Dia siapa, ma?

Sempat berdebat sesaat dengan wanitanya, kini Thio melajukan mobilnya untuk menuju rumah orang tuanya. Sesampainya di sana, dilihatnya Vinda sedang menata meja makannya dengan berbagai hidangan yang akan disantapnya pagi ini bersama sang suami yaitu Harlan.

“Loh bukannya tadi papa antar kamu sampai rumah? Kok udah di sini lagi?” tanya Vinda sambil menyiapkan sendok untuk diletakkan pada piring kosong.

“Lagi ada perlu sama papa, ma.”

“Papa lagi mandi dulu, duduk dulu aja di sini.”

“ Kalian belum sarapan?”

“Ini baru mau, kamu juga ikut sarapan, ya? Kebetulan mama masak sayur.”

“Duluan aja ma, Thio makannya nanti saja pulang dari sini, Yaya udah masak di rumah.”

Aktivitas Vinda terhenti sejenak.

“Kamu masih serumah dengan gadis itu?”

“Iya, ma.”

“Kamu serius dengan gadis itu?” “Maksud mama, kamu boleh punya pacar, mungkin untuk sekarang kamu sedang berhubungan dengan gadis itu, tapi kalau kamu sudah ada niat serius, mama punya calon yang sangat cocok untuk kamu, dia anaknya teman mama waktu kuliah di Australia dulu. Anaknya cantik, baik, dewasa, dan mamah juga sempat bertemu beberapa waktu yang lalu, dan mama masih sangat mengagumi perempuan itu.”

Thio hanya tersenyum tipis di sana. Kemudian diraihnya tangan Vinda dan mengusap pelan punggung tangannya.

“Ma ... untuk saat ini, bahkan untuk kedepannya, mama bisa istirahat dengan pikiran tenang tanpa harus memikirkan lagi perihal pendamping Thio, karena tidak akan lama lagi, Thio akan mempersunting gadis yang saat ini sedang di rumah bersama Caca. Jadi, mama tidak usah memikirkan hal seperti ini lagi, Thio sudah benar-benar dewasa sekarang, Thio sangat berhati-hati dalam memilih calon Thio sendiri, mama tidak usah khawatir, ya?” ucap Thio memberi pengertian dan melepaskan tangan Vinda pelan.

“Gadis itu dari perusahaan mana?”

“Sampai kapan mama harus memperdebatkan status seseorang?” sambung Harlan dengan tubuh segarnya karena baru saja selesai membersihkan diri.

“Thio?” panggil Harlan.

Yang dipanggil hanya menengok ke arah Harlan.

“Papa setuju kalau pada akhirnya kamu harus menikah dengan Aliesha, papa rasa kalian sangat cocok,” ucap Harlan yang kini sudah duduk dan mengambil lauk untuk disantapnya.

Rasa senang terpancar di wajahnya, karena Thio sudah mendapatkan lampu hijau dari Harlan. Sering kesal terhadapnya karena urusan perusahaan yang tidak mau tahu harus sempurna, tetapi rasanya semua kekesalan itu hilang dengan satu kalimat yang baru saja Harlan ucapkan.

“Kita pernah bertemu secara tidak sengaja, dan papa sudah bisa melihat sikapnya yang begitu hangat dan juga pengertian layaknya orang dewasa,” ungkap Harlan sambil menatap wajah Thio meyakinkan.

“Mama rasa, papa suka gadis itu, karena mirip dengan dia, bukan?” ungkap Vinda tiba-tiba, berbicara menunduk dan sibuk memilah makanan untuk dimasukkan ke dalam mulut.

Thio merasakan atmosfir yang kurang baik untuk sekarang, suasana berubah menjadi tegang karena sikap Vinda yang berubah seketika.

“Dia siapa, ma?” tanya Thio penasaran.

“Tidak ada hubungannya dengan dia, itu sudah lama, kejadian lama, jangan diungkit lagi,” ungkap Harlan dengan wajah sendu jika teringat dengan apa yang dimaksud Vinda.

“Pa?” tanya Thio.

“Sudah, nak. kamu tidak perlu tahu semuanya tentang papa, papa hanya akan memberi tahu hal baik saja, agar kamu tidak merasa terganggu,” “Jelaskan saja, maksud kamu ke sini itu untuk apa? Padahal tadi papa sudah mengantar kamu sampai rumah,” ungkap Harlan mengalihkan pembicaraan.

“Oh, ya. Thio mau tanya sama papa ...” “Waktu Thio sakit, papa sempat bertemu dengan Firdhan, ya?” tanya Thio hati-hati.

Harlan diam sejenak, kemudian melanjutkan aktivitasnya kembali, berbicara tanpa menatap Thio.

“Kenapa? Sekarang dia masih ada di rumah kamu?” “Sepertinya ditampar dua kali saja tidak cukup, dasar tidak thau malu.”

“Papa tampar Firdhan? Kenapa? Dia salah apa?”

“Papa sempat tanya bibi tentang kamu mengonsumsi obat, dan ternyata memang benar.” “Kenapa kamu bodoh sekali, Yo?” “Yang kamu minum dalam kapsul itu bukan Vitamin, mana ada jaman sekarang ada bentuk vitamin seperti itu?”

“Kapsul, kan?”

“Papa tau kamu sibuk, sampai-sampai tidak bisa membedakan mana vitamin, mana racun?”

“Itu bukan racun, pa?!”

“Iya bukan! Itu obat nyeri, tapi cukup toksik untuk liver, jika digunakan terlalu sering, Yo!”

“Terus, kenapa papa salahkan Firdhan?”

“Bukannya memang itu tugas Firdhan? Dia yang membelinya, harusnya kamu tanya dia.”

“Kalaupun Firdhan melakukan itu, harusnya Thio saja yang menghukum dia, pa,” “Thio yang tahu semua hal tentang dia? Kenapa papa ikut campur?”

“Sudah pasti, kamu pasti akan membela mati-matian anak itu,” “Harusnya papa tampar lagi sampai dia berpikir lebih jernih lagi.”

Thio beranjak dari duduknya, semua orang terkaget karena Thio sangat emosi untuk saat ini.

“Firdhan yang papa tampar kemarin itu adalah orang pertama yang Thio cari ketika Thio sakit, bingung, bahkan kecapean. Bahkan ketika Caca rewel karena Thio sibuk akibat tuntutan papa di perusahaan, yang pertama Thio hubungi itu dia. Dia rela meninggalkan tugas dirinya demi menjaga kami. Setiap Thio pulang kerja tengah malam pun, selalu di sambut dengan Firdhan yang sedang mengerjakan tugasnya, karena sorenya dia sibuk memanjakan Caca. Dia lakukan itu selama Caca hidup dan selama Thio kerja di perusahaan papa. Harusnya papa bisa bersimpati dengannya, kalau saja papa punya hati nurani.”

Mata Thio memanas menahan semua amarah kepada Harlan. Tanpa mendengarkan balasan Harlan, Thio langsung beranjak pergi meninggalkan kedua orang tuanya tersebut.

Baru saja dibuat senang oleh Harlan, kini rasa kecewanya kembali tumbuh karena sikap Harlan yang berlebihan.


Thio sudah sampai kembali ke rumahnya, dia menutupi kemarahannya terhadap Harlan dengan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa di depan Aliesha yang saat ini sibuk menyiapkan makanan.

“Kok gak lama?” tanya Aliesha heran.

“Dibilangin sebentar,” Ungkap Thio kemudian duduk di kursi meja makan untuk sarapan.

“Nih, aku angetin lagi sayurnya, terus karena nasinya memang panas, untuk lauk yang lain gak apa-apa ya, gak diangetin?” tanya Aliesha.

“Untung timing-nya pas, pas kamu angetin makanan, saya kebetulan datang.”

“Aku dari tadi di lobi tauuu, ngeliatin mobil bapak datang, taunya beneran ada, langsung deh bertindak, haha.”

“Makasih, ya?” ungap Thio lembut.

“Sama-sama, makan yang banyak, biar cepet pulih,” ungakap Aliesha yang kini ada di depan Thio untuk sekedar menemani.

“Kenapa? Makanannya gak enak ya? Atau udah makan di rumah papa?” “Jangan dipaksain kalau udah kenyang, yang ada nanti mual.”

Thio hanya tersenyum melihat Aliesha, entah kenapa, melihat Aliesha banyak mengomel, justru membuat Thio semakin gemas dibuatnya.

“Enak, enak banget,” balas Thio sambil mengambil suapan besar untuk di lahap.

Thio sudah selesai menyantap makanannya, sedangkan Aliesha sibuk membereskan mejanya dan membersihkan piring kotor di wastafel.

Dilihatnya Thio sedang sibuk merogoh saku celananya untuk mengambil sesuatu. Mata aliesha memincing, kemudian berlari menghampiri Thio dengan cepat.

“Eits, aku sita ya? Bisa-bisanya beli ini padahal livernya nyaris rusak!” ungkap Aliesha kesal.

“Ya, kesinikan.” Thio berusaha merebut rokoknya.

“Nih, makan aja jelly punya Caca, aku juga udah siapin stok buat kamu kalau abis makan.”

Thio tersadar kalau livernya sedang tidak sehat, menyadari itu Thio hanya bisa memakan jelly yang dibelikan oleh Aliesha.

“Yaya?”

“Kenapa?”

“Menurut kamu, mending saya jemput Firdhan sekarang aja, ya?”

“Aku pukul, ya?” “Biarin Firdhan tenang dulu di rumahnya, dia pasti syok karena kejadian waktu itu,” ucap Aliesha dengan polosnya.

“Jadi kamu liat kejadian waktu papa nampar Firdhan?”

Aliesha diam, tubuhnya menegang. Bisa-bisanya dia menyebutkan itu tanpa berpikir, bola matanya bergetar ketika Thio mendekat memastikan dirinya akan kejadian itu.

“Yaya? Boleh saya tanya, ya?” ucap Thio yang membuat Aliesha semakin gemetar.

“Aku kan cuman nebak?” ucap Aliesha berusaha berbohong. “Kalau Firdhan gak ke sini, berarti emang Firdhan lagi butuh ketenangan, hehe.”

“Tapi syok kenapa?” tanya Thio dengaan tubunya yang terus mendekat ke arah Aliesha.

Saat ini mereka sedang duduk bersampingan di kursi meja makan.

“Ceritakan kejadian itu? Atau saya cium?” goda Thio.

Waja Aliesha memerah, dia menelan ludahnya karena terlalu gugup untuk saat ini.

“Ancam aja terusss,” gerutu Aliesha dan menjauhkan tubuhnya dari Thio. “Jangan macem-macem, aku ceritain semuanya, kok.”

Thio hanya tersenyum jahil di sana.

“Tapi jangan kasih tau kalau aku yang nyeritain semua ini, Firdhan nyuruh aku buat gak kasih tau bapak.”

“Heem, jadi gimana? Langsung aja, ya?”

“Jadi gini ....”

Aliesha menceritakan kejadian itu berdasarkan yang dia dengar, menjelaskan secara rinci, tujuannya agar tidak ada salah paham lagi diantara mereka.