Pertemuan Pertama

Rey keluar dari ruangan BEM sambil memijat pelipisnya karena sedikit pusing akibat terlalu banyak kegiatan mulai dari perkuliahan yang dimulai dari pukul tujuh pagi, belum lagi ada praktikum di siang hari, kemudian dilanjutkan rapat program kerja untuk minggu depan di sore hari. Hari selasa adalah hari yang paling hectic untuk Rey, sehingga Rey sering kelelahan dan ketika pulang dari kampus pasti akan berujung dikamar sendirian untuk sekedar istirahat. Namun untuk kali ini Rey harus menyelesaikan urusan baru yaitu mengajak Alya untuk makan dengan dirinya dan yang paling penting adalah memberinya uang saku karena uang yang ia bawa pagi tadi sudah diambil oleh Dafa baik melalui transfer maupun tunai.

Dilihatnya Alya hanya duduk di kursi yang tersedia di koridor dekat ruangan BEM, dan fokus berkutat dengan ponselnya. Sebenarnya Alya hanya berpura-pura sibuk saja dengan ponselnya tersebut karena terlalu canggung dengan Rey, karena ini pertemuan pertama secara langsung.

Sorry Al, jadinya nunggu lama,” ungkap Rey sehingga yang dipanggil namanya langsung menoleh walaupun dengan tatapan canggung.

“Oh hi, Rey. Sans aja kali,” balas Alya santai demi menutupi rasa canggung tersebut. “Mana?” pinta Alya tiba-tiba sambil menyodorkan tangan kosongnya tanda meminta uang.

“Gini, Al. Tadi ada kepentingan mendadak, jadi uangnya dipake dulu buat itu.”

Alya sebenarnya tahu, karena penyebab uang yang ada di Rey itu ulah dirinya melalui Dafa yang tadi berpura-pura untuk mengganti mesin mobilnya.

“Kenapa gak bilang dari tadi, Rey. Tau gitu gue balik aja ke rumah,” ungkap Alya Kesal. Sengaja bersikap seperti ini karea tujuannya satu, yaitu Rey harus menyerah akan dirinya sehinggaa Alya akan kembali ke masa-masa kejayaan dalam hal keuangan.

“Iya, makannya ikut gue dulu, gue ambil dulu uangnya di rumah, Al. Nanti gue antar lo pulang, kok.”

“Udah lah gak usah, gue mau ke kantor papah aja.” Alya langsung berdiri namun ditahan oleh Rey.

“Gue minta maaf, Al. Kalau ini buat lo kesel.”

“Isoke.” Ungkap Alya ketus sambil memesan ojek online untuk pulang.

Tidak lama kemudian ponsel Alya mati dan cukup membuat dirinya lebih geram. “Anj—“ ucapan Alya terhenti ketika dilihatnya ada Rey sedang menatapnya dengan penuh rasa bersalah.

“Dibilangin ikut gue,” ungkap Rey sambil meraih tangannya untuk pergi bersama dirinya.

Langkah Alya berhenti tiba-tiba.

“Gue bawa helm dua kok, tadi Jeano nebeng ke gue karena moge dia mogok.”

Alya kembali berjalan dengan tangan masih digenggam Rey.

“Kayak pernah denger nama Jeano tapi dimana, ya?” gumam Alya pelan namun masih terdengar oleh Rey.

“Pasti sering lah, kita kan satu fakultas.”

“Enggak, di luar kampus maksudnya, tapi di mana gitu.”

“Naik dulu, nanti mikirnya di motor aja,” ungkap Rey sambil menghidupkan motor matic-nya.


Kini mereka berdua telah sapa di suatu tempat namun sepertinya bukan tempat tinggalnya Rey.

“Sini masuk, Al,” pinta Rey sambil menenteng helm yang baru saja ia gunakan.

“Siapa sayang?” tanya seorang wanita paruh baya dari dalam ruangan sana yang langsung menghampiri mereka berdua. “Ya ampun, Alya, ya?” ungkap Wenny antusias karena sudah terlalu lama tidak melihatnya lagi.

“Bun,” panggil Rey sambil mengulurkan tangannya untuk sekedar cium tangan, namun diabaikan oleh Wenny.

“Sini sayang duduk, buna siapin dulu makanan buat kalian, ya? Sebentar kok,” pinta Wenny terhadap Alya kemudian langsung meluncur menyiapkan makanan.

Alya belum sempat membalas sapaan Wenny, dirinya hanya bisa mematung menyaksikan kehebohan buna dari Rey tersebut.

“Makanannya wajib dihabiskan, jangan sampai ada sisa, ya?” ungkap Wenny sambil membawa nampan makanannya kemudian menatanya di meja.

“Makasih Buna Rey, ini beneran bakal nambah sih, soalnya makanannya menggoda banget dan ini kesukaan Alya semua,” ungkap Alya ceria.

“Boleh banget sayang, nanti buna bungkusin sekalian.”

“Wah boleh nih, tapi sayangnya gak akan kemakan juga, kan udah kenyang di sini,” ungkap Alya diiringi tawa. Wenny terus menyaut atas bercandaannya anak dari teman kuliahnya tersebut.

Rey hanya memerhatikan Alya dari tadi, ternyata wanita ketus seperti dia juga bisa bercanda gurau dan mempunyai sopan santun.

Posisi Rey dan Alya berhadap-hadapan, saat ini Alya makan sambil terus berbicara karena memuji makanan tersebut tanpa henti. Rey merasa melihat sisi lain dari Alya yang biasanya kasar dan temperamental kini terlihat gemas dibuatnya.

“Rey, puas banget makan di sini, kok gue baru tau sih ada tempat makan seenak ini?”

“Karena lo lagi laper, makannya semua makanan lo bilang enak.”

“Lo ngeremehin masakan buna lo? Durhaka banget anjir,” “Oh, iya,” “Biaya makan gue, potong aja dari duit yang ada di lo.”

“Gak perlu ada yang harus dibayar, sayang,” “Buna sakit hati loh dengernya,” teriak Wenny dari dapur sana.

“Tapi Alya makan banyak banget, bun.”

“Ya bagus, berarti kamu suka makanan buna.”

“Gak mau tau pokonya potong dari uang Alya yang ada di Rey, ya, bun.”

“Boleh, tapi kalau gitu jangan pernah lagi makan di sini,” tegas Wenny.

“Bun, kok gitu.”

“Fokus makan dulu aja sayang.”

“Yaudah, Alya mau ucapin makasih banyak buat buna, karena makanannya enak banget banget banget.”

“Sama-sama, besok ke sini lagi, ya? Nanti Rey yang jemput.”

“Besok Alya ada praktikum sampe sore bun, lain kali Alya mampir lagi kok.”

“Semoga ini bukan alasan kamu aja, ya, Alya.”

“Mana bisa Alya bohongin buna.”

Wenny hanya tersenyum di ujung sana.

Rey dan Alya kini bersiap untuk pulang, Alya merapikan meja terlebih dahulu kemudian yang paling utama yaitu tidak lupa memakai lipstik kembali karena luntur oleh makanan. Sedangkan Rey hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Alya memakai barang tersebut sabil mengomel karena lipstiknya sebentar lagi habis.

“Rey, sini dulu bentar, nak,” pinta Wenny dari kasir yang ada di sudut sana yang membuat atensi pada Alya kini teralihkan.

Sayup-sayup terdengar Wenny meminta bantuan terhadap Rey untuk mentransfer tagihan sesuatu yang sepertinya darurat. Di sini Rey hanya bisa menolak permintaan tersebut secara halus karena uang yang ada telah ia gunakan untuk membayar tas Alya dan juga uang tunai yang sedang Alya butuhkan. Tadinya Alya mau memberi tahu Rey untuk tidak meberikan uang padanya, namun takut menyinggung Rey karena pada saat Wenny meminta bantuan terhadap anaknya tersebut, Alya dan Rey sempat saling menatap tandanya Rey mengetahui kalau Alya tahu atas permintaan bunanya.