Tamparan
Tw // kekerasan fisik dan ungkapan kasar
“Mau ke mana?” tanya Thio memelas, memegang tangan Aliesha agar tidak pergi meninggalkan dirinya.
“Lepasin ... ada Bu Vinda lho di sini,” ucap Aliesha, melepaskan genggaman tangan Thio dengan pelan.
“Emang kenapa kalau ada mama?”
“Udah, ya. Aku mau pergi sekarang pokoknya, aku belum mandi dari kemarin malem.”
“Gak usah mandi, masih cantik kok,” goda Thio.
“Dih?” ucap Aliesha sambil berkemas memasukkan barangnya ke dalam tas.
“Jangan lama ....”
“Iya, bawel.”
Aliesha pergi setelah pamit terhadap Thio dan Vinda yang merupakan mama dari Thio. Vinda datang ke rumah sakit setelah dirinya menelfon anaknya yang diangkat oleh Aliesha karena Thio masih tidur. Aliesha tidak bisa berbohong atas kedaan Thio karena yang yang menelfonnya tersebut merupakan keluarganya.
Vinda dan Aliesha yang awalnya canggung, kini berhasil lebih akrab karena sikap hangat Aliesha mampu melelehkan sikap dingin dari Vinda. Walaupun begitu, Aliesha tetap menjaga sikap sopan terhada Thio maupun mamanya agar tidak melewati batas.
Ketika Aliesha sudah pergi, kini Thio memilih untuk tidur lagi selagi menunggu hasil lab. Sedangkan Vinda memilih diam padahal rasanya ingin sekali bertanya tentang wanita tadi, namun sudah dapat dilihat jawabannya, semuanya telah nampak dari raut muka Thio ketika bersama dengan Aliesha, perlakuan yang begitu lembut cukup membuat Vinda merasa kalau anaknya menyukai perempuan tersebut. Vinda hanya bisa menghela nafas, karena akhir-akhir ini Vinda sudah mengenalkan kembali putranya terhadap perempuan dari rekan bisnisnya.
Sebelum pulang ke rumah Thio, Aliesha sibuk membeli makanan untuk dirinya juga orang di rumah termasuk teman Firdhan yaitu Rafa. Aliesha diperintahkan Thio untuk memekai kartu ATM-nya untuk membeli beberapa makanan untuk sarapan.
Sesampainya di rumah, Aliesha disambut oleh Firdhan, Caca, Rafa, dan Bibi juga ikut menyambutnya walaupun sedang sibuk memasak untuk sarapan.
“Widiih, bibi masak apa?” “Aku juga bawa banyak makanan tau, soalnya disuruh Pak Thio,” celoteh Aliesha sambil menyimpan beberapa makanan tersebut di atas meja yang langsung di rapikan ole Firdhan karena tidak sabar ingin segera memakan makanan kiriman Aliesha.
“Bibi masak seadanya saja, kak,” balas bibi.
Mereka berlima kini sudah duduk di kursi meja makan, berkumpul sambil menikmati makanan tersebut dengan diiringi candaan Firdhan yang memang tidak pernah kehabisan bahan untuk bercanda sehingga membuat tertawa siapa pun yang mendengarnya.
“Firdhan mau ambil hp dulu di kamar, mau pap ke Bang Thio soalnya,” ungkap Firdhan dan langsung menuju kamar tersebut.
Tiba-tiba suara pintu terbuka dengan keras yang membuat semua orang terkaget dan menghentikan aktivitasnya sejenak. Tidak lama kemudian terdengar suara tamparan yang begitu keras diikuti erangan menahan kesakitan dari orang yang mendapat tamparan tersebut.
“Anak tidak tahu di untung!!” ungkap Harlan emosi tinggi terhadap Firdhan.
Sedangkan yang di tampar hanya bisa diam tak berkutik karena perlakuan tersebut. lagi dan lagi Harlan menampar Firdhan lebih keras lagi yang membuat meringis siapa pun yang mendengarnya. Dari tamparan kedua tersebut Firdhan masih terdiam namun cairan dari pelupuk matanya mulai mencelos membasahi pipinya. Dirinya masih tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh orang yang selama ini mempercayainya.
“Karena inilah kita sebagai manusia tidak boleh terlalu dekat dan mudah percaya sama manusia?!” “Jangan melewati batas!” “Kalau ada apa-apa terhadap Thio?! Jangan pernah lagi menginjakkan kaki di keluarga Mahatma!!!” Harlan memperingatkan Thio dengan wajah yang merah padam menahan semua kesal yang ada.
Sedangkan Firdhan masih dengan tubuh yang diam karena berusaha mengingat kesalahan yang ia perbuat, padahal Firdhan sudah memberikan usaha terbaik untuk Thio selama ini.
“Jangan sekali-kali kamu mau mencoba membunuh anak saya, Fir! Karena itu tidak akan membuat semua harta saya jatuh ke tangan kamu,” “Ya! Saya memang sudah menganggap kamu layaknya anak laki-laki saya, tapi untuk sekarang semua kepercayaan Om sudah lenyap!”
“Membunuh?”
“Masih mau pura-pura?!!” “Anak saya satu-satunya sedang mengalami hepatotoksik karena kamu memberikan obat yang toksik untuk hati jika dikonsumsi terlalu banyak, Fir!!”
“Firdhan cuman ngasih Vitamin kok, Om?”
“Vitamin?! Jangan pura-pura bodoh, Fir!”
“Benera—“
“Jangan mengelak lagi Fir! Atau saya tampar lagi?” “Sekarang kamu pergi! kalau perlu pulang ke kampung sekalian! Renungkan semua kesalahan kamu, dan jangan pernah untuk kembali lagi!” “Saya gak sudi untuk melihat wajah kamu lagi!”
“Om, Firdhan gak ngelakuin it—“
“PERGI!”
Saat ini Firdhan tidak mampu menjelaskan satu kata pun terhadap Harlan, lidahnya kelu, tak mampu menjelaskan kesalahpahaman ini. “Bang maafkan Firdhan ...” “Firdhan hanya orang kampung yang salah pergaulan di sini ...” ”Semoga Firdhan bisa ketemu Bang Thio lagi walaupun sekedar meminta maaf dan berterima kasih karena sudah menjaga Firdhan dalam waktu yang lama ....” lirih Firdhan dalam hati, kemudian langsung pergi dari rumah tersebut, tanpa pamit kepada Aliesha dan yang lainnya. Tidak ada lagi senyuman di wajahnya Firdhan, semuanya lenyap karena perkataan yang begitu menyakitkan atas hinaan dari Harlan. Semua pengorbanan Firdhan untuk keluarga Mahatma seolah-olah lenyap begitu saja.
Tidak lama kemudian, Harlan juga pergi dari rumah tersebut untuk pergi memantau kesehatan anak satu-satunya.
Sedangkan Aliesha dan yang lainnya hanya terdiam mendengar sesaat pertengkaran tersebut. Rafa yang asalnya diam, kini berniat menyusul Firdhan yang pergi entah ke mana.
“Maafin gue, Fir ....