“Ini semua salah mama, kalau saja waktu itu mama tidak menyuruh papa pergi, pasti sekarang papa baik-baik saja, kan?”
“Kalau saja mama waktu itu bisa menyikapi masalah dengan dewasa dan mau menerima anak itu, pasti papa tidak akan begini, kan?”
“Bukan ini yang mama maksud, pa ... bukan pergi seperti ini ... papa boleh kembali ke rumah, papa boleh bawa anak itu, pa, maafkan mama ... mama salah karena hanya memikirkan perasaan mama sendiri ...” ungkap Vinda yang terus menyalahkan dirinya atas semua kejadian ini.
“Ma, jangan menyalahkan diri mama terus, ini semua adalah kecelakaan, tidak ada yang tahu, sekarang kita berdoa yang terbaik saja buat papa, ya?” ungkap Thio terus menenangkan mamanya tersebut padahal dirinya sendiri sangat hancur.
“Papa pasti sehat, kan? Papa akan kembali bersama kita, kan? Perkataan dokter tentang papa itu bohong, kan?”
“Dokter itu bukan Tuhan! Kenapa dia memprediksi papa seperti itu?papa akan selamat kan?”
“Ma, dokter memprediksi seperti itu tidak sembarangan, itu berdasar pada kondisi pasien saat ini, selebihnya Tuhan yang akan menentukan, kita di sini hanya bisa berjaga-jaga atas kemungkinan terburuknya ...”
“Ini semua salah mama, papa kecelakaan, itu semua salah mama, mama yang membuat papa seperti ini, harusnya mama yang pergi, mama harus menyusul papa, untuk meminta pengampunan atas semua –“
“Mama!” teriak Thio menyadarkan mamanya.
“Fir! Tolong tenangkan Tante Vinda dulu, biarkan mereka tenang,”
“Yo, jangan kayak gini, lo juga harus tenang, papa lo di sana sedang berjuang demi kalian,” ungkap Jeffrey memisahkan Thio dan Vinda agar lebih tenang lagi.
Vinda terduduk di kursi tunggu ditenangkan oleh Firdhan, sedangkan Thio mulai menangis, terduduk di kursi yang cukup jauh dari Vinda, duduk tunduk yang terus ditenangkan oleh Jeffrey, Johan, dan Yudha. karena ucapan Vinda yang secara langsung membuat Thio semakin takut, takut karena mamanya tersebut akan melakukan hal buruk untuk dirinya sendiri. Thio sudah sangat terluka jika harus kehilangan papanya dan akan lebih terluka lagi jika harus ditinggalkan oleh mamanya.
Tidak lama kemudian Aliesha sampai di rumah sakit tersebut sambil menggendong Caca.
“Sha?” sapa Jeffrey kemudian langsung mengambil Caca agar tidak melihat Thio yang sedang menangis saat ini.
Mendengar itu, Thio dengan sigap menyeka air matanya dengan tangannya, dan langsung menghampiri Aliesha.
“Yaya ... maaf jadi ngerepotin malam-malam ...” ungkap Thio dengan suara yang bergetar.
Aliesha terus memperhatikan Thio, dilihatnya sepasang mata yang sembab sepertinya air matanya terkuras sangat banyak. Thio benar-benar sedang tidak baik-baik saja saat ini, jika sebelumnya Thio selalu berhasil menyembunyikan rasa sedihnya, kini sudah tidak lagi, dirinya terlihat sangat hancur dan tidak sanggup untuk menutupi kesedihannya lagi.
Aliesha meraih tangan laki-lakinya tersebut, terus mengusap punggung tangannya pelan, kemudian merengkuh tubuhnya sambil berbisik, “Terima kasih udah kuat, padahal aku tau, ini semua gak mudah,” ungkap Aliesha yang terus menepuk punggung Thio menenangkan.
“Pak Harlan sedang berjuang juga di dalam sana demi kita semua, jadi kita hanya bisa mendoakan yang terbaik tanpa henti,” ungkap Aliesha menenangkan.
“Pak ...”
“Bukan hanya kita saja yang terpukul atas kejadian ini,” lirih Aliesha sambil melepaskan pelukannya tersebut dan hanya memegang tangan Thio.
“Seseorang juga sangat terpukul, bahkan lebih sakitnya lagi, dia belum sempat untuk saling mengobrol satu sama lain, apalagi memeluknya.”
“....”
“Ikut aku sebentar, boleh, ya?” pinta Aliesha yang di balas anggukan oleh Thio.
Dilihatnya seorang anak laki-laki terduduk di kursi tunggu rumah sakit tidak jauh dari ruangan Harlan dirawat. Anak laki-laki tersebut pergi ke rumah sakit setelah bertanya kepada Warto, ketika sampai di rumah Thio pada saat Aliesha menyiapkan makanan untuk dirinya.
Setelah sampai di tempat, dirinya tidak berani untuk menghampiri papahnya karena terlalu banyak orang di sana, apalagi melihat Vinda, Thio sampai semua saudara dan teman Thio berkumpul di sana. Yang dilakuan anak laki-laki tersebut hanya bisa menangis sendirian, membayangkan semua bayangan indah dengan papanya tentang pertemuannya hari ini.
“Rafa?” lirih Thio menghampiri adiknya tersebut.
Rafa tidak menggubris kehadiran Thio, dirinya terus menangis sambil memeluk jaket yang diberikan Harlan.
Thio berjongkok di hadapan Rafa, yang terus menangis tanpa henti.
“Rafa ... ini kakak, nak ...”
“Rafa mau tengok papah, ya?”
Bukannya menjawab pertanyaan Thio, Rafa hanya terus menangis bahkan kini punggungnya semakin bergetar dan isakan yang semakin keras juga mengeratkan tangannya pada jaket pemberian Harlan, berusaha menguatkan diri atas kejadian ini.
Thio menyeka air mata Rafa dengan tangannya, kemudian merengkuh tubuh Rafa yang sama-sama hancur. Melihat itu Aliesha ikut meneteskan air matanya dan menepuk punggung Rafa pelan.
“Rafa ikut kakak, ya?” pinta Thio lembut.
Bahkan saat ini Rafa seperti tidak mampu untuk sekedar berdiri, kakinya begitu berat untuk menopang tubuhnya sendiri.
“Rafa masuk ketemu papah, ya? Sekarang, Rafa boleh ngobrol sama papah, ceritakan semuanya dengan papah, ya?” ungkap Aliesha sambil mengambil tas yang Rafa gendong dan memakaikan jaket yang sedari tadi ia peluk kemudian mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya.
Kini Rafa berada di tengah-tengah mereka, semua orang cukup dibuat kaget mengapa Thio membawa seseorang untuk masuk ke dalam sana.
“Rafa?!” tanya Firdhan terheran atas kehadirannya.
Rafa hanya diam, menghiraukan sapaan temannya itu, Rafa tetap tunduk dan terus mengeluarkan air matanya yang tidak bisa ia tahan untuk tidak mengalir seperti ini.
“Caca? Ikut ayah, ya? Kita tengok kakek dulu sebentar,” ajak Thio sambil mengambil alih dari pangkuan Jeffrey.
“Ma ...” pinta Thio agar Rafa diberikan akses untuk masuk ke dalam sana, sedangkan Vinda hanya mengangguk tanda setuju sudah mengerti atas apa permintaan Thio.
Thio memasuki ruangan tersebut terlebih dahulu, diikuti dengan Rafa yang terus terisak karena tak kuasa menahan kesedihannya.
Rafa, Thio, dan caca kini berada di tempat Harlan terbaring lemah.
“Pah, Thio bawa Farica ke sini, katanya mau tengok Papa,”
“Sayang? Minta maaf dulu sama kakek, ya?” pinta Thio terhadap Caca.
“Pa ... ini caca datang untuk papa, mohon dimaafkan atas semua kesalahan dan kenakalan Caca, ya?” pinta Thio mewakili Caca.
“Sayang, peluk dulu kakeknya, ya?” pinta Thio dengan suara yang mulai bergetar kembali karena tak kuasa melihat Harlan yang masih tidak berdaya.
Caca kini memeluk Harlan yang terbaring tidak berdaya. Tidak seperti biasanya Caca memedulikan kakeknya tersebut, karena mereka memang tidak sedekat itu. Tapi kali ini Caca terus memeluk Harlan seakan-akan tidak mau melepaskan pelukannya.
“Sayang? Udah, ya? Biarkan kakek istirahat dulu untuk malam ini?” pinta Thio sambil memaksa melepaskan Caca yang sedang memeluk kakeknya tersebut.
“Pa ... ayo bangun? Rafa jagoan papa sudah ada di sini,”
“Orang yang papa cari, dan selau papa rindukan, sekarang sudah ada di hadapan papa?”
“Katanya mau mengobrol banyak dengan jagoan papa? Katanya ada yang perlu disampaikan sama Rafa? Sekarang anaknya sudah ada di sini, jadi papa bisa sampaikan sekarang, ya?” tutur Thio.
“Rafa? Kakak keluar dulu sama Caca, Rafa boleh mengobrol dengan papa semau Rafa, ya?”
“Kami tunggu di luar sana, sampaikan apa yang ingin Rafa sampaikan sama papa,”
“Papa pasti dengar semuanya apa yang Rafa sampaikan,” ungkap Thio menepuk pelan punggung Rafa kemudian keluar ruangan bersama Caca.
Di ruangan tersebut hanya tinggal berdua, anak dan Ayah yang belum sempat bertemu sama sekali, kini dipertemukan di satu ruangan dengan kondisi tak terduga seperti ini.
Rafa terus menatap papahnya tersebut, dan kini memberanikan diri untuk menghampiri dan menggenggam tangan yang sudah mulai dingin dengan tangan kirinya, serta tangan kanannya digunakan untuk memeluknya.
Selama beberapa menit, Rafa tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun, dirinya hanya terus menangis dengan harapan papahnya bisa membuka matanya kembali untuk melihat kehadirannya.
“Pah ... ini Rafardhan ....”
Rafa tidak sanggup berkata-kata, rasanya sulit untuk berbicara.
“Pah ... katanya mau jemput, Rafa? kok papah malah ada di sini?”
“Katanya mau hidup bahagia sama Rafa?”
“Katanya papah mau minta pengampunan sama Rafa?”
“Tapi kenapa malah seperti ini?”
“Pah... sakit, ya?”
“Mana yang sakit?”
“Pah ... kok tangannya makin dingin? Mau Rafa peluk, biar hangat?” Rafa terus bertanya terhadap papahnya tersebut, tanpa melepaskan genggaman serta pelukannya.
Badan Harlan yang semakin dingin, membuat Rafa terisak kembali dan pikiran buruk kini menghantuinya.
“Pah ... masih kuat, kan?”
“Padahal Rafa masih rindu sama papah, pengen meluk papah lebih lama lagi ...”
“Rafa benar-benar tidak ada kesempatan, ya?
“Pah ... ayo bangun, peluk anakmu ini walaupun sekali, dengan begitu Rafa bisa ikhlas dengan apa takdir kita seharusnya ...”
“Apapun pilihan papah, itu adalah pilihan yang baik,”
“Kalaupun papah pergi, berarti ini kebahagiaan untuk mamah di sana, kalian bisa bersama lagi, ya?”
“Tapi harapan terbesar Rafa yaitu kembalinya papah pada kami di sini ...”
“Pah ... ayo bangun ...”
Tidak lama kemudian air mata keluar dari sudut mata Harlan yang terlihat oleh Rafa.
Seperti keajaiban untuk Rafa, terlihat jelas oleh dirinya kalau Harlan mengeluarkan air mata dari sudut matanya, cukup membuat Rafa bahagia, adanya respon tersebut menandakan kalau Harlan mendengarkan semua apa yang dikatakan oleh jagoannya tersebut.
“Jangan menangis, Rafa di sini ...” lirih Rafa sambil menyeka air mata di sudut mata Harlan.
“Sepertinya Rafa harus minta selimut lagi ke susternya, badan papah semakin dingin ...”
“Rafa sayang sama papah, apapun pilihan papah, Rafa ikhlas ....”
Rafa kembali memeluk tubuh Harlan, terus mengeratkan pelukannya hingga timbul rasa kantuk, kini Rafa mulai tertidur di pelukan papahnya. Sayup-sayup terdengar tangisan seseorang memanggil papahnya dari luar sana, namun Rasanya Rafa enggan untuk bangun karena terlalu lelah. Selain memanggil papahnya, ada juga seseorang yang memanggil dirinya, namun semua itu Rafa biarkan karena keadaan tubuhnya saat ini tidak mau merespon apapun, yang dia inginkan hanya tidur sambil memeluk tubuh lemah papahnya.