Bukan wanita namanya jika bukan perasa. Alya merasa gusar setelah melihat balasan seorang Dafa yang berubah pikiran akan rencana jalan-jalan dengan dirinya. Dari semalam Alya tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan Dafa. Sebetulnya akhir-akhir ini Dafa selalu muncul dipikirannya, sering tiba-tiba merindukan sahabatnya tersebut dan bahkan sampai terbawa mimpi.
Bangun lebih pagi dari biasanya Alya langsung pergi ke kamar mandi dan menyiapkan baju untuk pergi, walaupun janji sudah dibatalkan namun apa salahnya jika mencari tahu secara langsung dari pada lewat pesan yang tak kunjung dibalas oleh Dafa.
John dibuat heran dengan putrinya tersebut, satu hal yang mustahil hari liburnya tidak digunakan untuk tidur seharian demi energinya terisi penuh kembali untuk mengerjakan laporan mingguannya nanti.
“Papah antar jangan, kak?” tanya John yang kini tangannya sibuk mengaduk-ngaduk kopi dengan sedikit gula sambil berjalan ke ruang keluarga untuk menonton televisi.
“Gak usah,”
“Papah nanti kakak omelin yang panjang, karena gak berhenti minum kopi padahal asam lambung lagi naik,” ungkap Alya sibuk memakaikan sepatunya dengan cepat. John hanya tersenyum melihat puterinya mulai mengomel kembali. Sudah lama John tidak mengobrol dengan anaknya tersebut setelah tahu tentang keadaan mamahnya.
Alya memang tidak membutuhkan kendaraan untuk sampai ke tujuan karena memang jarak yag ia tuju, akan sampai dalam lima menit berjalan kaki. Nekat menghampiri temannya tersebut karena rasa bersalahnya semaki memuncak.
Baru saja akan memencet bel rumahnya tiba-tiba Dafa keluar sambil membawa kunci mobil untuk memanaskan mesin mobilnya barangkali ada niat untuk jalan-jalan menggunakan roda empat tersebut yang sudah ia mandikan dipagi-pagi buta.
Dafa masih menggunakan pakaian rumahan yang sepertinya baru selesai mandi karena dilihatnya rambut yang masih basah namun sudah tersisir dengan rapi.
“Anjir kaget.” Dafa terpelangak, kunci mobil yang ia putar-putar ditelunjuknya hampir saja mengenai Wajah Alya yang kini sedang menghindar agar tidak terkena hantaman maut tersebut.
“Biasa aja kali, muka gue mirip setan apa gimana?”
“Ngapain?” Dafa terpelengak.
“Main lah, gak boleh emang?”
“Kan dibilangin gak jadi.”
“Lah, kapan?”
“Kemarin lah.”
“Yah, keknya gue gak baca chat-nya deh.”
“Centang biruuuuu,” sambil mencubit hidung Alya gemas.
“Sakit Dafa! Lo kira hidung gue squishy apa!”
“Buruan ganti baju sana!”
“Koloran gini doang juga kegantengan gue mah gak luntur, Al.”
“Gak semua orang kuat liat lo koloran gini,”
“Cepet gak!”
Dafa akan luluh jika itu mengenai Alya, dan paling tidak bisa menolak permintaannya apalagi secara langsung seperti ini.
Alya mengekori Dafa masuk ke dalam rumah, tapi dilihatnya saat ini terlalu banyak barang-barang di ruang keluarganya, sepertinya akan ada acara besar?
“Heh, lo mau ikut ke kamar?” Dafa menyadarkan Alya yang entah dari kapan pikirannya melayang terlalu jauh.
Alya tersentak,”Enggak lah gila!”
Dafa hanya tersenyum melihat tingkah Alya. Tenggelam dalam pikirannya yang hampir saja tidak sadar mengekori dafa masuk ke dalam kamar.
Alya terduduk di sofa dan pandangannya tidak lepas pada tumpukan barang di sana yang cukup mewah, berdiri kemudian maju mundur ingin memastikan barang yang cukup menarik untuknya, berdiri pelan demi menghilangkan rasa penasarannya yang terus membesar, Alya bertekad menghampiri barang-barang tersebut, namun tangan Dafa tidak kalah cepat meraih tangannya.
“Mau ke mana? Ayo berangkat sekarang.” Demi Tuhan, Dafa bak pangeran dari negri dongeng, hanya dengan kemeja dan celana kain yang dipakainya sungguh membuat Alya terpana.
“Aneh, ya?”
“Kayak mau kerja kantoran?”
“Kerja kantoran mah dimasukin bajunya,” mereka berjalan menghampiri mobil yang akan menjadi saksi bisu apa yang tejadi dengan mereka hari ini.
“Gue males nyetrika baju yang lain, jadi gue pake aja apa yang tersisa di lemari,”
“Masuk!”
“....”
“Kenapa?” tanya Dafa dengan wajah terheran.
“Lepasin dulu tangannya ...”
“Oh iya lupa, sorry-ya?” Dafa melepaskan tautan tangannya dengan lembut.
Melepas rasa canggung yang tiba-tiba menghampiri mereka berdua, Alya terus mencari topik pembicaraan, mulai dari menanyakan kabar papa mama Dafa yang pagi-pagi sudah berangkat ke butik dan lanjut untuk membeli belanja bulanan, menceritakan betapa ributnya dari pukul empat pagi, ribut karena mama Dafa kehabisan uang tunai untuk berbelanja sayuran di pasar yang memang sayurannya sangat murah dan kualitasnya baik. Papa Dafa yang masih mengantuk pun jadi marah-marah katanya gara-gara mama, mimpinya bertemu bidadari dari kayangan menjadi gagal total.
Alya menanggapi cerita Dafa dan memberikan reaksi antusias dan menggemaskan. Sehingga bukan sekali dua kali Dafa terus mencubit pipi dan hidung mungilnya.
Kini giliran Alya menceritakan betapa overthinking-nya malam tadi karena Dafa yang tiba-tiba membatalkan rencana jalan dengannya, walaupun begitu dia tetap nekat nyetrika malam-malam, memilih baju yang cocok, cari tas, cari sepatu, rambutnya apa diikat atau tidak, pokoknya harus maju demi mebujuk seorang Dafa.
Mendengar itu, Dafa tersenyum tulus, cukup membuat Dafa terenyuh, orang yang sangat ia cintai kini mulai peduli dengannya?
Dafa terus mengusap rambut Alya karena rasa bersyukur. Alya semakin mematung bukan karena saraf-sarafnya yang mati, tapi perlakuan Dafa yang memang membuat sekujur tubuhnya menjadi kaku tetapi tangan tidak mau berhenti bergetar.
Karena bingung harus berbuat apa dalam situasi ini, tiba-tiba saja Alya membuka laci dashboard mobil yang baru di cuci ini. Alya menemukan satu barang yang ternyata itu adalah sebuah alat tempur wanita yaitu sebuah lipstik.
“Ternyata lipstik mama seleranya kayak muda mudi juga, ya? Sama kayak punya gue ini,” ungkap Alya sambil mebuka lipstik tersebut untuk ia coba.
“Hmm?” Dafa melihat apa yang Alya ambil.
“Bukan punya mama itu,”
“Punya sahabat lo,” jawab Dafa singkat dan kembali fokus untuk menyetir.
“Shaga pake lipstik?”
“Punya Adinda ...”
Mendengar nama itu, Seketika Alya menyimpan barang itu kembali pada tempat asalnya.
Dafa hanya tersenyum tipis di sana serta disertai rasa bersalah yang menyertainya.
Dafa memarkirkan mobilnya sebentar karena pikirannya akan memberi tahu Alya satu hal penting kini semakin menjadi-jadi.
“Al ...” suasana berubah begitu mencekam rasanya.
Alya tetap terbenam dalam pikirannya, rasanya hatitinya begitu sakit padahal hanya nama dia yang ia sebut, bukan pula wujud aslinya yang ada dihadapannya.
“Alya ...” tanya Dafa sambil menepuk pundaknya pelan.
“Eh?”
“Gue boleh tanya satu hal?”
“Tapi gue mau lo jujur sama gue.”
“Kenapa?
“Lo pernah suka sama gue gak, Al? Setidaknya sekali?” suara Dafa semakin memelan.
“Tiba-tiba?”
“Jawab, Al.”
Alya hanya menunduk dengan tawa hambarnya.
“Apa gapapa kalau gue terlalu jujur, Daf?”
“Gapapa ...”
Dengan buas Alya memberanikan diri untuk menatap mata Dafa yang kini sedang menatapnya tulus.
“Pernah,”
“Karena,”
“Karena, lo itu cinta pertama gue,” ungkap Alya dengan senyum tipisnya dan kini menunduk kembali demi menyembunyikan perasaan pasrah yang tergambar jelas diwajahnya.
Seketika dada Dafa menyeruak ada rasa sesak dan sebagian menyerang ke arah matanya sehingga menstimulasi bulir air matanya keluar tanpa permisi, menilik Alya yang menunduk dengan rambut yang menghalangi wajahnya. Dafa memalingkan muka ke samping kanannya agar air mata yang jatuh dengan sendirinya tidak terlihat oleh Alya. Terus menyeka air mata yang terus menerus keluar, akan tetapi semakin di lap malah semakin deras keluar, tangan yang digunakan untuk mengelap malah menjadi pemicu turunnya air mata.
“Dafa?”
“Lo, nangis?”
“Kenapa?”
“Sorry, Al.” Dafa semakin memalingkan wajahnya agar tidak terlihat oleh Alya.
“Gak usah minta maaf, ih,”
“Kenapa?”
“Sakit?”
“Aduh sorry, Al. Beneran sorry banget,”
“Udah kok udah, haha.” Dafa dengan tawa hambarnya kembali menatap Alya lamat-lamat.
“Kenapa ...”
“Makasih, ya.”
Alya hanya bingung untuk apa Dafa berterima kasih.
“Buat?”
“Ternyata gue pernah ada dimasa kalau gue gak jatuh cinta sendirian—sama lo.” Dafa terus menatap Alya dengan senyum yang terus merekah.
“Al...”
“Kenapa?” Giliran Alya yang menatap lamat-lamat seorang Dafa, sedangkan yang ditatap kini hanya memandang ke arah depan yang banyak lalu-lalang orang lain sedang menyebrang.
“Lo tau kan gue harus nyelesein pendidikan gue secepatnya, gue harus lulus cepet, biar gue bisa cepet-cepet pindah nyusul keluarga gue yang lain di Australi,”
“Sebelum nyelesein dua peristiwa itu, ada satu hal yang gue mau kasih tau ke lo.” Dafa menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan.
“Lo liat barang-barang yang tadi berjejeran di ruang keluarga, kan?”
Dafa kembali menarik napas dan mengembuskannya kembali lebih kasar dari sebelumnya.
“Itu untuk acara gue, Al,”
“Doain, ya?”
“Gue mau tunangan sama Adinda, rencananya habis wisuda kita langsung nikah,” ungkap Dafa masih dengan pandangan datar ke depan sana.
Seperti ada petir di siang bolong, Alya hanya terpegun. Akankah cinta pertamanya benar-benar harus ia relakan? Begitu pun dengan Dafa, apakah benar-benar merelakan cinta yang sedari dulu ia jaga hanya untuk seorang Alya, sanggup bisa melepaskan seutuhnya?
Alya hanya tersenyum di sana dengan menyembunyikan seribu kesedihan yang ia tahan saat ini. Alya bukan tidak mencintai Dafa, hanya saja kalau hubungan ini dilanjutkan, pasti akan tumbuh banyak luka yang lebih besar lagi.
“Selamat, ya?”