Mamah ... .

“Nunggu lama banget, ya?” tanya Aliesha merasa tidak enak dengan Thio karena datang malam-malam, bahkan tidak sempat untuk istirahat walaupun sekedar merebahkan diri sekalipun.

“Gak apa-apa,” balas Thio lembut sambil mengusap rambut wanitanya tersebut.

Sedangkan wanitanya hanya mematung karena perlakuan Thio yang cukup mendebarkan hatinya yang cukup lama tidak ia rasakan, jantungnya kembali berdetak kencang.

“Kamu gak akan biarkan saya masuk?” tanya Thio menyadarkan wanitanya tersebut.

Aliesha hanya tersenyum gemas kepadanya dan langsung menarik tangan Thio sebagai tanda mempersilakan dirinya untuk masuk ke dalam apartemennya.

“Bapak gak ke rumah dulu barusan?” tanya Aliesha sambil menyiapkan minuman dan beberapa makanan ringan untuk menjamu Thio.

“Tadi ke rumah dulu, tapi ternyata Caca sudah tidur.”

“Sendirian di rumah?”

“Ada Firdhan, makannya saya ke sini.”

“Oh.”

“Terlalu singkat?” Thio menggoda Aliesha karena tanggapan tersebut. Aliesha hanya menyeringai di sana.

Mereka sangat asyik mengobrol satu sama lain, saling mendengarkan dan memberikan solusi satu sama lain untuk setiap masalah yang mereka lalui selama beberapa minggu tidak bertemu.

Thio terus memperhatikan wanitanya tersebut, memandang wanitanya dengan penuh arti. Seketika Aliesha menyadari kalau Thio terus memandang dirinya tanpa henti.

“Kenapa sih ngeliatin aku terus? Ada sesuatu ya di muka aku?” tanya Aliesha panik dan langsung mengambil ponselnya untuk sekedar bercermin.

“Gak ada apa-apa tapi?” ungkap Aliesha heran.

Sedangkan Thio hanya tersenyum melihat perbuatan Aliesha yang sangat menggemaskan untuk dilihat.

“Cantik,” ungkap Thio kemudian memalingkan wajahnya dari Aliesha dengan wajahnya yang tidak bisa berhenti tersenyum.

“Apaan banget?” ungkap Aliesha, dengan muka yang memerah karena mendengar pujian secara tiba-tiba.

Tiba-tiba Thio berdiri dari duduknya, dengan refleks, Aliesha ikut berdiri.

“Mau ke mana?” tanya Thio.

“Diam,” ungkap Thio singkat.

Kini Thio berdiri di belakang Aliesha. Sedangkan Aliesha hanya terdiam, mengikuti perintahnya. Thio merogoh sesuatu dari saku jasnya, dikeluarkannya kalung yang sangat indah, dan kemudian membuka kalung tersebut untuk dipakaikan pada leher indah Aliesha.

Ketika Thio sedang membuka kaitan kalung tersebut, Aliesha merasa penasaran dibuatnya, tubuh yang kini membelakangi Thio tersebut, seketika wajahnya menengok ke arah Thio, Aliesha tersentak membuat jantungnya terus berdetak dengan cepat, bagaimana tidak, kini wajahnya sangat dekat dengan Thio, ekspresi Thio saat ini sangat berbeda dari sebelumnya, wajahnya sangat serius dan terus menatap wanitanya tanpa henti. Aliesha langsung memalingkan wajahnya dan kembali ke posisi semula. Karena posisi tersebut cukup membuat Aliesha canggung, maka dirinya berinisiatif untuk mengubah posisinya tersebut namun di tahan oleh Thio.

“Sebentar ...” gumam Thio.

Tubuh Aliesha kembali mematung.

Dipakaikannya kalung indah tersebut, sedangkan Aliesha hanya bisa menatap kalung yang sudah menggantung di lehernya, kalung putih yang sangat indah.

Thio memutar tubuh wanitanya agar berhadapan dengan dirinya, kemudian tersenyum kembali.

“Selesai ... sangat cocok, pas.”

“Ini ....”

“Buat kamu ... saya sudah lama membeli kalung ini, tapi baru sempat saya kasihkan sekarang,” ungkap Thio merasa menyesal.

Aliesha terus memandang dan memegang kalung tersebut.

“Ini cantik banget ...” lirih Aliesha.

“Maaf karena waktu beberapa hari ke belakang, saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan baru sempat memberikan kalung ini ....”

“Jangan minta maaf, justru aku yang minta maaf karena menerima hadiah sebagus ini?” “Gak tau pantes atau enggak, aku nerima kalung ini ....” “Tapi ini bagus banget ... suka ....”

“Syukurlah ....”

“Makasih banyak,” ungkap Aliesha sambil tidak berhenti memegang dan melihat kalung cantiknya.

“Sama-sama, di pakai terus, ya?”

Aliesha mengangguk dengan semangat dan terus tersenyum ke arah Thio.

Kini mereka duduk kembali di sofa.

“Yaya? Boleh saya tanya sesuatu?” ungkap Thio tanpa aba-aba.

“Boleh banget,” jawab Aliesha cepat.

Lagi dan lagi Thio mengeluarkan sesuatu dari sakunya, bukan hadiah lain untuk Alisha, Thio kini mengeluarkan satu buah foto anak kecil yang ditemukan bibi waktu membersihkan kamar tamu yang dipakai Aliesha.

Aliesha melihat apa yang dikeluarkan oleh Thio.

“Lho, itu kan foto Rafa?” ungkap Aliesha sambil memastikannya kembali.

“Iya, saya mau mengembalikan ini, saya kira ini punya kamu.”

“Bukan, ini bukan punya aku, inituh asalnya Rafa ninggalin ini, pas mau dibalikin malah udah pulang kampung anaknya.”

“Dia ngasih tau ini siapa?”

“Itu tuh foto Rafa sama saudaranya.”

“Rafa puya saudara laki-laki?”

“Entahlah, bilangnya sih gitu. Kenapa emangnya?”

“Gak apa-apa,” Thio memberikan foto tersebut kepada Aliesha. Sedangkan dirinya hanya bisa bertanya-tanya, kenapa dirinya bisa difoto berdua dengan Rafa.

“Aku tuh kayak tau orang ini, kayak pernah liat, tapi siapa gitu?” ungkap Aliesha menunjuk ke arah foto Thio waktu kecil, sedangkan Thio memilih diam untuk tidak memberitahukan hal yang belum pasti atas hubungan dirinya dengan si pemilik asli foto tersebut.

“Sebentar, ya? Aku harus nyimpen foto ini dulu, biar aman,” ungkap Aliesha meninggalkan Thio di sana.

Tidak lama kemudian ponsel Aliesha berdering, seseorang menghubunginya. Terlihat jelas dari layar tersebut seseorang bernama Rafa.

“Rafa? Ngapain telfon Yaya malam-malam?” ungkap batin Thio dan membiarkan ponselnya tetap berdering. Baru saja akan memberitahukan Aliesha, namun tidak lama kemudian Aliesha sudah ada di belakangnya, “Tumben Rafa telfon?” ungkap Aliesha polos dan langsung mengangkatnya.

“Iya, Rafa? Kenapa?” tanya Aliesha langsung tanpa basa-basi.

“....”

“Halo?”

“....”

“Rafa? Kamu gapapa kan?”

Thio hanya memerhatikan wanitanya yang sedang berusaha berbincang dengan si penelfon.

“Halo, Rafa? Salah pencet kah?” tebak Aliesha.

Aliesha hanya terheran, kemudian dirinya nyaris memutuskan panggilan tersebut, namun terdengar lirih seorang anak laki-laki seperti sedang kesakitan.

“Mamah ... .” lirih Rafa sepertimenahan kesakitan.

“Halo, Rafa? Kamu gapapa kan? Kamu di mana? Kamu lagi sakit? Kok suara kamu berat?” Aliesha mulai panik sehingga memberikan banyak pertanyaan untuk Rafa.

“Mamah ... .” Rafa terus memanggil mamahnya tanpa henti.

“Mamah? Kenapa dengan mamah?” “Rafa? Kenapa, sakit? Ayo bilang dulu?” “Sekarang Rafa di mana? Biar kakak ke sana?”

Tiba-tiba telfon terputus tanpa penjelasan apapun dari Rafa.

“Halo? Halo, Rafa?”

Aliesha mulai panik dan langsung menelfonnya kembali, namun tak kunjung di angkat. Beberapa pesan telah ia kirimkan, namun tidak ada jawaban sama sekali.

“Rafa kenapa?” tanya Thio.

“Gak tau makannya, dia kayak kesakitan tau.”

“Kenapa kamu khawatir seperti itu? Mungkin tadi salah sambung?”

“Gak mungkin pak, emang akhir-akhir ini Rafa sering telfon aku.”

“Sepertinya dia dalam kedaan tidak sadar, Ya. Makannya dia random telfon kamu.”

“Masalahnya dia manggil-manggil mamahnya terus, pak.”

“Bisa jadi maksudnya dia mau telfon mamahnya?”

“Mamahnya udah meninggal, pak. Gak mungkin,” jawab Aliesha hingga kembali menghubungi Rafa terus menerus.

Thio hanya merasa aneh di sana.

“Aku takut Rafa kenapa-napa, akhir akhir ini dia sering banget ngeluh, dia terus menceritakan mamahnya, di seneng telfon sama aku, karena katanya suara aku mirip sekali sama mendiang mamahnya, makannya denger Rafa dengan kondisi seperti itu cukup buat aku panik ... Rafa itu anak baik, tapi kenapa nasibnya harus seperti ini.”

“Maksudnya?”

“Ibunya meninggal karena sakit keras, Rafa harus bekerja keras sendiian tanpa ada yang menghiburnya?

“Ayahnya?”

“Ya itu dia, dia lepas tanggung jawab sama Rafa, tapi dia gak mau ngasih tau aku nama papahnya, karena beliau adalah orang ternama, orang yang sangat penting, dia takut, kalau kehadirannya akan mengacaukan segalanya, makannya dia memilih untuk tidak mengharapkan apa-apa dari papahnya.”

“Orang penting?” Thio bergumam pelan.

Suasana romantis kini berubah menjadi khawatir, setelah Rafa menelfon Aliesha seperti itu. Sedangkan Thio berusaha menenangkan wanitan tersebut dan memberikan nasihat agar tidak lagi merasa khawatir.