jwooshining

Reynaldi, Wenny, dan Chandra kini sudah berkumpul di meja makan duduk manis menunggu tamunya datang. Wenny dan Chandra terus memerhatikan anaknya tersebut dengan wajah sedih sambil melihat ponsel namun tatapannya tersebut kosong. Entah apa yang dipikirkan Rey, sikap tersebut berubah setelah Rey melihat postingan status WhatsAap seseorang yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.

“A, mikirin apaan sih? Simpen dulu ponselnya, dari tadi buna manggil aa, tapi gak nyaut,” tanya Wenny menyadarkan Rey kemudian menyuapi anaknya tersebut dengan puding coklat kesukaannya.

“Enak gak?” tanya Wenny.

Rey hanya mengangguk di sana.

“Bun?”

“Kenapa?”

“ Kan Om John doang yang mau datang, kenapa piringnya disiapin buat berlima?”

Sedangkan Chandra hanya tersenyum di sana memandangi anaknya tersebut, Chandra sekarang mengerti kenapa anaknya berperilaku seperti itu.

Baru saja Wenny akan menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba klakson mobil John berbunyi mennadakan kalau John sudah sampai. Rey hanya menunduk di sana—meraih ponselnya kembali padahal tidak ada hal penting untuk ia lihat dalam ponselnya. Chandra yang terus memandangi Rey, hanya bisa tersenyum jahil.

Tiba-tiba tidak lama kemudian John datang seorang diri dan langsung masuk ke dalam rumah tersebut setelah Wenny membukakan pintu untuknya. Ekspresi kecewa Rey masih terlihat jelas saat ini, dengan begitu Rey tetap menyambut sopan kedatangan John, namun hati kecilnya tidak bisa berbohong, kalau saat ini dirinya kecewa karena seseorang yang ia tunggu benar-benar tidak datang.

Tidak lama kemudian seseorang menjerit dari luar sana, “Papah ih, ini bawanya gimana? Susaaah!” Alya menggerutu cukup keras dari luar sana. Dengan mata yang berbinar, seketika kepekaan Rey meningkat seribu persen, terperanjat dari duduknya dan langsung melesat ke luar sana untuk menghampiri orang yang ia tunggu-tunggu.

Baru saja Johnathan akan menyusul Rey dan anak gadisnya, namun ditahan oleh Chandra, “Jangan ganggu anak muda, John,” ungkap Chandra sambil menuangkan teh untuknya.

Sedangkan Wenny tersenyum di sana, “Keliatan gak gerak-gerik anak aku tadi?”

“Keinget Chandra pas ngejar-ngejar kamu Wen,” ledek John yang kini sudah terduduk kembali.

“Emanya aku maling, sampe dikejar-kejar.”

“Maling perasaan?” goda John.

“John, kita udah tua, geli aku bahas begituan!”

“Bener gak, Chan?” John masih meledek Chandra.

“Setidaknya ada skill yang diturunkan terhadap anak, saya yakin Rey pasti berhasil mendapatkan Alya, udah gak perlu diatur-atur lagi perjodohan mereka, percuma, kalah cepat nanti sama perasaan mereka sendiri,” ungkapnya dengan percaya diri yang membuat semua orang tertawa menanggapi jawaban Chandra.

“Hmm Alya belum dikasih tau, John?” tanya Wenny yang seketika senyuman John memudar, Chandra pun ikut penasaran apa jawaban dari John.

“Gak tau sanggup atau enggak untuk kasih tau semuanya sama kakak,” lirih John lemas.

“Segera ya, John. Kasian Alya,” “Nanti marah lho, kalau misal kamu terlalu lama buat gak jujur sama dia.” Wenny memperingatkan John.

“Bingung, Wen. Kamu tau sendiri kan kalau kakak gimana.”

“Segera pikirkan, John. Ini demi kebaikan kamu sama Alya juga, lebih cepat lebih baik.” John hanya menghela napas kasar karena membayangkannya saja sudah tidak sanggup rasanya.


Tidak lama kemudian yang dibicarakan sudah masuk ke dalam rumah. Rey membawa parsel buah ukuran besar dan daging sapi mentah kualitas super yang John beli untuk diberikan pada keluarga Chandra. Sedangkan Alya di sana membawa bingkisan lain serta tas kecil nan mewah yang merupakan salah satu koleksi tas dirinya.

“Ya ampun Alya cantik banget, nak?” Wenny menghampiri Alya dan langsung peluk cium anak John tersebut.

Kemudian Alya mencium tangan Chandra dan di usapnya kepala Alya pelan.

Mereka kini sudah duduk dengan posisi duduk saling berhadapan, dan untuk posisi Rey yaitu tepat di depan Alya.

Dalam acara makan-makan tersebut, Alya terus meremat perutnya karena memang sedang datang bulan.

Wenny menyadari keadaan tersebut dan langsung bertanya, “Alya sakit?” seketika Rey langsung menatap Alya khawatir.

“Tiap bulan pasti kakak kayak gini, Wen. Salahnya saya tadi lewat apotek gak mampir dulu buat beli obat, tapi nanti juga baikan kok, semoga …” ungkap John sambil terus memastikan keadaa ankanya tersebut.

“Baikan gimana, itu anak kamu sampe pucet kayak gitu?” ungkap Wenny yang langsung menghampiri Alya.

“Gak kok Bun, gapapa asli, masih kuat kok,” lirih Alya dengan suara pelan.

“Sakit banget gak, Al?” “Soalnya dulu Buna Wenny sakitnya seperti melahirkan katanya,” tanya Chandra memastikan.

“Terus sembuhnya gimana?” tanya John antusias karena memang segala cara sudah John lakukan untuk Alya.

“Ya Melahirkan,” jawab Chandra singkat.

“Jangan ngaco, Chan.” John tidak percaya akan jawaban Chandra yang terdengar asal.

“Emang bener, John. Rasa sakitnya berkurang setelah aku ngelahirin Aa,” ungkap Wenny.

“Masa kita nikahin Alya sama Rey sekarang, biar Alya bisa melahirkan juga,” ungkap John tanpa berpikir jernih.

“Papah ih, ngomongnya jadi kemana-mana, kakak lagi sakit juga,” lirih Alya dengan kepala semakin menunduk.

“Heh udah udah, kok jadi bahas melahirkan gini, ini Alya udah makin pucet tau,” “Buna Bawa Alya ke kamar dulu, Kalian lanjut makan aja,” “Kita ke kamar Aa aja, ya? Soalnya kamar buna agak berantakan, terus kamar tamu belum sempat buna bersihin juga.”

“Bun, maaf jadi ngerepotin.”

“Gapapa sayang, buna tau rasanya gimana sakitnya seperti itu,” sambil terus berjalan menuju kamar Rey.


Posisi Alya kini hanya berbaring dan memejamkan matanya merasakan rasa sakit luar biasa ini. tidak lama kemudian, seseorang masuk ke dalam kamar tersebut, namun Alya enggan untuk membuka matanya karena pasti yang datang adalah Buna Wenny.

“Anak Farmasi kok sakit,” ledek seseorang yang membuat dirinya terperanjat memaksakan menjadi posisi terduduk.

“Rey?!”

“Baringan aja, Al,” ungkap Rey sambil memberikan obat pereda sakit untuk Alya beserta air putihnya.

“Makasih banyak, Rey,” ungkap Alya sopan untuk kali ini.

“Sama-sama, jangan sakit lagi, Al.” balas Rey sambil menatap Alya lembut, kemudian Rey memberikan warm water zak untuk mengompres perut Alya demi mengurangi rasa sakit akibat kejang otot pada perutnya saat ini. Sedangkan yang ditatap hanya diam mematung karena perlakuan Rey yang saat ini kadar kelembutannya meningkat sampai volume maksimal yaitu seratus persen.

Dengan wajah gembira menyambut makanan kini Alya sudahberada di rumah makan milik keluarg a Rey yang dikelola langsung oleh Wenny. Alasan pertama datang ke rumah makan tersebut memang untuk menyantap masakan Buna Wenny tapi alasan lain yang membuat ia ingin sekali ke tempat ini yaitu semoga saja ada seseorang yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya, terutama setelah Dafa memberitahukan bahwasannya Reynaldi sedang tidak baik-baik saja.

Walaupun Alya tidak berharap banyak karena Wenny juga memberitahukan bahwasannya Rey jarang sekali datang ke sini, karena Rey selalu sibuk dengan kegiatan organisasi di kampusnya. Wenny akan bertemu kembali dengan Rey jika sudah malam di rumah mereka yang tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat ini.

Wenny terus saja menceritakan semua tentang Rey mulai dari kebiasaan Rey, kesibukan Rey, bahkan sesekali Wenny sering keceplosan karena membicarakan sifat manjanya Rey kalau sudah di rumah, layaknya anak kecil yang terus butuh perhatian.

“Bun ... ceritain aja terus, sampai Rey malu,” ungkap Rey dari ujung pintu sana yang sudah cukup lama dirinya berdiri mendengarkan ocehan Bunanya.

Alya dan wenny seketika langsung menengok ke sumber suara.

“Aa!” teriak Wenny tiba-tiba, yang membuat Alya dan Rey terkaget.

“Hey, aa di depan bun, kenapa harus teriak segala?” jawab Rey bercanda.

“Ini ada Alya loh, masa kamu pake kolor begitu, mana bajunya itu-itu terus buna liat-liat, udah tiga hari sayang, kamu pake baju itu terus,” “Heran, bujang buna satu ini jorok banget,” celoteh Wenny sambil geleng-geleng kepala.

“Ada Alya, bun ... kan Rey juga emang jarang pakai baju ini, nanti juga diganti lagi pake baju tidur,” ungkap Rey dengan wajah cemberut namun menggemaskan.

“Iya deh iya.” Jawaban jahil Wenny tersebut membuat Alya tertawa terbahak-bahak.

“Gak usah ketawa, lo.” ungkap Rey kesal sambil mencomot makanan Alya menggunakan sendok yang sedang Alya gunakan untuk makan, sedangkan Alya masih tertawa.

“Aa, jangan culametan! Itu makanan punya Alya, gak sopan banget?”

“Aa laper bun, kok buna jarang masakin menu ini buat Rey?” ungkap Rey Sambil menunjuk makanan yang berada di piring Alya yaitu ayam katsu lengkap dengan saus barbeque.

“Ya emang aa pernah minta? Pasti aa mah mintanya telur dadar lagi, telur dadar lagi, apalagi aa tuh susah banget buat makan banyak,” ungkap Wenny kesal sambil mengantarkan makanan untuk Rey dan meninggalkan mereka agar mereka bisa lebih akrab lagi.

Tiba-tiba saja Alya berdiri yang membuat Rey menengadah karena heran melihat Alya,”Gak panas, kok?” ungkap Alya yang terus menempelkan punggung tangannya terhadap dahi Rey untuk memastikan bahwasannya Rey baik-baik saja.

Rey terkejut di sana, sempat diam beberapa detik namun akhirnya menepis pelan tangan Alya.

“Siapa yang demam? Gue baik-baik aja, Alya.” Alya diam tidak menjawab, malah menyentuh lehernya dengan punggung tangannya tersebut, kemudian iseng memijat lengan Rey cukup keras yang membuat Rey berteriak.

“Gak usah grepe-grepe gue, ya!”

“Kok, lo tau bahasa gituan?”

“Gituan gimana?”

“Halah, gue yakin mata lo juga gak suci-suci amat.”

“Mulai aneh.”

“Lo pernah pacara gak sih?”

“Pertanyaan lo yang bermutu, kek?

“Jadi penasaran pacar seorang Rey itu kayak gimana.”

“Gak punya pacar, sibuk.”

“Tapi cewek yang lo suka mah, ada kali?” “Kok mukanya merah sih? Lucu banget?”

“Duduk, Alya, abisin dulu makanannya, buna udah masak nih buat lo.”

“Halah, ngalihin pembicaraan.”

“Lo beneran gak sakit kan? Gak lagi rawat jalan juga, kan? Kan? kan?” sambil memastikan kedaan Rey dengan cara menempelkan kembali punggung tangannya tehadap Rey.

“Gue baik-baik aja Alya, tangan lo bau sambel?!” Rey menurunkan tangan Alya kembali.

“Jahat banget? Ini sambel buatan buna lo yang lo kata-katain!”

“Pemandangan apa ini? kok udah pegangan tangan aja?” ledek Hamzi disusul dengan Naren dan Jeano.

Rey langsung melepaskan tangan Alya, sedangkan Alya kini duduk kembali.

“Temen lo, Rey?” tanya Hamzi.

Tidak ada jawaban dari Rey karena merasa syok dengan kedatangan teman-temannya tersebut.

“Kondisikan dong mukanya, Rey. Kek udah ke gep apaan,” ledek Jeano.

Medengar suara yang tidaka sing untuk Alya, seketika refleks menyambutnya. “Jeje?”

“Slebew gak tuh?” ungkap Jeano sambil menampilkan eye smile-nya.

“Ngapain ke sini?”

“Makan lah, gue juga manusia biasa kali.”

“Mau cobain ini gak?” tawar Alya sambil menawarkan ayam dengan sendok yang ia gunakan untuk makan ditambah sambal khusus yang Alya minta pada Wenny.

“Lo gak usah jebak gue, gue gak terlalu bisa makan pedes.” Alya hanya menyeringai karena kelakuan usilnya diketahui oleh Jeano, sedangkan Jeano langsung duduk di kursi sebelah Alya, dan memakan bagian makanan yang tidak terkena pedasnya sambal buatan tangan ajaib Wenny.

“Lah kalian kenal?” tanya Hamzi bertanya setelah fokus dengan ponselnya.

“Hi, Hamzi?” sapa Alya yang membuat Hamzi terheran bukannya menjawab sapaan Alya.

“Lah, tau gue?”

“Iya tau atuh, siapa sih yang gak kenal kalian,” “Hamzi si jago nge-mc, gak ada lawan pokonya, naren si cowok kalem jajaka kita, terus Rey si juara debat berikut sekarang jadi ketua BEM, terakhir Jeano anak beban orang tua karena moge-nya ia otak-atik terus sampe rusak!!!” Lantas ungkapan tersebut membuat semua orang tertawa, kecuali Jeano si korban roasting Alya. Dari sana, Jeano dan Alya terus beradu mulut sampai tidak sadar saling menyuapi makanan, saling mengejek hingga membuat semua orang tertawa lebar dibuatnya. Namun, ada satu oran yang tawanya cukup dipaksakan seperti menyembunyikan perasaan sesuatu, yaitu Rey.

”Sejak kapan kalian seakrab ini?”

“Lo bengong terus dari tadi, mikirin apaan sih?” celetuk yang sedari tadi memerhatikan Rey karena banyak diam setelah kedatangan dirinya dan teman-temannya yang lain.

“Emang kalau bengong tuh mikir, ya?” celoteh hamzi.

“Diem lo, Zi. Makan mah makan we,” “Rey, angkat dulu, telfon lo berdering dari tadi, Sekum lo tuh minta diapelin kali,” ungkap Naren kembali, dan langsung mengalihkan atensi Alya.

Rey langsung bergegas mengangkat telfon tersebut menuju ke luar ruangan, mencari tempat yang hening agar dapat terdengar jelas.

“Mereka tuh jadian gak sih sebenernya?” tanya Hamzi sambil menyantap makanannya.

“Emang rumornya bener, ya? Kalau si Nayla itu nembak Rey?” bukannya menjawab, Naren malah melemparkan pertanyaan.

“Katanya sih iya, tapi gak tau, tu orang kalau di tanya ngeles mulu soalnya, iya kali,” ungkap Jeano asal.

”Hah? Nayla pacaran sama Rey?”

Rey keluar dari ruangan BEM sambil memijat pelipisnya karena sedikit pusing akibat terlalu banyak kegiatan mulai dari perkuliahan yang dimulai dari pukul tujuh pagi, belum lagi ada praktikum di siang hari, kemudian dilanjutkan rapat program kerja untuk minggu depan di sore hari. Hari selasa adalah hari yang paling hectic untuk Rey, sehingga Rey sering kelelahan dan ketika pulang dari kampus pasti akan berujung dikamar sendirian untuk sekedar istirahat. Namun untuk kali ini Rey harus menyelesaikan urusan baru yaitu mengajak Alya untuk makan dengan dirinya dan yang paling penting adalah memberinya uang saku karena uang yang ia bawa pagi tadi sudah diambil oleh Dafa baik melalui transfer maupun tunai.

Dilihatnya Alya hanya duduk di kursi yang tersedia di koridor dekat ruangan BEM, dan fokus berkutat dengan ponselnya. Sebenarnya Alya hanya berpura-pura sibuk saja dengan ponselnya tersebut karena terlalu canggung dengan Rey, karena ini pertemuan pertama secara langsung.

Sorry Al, jadinya nunggu lama,” ungkap Rey sehingga yang dipanggil namanya langsung menoleh walaupun dengan tatapan canggung.

“Oh hi, Rey. Sans aja kali,” balas Alya santai demi menutupi rasa canggung tersebut. “Mana?” pinta Alya tiba-tiba sambil menyodorkan tangan kosongnya tanda meminta uang.

“Gini, Al. Tadi ada kepentingan mendadak, jadi uangnya dipake dulu buat itu.”

Alya sebenarnya tahu, karena penyebab uang yang ada di Rey itu ulah dirinya melalui Dafa yang tadi berpura-pura untuk mengganti mesin mobilnya.

“Kenapa gak bilang dari tadi, Rey. Tau gitu gue balik aja ke rumah,” ungkap Alya Kesal. Sengaja bersikap seperti ini karea tujuannya satu, yaitu Rey harus menyerah akan dirinya sehinggaa Alya akan kembali ke masa-masa kejayaan dalam hal keuangan.

“Iya, makannya ikut gue dulu, gue ambil dulu uangnya di rumah, Al. Nanti gue antar lo pulang, kok.”

“Udah lah gak usah, gue mau ke kantor papah aja.” Alya langsung berdiri namun ditahan oleh Rey.

“Gue minta maaf, Al. Kalau ini buat lo kesel.”

“Isoke.” Ungkap Alya ketus sambil memesan ojek online untuk pulang.

Tidak lama kemudian ponsel Alya mati dan cukup membuat dirinya lebih geram. “Anj—“ ucapan Alya terhenti ketika dilihatnya ada Rey sedang menatapnya dengan penuh rasa bersalah.

“Dibilangin ikut gue,” ungkap Rey sambil meraih tangannya untuk pergi bersama dirinya.

Langkah Alya berhenti tiba-tiba.

“Gue bawa helm dua kok, tadi Jeano nebeng ke gue karena moge dia mogok.”

Alya kembali berjalan dengan tangan masih digenggam Rey.

“Kayak pernah denger nama Jeano tapi dimana, ya?” gumam Alya pelan namun masih terdengar oleh Rey.

“Pasti sering lah, kita kan satu fakultas.”

“Enggak, di luar kampus maksudnya, tapi di mana gitu.”

“Naik dulu, nanti mikirnya di motor aja,” ungkap Rey sambil menghidupkan motor matic-nya.


Kini mereka berdua telah sapa di suatu tempat namun sepertinya bukan tempat tinggalnya Rey.

“Sini masuk, Al,” pinta Rey sambil menenteng helm yang baru saja ia gunakan.

“Siapa sayang?” tanya seorang wanita paruh baya dari dalam ruangan sana yang langsung menghampiri mereka berdua. “Ya ampun, Alya, ya?” ungkap Wenny antusias karena sudah terlalu lama tidak melihatnya lagi.

“Bun,” panggil Rey sambil mengulurkan tangannya untuk sekedar cium tangan, namun diabaikan oleh Wenny.

“Sini sayang duduk, buna siapin dulu makanan buat kalian, ya? Sebentar kok,” pinta Wenny terhadap Alya kemudian langsung meluncur menyiapkan makanan.

Alya belum sempat membalas sapaan Wenny, dirinya hanya bisa mematung menyaksikan kehebohan buna dari Rey tersebut.

“Makanannya wajib dihabiskan, jangan sampai ada sisa, ya?” ungkap Wenny sambil membawa nampan makanannya kemudian menatanya di meja.

“Makasih Buna Rey, ini beneran bakal nambah sih, soalnya makanannya menggoda banget dan ini kesukaan Alya semua,” ungkap Alya ceria.

“Boleh banget sayang, nanti buna bungkusin sekalian.”

“Wah boleh nih, tapi sayangnya gak akan kemakan juga, kan udah kenyang di sini,” ungkap Alya diiringi tawa. Wenny terus menyaut atas bercandaannya anak dari teman kuliahnya tersebut.

Rey hanya memerhatikan Alya dari tadi, ternyata wanita ketus seperti dia juga bisa bercanda gurau dan mempunyai sopan santun.

Posisi Rey dan Alya berhadap-hadapan, saat ini Alya makan sambil terus berbicara karena memuji makanan tersebut tanpa henti. Rey merasa melihat sisi lain dari Alya yang biasanya kasar dan temperamental kini terlihat gemas dibuatnya.

“Rey, puas banget makan di sini, kok gue baru tau sih ada tempat makan seenak ini?”

“Karena lo lagi laper, makannya semua makanan lo bilang enak.”

“Lo ngeremehin masakan buna lo? Durhaka banget anjir,” “Oh, iya,” “Biaya makan gue, potong aja dari duit yang ada di lo.”

“Gak perlu ada yang harus dibayar, sayang,” “Buna sakit hati loh dengernya,” teriak Wenny dari dapur sana.

“Tapi Alya makan banyak banget, bun.”

“Ya bagus, berarti kamu suka makanan buna.”

“Gak mau tau pokonya potong dari uang Alya yang ada di Rey, ya, bun.”

“Boleh, tapi kalau gitu jangan pernah lagi makan di sini,” tegas Wenny.

“Bun, kok gitu.”

“Fokus makan dulu aja sayang.”

“Yaudah, Alya mau ucapin makasih banyak buat buna, karena makanannya enak banget banget banget.”

“Sama-sama, besok ke sini lagi, ya? Nanti Rey yang jemput.”

“Besok Alya ada praktikum sampe sore bun, lain kali Alya mampir lagi kok.”

“Semoga ini bukan alasan kamu aja, ya, Alya.”

“Mana bisa Alya bohongin buna.”

Wenny hanya tersenyum di ujung sana.

Rey dan Alya kini bersiap untuk pulang, Alya merapikan meja terlebih dahulu kemudian yang paling utama yaitu tidak lupa memakai lipstik kembali karena luntur oleh makanan. Sedangkan Rey hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Alya memakai barang tersebut sabil mengomel karena lipstiknya sebentar lagi habis.

“Rey, sini dulu bentar, nak,” pinta Wenny dari kasir yang ada di sudut sana yang membuat atensi pada Alya kini teralihkan.

Sayup-sayup terdengar Wenny meminta bantuan terhadap Rey untuk mentransfer tagihan sesuatu yang sepertinya darurat. Di sini Rey hanya bisa menolak permintaan tersebut secara halus karena uang yang ada telah ia gunakan untuk membayar tas Alya dan juga uang tunai yang sedang Alya butuhkan. Tadinya Alya mau memberi tahu Rey untuk tidak meberikan uang padanya, namun takut menyinggung Rey karena pada saat Wenny meminta bantuan terhadap anaknya tersebut, Alya dan Rey sempat saling menatap tandanya Rey mengetahui kalau Alya tahu atas permintaan bunanya.

Aliesha terus memainkan ponsel suaminya untuk membalas pesan Firdhan karena Thio sedang fokus menyetir mobil.

“Yah, aku boleh pap muka aku gak ke Firdhan?” sambil memainkan kamera ponsel tersebut.

Thio melirik ke arah Aliesha yang sedang asyik berfoto dengan ekspresi gemasnya.

“Foto yang banyak sayang, tapi yang dikirim ke Firdhan jangan foto kamu.”

“Ya terus?”

“Foto saya saja yang dikirim, enak saja si Firdhan!”

“AHAHAHA cemburu kok sama Firdhan.”

“Kamu gak tau aja Firdhan kayak apa? Dibilangin dia gak pernah nunjukin suka sama cewek segitunya lho,” ungkap Thio dengan rasa kesal yang memuncak. “Firdhan chat aneh-aneh nih pasti, sini pinjem dulu bentar,” pinta Thio, mobilnya ia hentikan sejenak di pinggir jalan. “Modus banget ni anak,” celoteh Thio sambil menyerahkan kembali ponselnya terhadap Aliesha. Sedangkan Aliesha hanya tertawa karena melihat suaminya tersebut yang sedang terbakar api cemburu.

Tidak lama kemudian mereka berdua telah sampai ditempat tujuan.

“Yeay sampai juga, ih tapi aku degdegan,” ungkap Aliesha sambil membuka pintu mobilnya, namun tangan Aliesha di tahan oleh Thio.

Kiss dulu,” pinta Thio manja.

Aliesha hanya menatap Thio datar.

“Cup.” Aliesha mengecup sekilas bibir Thio.

“Gak kerasa.” Thio merengek kembali.

“Sisanya ntar di rumah, ayo cepet mereka udah nunggu lama lho,” ajak Aliesha sambil membuka pintu mobilnya dan menghiraukan permintaan Thio.

Sambil membuka seatbelt Thio keluar dari mobil menyusul Aliesha.

“Pelan-pelan sayang,” ungkap Thio ketika melihat istrinya sedikit berlari karena tidak sabar untuk menemui Caca dan beberapa keluarga lainnya.

Setibanya di sana, pengantin baru tersebut disambut hangat oleh keluarga Mahatma.

“Ayah ....” panggil Caca terus menatapnya, rasa ingin menghampiri namun kekuatan badan masih terlalu lemah.

“Ya ampun anak ayah udah sehat, ya? Gimana masih ada yang sakit gak?” Tanya Thio sambil terus mengecup wajah anaknya tersebut.

Aliesha hanya bisa tersenyum melihat aksi keduanya. Caca teralihkan ketika melihat apa yang sedang dibawa oleh Aliesha.

“Jangan sakit-sakitan terus, ya? Ini hadiah buat Caca karena udah jadi anak hebat,” ungkap Aliesha sambil ikut mengelus rambut Caca, sedangkan anaknya hanya bisa mengangguk patuh.

“Bilang apa dulu sama ibu?”

“Makasih, ibu. Caca suka hadiahnya,” ungkap Caca dan memeluk erat hadiah tersebut yang berupa boneka besar.

“Sama-sama sayang.”

“Ah anjir keluarga cemara teh bener we inimah,” celoteh Firdhan.

“Firdhan, gak boleh ngomong kasar depan anak kecil!” ungkap Vinda mengingatkan.

“Ehehe,” semua orang hanya bisa tertawa melihat kelakuan Firdhan.

Kemudian fokus Vinda teralihkan ketika melihat Rafa yang terus memainkan ponselnya dibandingkan fokus untuk memakan makanannya. “Rafa dari tadi senyum-senyum terus sambil lihat ponsel, chat siapa, nak?”

“Maaf, ma,” jawab Rafa dan menyimpan ponselnya di dekat piring yang ia gunakan.

“Gak usah minta maaf, mama juga pernah ada masanya seperti itu, kok,” “Kenalin dong sama mama,” tanya Vinda sambil memotong steiknya untuk ia lahap.

“Iya ma, nanti Rafa bawa Almira ke rumah,” balas Rafa refleks menyebutkan nama perempuannya.

“Oh Almira namanya? Kok seperti tidak asing, ya?”

“Oh, ya? Jangan-jangan mama pernah ketemu sama dia?”

“Sepertinya?”

“Oh mungkin namanya saja yang mirip,” balas Rafa yang kini fokus memakan makanannya.

“Mama ingat! Mama ingatnya Almira teman Firdhan tapi,” celetuk Vinda yang membuat aksi Rafa terhenti.

“Firdhan?” Rafa terkejut. “Lagi?!” batin Rafa menggerutu.

“Iya, mama lihat Firdhan bonceng Almira itu malem-malem kan? Yang pas mama tanya tuh, kalian baru beres makan di salah satu rumah makan, kan?” Tanya Vinda terhadap Firdhan.

Suasana menjadi serius ketika Firdhan tiba-tiba tidak lagi bercanda sedangkan Rafa hanya menunduk terlihat sedang menahan amarah yang sepertinya ada satu urusan dengan Firdhan perihal perempuan tersebut.

Thio terus mengamati sikap Rafa dan Firdhan yang begitu canggung untuk dilihat saat ini.

“Udah ma, jangan ganggu anak muda, mau siapapun itu yang penting itu kan itu urusan mereka,” ungkap Thio agar tidak ada lagi kecanggungan seperti saat ini.

“Mama gak ganggu, bebas saja silakan, asalkan jangan melewati batas, tapi yang mama takutkan Rafa ataupun Firdhan memutuskan untuk menikah muda seperti kamu, mama kurang setuju tentang itu,” ungkap Vinda tiba-tiba membahas tentang pernikahan.

“Apa salahnya menikah muda? Selama Rafa sama Firdhan sanggup untuk menafkahi anak dan istrinya?”

“Mama gak mau kalau nanti nasibnya seperti kamu nak, terlalu terburu-buru menikah namun pada akhirnya?”

“Ma, jangan samakan nasib Thio sama mereka berdua lah, siapa juga yang mau menikah muda diantara mereka, Rafa sama Firdhan gak ada yang bilang mau menikah mudah juga, kan?”

Thio bertatap dengan Rafa teringat dengan pesan terakhirnya sebelum datang ke sini yang membahas tentang keinginan Rafa untuk menikah muda.

“Kalaupun diantara mereka mau, ya silakan saja, Thio gak keberatan, kita sebagai keluarga gak boleh dong menghalangi kebahagiaan mereka?”

“Tapi mama kurang setuju, mama takut anak mama kejadian seperti itu lagi, bukannya kita harus belajar dari sebelum-sebelumnya?”

“Iya Thio ngerti apa maksud mama, udah bahas yang lain aja, jadi kemana-mana gini bahasannya.”

Mereka melanjutkan acara makan-makan lagi namun masih tanpa gurauan Firdhan. Firdhan menjadi pendiam, begitu juga dengan Rafa, suasana diantara mereka berubah menjadi tegang.


“Ayah mau liburan, ya?” tanya Caca tiba-tiba.

Thio terkaget refleks melihat ke arah anaknya begitupun dengan Aliesha.

“Engg—” Vinda memotong pembicaraan Thio.

“Iya, Caca sayang. Ayah mau liburan dulu sama ibu, satu Minggu ditinggal gapapa, ya?” sela Vinda.

“Ma?”

“Kapan lagi, Yo. Mama udah berusaha keras lho buat bujuk Caca, karena biar tidak ikut sama kalian.”

Thio melihat mata Caca yang mulai berkaca-kaca karena sebenarnya dia ingin sekali ikut pergi.

“Caca mau ikut?” Thio menawarkan sambil mengusap punggung tangannya.

“Caca gak akan ikut, ya? Kan kita juga mau liburan bareng Om Firdhan sama Om Rafa, iya kan? Caca udah janji, kan?” jawab Vinda meyakinkan cucunya tersebut.

Sepertinya Caca berubah pikiran dari ajakan Mama Vinda tadi pagi.

“Jangan nyesel lho kalau ikut sama ayah, soalnya ayah gak banyak main kalau liburan, gak seru. Beda lagi kalau sama Om Firdhan sama Om Rafa, Caca diajak main sepuasnya, beli cake sepuasnya, belum lagi mainan yang bagus. Apalagi kan kita mau ke pantai juga, Caca kan selalu bilang sama Om, kalau Caca mau ke pantai,” bujuk Firdhan agar Caca tidak berubah pikiran.

“Inget gak kalau Om juga janji buat beliin Caca mainan baru? Terus beliin tas baru buat Caca sekolah, yang ini?” Rafa sambil melihatkan ponselnya melihatkan tas kesukaan Caca yang sangat lucu.

Rafa dan Firdhan kembali kompak demi membujuk Caca dengan mengenyampingkan masalah pribadi mereka.

Di sana Caca kembali meluluh dan mengangguk tanda setuju untuk pergi liburan bersama mereka dibandingkan sama orang tuanya.

“Ayah ... ibu ... hati-hati,” “Katanya ayah sama ibu mau jemput adik bayi, ya?” “Jangan lupa telfon Caca ke handphone nenek kalau sudah sampai di sana” ucap Caca yang masih lemas.

Thio hanya mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca hingga meneteskan air mata karena takjub dengan putrinya yang tumbuh begitu cepat dan pengertian layaknya orang dewasa.

“Dih nangis, NGAHAHA,” ejek Firdhan mencairkan suasana kembali.

“Udah mau anak dua, kok masih cengeng?” sambung Aliesha sambil tersenyum dan mengusap air mata Thio dengan tangannya kemudian memeluknya singkat.

“Yaaah makin nangis,” Firdhan kembali mengejek sedangkan Rafa dan Vinda hanya bisa tertawa yang disertai haru.

“Ayah mana yang tega ninggalin anaknya yang lagi sakit begini?”

“Eh kata siapa Caca sakit? Caca udah sehat ya?” “Caca? coba peluk dulu ayahnya?” Pinta Firdhan.

Caca hanya mengangguk sambil tersenyum dan memeluk ayahnya tersebut.

“Peluk juga ibunya,” pinta Firdhan lagi.

Caca dan Aliesha saling memeluk erat dan Aliesha mulai menangis bahagia di sana, karena Aliesha merasakan kalau Caca sudah menerima sepenuhnya bahwa dirinya adalah seorang ibu. Disusul Thio yang ikut kembali memeluk anak dan istrinya tersebut kini mereka saling memeluk menyalurkan rasa sayang mereka. Disusul Firdhan, Rafa, dan juga Vinda, menyalurkan kehangatan keluarga yang sebelumnya tidak pernah sehangat ini.

END.

Aliesha terus memainkan ponsel suaminya untuk membalas pesan Firdhan karena Thio sedang fokus menyetir mobil.

“Yah, aku boleh pap muka aku gak ke Firdhan?” sambil memainkan kamera ponsel tersebut.

Thio melirik ke arah Aliesha yang sedang asyik berfoto dengan ekspresi gemasnya.

“Foto yang banyak sayang, tapi yang dikirim ke Firdhan jangan foto kamu.”

“Ya terus?”

“Foto saya saja yang dikirim, enak saja si Firdhan!”

“AHAHAHA cemburu kok sama Firdhan,”

“Kamu gak tau aja Firdhan kayak apa? Dibilangin dia gak pernah nunjukin suka sama cewek segitunya lho,” ungkap Thio dengan rasa kesal yang memuncak. “Firdhan chat aneh-aneh nih pasti, sini pinjem dulu bentar,” pinta Thio, mobilnya ia hentikan sejenak di pinggir jalan. “Modus banget ni anak,” celoteh Thio sambil menyerahkan kembali ponselnya terhadap Aliesha. Sedangkan Aliesha hanya tertawa karena melihat suaminya tersebut yang sedang terbakar api cemburu.

Tidak lama kemudian mereka berdua telah sampai ditempat tujuan.

“Yeay sampai juga, ih tapi aku degdegan,” ungkap Aliesha sambil membuka pintu mobilnya, namun tangan Aliesha di tahan oleh Thio.

Kiss dulu,” pinta Thio manja.

Aliesha hanya menatap Thio datar.

“Cup.” Aliesha mengecup sekilas bibir Thio.

“Gak kerasa.” Thio merengek kembali.

“Sisanya ntar di rumah, ayo cepet mereka udah nunggu lama lho,” ajak Aliesha sambil membuka pintu mobilnya dan menghiraukan permintaan Thio.

Sambil membuka seat belt Thio keluar dari mobil menyusul Aliesha.

“Pelan-pelan sayang,” ungkap Thio ketika melihat istrinya sedikit berlari karena tidak sabar untuk menemui Caca dan beberapa keluarga lainnya.

Setibanya di sana, pengantin baru tersebut disambut hangat oleh keluarga Mahatma.

“Ayah ....” panggil Caca terus menatapnya, rasa ingin menghampiri namun kekuatan badan masih terlalu lemah.

“Ya ampun anak ayah udah sehat, ya? Gimana masih ada yang sakit gak?” Tanya Thio sambil terus mengecup wajah anaknya tersebut.

Aliesha hanya bisa tersenyum melihat aksi keduanya. Caca teralihkan ketika melihat apa yang sedang dibawa oleh Aliesha.

“Jangan sakit-sakitan terus, ya? Ini hadiah buat Caca karena udah jadi anak hebat,” ungkap Aliesha sambil ikut mengelus rambut Caca, sedangkan anaknya hanya bisa mengangguk patuh.

“Bilang apa dulu sama ibu?”

“Makasih, ibu. Caca suka hadiahnya,” ungkap Caca dan memeluk erat hadiah tersebut yang berupa boneka besar.

“Sama-sama sayang.”

“Ah anjir keluarga cemara teh bener we inimah,” celoteh Firdhan.

“Firdhan, gak boleh ngomong kasar depan anak kecil!” ungkap Vinda mengingatkan.

“Ehehe,” semua orang hanya bisa tertawa melihat kelakuan Firdhan.

Kemudian fokus Vinda teralihkan ketika melihat Rafa yang terus memainkan ponselnya dibandingkan fokus untuk memakan makanannya. “Rafa dari tadi senyum-senyum terus sambil lihat ponsel, chat siapa, nak?”

“Maaf, ma,” jawab Rafa dan menyimpan ponselnya di dekat piring yang ia gunakan.

“Gak usah minta maaf, mama juga pernah ada masanya seperti itu, kok,” “Kenalin dong sama mama,” tanya Vinda sambil memotong steiknya untuk ia lahap.

“Iya ma, nanti Rafa bawa Almira ke rumah,” balas Rafa refleks menyebutkan nama perempuannya.

“Oh Almira namanya? Kok seperti tidak asing, ya?”

“Oh, ya? Jangan-jangan mama pernah ketemu sama dia?”

“Sepertinya?”

“Oh mungkin namanya saja yang mirip,” balas Rafa yang kini fokus memakan makanannya.

“Mama ingat! Mama ingatnya Almira teman Firdhan tapi,” celetuk Vinda yang membuat aksi Rafa terhenti.

“Firdhan?” Rafa terkejut. “Lagi?!” batin Rafa menggerutu.

“Iya, mama lihat Firdhan bonceng Almira itu malem-malem kan? Yang pas mama tanya tuh, kalian baru beres makan di salah satu rumah makan, kan?” Tanya Vinda terhadap Firdhan.

Suasana menjadi serius ketika Firdhan tiba-tiba tidak lagi bercanda sedangkan Rafa hanya menunduk terlihat sedang menahan amarah yang sepertinya ada satu urusan dengan Firdhan perihal perempuan tersebut.

Thio terus mengamati sikap Rafa dan Firdhan yang begitu canggung untuk dilihat saat ini.

“Udah ma, jangan ganggu anak muda, mau siapapun itu yang penting itu kan itu urusan mereka,” ungkap Thio agar tidak ada lagi kecanggungan seperti saat ini.

“Mama gak ganggu, bebas saja silakan, asalkan jangan melewati batas, tapi yang mama takutkan Rafa ataupun Firdhan memutuskan untuk menikah muda seperti kamu, mama kurang setuju tentang itu,” ungkap Vinda tiba-tiba membahas tentang pernikahan.

“Apa salahnya menikah muda? Selama Rafa sama Firdhan sanggup untuk menafkahi anak dan istrinya?”

“Mama gak mau kalau nanti nasibnya seperti kamu nak, terlalu terburu-buru menikah namun pada akhirnya?”

“Ma, jangan samakan nasib Thio sama mereka berdua lah, siapa juga yang mau menikah muda diantara mereka, Rafa sama Firdhan gak ada yang bilang mau menikah mudah juga, kan?”

Thio bertatap dengan Rafa teringat dengan pesan terakhirnya sebelum datang ke sini yang membahas tentang keinginan Rafa untuk menikah muda.

“Kalaupun diantara mereka mau, ya silakan saja, Thio gak keberatan, kita sebagai keluarga gak boleh dong menghalangi kebahagiaan mereka?”

“Tapi mama kurang setuju, mama takut anak mama kejadian seperti itu lagi, bukannya kita harus belajar dari sebelum-sebelumnya?”

“Iya Thio ngerti apa maksud mama, udah bahas yang lain aja, jadi kemana-mana gini bahasannya.”

Mereka melanjutkan acara makan-makan lagi namun masih tanpa gurauan Firdhan. Firdhan menjadi pendiam, begitu juga dengan Rafa, suasana diantara mereka berubah menjadi tegang.


“Ayah mau liburan, ya?” tanya Caca tiba-tiba.

Thio terkaget refleks melihat ke arah anaknya begitupun dengan Aliesha.

“Engg—” Vinda memotong pembicaraan Thio.

“Iya, Caca sayang. Ayah mau liburan dulu sama ibu, satu Minggu ditinggal gapapa, ya?” sela Vinda.

“Ma?”

“Kapan lagi, Yo. Mama udah berusaha keras lho buat bujuk Caca, karena biar tidak ikut sama kalian.”

Thio melihat mata Caca yang mulai berkaca-kaca karena sebenarnya dia ingin sekali ikut pergi.

“Caca mau ikut?” Thio menawarkan sambil mengusap punggung tangannya.

“Caca gak akan ikut, ya? Kan kita juga mau liburan bareng Om Firdhan sama Om Rafa, iya kan? Caca udah janji, kan?” jawab Vinda meyakinkan cucunya tersebut.

Sepertinya Caca berubah pikiran dari ajakan Mama Vinda tadi pagi.

“Jangan nyesel lho kalau ikut sama ayah, soalnya ayah gak banyak main kalau liburan, gak seru. Beda lagi kalau sama Om Firdhan sama Om Rafa, Caca diajak main sepuasnya, beli cake sepuasnya, belum lagi mainan yang bagus. Apalagi kan kita mau ke pantai juga, Caca kan selalu bilang sama Om, kalau Caca mau ke pantai,” bujuk Firdhan agar Caca tidak berubah pikiran.

“Inget gak kalau Om juga janji buat beliin Caca mainan baru? Terus beliin tas baru buat Caca sekolah, yang ini?” Rafa sambil melihatkan ponselnya melihatkan tas kesukaan Caca yang sangat lucu.

Rafa dan Firdhan kembali kompak demi membujuk Caca dengan mengenyampingkan masalah pribadi mereka.

Di sana Caca kembali meluluh dan mengangguk tanda setuju untuk pergi liburan bersama mereka dibandingkan sama orang tuanya.

“Ayah ... ibu ... hati-hati,” “Katanya ayah sama ibu mau jemput adik bayi, ya?” “Jangan lupa telfon Caca ke handphone nenek kalau sudah sampai di sana” ucap Caca yang masih lemas.

Thio hanya mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca hingga meneteskan air mata karena takjub dengan putrinya yang tumbuh begitu cepat dan pengertian layaknya orang dewasa.

“Dih nangis, NGAHAHA,” ejek Firdhan mencairkan suasana kembali.

“Udah mau anak dua, kok masih cengeng?” sambung Aliesha sambil tersenyum dan mengusap air mata Thio dengan tangannya kemudian memeluknya singkat.

“Yaaah makin nangis,” Firdhan kembali mengejek sedangkan Rafa dan Vinda hanya bisa tertawa yang disertai haru.

“Ayah mana yang tega ninggalin anaknya yang lagi sakit begini?”

“Eh kata siapa Caca sakit? Caca udah sehat ya?” “Caca? coba peluk dulu ayahnya?” Pinta Firdhan.

Caca hanya mengangguk sambil tersenyum dan memeluk ayahnya tersebut.

“Peluk juga ibunya,” pinta Firdhan lagi.

Caca dan Aliesha saling memeluk erat dan Aliesha mulai menangis bahagia di sana, karena Aliesha merasakan kalau Caca sudah menerima sepenuhnya bahwa dirinya adalah seorang ibu. Disusul Thio yang ikut kembali memeluk anak dan istrinya tersebut kini mereka saling memeluk menyalurkan rasa sayang mereka. Disusul Firdhan, Rafa, dan juga Vinda, menyalurkan kehangatan keluarga yang sebelumnya tidak pernah sehangat ini.

END.

“Jam segini chat siapa, sayang?” tanya Thio yang masih merapatkan matanya karena masih mengantuk.

Dengan refleks Aliesha menyimpan ponselnya tanpa membalas pesan Firdhan kembali. Dari posisi telentang, kini Aliesha menghadap ke samping kiri sehingga berhadapan dengan suaminya.

Kini mata Thio terbuka dan langsung bertatapan dengan Aliesha. Saling bertatapan selama beberapa detik, kini mereka pun saling melemparkan senyumannya dan kemudian saling memeluk satu sama lain.

“Maaf.”

“Buat?” tanya Thio dengan suara yang masih serak.

“Harusnya aku gak ikut pulang sama mama, jadinya Caca ditinggal ayahnya juga,” ungkap Aliesha memelas.

“Gapapa,” jawab Thio dengan mata kembali terpejam dan tangan yang mengelus rambut istrinya yang saat ini tertidur tepat di lengan atasnya.

Saat ini Aliesha sangat ingin menanyakan apakah Clara masih di sana atau tidak, tadinya ingin ia tanyakan kepada Firdhan namun Thio terbangun sehingga lupa untuk menanyakannya kembali.

“Ayah?”

“Hmm?”

”....” Aliesha memilih untuk tidak bertanya soal Clara lagi.

“Kenapa?” Thio masih terpejam di sana.

“Aku mau mandi sekarang aja deh,” ungkap Aliesha sambil terbangun dari dekapan Thio.

“Dingin, sayang.”

“Aku harus keramas, aku harus membersihkan diri nih, kan aku baru beres datang bulan juga.” Aliesha terbangun sambil menyelimuti suaminya tersebut.

“Oh udah selesai?” mata Thio terbuka dan mulai menggoda Aliesha.

“Ngapain senyum-senyum?” ungkap Aliesha sambil menutup kancing baju tidurnya.

“Boleh, ya?” tanya Thio lembut.

“Boleh apa?!” jawab Aliesha pura-pura tidak mengerti maksud Thio.

“Oh belum boleh?” keluh Thio.

“Iya, apa?” tanya Aliesha kembali.

Thio kikuk di sana, Aliesha senang rasanya menggoda Thio dengan wajah yang sudah memerah saat ini karena menahan malu.

Aliesha tersenyum kemudian mencium bibir Thio sesaat. “Cup,” “Gemes banget? Suami siapa sih?,” “Aku mandi dulu, ya? Kan mau siap-siap jemput Caca,” ungkap Aliesha sambil turun dari kasurnya.

“Bareng?”

“Ya iya bareng, kan ayah yang nyetir, kan?”

“Bukan itu?”

”....” Aliesha menengok ke arah Thio.

“Mandinya bareng ....” ungkap Thio yang kini sudah terbangun dari tidurnya.

“Gak ya! Ntar lama kalau berdua,” ungkap Aliesha yang sudah menenteng bathrobe.

“Ngapain?” tanya Aliesha ketika melihat suaminya juga ikut membawa bathrobe miliknya.

“Dibilangin berdua,” ungkap Thio sambil menarik lembut tangan istrinya untuk masuk ke dalam kamar mandi bersama dirinya. Sedangkan Aliesha hanya bisa tunduk pasrah atas perlakuan suaminya di dalam sana.

Thio dibuat panik karena Firdhan terus-menerus menelfon dirinya, akan tetapi setelah berhasil terhubung pasti akan terputus kembali karena kendala sinyal. Thio terus menghubungi keluarganya yang lain yang satu mobil dengan Firdhan namun hasilnya tetap sama yaitu tidak bisa dihubungi. Terus begitu sampai pada akhirnya Firdhan menelpon setelah lima belas menit tidak bisa dihubungi. Thio berkomunikasi dengan Firdan secara diam-diam karena takut istrinya ikut panik jika mengetahui hal tersebut.

”Fir? Gimana?”

“Iya, bang. Sorry baru nemu sinyal, ini udah di daerah Bandung nih.”

“Caca kenapa, Fir? Rumah Sakit tutup maksudnya apa? Bukannya Rumah Sakit buka 24 jam, ya?”

“Tadi gue panik, bang. Klinik aja gue sebut rumah sakit.” “Bang, inimah cuman ngasih tau aja, jangan ikutan panik ya, bang. Tadi diperjalanan Caca muntah-muntah, terus keluar darah juga, nah tadi pas nelfon tuh udah nemu klinik, tapi ternyata udah tutup, dokter di sini prakteknya cuman sampai jam sembilan malam.”

“Terus sekarang Caca gimana?”

“Udah ditangani sama Dokter, aman kok bang.”

“Gue minta izin istri sama mertua dulu, gue mau ke sana malem ini.”

“Caca udah baikan, bang. Gak perlu ke sini kata Mama Vinda.”

“Becanda lo Fir? Anak gue lagi sakit, anjir!”

Thio langsung mematikan sambungan telfonnya tanpa memedulikan Firdhan yang masih berbicara di sana.

Thio masuk kembali ke dalam kamar, di sana sudah ada Aliesha yang sedang membereskan semua kado agar tidak terlalu menumpuk. Thio menghampiri istrinya untuk duduk di tepi kasur.

“Sayang, ngantuk, ya?”

“Huum, terus kayak remuk banget ini badan, pegel-pegel juga,” ungkap Alieshaa mengeluh pada suaminya.

“Istirahat saja, barang-barang ini kan bisa dibereskan besoknya lagi,” ungkap Thio sambil terus memerhatikan Aliesha.

“Bentar lagi,” jawab Aliesha sambil menatap Thio sekilas kemudian kembali fokus terhadap barang-barang yang ia bereskan.

“Sayang?”

“Kenapa?”

“Ibu sama bapak sudah tidur belum, ya?”

“Belum lah, kan masih banyak yang diurus, kenapa emangnya?” jawab Aliesha dengan mata sayu karena terlalu lelah setelah acara pernikahannya pagi tadi yang berlangsung sampai sore. Belum lagi Aliesha sering kurang istirahat karena ikut andil alam mempersiapkan acara tersebut. Melihat itu, Thio tidak mungkin mengajak istrinya pergi ke Bandung dengan keadaan lelah seperti itu.

“Saya ke bawah dulu, ya? Kamu istirahat saja,” ungkap Thio sambil mengusap surai rambut istrinya lembut.

Merasa ada yang tidak beres, Aliesha mengikuti suaminya ke bawah untuk menemui orang tuanya di ruang keluarga. Namun, sedikit terlambat karena tiba-tiba saja ada telfon dari temannya yang meminta maaf karena sangat terlambat menghadiri pernikahannya, rencananya akan menemuinya malam ini sekalian memberikan kado pernikahan secara langsung. Setelah selesai menelfon, kini Aliesha menyusul suaminya ke bawah karena rasa penasarannya. Di bawah sana suasananya berubah menjadi sangat serius.

“Teteh siap-siap dulu, ya? Hari ini ke Bandung temani suami kamu,” pinta Ibunya Aliesha dengan raut wajah panik.

“Bu, Yaya gak perlu ikut, kasian, dia harus istirahat malam ini, besok saya ke sini lagi kok, pagi-pagi kalau perlu,” pinta Thio.

Sedangkan Aliesha masih bingung apa yang mereka bahas, sampai-sampai Thio harus kembali ke Bandung hari ini.

“Teteh bisa istirahat di mobil kan, ya? Teteh ikut saja, kasian juga Nak Thio kalau harus bolak-balik ke sini,” ungkap Ibunya Aliesha bersikukuh.

Sedangkan Aliesha masih bingung dengan keadaan ini, akhirnya Thio menjelaskan keadaan Caca pada Aliesha, Thio meminta pengertian bahwasannya untuk malam ini dirinya harus pergi ke sana karena bagaimanapun dirinya adalah seorang ayah bagi Caca yang sedang terkapar lemah di rumah sakit. Mendengar itu Aliesha langsung ikut panik dan memutuskan untuk pergi bersama suaminya.

“Ayo kita berangkat sekarang!” ungkap Aliesha kemudian pergi ke kamarnya untuk menyiapkan beberapa barang penting untuk dibawa.

Tidak butuh waktu lama, Aliesha menyiapkan barang yang harus di bawa, kemudian memakaikan jaket untuk suaminya, lalu mereka berangkat untuk menemui Caca. Rasa kantuk yang menerpa Aliesha seketika langsung hilang, terus menghubungi Rafa dan Firdhan untuk memastikan kabar anak sambungnya tersebut.


Thio dan Aliesha kini sudah sampai di rumah sakit tempat Caca di rawat. Mereka tiba sekitar pukul satu dini hari. Pengantin baru tersebut langsung menghampiri Mama Vinda, Rafa, dan Firdhan yang masih setia menunggu di sana.

“Ma, Caca gimana sekarang?”

“Dibilangin baik-baik saja, kan cucu Mama mah hebat,” jawab Mama Vinda dengan sedikit bercanda, agar Thio tidak terlalu khawatir.

“Syukurlah ... Firdhan, Mama, sama Rafa boleh pulang sekarang, terima kasih sebelumnya karena sudah mau direpotkan,” ungkap Thio.

Mereka bertiga tidak langsung pulang karena masih lelah dengan perjalanan dari rumah Aliesha. Mereka memilih pergi ke supermarket yang buka dua puluh empat jam untuk memanjakan perut mereka terlebih dahulu.

Sedangkan keadaan di dalam kamar pasien ada Aliesha menungu Caca yang kini sudah terbangun.

“Caca, sayang, gimana sekarang udah enakan perutnya?” tanya Aliesha hati-hati, digenggamnya tanga Caca oleh Aliesha namun ditepis oleh Caca yang cukup membuat Aliesha terkaget.

“Sayang, kenapa kasar sama ibu?!” ungkap Thio yang baru kembali setelah menyelesaikan urusannya dari administrasi.

“Gak usah teriak kan bisa, wajar namanya juga anak kecil,” ungkap Alisha terhadap Thio.

Thio menghampiri anaknya tersebut dan langsung menanyakan kedaan yang dirasakan oleh anaknya.

“Bunda ...” ungkap Caca tiba-tiba.

Thio sudah tahu maksud Caca ia menanyakan siapa, sudah biasa jika Caca merasa sakit pasti yang diingatnya adalah Clara, karena biasanya Clara selalu hadir jika Caca sedang sakit berat.

“Karena sudah malam, jadi bunda enggak bisa datang dulu, sekarang sama ibu dulu, ya?” ungkap Thio memberi pengertian terhadap anaknya tersebut.

“Bunda mana, ayah! Caca maunya sama bunda, bukan sama ibu!” Jerit Caca mulai menangis.

“Besok ayah telfon bundanya, sekarang ditemenin ibu dulu, ya?”

“Caca gak mau sama ibu! Maunya sama bunda, ayaaah!” jerit Caca.

“Ca!” balas Thio dengan intonasi cukup tinggi.

Aliesha mendekat sehingga berada di samping Thio. “Jangan keras-keras, Caca kan lagi sakit, pasti lebih sensitif untuk sekarang,” ungkap Aliesha berusaha mengerti kondisi Caca saat ini sambil terus menenangkan Thio dengan mengusap punggungnya.

“Caca mau ke rumah bunda, sekarang!!!”

“Ca ... tolong ...” lirih Thio.

Tidak lama kemudian seseorang masuk ke ruangan tersebut dan langsung memeluk Caca.

“Clara?” Thio terperanjat karena tiba-tiba saja Clara datang padahal dia sendiri tidak memberitahunya.

“Ya ampun anak bunda, katanya janji gak akan sakit lagi, anak bunda kan kuat, ya?” Clara langsung menyapa dan memeluk serta mencium putrinya tanpa henti.

Mata Clara dan Aliesha sempat beradu pandang, baru saja Aliesha akan menyapanya namun Clara terlihat sangat dingin, tidak ada senyum ramah maupun saling menyapa, Clara langsung memalingkan wajahnya dan fokus kembali terhadap anaknya.

Entah perasaan Aliesha saja, kalau Clara yang ia kenal tidak pernah bersikap dingin seperti ini, setiap beradu pandang malah raut wajah datar yang Clara lemparkan terhadap Aliesha. Perasaan Aliesha sudah tidak enak, maka dirinya memutuskan untuk ke luar ruangan secara diam-diam dan memilih duduk di kursi tunggu sendirian. Suara mereka masih terdengar jelas oleh Aliesha, namun mendengar itu cukup membuat hati kecil Aliesha merasa sakit karena melihat kebersamaan mereka. Aliesha merasa seperti orang asing ketika berada di tengah-tengah mereka, padahal dia sendiri sudah berstatus sebagai istri sahnya Thio Mahatma.

“Ayaaah ...” panggil Caca.

“Hmm?”

“Caca pengen pulang ke rumah.”

“Rumah bunda?”

“Rumah Ayah ... tapi pulangnya sama bunda, kita tidur bertiga lagi di kamar ayah,” pinta Caca.

Thio hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan sambil menutup matanya sebagai isyarat kalau dirinya tidak bisa lagi seperti itu. Melihat reaksi seperti itu, Clara langsung menangis dan memeluk Clara.

“Ayah jahat, bundaa,” lirih Caca.

“Ayah gak jahat, sayang, jangan nangis, ya? Sekarang Caca istirahat dulu, kan udah ada bunda yang tungguin Caca di sini, jangan nangis lagi ... nanti kita tidur bertiga, ya?” ungkap Clara membujuk putrinya tersebut agar tidak menangis kembali.

Sedangkan Thio hanya tidak isa berkata-kata terhadapnya, kok bisa di malam pertama pernikahannya dia malah membujuk putrinya seperti yang putrinya mau padahal kondisinya sudah tidak seperti dulu lagi sedangkan Clara mengucapkan itu hanya agar putrinya lebih tenang lagi. Clara berbicara seperti itu tanpa memikirkan perasaan seseorang yang terduduk di bangku tunggu sendirian, mendengarkan pembicaraan mereka. Di satu sisi juga ternyata ada seseorang yang memerhatikan Aliesha dari jauh, enggan menghampiri karena sepertinya Aliesha sedang ingin sendirian, dan sedang tidak mau di ganggu.

Aliesha beranjak dari kursi tunggu tersebut dan memilih berjalan-jalan ke kantin yang memang sudah kosong, karena biasanya pegawai kantin akan beroperasi pukul enam pagi sampai jam tujuh malam. Aliesha terduduk di kursi dan langsung mengeluarkan ponselnya. Ada beberapa pesan dari grup yang berisi Vina dan Dinda yang sedang memastikan kalau mereka seperti bertemu dirinya di Bandung, Aliesha menjelaskan kehadirannya dan memang benar adanya kalau dirinya sudah berada di tempat tersebut.

Tidak lama kemudian Aliesha menangis sambil terus membalas pesan tersebut hingga tangisan tersebut mulai mereda ketika beberapa pesan yang temannya sampaikan cukup membuat Aliesha mengerti atas semuanya, sehingga tidak ada yang harus disalahkan dari posisi ini.

Seseorang yang terus memerhatikan Aliesha dari tadi, kini berniat menghampirinya namun ditahan oleh seseorang.

“Biar mama saja, Fir?” ucap Mama Vinda yang juga menyaksikan Aliesha menangis sedari tadi.

“Mama?”

“Kamu siapkan saja mobilnya, kita pulang bareng Yaya.”

“Bang Thio?”

“Cepat Firdhan, kamu harus menyetir, di mobil sudah ada Rafa.”

Vinda kini menghampiri Aliesha yang sudah selesai dengan tangisannya, sekarang hanya menatap kosong ke arah depan sana, berpikir kenapa dirinya bisa sensitif seperti ini, apakah karena sedang mengalami menstruasi yang memang hormonnya sedang tidak stabil atau memang egonya saja yang terlalu tinggi?.

“Yaya, masuk mobil sekarang, ya? Kita pulang ke rumah dulu, pagi kita ke sini lagi,” ungkap Vinda secara langsung agar tidak membuat Aliesha curiga bahwasanya dirinya menyaksikan Aliesha menangis.

“Duluan saja, ma. Yaya mau temenin Caca dulu di sini.”

“Nurut sama mama satu kali ini saja, kamu kan capek habis ada acara tadi siang, belum lagi kamu kurang tidur, kurang istirahat juga.” Vinda memaksa Aliesha dengan langsung membawanya ke dalam mobil.

Karena Aliesha tidak bisa mengelak lagi, maka dirinya langsung memberikan pesan terhadap Thio agar tidak mencari dirinya. Pesan yang ia kirim belum Thio baca sepertinya, karena masih tidak ada respon apa-apa.


Sesampainya di rumah Thio, Aliesha langsung menuju kamar utama yang sudah dibereskan sebelumnya oleh bibi. Aliesha masih berharap kalau pesannya akan Thio balas, namun sepertinya suaminya tesebut masih sibuk di sana. Baru saja akan mengabari Thio kembali, ponselnya habis baterai karena sedari tadi Aliesha tidak sempat untuk mengisi daya ponselnya tersebut. Sambil menunggu baterai terisi, Aliesha langsung membersihkan diri di kamar mandi, selesai itu dirinya lupa menghidupkan ponsel dan memilih untuk merebahkan diri sebentar sebelum menelfon suaminya untuk mengetahui kabar Caca saat ini.

Tidak lama kemudian Thio datang ke rumah untuk menyusul Aliesha setelah diberi tahu Firdhan kalau Aliesha pulang bersama dirinya. Thio bertemu Mama Vinda yang sedang duduk di sofa ruang keluarga sendirian.

“Mama kok gak balas pesan Thio, padahal mama belum tidur?” tanya Thio sambil mencari sosok Aliesha.

“Mau kemana?” tanya Vinda sinis.

“Thio masuk kamar dulu, ya. Ma?”

“Berhenti menghubungi Clara.”

“....”

“Kenapa Clara tiba-tiba tertarik dengan anaknya ketika kamu sudah mempunyai keluarga sendiri?” “Bukankah dari dulu Clara memang sukanya menelantarkan anaknya? Kenapa harus sekarang?”

“Ma, dia masih ibu kandung Caca.”

“Jangan terus berhubungan dengan wanita picik itu, kalau Caca ingin ketemu dia, biar mama yang urus, mama yang akan pertemukan mereka.”

“Ma ....”

“Sekarang kamu masuk kamar, istirahat dengan istri kamu, mama yang akan kembali ke rumah sakit untuk menemani cucu mama.”

“Thio saja yang menemani Caca, terlalu bahaya untuk wanita keluar malam-malam begini. Thio berangkat lagi setelah memastikan Yaya istirahat.”

Vinda tidak mengatakan apapun lagi, dirinya langsung pergi ke kamar dengan menampakkan raut wajah kecewa terhadap putranya tersebut.


Thio membuka pintu kamarnya dengan pelan, masuk ke dalam dengan hati-hati dikarenakan takut membuat istrinya terbangun. Aliesha tertidur dengan tanpa menggunakan selimut, tertidur menyamping menghadap kiri, tertidur tanpa selimut. Thio terduduk di pinggir kasur dekat Aliesha, ditatapnya wanita tersebut, kemudian mengelus pucuk rambut istrinya, kemudian tidak lama kemudian dirinya beranjak dari duduknya dan menyelimuti istrinya, kemudian tubuh Thio mendekat untuk mencium dahi istrinya yang sedang tertidur pulas.

“Sayang, maaf ... saya terlalu bodoh, bodoh karena tidak bisa memahami perasaan kamu, saya gagal menjaga perasaan kamu, sayang ...” “Besok saya harus meminta pengampunan karena saya telah menyakiti hati kamu,” “Saya harap, kamu mau mengampuni saya ....”

Thio terus menyesali perbuatannya malam ini terhadap Aliesha istrinya.

Tidak lama kemudian Clara menelfon Thio, dengan cepat dirinya bergegas untuk kembali ke rumah sakit.

Sebetulnya Aliesha tidak tertidur, dirinya mendengarkan semua ungkapkan Thio begitupun saat Clara menelfon dirinya agar cepat-cepat kembali ke rumah sakit, namun tubuh Aliesha telalu lelah untuk bangun dari tidurnya.

Setelah mendengar bunyi klakson mobil laki-lakinya, kini Aliesha langsung berlari ke luar rumah untuk menghampiri Thio yang sedang memasukkan mobil ke dalam garasi. Setelah selesai membereskan perkara mobil, Thio sadar akan kehadiran Aliesha di sana. Rasa lelah yang Thio rasakan hari ini seolah-olah langsung hilang begitu saja saat melihat wajah Aliesha tersenyum padanya.

Aliesha langsung menghampiri Thio dan memeluknya karena menahan rindunya sejak pagi.

“Badan saya berkeringat, minta peluknya nanti saja ...” pinta Thio sambil mengusap rambut Aliesha.

“Dibilangin kangen,” rengek Aliesha.

Thio hanya bisa menatap wanitanya dan membalas pelukannya.

Kini mereka berjalan ke dalam rumah dengan tangan masih bergandengan serta sekali-kali Thio mengecup puncak kepala Aliesha.

“Tadi ngapain aja di kantor? Lama banget,” rengek Aliesha sambil menatap Thio dengan wajah cemberut.

Thio dan Aliesha masih berhadapan tepat di ruang tamu. Alih-alih menjawab, Thio hanya terus menatap Aliesha penuh arti.

“Kenapa?”

Thio hanya tersenyum, kemudian mengecup bibir Aliesha singkat.

“Cup.”

”....”

“Cup.”

Aliesha semakin tegang karena perlakuan Thio. Sedangkan Thio tidak bisa berhenti melihat dunianya tersebut, terlalu indah, sehingga Thio terus saja mengucap syukur dan di buat terharu atas semua kebahagiaan ini.

“Mau ke mana, Fir?” tanya Thio tiba-tiba dengan wajah memerah karena malu.

“Eh, bang. Gue mau ke luar bentar, pengen beli kopi dulu, mau nitip, gak?” jawab Firdhan pura-pura tidak melihat apa yang dilakukan dua orang yang sedang di mabuk asmara tersebut, sambil terus berjalan ke arah luar.

“Yang di rumah habis, Fir?”

“Lagi pengen yang lain, bang.”

“Oh iya.”

“Lagi? Nasib jomblo gini amat, Tuhan. Sumpah tujuan gue bukan mau beli kopi, gue pengen kencing sebenernya, gak tau aja gue gak bisa minum kopi, lambung gue masih perih anjir, tapi gara-gara bingung abis ngeliat mereka miring-miringin kepala, kepaksa lah nyari alesan, ini gue kudu kencing di mana jam segini? Dahlah mau ke kosan aja, sekalian tidur di sana, capek bolak-balik.”

Setelah mendengar bunyi klakson mobil laki-lakinya, kini Aliesha langsung berlari ke luar rumah untuk menghampiri Thio memasukkan mobil ke dalam garasi. Setelah selesai membereskan perkara mobil, Thio sadar akan kehadiran Aliesha di sana. Rasa lelah yang Thio rasakan hari ini seolah-olah langsung hilang begitu saja saat melihat wajah Aliesha tersenyum padanya.

Aliesha langsung menghampiri Thio dan memeluknya karena menahan rindunya sejak pagi.

“Badan saya berkeringat, minta peluknya nanti saja ...” pinta Thio sambil mengusap rambut Aliesha.

“Dibilangin kangen,” rengek Aliesha.

Thio hanya bisa menatap wanitanya dan membalas pelukannya.

Kini mereka berjalan ke dalam rumah dengan tangan masih bergandengan serta sekali-kali Thio mengecup puncak kepala Aliesha.

“Tadi ngapain aja di kantor? Lama banget,” rengek Aliesha sambil menatap Thio dengan wajah cemberut.

Thio dan Aliesha masih berhadapan tepat di ruang tamu. Alih-alih menjawab, Thio hanya terus menatap Aliesha penuh arti.

“Kenapa?”

Thio hanya tersenyum, kemudian mengecup bibir Aliesha singkat.

“Cup.”

”....”

“Cup.”

Aliesha semakin tegang karena perlakuan Thio. Sedangkan Thio tidak bisa berhenti melihat dunianya tersebut, terlalu indah, sehingga Thio terus saja mengucap syukur dan di buat terharu atas semua kebahagiaan ini.

“Mau ke mana, Fir?” tanya Thio tiba-tiba dengan wajah memerah karena malu.

“Eh, bang. Gue mau ke luar bentar, pengen beli kopi dulu, mau nitip, gak?” jawab Firdhan pura-pura tidak melihat apa yang dilakukan dua orang yang sedang di mabuk asmara tersebut, sambil terus jalan ke arah luar.

“Yang di rumah habis, Fir?”

“Lagi pengen yang lain, bang.”

“Oh iya.”

“Lagi? Nasib jomblo gini amat, Tuhan. Sumpah tujuan gue bukan mau beli kopi, gue pengen kencing sebenernya, gak tau aja gue gak bisa minum kopi, lambung gue masih perih anjir, tapi gara-gara bingung abis ngeliat mereka miring-miringin kepala, kepaksa lah nyari alesan, ini gue kudu kencing di mana jam segini? Dahlah mau ke kosan aja, sekalian tidur di sana, capek bolak-balik.”

Mata Thio mulai memanas ketika mengetahui kalau Aliesha tidak bisa dihubungi sama sekali, terakhir berkomunikasi setelah meminta izin padanya tentang acara makan-makan dengan atasan barunya yaitu Adrian.

Hatinya semakin gundah karena di waktu hujan seperti ini Aliesha tidak ada kabar sama sekali, Thio berpikir jernih mungkin saja wanitanya tersebut handphone-nya mati jadi tidak bisa menghubungi dirinya, namun tetap saja pikiran buruk terus menghantui Thio, mengingat sekarang hujan deras disertai petir.

Thio terus berjalan ke sana kemari, antara langsung menjemput atau menunggu sedikit reda terlebih dahulu. Dirinya semakin gusar, dan langsung membawa payung dan kunci mobil untuk menjemput Aliesha.

Tidak lama kemudian sorot lampu mobil mengarah ke rumah tersebut. Iya, Aliesha pulang di antar oleh seseorang yang tidak lain yaitu atasannya, Adrian. Thio terus memastikan, kemudian seseorang turun dari mobilnya yang bersikeras membuka pintu gerbang rumah Thio, rupanya Adrian tidak menyiapkan payung untuk Aliesha turun dari mobil. Melihat itu, Thio langsung berlari ke arah gerbang dengan payung besarnya. Semua pakaian Aliesha basah, karena air hujan yang mengenai dirinya.

“Susah, ya?” ungkap Thio sambil membuka pintu gerbangnya, pintu tersebut agak sulit dibuka dari luar, akan mudah terbuka jika dilakukan dari dalam, karena di design seperti itu agar orang lain tidak mudah masuk ke rumah tersebut.

Aliesha hanya mengangguk di sana dengan keadaan menggigil karena kedinginan. Akhirnya, Thio membuka gerbang tersebut dan langsung menghampiri Aliesha yang sudah basah kuyup. Diraihnya tangan Aliesha agar mendekat dengan dirinya untuk meneduhkan dirinya.

Thio terus memegang tangan Thio sambil menghampiri Adrian.

“Terima kasih sudah antar, Yaya. Mau mampir dulu? Hujannya deras lho, jalanan pasti licin juga,” teriak Thio mengucapkan terima kasih dan mengajak Adrian berteduh dirumahnya.

“Tidak usah pak, saya juga ingin cepat sampai rumah,” balas Adrian diiringi tawa.

“Saya tidak hanya basa-basi, pak. Beneran saya ajak ke dalam nih, ngopi dulu sebentar lah minimal,” gurau Thio.

“Iya pak, terima kasih sebelumnya, maaf juga, Aliesha jadi basah kuyup begitu, saya lupa gak bawa payung, maaf ya, pak?” Ungkap Adrian.

“Iya, tidak apa-apa, hati-hati di jalan.”

“Baik, pak.”

Kini mobil Adrian melaju kembali untuk meneruskan perjalanannya agar sampai rumah.

“Ayo sayang, masuk,” ajak Thio masuk.

“Diam dulu sebentar,” pinta Thio datar, kemudian langsung pergi mengambil handuk besar untuk Aliesha.

“Iya,” balas Aliesha pelan sambil terus menatap laki-lakinya.

Thio menyerahkan handuk tersebut tanpa menatap wanitanya.

“Langsung mandi, nanti kamu flu, selesai kamu mandi nanti kita makan malam,” pinta Thio masih dengan wajah datarnya.

Sebenarnya Aliesha sudah kenyang karena baru saja pesta makan-makan di kantor, namun karena melihat reaksi Thio seperti itu, Aliesha menyetujui permintaannya.

Aliesha melangkah pelan, ke dalam kamarnya, terus membuka blazer-nya. Diam sejenak, kini Aliesha menghampiri Thio kembali. Ada perasaan yang tidak enak, dan rasanya Aliesha ingin menyelesaikannya sekarang.

Thio hanya menatap hujan, dengan tatapan melamun entah berpikir, dia berniat ingin memasukkan mobil yang tadi dikeluarkan Thio untuk menjemput Aliesha, tapi hujan masih deras.

“Pak ...” Tanya Aliesha pelan, sambil menenteng handuknya.

Thio menengok ke arah Aliesha namun langsung memalingkan wajahnya sambil mengambil handuk dari tangan Aliesha untuk menutupi bagian dada yang menjiplak jelas pakaian dalamnya akibat kaos putih yang sudah basah karena air hujan.

“Pak ...” Ungkap Aliesha sambil terus menatap Thio.

“Kenapa belum mandi, Yaya?”

“Tadi handphone aku mati, terus Kak Adrian ajak aku pulang, kebetulan satu arah juga,” ungkap Aliesha berusaha menjelaskan.

“Nanti saja ngobrolnya, kamu mandi dulu, ya?”

“Kenapa? Marah? Gara-gara aku pulang sama Kak Adrian?”

“Sayang, mandi dulu.”

“Tadinya aku mau ikut charger di mobilnya Kak Adrian, tapi aku gak bawa, terus mau coba hubungi bapak lewat handphone beliau, tapi sama handphone-nya juga abis baterai.”

“Yaya?”

“Iya, ini aku, kenapa?”

“Karena kita belum dalam ikatan serius, kamu boleh kok memutuskan untuk pulang dengan siapa, bahkan kalau kamu harus memilih dia, saya maklum, toh saya juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau ini keputusan kamu,” “Kamu berhak untuk memilih dia sebagai calon sua—”

Ucapan Thio terpotong karena tiba-tiba saja Aliesha mengecup bibir Thio.

Di sana Thio hanya mematung karena terkejut atas tindakan Aliesha.

“Bisa kan gak berpikir lagi seolah-olah aku ini ragu sama bapak?” “Aku udah berusaha meyakinkan diri aku untuk keputusan ini,” “Kalau aku ragu, pasti aku gak akan mungkin tinggal di sini bareng bapak, bahkan saat diantar laki-laki lain pun, aku masih menuju ke rumah yang ini, bukan apartemen aku,” “Coba bayangkan sakit hatinya aku, ketika bapak menyangka kalau aku mengharapkan Kak Adrian,” “Tolong ...” Ungkap Aliesha sambil menunduk disertai emosi.

Mata Thio memerah, mulai berkaca-kaca atas ungkapan Aliesha yang begitu yakin atas dirinya.

Thio mendekatkan tubuhnya dengan Aliesha, tangan kirinya melingkar di pinggang wanitanya, sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk memegang bagian belakang kepala Aliesha kemudian memejamkan mata dan langsung melumat bibir wanitanya dengan lembut tanpa jeda.

“Jangan di sini ...” ungkap Aliesha melepaskan ciumannya.

“Kenapa?”

“Anak-anak belum pulang ....”

“Rafa sama Caca nginep di rumah mama.”

“Firdhan?”

“Sepertinya dia pulang ke kosan, soalnya sudah lewat jam sepuluh malam.”

Mereka tersenyum, kemudian melanjutkan aktivitas panas tersebut di tengah derasnya hujan di luar sana.

“Gak bang, gue gak pulang ke kosan, gue dari tadi menyaksikan adegan kalian depan pintu. Ngapain harus depan pintu sih anjir, gak ada tempat lagi apa yang lebih privasi. Salah gue juga sih malah pulang ke sini, bukannya ke kosan,” gerutu Firdhan dalam hati, kemudian melajukan motornya di tengah hujan untuk menuju kosannya.