Hujan
Mata Thio mulai memanas ketika mengetahui kalau Aliesha tidak bisa dihubungi sama sekali, terakhir berkomunikasi setelah meminta izin padanya tentang acara makan-makan dengan atasan barunya yaitu Adrian.
Hatinya semakin gundah karena di waktu hujan seperti ini Aliesha tidak ada kabar sama sekali, Thio berpikir jernih mungkin saja wanitanya tersebut handphone-nya mati jadi tidak bisa menghubungi dirinya, namun tetap saja pikiran buruk terus menghantui Thio, mengingat sekarang hujan deras disertai petir.
Thio terus berjalan ke sana kemari, antara langsung menjemput atau menunggu sedikit reda terlebih dahulu. Dirinya semakin gusar, dan langsung membawa payung dan kunci mobil untuk menjemput Aliesha.
Tidak lama kemudian sorot lampu mobil mengarah ke rumah tersebut. Iya, Aliesha pulang di antar oleh seseorang yang tidak lain yaitu atasannya, Adrian. Thio terus memastikan, kemudian seseorang turun dari mobilnya yang bersikeras membuka pintu gerbang rumah Thio, rupanya Adrian tidak menyiapkan payung untuk Aliesha turun dari mobil. Melihat itu, Thio langsung berlari ke arah gerbang dengan payung besarnya. Semua pakaian Aliesha basah, karena air hujan yang mengenai dirinya.
“Susah, ya?” ungkap Thio sambil membuka pintu gerbangnya, pintu tersebut agak sulit dibuka dari luar, akan mudah terbuka jika dilakukan dari dalam, karena di design seperti itu agar orang lain tidak mudah masuk ke rumah tersebut.
Aliesha hanya mengangguk di sana dengan keadaan menggigil karena kedinginan. Akhirnya, Thio membuka gerbang tersebut dan langsung menghampiri Aliesha yang sudah basah kuyup. Diraihnya tangan Aliesha agar mendekat dengan dirinya untuk meneduhkan dirinya.
Thio terus memegang tangan Thio sambil menghampiri Adrian.
“Terima kasih sudah antar, Yaya. Mau mampir dulu? Hujannya deras lho, jalanan pasti licin juga,” teriak Thio mengucapkan terima kasih dan mengajak Adrian berteduh dirumahnya.
“Tidak usah pak, saya juga ingin cepat sampai rumah,” balas Adrian diiringi tawa.
“Saya tidak hanya basa-basi, pak. Beneran saya ajak ke dalam nih, ngopi dulu sebentar lah minimal,” gurau Thio.
“Iya pak, terima kasih sebelumnya, maaf juga, Aliesha jadi basah kuyup begitu, saya lupa gak bawa payung, maaf ya, pak?” Ungkap Adrian.
“Iya, tidak apa-apa, hati-hati di jalan.”
“Baik, pak.”
Kini mobil Adrian melaju kembali untuk meneruskan perjalanannya agar sampai rumah.
“Ayo sayang, masuk,” ajak Thio masuk.
“Diam dulu sebentar,” pinta Thio datar, kemudian langsung pergi mengambil handuk besar untuk Aliesha.
“Iya,” balas Aliesha pelan sambil terus menatap laki-lakinya.
Thio menyerahkan handuk tersebut tanpa menatap wanitanya.
“Langsung mandi, nanti kamu flu, selesai kamu mandi nanti kita makan malam,” pinta Thio masih dengan wajah datarnya.
Sebenarnya Aliesha sudah kenyang karena baru saja pesta makan-makan di kantor, namun karena melihat reaksi Thio seperti itu, Aliesha menyetujui permintaannya.
Aliesha melangkah pelan, ke dalam kamarnya, terus membuka blazer-nya. Diam sejenak, kini Aliesha menghampiri Thio kembali. Ada perasaan yang tidak enak, dan rasanya Aliesha ingin menyelesaikannya sekarang.
Thio hanya menatap hujan, dengan tatapan melamun entah berpikir, dia berniat ingin memasukkan mobil yang tadi dikeluarkan Thio untuk menjemput Aliesha, tapi hujan masih deras.
“Pak ...” Tanya Aliesha pelan, sambil menenteng handuknya.
Thio menengok ke arah Aliesha namun langsung memalingkan wajahnya sambil mengambil handuk dari tangan Aliesha untuk menutupi bagian dada yang menjiplak jelas pakaian dalamnya akibat kaos putih yang sudah basah karena air hujan.
“Pak ...” Ungkap Aliesha sambil terus menatap Thio.
“Kenapa belum mandi, Yaya?”
“Tadi handphone aku mati, terus Kak Adrian ajak aku pulang, kebetulan satu arah juga,” ungkap Aliesha berusaha menjelaskan.
“Nanti saja ngobrolnya, kamu mandi dulu, ya?”
“Kenapa? Marah? Gara-gara aku pulang sama Kak Adrian?”
“Sayang, mandi dulu.”
“Tadinya aku mau ikut charger di mobilnya Kak Adrian, tapi aku gak bawa, terus mau coba hubungi bapak lewat handphone beliau, tapi sama handphone-nya juga abis baterai.”
“Yaya?”
“Iya, ini aku, kenapa?”
“Karena kita belum dalam ikatan serius, kamu boleh kok memutuskan untuk pulang dengan siapa, bahkan kalau kamu harus memilih dia, saya maklum, toh saya juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau ini keputusan kamu,” “Kamu berhak untuk memilih dia sebagai calon sua—”
Ucapan Thio terpotong karena tiba-tiba saja Aliesha mengecup bibir Thio.
Di sana Thio hanya mematung karena terkejut atas tindakan Aliesha.
“Bisa kan gak berpikir lagi seolah-olah aku ini ragu sama bapak?” “Aku udah berusaha meyakinkan diri aku untuk keputusan ini,” “Kalau aku ragu, pasti aku gak akan mungkin tinggal di sini bareng bapak, bahkan saat diantar laki-laki lain pun, aku masih menuju ke rumah yang ini, bukan apartemen aku,” “Coba bayangkan sakit hatinya aku, ketika bapak menyangka kalau aku mengharapkan Kak Adrian,” “Tolong ...” Ungkap Aliesha sambil menunduk disertai emosi.
Mata Thio memerah, mulai berkaca-kaca atas ungkapan Aliesha yang begitu yakin atas dirinya.
Thio mendekatkan tubuhnya dengan Aliesha, tangan kirinya melingkar di pinggang wanitanya, sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk memegang bagian belakang kepala Aliesha kemudian memejamkan mata dan langsung melumat bibir wanitanya dengan lembut tanpa jeda.
“Jangan di sini ...” ungkap Aliesha melepaskan ciumannya.
“Kenapa?”
“Anak-anak belum pulang ....”
“Rafa sama Caca nginep di rumah mama.”
“Firdhan?”
“Sepertinya dia pulang ke kosan, soalnya sudah lewat jam sepuluh malam.”
Mereka tersenyum, kemudian melanjutkan aktivitas panas tersebut di tengah derasnya hujan di luar sana.
“Gak bang, gue gak pulang ke kosan, gue dari tadi menyaksikan adegan kalian depan pintu. Ngapain harus depan pintu sih anjir, gak ada tempat lagi apa yang lebih privasi. Salah gue juga sih malah pulang ke sini, bukannya ke kosan,” gerutu Firdhan dalam hati, kemudian melajukan motornya di tengah hujan untuk menuju kosannya.