dari sudut matanya, cukup membuat Rafa bahagia, adanya respon tersebut menandakan kalau Harlan mendengarkan semua apa yang dikatakan oleh jagoannya tersebut.

“Jangan menangis, Rafa di sini ...” lirih Rafa sambil menyeka air mata di sudut mata Harlan.

“Sepertinya Rafa harus minta selimut lagi ke susternya, badan papah semakin dingin ...” “Rafa sayang sama papah, apapun pilihan papah, Rafa ikhlas ....”

Rafa kembali memeluk tubuh Harlan, terus mengeratkan pelukannya hingga timbul rasa kantuk, kini Rafa mulai tertidur di pelukan papahnya. Sayup-sayup terdengar tangisan seseorang memanggil papahnya dari luar sana, namun Rasanya Rafa enggan untuk bangun karena terlalu lelah. Selain memanggil papahnya, ada juga seseorang yang memanggil dirinya, namun semua itu Rafa biarkan karena keadaan tubuhnya saat ini tidak mau merespon apapun, yang dia inginkan hanya tidur sambil memeluk tubuh lemah papahnya.

Aliesha telah sampai di kediaman Thio. Aliesha membuka pintu rumahnya dengan hati-hati, masuk ke dalam pelan-pelan, ternyata bibi sudah pergi dari rumah tersebut. Suasana sangat hening seperti tidak ada penghuninya. Aliesha langsung pergi menuju kamar Thio, langkah Aliesha terus ragu untuk menghampirinya, tapi disatu sisi, dirinya sangat khawatir takutnya melakukan hal yang tidak diinginkan di dalam sana.

Aliesha memberanikan diri untuk mengetuk pintu, namun tetap tidak ada jawaban.

“Pak? Ini aku, Yaya ... boleh masuk sebentar gak?” tanya Aliesha hati-hati.

”....” tidak ada jawaban dari dalam.

“Bapak belum sempat makan lho kata bibi, biarin aku masuk bentar? Aku cuman mau nganterin makanan aja kok ...” “Kalau lagi gak mau diganggu, ini aku simpan makanannya di depan pintu kamar, ya?”

Masih belum ada jawaban dari dalam, Aliesha menyimpan makanan tersebut di dekat pintu. Dirinya hendak melangkah untuk meninggalkan tempat tersebut, namun tiba-tiba pintu terbuka.

“Masuk, Ya ...” Ajak Thio dengan suara rendahnya tanpa memperlihatkan dirinya, karena dia kembali lagi ke dalam kamar.

Aliesha memang ingin sekali masuk ke dalam kamar tersebut, dirinya ingin mengawasi Thio agar tidak melakukan hal-hal yang berbahaya.

Ketika Aliesha masuk ke dalam kamar, Thio langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Ketika dirinya masuk, kamarnya sangat gelap, barang-barang berserakan, dan bau rokok yang sangat menyengat. Dengan cepat Aliesha menyimpan makanan tersebut di atas meja kecil di sana, dan langsung membuka tirai dan menyalakan lampu kamar. Pintu menuju lobi terbuka, dilihatnya sisa rokok dan botol minuman berserakan.

Aliesha memungut sampah-sampah dan membersihkan kamar tersebut agar kembali terlihat rapi, bersih, dan wangi seperti yang Aliesha lihat waktu sebelum-sebelumnya. Aktivitas Aliesha terhenti ketika melihat foto anak kecil difoto sendirian, namun sepertinya pernah ia lihat sebelumnya, tapi tidak ingat persis tempatnya.

Thio telah selesai membersihkan dirinya, langsung menghampiri Aliesha. “Anak kecil itu adalah saya, dan saya adalah anak kecil yang bersamaan dalam foto yang Rafa punya,” “Entah apa yang terjadi, tapi saya harus mempercayai itu sekarang, percaya kalau Rafa adalah saudara saya ...”

Saat ini Aliesha bingung harus bereaksi seperti apa, informasi tersebut sangat mengejutkan untuk dirinya.

Thio hanya tersenyum ke arah Aliesha.

“Mau bagaimana lagi, memang nyatanya seperti ini, sekarang bukan saatnya untuk memperdebatkan masalah ini, tapi waktunya menerima keadaan sebenarnya.”

“Pak ....”

“Ya, saya tidak bisa menyalahkan papa untuk hal ini, bahkan pernikahan saya sebelumnya juga sangat kacau, bukan? Itu juga bisa terjadi pada papa saya.”

Aliesha menatap nanar terhadap Thio.

“Terima kasih sudah mau datang ke sini, kalau saja kamu tidak datang, mungkin saya tidak akan pernah sadar, bahkan tidak peduli dengan anak sendiri.”

“Maaf karena aku juga baru datang, aku kira baik-baik saja, soalnya baru saja kemarin kita video call, tapi aku gak sadar kalau bapak lagi ada masalah.”

“Itu karena saya masih bisa menahannya, maaf tidak mengabari kamu selebihnya.”

“Kalau dengan cara begitu bisa bikin bapak merasa lebih baik, aku bisa apa,” ungkap Aliesha sambil menyerahkan beberapa makanan untuk Thio.

“Saya gak nafsu untuk makan, Ya,” ungkap Thio menolak halus.

Aliesha mengacuhkan keinginan Thio.

“Satu sendok aja gapapa,” pinta Aliesha sambil menyodorkan satu sendok nasi beserta lauknya untuk Thio makan.

Thio hanya terdiam, ingin menolak, namun melihat wajah Aliesha yang sepertinya kelelahan karena sepulang bekerja, Thio tidak tega untuk menolaknya.

“Ayo?” Aliesha menyadarkan Thio yang terus menatapnya.

Akhirnya satu suapan berhasil masuk ke dalam mulut Thio.

“Gimana? Enak gak?”

Thio mengangguk, kemudian mengambil piring tersebut.

“Biar saya saja, pasti kamu cape habis pulang kerja.”

“Gapapa, kerjaan aku gak begitu banyak kok.”

“Kamu istirahat saja, pasti capek habis membersihkan kamar ini.”

“Maksa banget? Yaudah janji di makan tapi? Aku mau jemput Caca soalnya.”

“Biar saya saja.”

“Aku aja gapapa,” ungkap Aliesha sambil mendekatkan air minum pada Thio agar mudah di jangkau.

Setelah Aliesha pergi untuk menjemput Caca, kini Thio sendirian di kamarnya, dia memakan makanan tersebut tidak sampai empat sendok, langsung ia simpan di atas meja kecil yang ada di kamar lalu dilanjutkan dengan minum air putih yang Aliesha siapkan.

Baru saja akan merebahkan dirinya tiba tiba ada satu pesan dari Aliesha yang berisi “Pak, aku ajak Caca makan dulu, ya? Soalnya hari ini aku gak masak di rumah, sekalian ajak Caca jalan-jalan, boleh? Aku tau, bapak lagi gak mau diganggu, kalau ada perlu apa-apa, chat aku aja, ya?” Di balas oleh Thio dengan “Iya, hati2, ya?”


Thio melemparkan ponselnya, lalu merebahkan dirinya di kasur, teringat kembali dengan kejadian itu, Thio kembali memegang pelipisnya.

Thio menyaksikan pertengkaran hebat waktu itu, dirinya hendak membawakan dokumen penting untuk ditanyakan pada papanya, namun pagi-pagi sekali, Thio disuguhkan dengan dua orang yang sedang beradu mulut seolah-olah tidak ada yang mau mengalah.

“IYA! Mama yang menyembunyikan surat ini!”

“Kenapa lancang ma!! Itu surat untuk papa, di sana ada seseorang yang harus papa pertanggung jawabkan!!”

“Silakan pergi dari rumah ini! Serahkan perusahaan seutuhnya pada Thio! Mama tidak ingin melihat papa lagi di rumah ini!”

“Mama kenapa seperti ini?! Dia anak papa sama halnya dengan Thio, dia darah daging papa!”

“Mama sudah muak jika harus terus berhubungan dengan wanita itu, urus saja anak kamu itu, dan jangan pernah berpikir untuk pulang ke rumah ini lagi!”

“Papa tahu sekarang, mama memang hanya memanfaatkan papa, setelah Thio dewasa, mama selalu memaksa agar papa mengajarkan Thio mengurus perusahaan ini?”

“Kalau iya kenapa? Cinta mama sudah mati dari waktu yang lama, mama hanya tidak mau kalah dari wanita itu, membuktikan kalau mama bisa mendapatkan papa seutuhnya, namun sekarang sudah cukup, Thio sudah dewasa, tidak ada lagi yang mama inginkan dari papa!”

“Memang seharusnya papa bekerja menyetir saja ....” lirih Harlan pergi meninggalkan Vinda sambil membawa surat dalam amplop biru tersebut dengan hasil tes DNA yang menunjukan kecocokan dirinya dengan Rafa.

Thio mendengar pertengkaran tersebut dari luar rumah, namun masih bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka perdebatkan.

Selama ini Thio selalu menyalahkan papanya atas tuntutan mengurus perusahaannya dengan sempurna. Karena tujuan papanya untuk menjadikan Thio menjadi pemimpin yang hebat atas bimbingan Harlan yang tidak kalah hebat dalam mengelola perusahaan. Bahkan perusahaan yang dulu sempat diambang jatuh, kini menjadi perusahaan yang sangat besar, itu semua atas usaha dan kecerdasan Harlan.

Dan kini Thio tahu alasan papanya yang selalu memilih menjadi pengemudi ojek online dibandingkan diam di perusahaan. Tugasnya sudah selesai, semua pelajaran dan pengalaman yang Harlan berikan, kini sudah cukup sebagai bekal untuk Thio dalam mengurus perusahaan kedepannya agar lebih maju dan lebih besar lagi.

“Nunggu lama banget, ya?” tanya Aliesha merasa tidak enak dengan Thio karena datang malam-malam, bahkan tidak sempat untuk istirahat walaupun sekedar merebahkan diri sekalipun.

“Gak apa-apa,” balas Thio lembut sambil mengusap rambut wanitanya tersebut.

Sedangkan wanitanya hanya mematung karena perlakuan Thio yang cukup mendebarkan hatinya yang cukup lama tidak ia rasakan, jantungnya kembali berdetak kencang.

“Kamu gak akan biarkan saya masuk?” tanya Thio menyadarkan wanitanya tersebut.

Aliesha hanya tersenyum gemas kepadanya dan langsung menarik tangan Thio sebagai tanda mempersilakan dirinya untuk masuk ke dalam apartemennya.

“Bapak gak ke rumah dulu barusan?” tanya Aliesha sambil menyiapkan minuman dan beberapa makanan ringan untuk menjamu Thio.

“Tadi ke rumah dulu, tapi ternyata Caca sudah tidur.”

“Sendirian di rumah?”

“Ada Firdhan, makannya saya ke sini.”

“Oh.”

“Terlalu singkat?” Thio menggoda Aliesha karena tanggapan tersebut. Aliesha hanya menyeringai di sana.

Mereka sangat asyik mengobrol satu sama lain, saling mendengarkan dan memberikan solusi satu sama lain untuk setiap masalah yang mereka lalui selama beberapa minggu tidak bertemu.

Thio terus memperhatikan wanitanya tersebut, memandang wanitanya dengan penuh arti. Seketika Aliesha menyadari kalau Thio terus memandang dirinya tanpa henti.

“Kenapa sih ngeliatin aku terus? Ada sesuatu ya di muka aku?” tanya Aliesha panik dan langsung mengambil ponselnya untuk sekedar bercermin.

“Gak ada apa-apa tapi?” ungkap Aliesha heran.

Sedangkan Thio hanya tersenyum melihat perbuatan Aliesha yang sangat menggemaskan untuk dilihat.

“Cantik,” ungkap Thio kemudian memalingkan wajahnya dari Aliesha dengan wajahnya yang tidak bisa berhenti tersenyum.

“Apaan banget?” ungkap Aliesha, dengan muka yang memerah karena mendengar pujian secara tiba-tiba.

Tiba-tiba Thio berdiri dari duduknya, dengan refleks, Aliesha ikut berdiri.

“Mau ke mana?” tanya Thio.

“Diam,” ungkap Thio singkat.

Kini Thio berdiri di belakang Aliesha. Sedangkan Aliesha hanya terdiam, mengikuti perintahnya. Thio merogoh sesuatu dari saku jasnya, dikeluarkannya kalung yang sangat indah, dan kemudian membuka kalung tersebut untuk dipakaikan pada leher indah Aliesha.

Ketika Thio sedang membuka kaitan kalung tersebut, Aliesha merasa penasaran dibuatnya, tubuh yang kini membelakangi Thio tersebut, seketika wajahnya menengok ke arah Thio, Aliesha tersentak membuat jantungnya terus berdetak dengan cepat, bagaimana tidak, kini wajahnya sangat dekat dengan Thio, ekspresi Thio saat ini sangat berbeda dari sebelumnya, wajahnya sangat serius dan terus menatap wanitanya tanpa henti. Aliesha langsung memalingkan wajahnya dan kembali ke posisi semula. Karena posisi tersebut cukup membuat Aliesha canggung, maka dirinya berinisiatif untuk mengubah posisinya tersebut namun di tahan oleh Thio.

“Sebentar ...” gumam Thio.

Tubuh Aliesha kembali mematung.

Dipakaikannya kalung indah tersebut, sedangkan Aliesha hanya bisa menatap kalung yang sudah menggantung di lehernya, kalung putih yang sangat indah.

Thio memutar tubuh wanitanya agar berhadapan dengan dirinya, kemudian tersenyum kembali.

“Selesai ... sangat cocok, pas.”

“Ini ....”

“Buat kamu ... saya sudah lama membeli kalung ini, tapi baru sempat saya kasihkan sekarang,” ungkap Thio merasa menyesal.

Aliesha terus memandang dan memegang kalung tersebut.

“Ini cantik banget ...” lirih Aliesha.

“Maaf karena waktu beberapa hari ke belakang, saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan baru sempat memberikan kalung ini ....”

“Jangan minta maaf, justru aku yang minta maaf karena menerima hadiah sebagus ini?” “Gak tau pantes atau enggak, aku nerima kalung ini ....” “Tapi ini bagus banget ... suka ....”

“Syukurlah ....”

“Makasih banyak,” ungkap Aliesha sambil tidak berhenti memegang dan melihat kalung cantiknya.

“Sama-sama, di pakai terus, ya?”

Aliesha mengangguk dengan semangat dan terus tersenyum ke arah Thio.

Kini mereka duduk kembali di sofa.

“Yaya? Boleh saya tanya sesuatu?” ungkap Thio tanpa aba-aba.

“Boleh banget,” jawab Aliesha cepat.

Lagi dan lagi Thio mengeluarkan sesuatu dari sakunya, bukan hadiah lain untuk Alisha, Thio kini mengeluarkan satu buah foto anak kecil yang ditemukan bibi waktu membersihkan kamar tamu yang dipakai Aliesha.

Aliesha melihat apa yang dikeluarkan oleh Thio.

“Lho, itu kan foto Rafa?” ungkap Aliesha sambil memastikannya kembali.

“Iya, saya mau mengembalikan ini, saya kira ini punya kamu.”

“Bukan, ini bukan punya aku, inituh asalnya Rafa ninggalin ini, pas mau dibalikin malah udah pulang kampung anaknya.”

“Dia ngasih tau ini siapa?”

“Itu tuh foto Rafa sama saudaranya.”

“Rafa puya saudara laki-laki?”

“Entahlah, bilangnya sih gitu. Kenapa emangnya?”

“Gak apa-apa,” Thio memberikan foto tersebut kepada Aliesha. Sedangkan dirinya hanya bisa bertanya-tanya, kenapa dirinya bisa difoto berdua dengan Rafa.

“Aku tuh kayak tau orang ini, kayak pernah liat, tapi siapa gitu?” ungkap Aliesha menunjuk ke arah foto Thio waktu kecil, sedangkan Thio memilih diam untuk tidak memberitahukan hal yang belum pasti atas hubungan dirinya dengan si pemilik asli foto tersebut.

“Sebentar, ya? Aku harus nyimpen foto ini dulu, biar aman,” ungkap Aliesha meninggalkan Thio di sana.

Tidak lama kemudian ponsel Aliesha berdering, seseorang menghubunginya. Terlihat jelas dari layar tersebut seseorang bernama Rafa.

“Rafa? Ngapain telfon Yaya malam-malam?” ungkap batin Thio dan membiarkan ponselnya tetap berdering. Baru saja akan memberitahukan Aliesha, namun tidak lama kemudian Aliesha sudah ada di belakangnya, “Tumben Rafa telfon?” ungkap Aliesha polos dan langsung mengangkatnya.

“Iya, Rafa? Kenapa?” tanya Aliesha langsung tanpa basa-basi.

“....”

“Halo?”

“....”

“Rafa? Kamu gapapa kan?”

Thio hanya memerhatikan wanitanya yang sedang berusaha berbincang dengan si penelfon.

“Halo, Rafa? Salah pencet kah?” tebak Aliesha.

Aliesha hanya terheran, kemudian dirinya nyaris memutuskan panggilan tersebut, namun terdengar lirih seorang anak laki-laki seperti sedang kesakitan.

“Mamah ... .” lirih Rafa sepertimenahan kesakitan.

“Halo, Rafa? Kamu gapapa kan? Kamu di mana? Kamu lagi sakit? Kok suara kamu berat?” Aliesha mulai panik sehingga memberikan banyak pertanyaan untuk Rafa.

“Mamah ... .” Rafa terus memanggil mamahnya tanpa henti.

“Mamah? Kenapa dengan mamah?” “Rafa? Kenapa, sakit? Ayo bilang dulu?” “Sekarang Rafa di mana? Biar kakak ke sana?”

Tiba-tiba telfon terputus tanpa penjelasan apapun dari Rafa.

“Halo? Halo, Rafa?”

Aliesha mulai panik dan langsung menelfonnya kembali, namun tak kunjung di angkat. Beberapa pesan telah ia kirimkan, namun tidak ada jawaban sama sekali.

“Rafa kenapa?” tanya Thio.

“Gak tau makannya, dia kayak kesakitan tau.”

“Kenapa kamu khawatir seperti itu? Mungkin tadi salah sambung?”

“Gak mungkin pak, emang akhir-akhir ini Rafa sering telfon aku.”

“Sepertinya dia dalam kedaan tidak sadar, Ya. Makannya dia random telfon kamu.”

“Masalahnya dia manggil-manggil mamahnya terus, pak.”

“Bisa jadi maksudnya dia mau telfon mamahnya?”

“Mamahnya udah meninggal, pak. Gak mungkin,” jawab Aliesha hingga kembali menghubungi Rafa terus menerus.

Thio hanya merasa aneh di sana.

“Aku takut Rafa kenapa-napa, akhir akhir ini dia sering banget ngeluh, dia terus menceritakan mamahnya, di seneng telfon sama aku, karena katanya suara aku mirip sekali sama mendiang mamahnya, makannya denger Rafa dengan kondisi seperti itu cukup buat aku panik ... Rafa itu anak baik, tapi kenapa nasibnya harus seperti ini.”

“Maksudnya?”

“Ibunya meninggal karena sakit keras, Rafa harus bekerja keras sendiian tanpa ada yang menghiburnya?

“Ayahnya?”

“Ya itu dia, dia lepas tanggung jawab sama Rafa, tapi dia gak mau ngasih tau aku nama papahnya, karena beliau adalah orang ternama, orang yang sangat penting, dia takut, kalau kehadirannya akan mengacaukan segalanya, makannya dia memilih untuk tidak mengharapkan apa-apa dari papahnya.”

“Orang penting?” Thio bergumam pelan.

Suasana romantis kini berubah menjadi khawatir, setelah Rafa menelfon Aliesha seperti itu. Sedangkan Thio berusaha menenangkan wanitan tersebut dan memberikan nasihat agar tidak lagi merasa khawatir.

Sempat berdebat sesaat dengan wanitanya, kini Thio melajukan mobilnya untuk menuju rumah orang tuanya. Sesampainya di sana, dilihatnya Vinda sedang menata meja makannya dengan berbagai hidangan yang akan disantapnya pagi ini bersama sang suami yaitu Harlan.

“Loh bukannya tadi papa antar kamu sampai rumah? Kok udah di sini lagi?” tanya Vinda sambil menyiapkan sendok untuk diletakkan pada piring kosong.

“Lagi ada perlu sama papa, ma.”

“Papa lagi mandi dulu, duduk dulu aja di sini.”

“ Kalian belum sarapan?”

“Ini baru mau, kamu juga ikut sarapan, ya? Kebetulan mama masak sayur.”

“Duluan aja ma, Thio makannya nanti saja pulang dari sini, Yaya udah masak di rumah.”

Aktivitas Vinda terhenti sejenak.

“Kamu masih serumah dengan gadis itu?”

“Iya, ma.”

“Kamu serius dengan gadis itu?” “Maksud mama, kamu boleh punya pacar, mungkin untuk sekarang kamu sedang berhubungan dengan gadis itu, tapi kalau kamu sudah ada niat serius, mama punya calon yang sangat cocok untuk kamu, dia anaknya teman mama waktu kuliah di Australia dulu. Anaknya cantik, baik, dewasa, dan mamah juga sempat bertemu beberapa waktu yang lalu, dan mama masih sangat mengagumi perempuan itu.”

Thio hanya tersenyum tipis di sana. Kemudian diraihnya tangan Vinda dan mengusap pelan punggung tangannya.

“Ma ... untuk saat ini, bahkan untuk kedepannya, mama bisa istirahat dengan pikiran tenang tanpa harus memikirkan lagi perihal pendamping Thio, karena tidak akan lama lagi, Thio akan mempersunting gadis yang saat ini sedang di rumah bersama Caca. Jadi, mama tidak usah memikirkan hal seperti ini lagi, Thio sudah benar-benar dewasa sekarang, Thio sangat berhati-hati dalam memilih calon Thio sendiri, mama tidak usah khawatir, ya?” ucap Thio memberi pengertian dan melepaskan tangan Vinda pelan.

“Gadis itu dari perusahaan mana?”

“Sampai kapan mama harus memperdebatkan status seseorang?” sambung Harlan dengan tubuh segarnya karena baru saja selesai membersihkan diri.

“Thio?” panggil Harlan.

Yang dipanggil hanya menengok ke arah Harlan.

“Papa setuju kalau pada akhirnya kamu harus menikah dengan Aliesha, papa rasa kalian sangat cocok,” ucap Harlan yang kini sudah duduk dan mengambil lauk untuk disantapnya.

Rasa senang terpancar di wajahnya, karena Thio sudah mendapatkan lampu hijau dari Harlan. Sering kesal terhadapnya karena urusan perusahaan yang tidak mau tahu harus sempurna, tetapi rasanya semua kekesalan itu hilang dengan satu kalimat yang baru saja Harlan ucapkan.

“Kita pernah bertemu secara tidak sengaja, dan papa sudah bisa melihat sikapnya yang begitu hangat dan juga pengertian layaknya orang dewasa,” ungkap Harlan sambil menatap wajah Thio meyakinkan.

“Mama rasa, papa suka gadis itu, karena mirip dengan dia, bukan?” ungkap Vinda tiba-tiba, berbicara menunduk dan sibuk memilah makanan untuk dimasukkan ke dalam mulut.

Thio merasakan atmosfir yang kurang baik untuk sekarang, suasana berubah menjadi tegang karena sikap Vinda yang berubah seketika.

“Dia siapa, ma?” tanya Thio penasaran.

“Tidak ada hubungannya dengan dia, itu sudah lama, kejadian lama, jangan diungkit lagi,” ungkap Harlan dengan wajah sendu jika teringat dengan apa yang dimaksud Vinda.

“Pa?” tanya Thio.

“Sudah, nak. kamu tidak perlu tahu semuanya tentang papa, papa hanya akan memberi tahu hal baik saja, agar kamu tidak merasa terganggu,” “Jelaskan saja, maksud kamu ke sini itu untuk apa? Padahal tadi papa sudah mengantar kamu sampai rumah,” ungkap Harlan mengalihkan pembicaraan.

“Oh, ya. Thio mau tanya sama papa ...” “Waktu Thio sakit, papa sempat bertemu dengan Firdhan, ya?” tanya Thio hati-hati.

Harlan diam sejenak, kemudian melanjutkan aktivitasnya kembali, berbicara tanpa menatap Thio.

“Kenapa? Sekarang dia masih ada di rumah kamu?” “Sepertinya ditampar dua kali saja tidak cukup, dasar tidak thau malu.”

“Papa tampar Firdhan? Kenapa? Dia salah apa?”

“Papa sempat tanya bibi tentang kamu mengonsumsi obat, dan ternyata memang benar.” “Kenapa kamu bodoh sekali, Yo?” “Yang kamu minum dalam kapsul itu bukan Vitamin, mana ada jaman sekarang ada bentuk vitamin seperti itu?”

“Kapsul, kan?”

“Papa tau kamu sibuk, sampai-sampai tidak bisa membedakan mana vitamin, mana racun?”

“Itu bukan racun, pa?!”

“Iya bukan! Itu obat nyeri, tapi cukup toksik untuk liver, jika digunakan terlalu sering, Yo!”

“Terus, kenapa papa salahkan Firdhan?”

“Bukannya memang itu tugas Firdhan? Dia yang membelinya, harusnya kamu tanya dia.”

“Kalaupun Firdhan melakukan itu, harusnya Thio saja yang menghukum dia, pa,” “Thio yang tahu semua hal tentang dia? Kenapa papa ikut campur?”

“Sudah pasti, kamu pasti akan membela mati-matian anak itu,” “Harusnya papa tampar lagi sampai dia berpikir lebih jernih lagi.”

Thio beranjak dari duduknya, semua orang terkaget karena Thio sangat emosi untuk saat ini.

“Firdhan yang papa tampar kemarin itu adalah orang pertama yang Thio cari ketika Thio sakit, bingung, bahkan kecapean. Bahkan ketika Caca rewel karena Thio sibuk akibat tuntutan papa di perusahaan, yang pertama Thio hubungi itu dia. Dia rela meninggalkan tugas dirinya demi menjaga kami. Setiap Thio pulang kerja tengah malam pun, selalu di sambut dengan Firdhan yang sedang mengerjakan tugasnya, karena sorenya dia sibuk memanjakan Caca. Dia lakukan itu selama Caca hidup dan selama Thio kerja di perusahaan papa. Harusnya papa bisa bersimpati dengannya, kalau saja papa punya hati nurani.”

Mata Thio memanas menahan semua amarah kepada Harlan. Tanpa mendengarkan balasan Harlan, Thio langsung beranjak pergi meninggalkan kedua orang tuanya tersebut.

Baru saja dibuat senang oleh Harlan, kini rasa kecewanya kembali tumbuh karena sikap Harlan yang berlebihan.


Thio sudah sampai kembali ke rumahnya, dia menutupi kemarahannya terhadap Harlan dengan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa di depan Aliesha yang saat ini sibuk menyiapkan makanan.

“Kok gak lama?” tanya Aliesha heran.

“Dibilangin sebentar,” Ungkap Thio kemudian duduk di kursi meja makan untuk sarapan.

“Nih, aku angetin lagi sayurnya, terus karena nasinya memang panas, untuk lauk yang lain gak apa-apa ya, gak diangetin?” tanya Aliesha.

“Untung timing-nya pas, pas kamu angetin makanan, saya kebetulan datang.”

“Aku dari tadi di lobi tauuu, ngeliatin mobil bapak datang, taunya beneran ada, langsung deh bertindak, haha.”

“Makasih, ya?” ungap Thio lembut.

“Sama-sama, makan yang banyak, biar cepet pulih,” ungakap Aliesha yang kini ada di depan Thio untuk sekedar menemani.

“Kenapa? Makanannya gak enak ya? Atau udah makan di rumah papa?” “Jangan dipaksain kalau udah kenyang, yang ada nanti mual.”

Thio hanya tersenyum melihat Aliesha, entah kenapa, melihat Aliesha banyak mengomel, justru membuat Thio semakin gemas dibuatnya.

“Enak, enak banget,” balas Thio sambil mengambil suapan besar untuk di lahap.

Thio sudah selesai menyantap makanannya, sedangkan Aliesha sibuk membereskan mejanya dan membersihkan piring kotor di wastafel.

Dilihatnya Thio sedang sibuk merogoh saku celananya untuk mengambil sesuatu. Mata aliesha memincing, kemudian berlari menghampiri Thio dengan cepat.

“Eits, aku sita ya? Bisa-bisanya beli ini padahal livernya nyaris rusak!” ungkap Aliesha kesal.

“Ya, kesinikan.” Thio berusaha merebut rokoknya.

“Nih, makan aja jelly punya Caca, aku juga udah siapin stok buat kamu kalau abis makan.”

Thio tersadar kalau livernya sedang tidak sehat, menyadari itu Thio hanya bisa memakan jelly yang dibelikan oleh Aliesha.

“Yaya?”

“Kenapa?”

“Menurut kamu, mending saya jemput Firdhan sekarang aja, ya?”

“Aku pukul, ya?” “Biarin Firdhan tenang dulu di rumahnya, dia pasti syok karena kejadian waktu itu,” ucap Aliesha dengan polosnya.

“Jadi kamu liat kejadian waktu papa nampar Firdhan?”

Aliesha diam, tubuhnya menegang. Bisa-bisanya dia menyebutkan itu tanpa berpikir, bola matanya bergetar ketika Thio mendekat memastikan dirinya akan kejadian itu.

“Yaya? Boleh saya tanya, ya?” ucap Thio yang membuat Aliesha semakin gemetar.

“Aku kan cuman nebak?” ucap Aliesha berusaha berbohong. “Kalau Firdhan gak ke sini, berarti emang Firdhan lagi butuh ketenangan, hehe.”

“Tapi syok kenapa?” tanya Thio dengaan tubunya yang terus mendekat ke arah Aliesha.

Saat ini mereka sedang duduk bersampingan di kursi meja makan.

“Ceritakan kejadian itu? Atau saya cium?” goda Thio.

Waja Aliesha memerah, dia menelan ludahnya karena terlalu gugup untuk saat ini.

“Ancam aja terusss,” gerutu Aliesha dan menjauhkan tubuhnya dari Thio. “Jangan macem-macem, aku ceritain semuanya, kok.”

Thio hanya tersenyum jahil di sana.

“Tapi jangan kasih tau kalau aku yang nyeritain semua ini, Firdhan nyuruh aku buat gak kasih tau bapak.”

“Heem, jadi gimana? Langsung aja, ya?”

“Jadi gini ....”

Aliesha menceritakan kejadian itu berdasarkan yang dia dengar, menjelaskan secara rinci, tujuannya agar tidak ada salah paham lagi diantara mereka.

Tw // kekerasan fisik dan ungkapan kasar

“Mau ke mana?” tanya Thio memelas, memegang tangan Aliesha agar tidak pergi meninggalkan dirinya.

“Lepasin ... ada Bu Vinda lho di sini,” ucap Aliesha, melepaskan genggaman tangan Thio dengan pelan.

“Emang kenapa kalau ada mama?”

“Udah, ya. Aku mau pergi sekarang pokoknya, aku belum mandi dari kemarin malem.”

“Gak usah mandi, masih cantik kok,” goda Thio.

“Dih?” ucap Aliesha sambil berkemas memasukkan barangnya ke dalam tas.

“Jangan lama ....”

“Iya, bawel.”

Aliesha pergi setelah pamit terhadap Thio dan Vinda yang merupakan mama dari Thio. Vinda datang ke rumah sakit setelah dirinya menelfon anaknya yang diangkat oleh Aliesha karena Thio masih tidur. Aliesha tidak bisa berbohong atas kedaan Thio karena yang yang menelfonnya tersebut merupakan keluarganya.

Vinda dan Aliesha yang awalnya canggung, kini berhasil lebih akrab karena sikap hangat Aliesha mampu melelehkan sikap dingin dari Vinda. Walaupun begitu, Aliesha tetap menjaga sikap sopan terhada Thio maupun mamanya agar tidak melewati batas.

Ketika Aliesha sudah pergi, kini Thio memilih untuk tidur lagi selagi menunggu hasil lab. Sedangkan Vinda memilih diam padahal rasanya ingin sekali bertanya tentang wanita tadi, namun sudah dapat dilihat jawabannya, semuanya telah nampak dari raut muka Thio ketika bersama dengan Aliesha, perlakuan yang begitu lembut cukup membuat Vinda merasa kalau anaknya menyukai perempuan tersebut. Vinda hanya bisa menghela nafas, karena akhir-akhir ini Vinda sudah mengenalkan kembali putranya terhadap perempuan dari rekan bisnisnya.


Sebelum pulang ke rumah Thio, Aliesha sibuk membeli makanan untuk dirinya juga orang di rumah termasuk teman Firdhan yaitu Rafa. Aliesha diperintahkan Thio untuk memekai kartu ATM-nya untuk membeli beberapa makanan untuk sarapan.

Sesampainya di rumah, Aliesha disambut oleh Firdhan, Caca, Rafa, dan Bibi juga ikut menyambutnya walaupun sedang sibuk memasak untuk sarapan.

“Widiih, bibi masak apa?” “Aku juga bawa banyak makanan tau, soalnya disuruh Pak Thio,” celoteh Aliesha sambil menyimpan beberapa makanan tersebut di atas meja yang langsung di rapikan ole Firdhan karena tidak sabar ingin segera memakan makanan kiriman Aliesha.

“Bibi masak seadanya saja, kak,” balas bibi.

Mereka berlima kini sudah duduk di kursi meja makan, berkumpul sambil menikmati makanan tersebut dengan diiringi candaan Firdhan yang memang tidak pernah kehabisan bahan untuk bercanda sehingga membuat tertawa siapa pun yang mendengarnya.

“Firdhan mau ambil hp dulu di kamar, mau pap ke Bang Thio soalnya,” ungkap Firdhan dan langsung menuju kamar tersebut.

Tiba-tiba suara pintu terbuka dengan keras yang membuat semua orang terkaget dan menghentikan aktivitasnya sejenak. Tidak lama kemudian terdengar suara tamparan yang begitu keras diikuti erangan menahan kesakitan dari orang yang mendapat tamparan tersebut.

“Anak tidak tahu di untung!!” ungkap Harlan emosi tinggi terhadap Firdhan.

Sedangkan yang di tampar hanya bisa diam tak berkutik karena perlakuan tersebut. lagi dan lagi Harlan menampar Firdhan lebih keras lagi yang membuat meringis siapa pun yang mendengarnya. Dari tamparan kedua tersebut Firdhan masih terdiam namun cairan dari pelupuk matanya mulai mencelos membasahi pipinya. Dirinya masih tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh orang yang selama ini mempercayainya.

“Karena inilah kita sebagai manusia tidak boleh terlalu dekat dan mudah percaya sama manusia?!” “Jangan melewati batas!” “Kalau ada apa-apa terhadap Thio?! Jangan pernah lagi menginjakkan kaki di keluarga Mahatma!!!” Harlan memperingatkan Thio dengan wajah yang merah padam menahan semua kesal yang ada.

Sedangkan Firdhan masih dengan tubuh yang diam karena berusaha mengingat kesalahan yang ia perbuat, padahal Firdhan sudah memberikan usaha terbaik untuk Thio selama ini.

“Jangan sekali-kali kamu mau mencoba membunuh anak saya, Fir! Karena itu tidak akan membuat semua harta saya jatuh ke tangan kamu,” “Ya! Saya memang sudah menganggap kamu layaknya anak laki-laki saya, tapi untuk sekarang semua kepercayaan Om sudah lenyap!”

“Membunuh?”

“Masih mau pura-pura?!!” “Anak saya satu-satunya sedang mengalami hepatotoksik karena kamu memberikan obat yang toksik untuk hati jika dikonsumsi terlalu banyak, Fir!!”

“Firdhan cuman ngasih Vitamin kok, Om?”

“Vitamin?! Jangan pura-pura bodoh, Fir!”

“Benera—“

“Jangan mengelak lagi Fir! Atau saya tampar lagi?” “Sekarang kamu pergi! kalau perlu pulang ke kampung sekalian! Renungkan semua kesalahan kamu, dan jangan pernah untuk kembali lagi!” “Saya gak sudi untuk melihat wajah kamu lagi!”

“Om, Firdhan gak ngelakuin it—“

“PERGI!”

Saat ini Firdhan tidak mampu menjelaskan satu kata pun terhadap Harlan, lidahnya kelu, tak mampu menjelaskan kesalahpahaman ini. “Bang maafkan Firdhan ...” “Firdhan hanya orang kampung yang salah pergaulan di sini ...” ”Semoga Firdhan bisa ketemu Bang Thio lagi walaupun sekedar meminta maaf dan berterima kasih karena sudah menjaga Firdhan dalam waktu yang lama ....” lirih Firdhan dalam hati, kemudian langsung pergi dari rumah tersebut, tanpa pamit kepada Aliesha dan yang lainnya. Tidak ada lagi senyuman di wajahnya Firdhan, semuanya lenyap karena perkataan yang begitu menyakitkan atas hinaan dari Harlan. Semua pengorbanan Firdhan untuk keluarga Mahatma seolah-olah lenyap begitu saja.

Tidak lama kemudian, Harlan juga pergi dari rumah tersebut untuk pergi memantau kesehatan anak satu-satunya.

Sedangkan Aliesha dan yang lainnya hanya terdiam mendengar sesaat pertengkaran tersebut. Rafa yang asalnya diam, kini berniat menyusul Firdhan yang pergi entah ke mana.

“Maafin gue, Fir ....