jwooshining

Alya terheran karena yang datang hari ini bukan sosok yang ia bayangkan sebelumnya.

Tadinya Rey dan Alya akan merayakan bersama untuk membayar kerja keras dan rasa lelah mereka sewaktu ujian. Namun, bayangan itu seketika hilang karena kehadiran Jeano dengan wajah sama khawatirnya nyata adanya.

“Al ...”

Alya hanya menatap Jeano dengan wajah lelahnya.

“Maaf nunggu lama,” “Mau pulang sekarang aja? Papah lo udah nunggu soalnya.”

“Di luar hujan ... .”

“Gue pake mobil, Al.”

“Buru-buru, gak?”

“Nyantai sih.”

Alya tersenyum tipis dan meraih lengan Jeano untuk ikut bersamanya ke dalam sana.

SweetBox, Al?”

“Iya.”

Mereka terduduk, dan tidak lama kemudian film di putar. Sepanjang film di putar, Alya bahkan tidak fokus menonton, dirinya terus melihat tiga room chat whatssap yang tak kunjung ada balasan.

Jika Alya tidak fokus menonton karena tak kunjung mendapatkan kabar dari keluarga Rey, maka Jeano tidak fokus karena dilihatnya Alya terus menunduk dan gusar karena ketakutan demi ketakuan semakin memuncak. Dengan cepat, Alya mengubah rambut yang tadinya diikat rapi kini ia urai demi menutupi apa yang terjadi saat ini diwajahnya.

Alya berhasil menutupi wajah yang sudah banjir dengan air mata dari Jeano tapi tidak dengan pundaknya, pundaknya semakin bergetar di sana.

Jeano sadar akan hal itu, tapi dirinya lebih memilih untuk membiarkan Alya mengeluarkan semua kesedihannya. Alya memilih tempat ini ternyata bukan fokus untuk menonton, melainkan ingin menangis bebas dalam gelap yang hanya ada cahaya dari layar lebar saja.

Lampu bioskop kembali menyala tanda film sudah selesai tayang, kini mereka berjalan ke luar untuk pulang.

“Masih hujan …” Bisik Alya dengan suara seraknya, bergidik di sana, udara dingin seperti menembus tulangnya saat ini.

“Mau nunggu reda aja?” tatapan mereka bertemu, seketika Alya langsung memalingkan wajahnya kasar ke arah lain. Saat ini pasti wajahnya sangat merah lengkap dengan mata yang sembab, lama durasi film yang ditonton, selama itulah Alya menangis.

Jeano tersenyum tipis di sana, kemudian memakaikan jaket yang ia gunakan. Ingin sekali ia memakaikan jaket ini sedari mereka masih di dalam, tapi sejak Alya menangis, Jeano tidak ingin mengganggunya sedikit pun.

“Masuk mobil sekarang, ya?” “Kita pulang.”

Alya mengangguk dan masih dengan menunduk sambil terus mengekori Jeano sampai ke basement untuk menemukan mobilnya.

Di dalam mobil.

“Muka gue jelek banget, ya–sekarang?”

Jeano baru saja akan menghidupkan mesin mobilnya kini ia urungkan.

“Gue baru tau, ternyata film action begitu bisa bikin lo nangis.”

“Sedih banget tau.”

Jeano hanya pura-pura percaya di sana, dan sebenarnya Alya juga mengerti kalau Jeano berpura-pura, Jeano pasti tau alasan dirinya menangis.

Kini mobil tersebut melaju melawan hujan yang masih deras.

Begitu tiba, dilihatnya John yang masih setia menunggu putrinya untuk pulang kini langsung menghampiri putrinya tersebut.

“Al …”

“Kenapa, Je?”

“Rey nitip ini buat lo.”

Dilihatnya kado yang cukup besar, namun rasa takut menerima kado tersebut, Alya memilih menolak.

“Bilangin ke Rey, kasih langsung aja.”

Alya turun dari mobil, saat itu juga John yang sudah siap menjemput putri satu-satunya tersebut dengan payung besarnya.

“Turun dulu, Je. Om sudah siapkan makan malam untuk kalian.”

“Nanti lagi, om. Mama sama papa lagi nunggu Jeano juga untuk makan malam ternyata.”

“Ya sudah, hati-hati. Terima kasih, ya, nak?”

“Sama-sama, om. Jeano duluan.”

“Iya.”

Jeano pamit kepada mereka berdua, dan lagi-lagi tatapan mereka bertemu lagi. Selama beberapa detik Jeano terus menatap Alya, begitupun dengan Alya balik menatapnya. Setelah memastikan semuanya, Jeano memilih berangkat kembali.

John menyaksikan aksi keduanya tersebut. Tatapan Jeano adalah tatapan yang sering John lakukan terhadap mamahnya Alya dulu. Apa mungkin Jeano benar-benar menyukai anak gadisnya tersebut?

Alya terheran karena yang datang hari ini bukan sosok yang ia bayangkan sebelumnya.

Tadinya Rey dan Alya akan merayakan bersama untuk membayar kerja keras dan rasa lelah mereka sewaktu ujian. Namun, bayangan itu seketika hilang karena kehadiran Jeano dengan wajah sama khawatirnya nyata adanya.

“Al ...”

Alya hanya menatap Jeano dengan wajah lelahnya.

“Maaf nunggu lama,” “Mau pulang sekarang aja? Papah lo udah nunggu soalnya.”

“Di luar hujan ... .”

“Gue pake mobil, Al.”

“Buru-buru, gak?”

“Nyantai sih.”

Alya tersenyum tipis dan meraih lengan Jeano untuk ikut bersamanya ke dalam sana.

Sweet box, Al?”

“Iya.”

Mereka terduduk, dan tidak lama kemudian film di putar. Sepanjang film di putar, Alya bahkan tidak fokus menonton, dirinya terus melihat tiga room chat whatssap yang tak kunjung ada balasan.

Jika Alya tidak fokus menonton karena tak kunjung mendapatkan kabar dari keluarga Rey, maka Jeano tidak fokus karena dilihatnya Alya terus menunduk dan gusar karena ketakutan demi ketakuan semakin memuncak. Dengan cepat, Alya mengubah rambut yang tadinya diikat rapi kini ia urai demi menutupi apa yang terjadi saat ini diwajahnya.

Alya berhasil menutupi wajah yang sudah banjir dengan air mata dari Jeano tapi tidak dengan pundaknya, pundaknya semakin bergetar di sana.

Jeano sadar akan hal itu, tapi dirinya lebih memilih untuk membiarkan Alya mengeluarkan semua kesedihannya. Alya memilih tempat ini ternyata bukan fokus untuk menonton, melainkan ingin menangis bebas dalam gelap yang hanya ada cahaya dari layar lebar saja.

Lampu bioskop kembali menyala tanda film sudah selesai tayang, kini mereka berjalan ke luar untuk pulang.

“Masih hujan …” Bisik Alya dengan suara seraknya, bergidik di sana, udara dingin seperti menembus tulangnya saat ini.

“Mau nunggu reda aja?” tatapan mereka bertemu, seketika Alya langsung memalingkan wajahnya kasar ke arah lain. Saat ini pasti wajahnya sangat merah lengkap dengan mata yang sembab, lama durasi film yang ditonton, selama itulah Alya menangis.

Jeano tersenyum tipis di sana, kemudian memakaikan jaket yang ia gunakan. Ingin sekali ia memakaikan jaket ini sedari mereka masih di dalam, tapi sejak Alya menangis, Jeano tidak ingin mengganggunya sedikit pun.

“Masuk mobil sekarang, ya?” “Kita pulang.”

Alya mengangguk dan masih dengan menunduk sambil terus mengekori Jeano sampai ke basement untuk menemukan mobilnya.

Di dalam mobil.

“Muka gue jelek banget, ya–sekarang?”

Jeano baru saja akan menghidupkan mesin mobilnya kini ia urungkan.

“Gue baru tau, ternyata film action begitu bisa bikin lo nangis.”

“Sedih banget tau.”

Jeano hanya pura-pura percaya di sana, dan sebenarnya Alya juga mengerti kalau Jeano berpura-pura, Jeano pasti tau alasan dirinya menangis.

Kini mobil tersebut melaju melawan hujan yang masih deras.

Begitu tiba, dilihatnya John yang masih setia menunggu putrinya untuk pulang kini langsung menghampiri putrinya tersebut.

“Al …”

“Kenapa, Je?”

“Rey nitip ini buat lo.”

Dilihatnya kado yang cukup besar, namun rasa takut menerima kado tersebut, Alya memilih menolak.

“Bilangin ke Rey, kasih langsung aja.”

Alya turun dari mobil, saat itu juga John yang sudah siap menjemput putri satu-satunya tersebut dengan payung besarnya.

“Turun dulu, Je. Om sudah siapkan makan malam untuk kalian.”

“Nanti lagi, om. Mama sama papa lagi nunggu Jeano juga untuk makan malam ternyata.”

“Ya sudah, hati-hati. Terima kasih, ya, nak?”

“Sama-sama, om. Jeano duluan.”

“Iya.”

Jeano pamit kepada mereka berdua, dan lagi-lagi tatapan mereka bertemu lagi. Selama beberapa detik Jeano terus menatap Alya, begitupun dengan Alya balik menatapnya. Setelah memastikan semuanya, Jeano memilih berangkat kembali.

John menyaksikan aksi keduanya tersebut. Tatapan Jeano adalah tatapan yang sering John lakukan terhadap mamahnya Alya dulu. Apa mungkin Jeano benar-benar menyukai anak gadisnya tersebut?

Bukan wanita namanya jika bukan perasa. Alya merasa gusar setelah melihat balasan seorang Dafa yang berubah pikiran akan rencana jalan-jalan dengan dirinya. Dari semalam Alya tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan Dafa. Sebetulnya akhir-akhir ini Dafa selalu muncul dipikirannya, sering tiba-tiba merindukan sahabatnya tersebut dan bahkan sampai terbawa mimpi.

Bangun lebih pagi dari biasanya Alya langsung pergi ke kamar mandi dan menyiapkan baju untuk pergi, walaupun janji sudah dibatalkan namun apa salahnya jika mencari tahu secara langsung dari pada lewat pesan yang tak kunjung dibalas oleh Dafa.

John dibuat heran dengan putrinya tersebut, satu hal yang mustahil hari liburnya tidak digunakan untuk tidur seharian demi energinya terisi penuh kembali untuk mengerjakan laporan mingguannya nanti.

“Papah antar jangan, kak?” tanya John yang kini tangannya sibuk mengaduk-ngaduk kopi dengan sedikit gula sambil berjalan ke ruang keluarga untuk menonton televisi.

“Gak usah,” “Papah nanti kakak omelin yang panjang, karena gak berhenti minum kopi padahal asam lambung lagi naik,” ungkap Alya sibuk memakaikan sepatunya dengan cepat. John hanya tersenyum melihat puterinya mulai mengomel kembali. Sudah lama John tidak mengobrol dengan anaknya tersebut setelah tahu tentang keadaan mamahnya.

Alya memang tidak membutuhkan kendaraan untuk sampai ke tujuan karena memang jarak yag ia tuju, akan sampai dalam lima menit berjalan kaki. Nekat menghampiri temannya tersebut karena rasa bersalahnya semaki memuncak.

Baru saja akan memencet bel rumahnya tiba-tiba Dafa keluar sambil membawa kunci mobil untuk memanaskan mesin mobilnya barangkali ada niat untuk jalan-jalan menggunakan roda empat tersebut yang sudah ia mandikan dipagi-pagi buta.

Dafa masih menggunakan pakaian rumahan yang sepertinya baru selesai mandi karena dilihatnya rambut yang masih basah namun sudah tersisir dengan rapi.

“Anjir kaget.” Dafa terpelangak, kunci mobil yang ia putar-putar ditelunjuknya hampir saja mengenai Wajah Alya yang kini sedang menghindar agar tidak terkena hantaman maut tersebut.

“Biasa aja kali, muka gue mirip setan apa gimana?”

“Ngapain?” Dafa terpelengak.

“Main lah, gak boleh emang?”

“Kan dibilangin gak jadi.”

“Lah, kapan?”

“Kemarin lah.”

“Yah, keknya gue gak baca chat-nya deh.”

“Centang biruuuuu,” sambil mencubit hidung Alya gemas.

“Sakit Dafa! Lo kira hidung gue squishy apa!” “Buruan ganti baju sana!”

“Koloran gini doang juga kegantengan gue mah gak luntur, Al.”

“Gak semua orang kuat liat lo koloran gini,” “Cepet gak!”

Dafa akan luluh jika itu mengenai Alya, dan paling tidak bisa menolak permintaannya apalagi secara langsung seperti ini.

Alya mengekori Dafa masuk ke dalam rumah, tapi dilihatnya saat ini terlalu banyak barang-barang di ruang keluarganya, sepertinya akan ada acara besar?

“Heh, lo mau ikut ke kamar?” Dafa menyadarkan Alya yang entah dari kapan pikirannya melayang terlalu jauh.

Alya tersentak,”Enggak lah gila!”

Dafa hanya tersenyum melihat tingkah Alya. Tenggelam dalam pikirannya yang hampir saja tidak sadar mengekori dafa masuk ke dalam kamar.

Alya terduduk di sofa dan pandangannya tidak lepas pada tumpukan barang di sana yang cukup mewah, berdiri kemudian maju mundur ingin memastikan barang yang cukup menarik untuknya, berdiri pelan demi menghilangkan rasa penasarannya yang terus membesar, Alya bertekad menghampiri barang-barang tersebut, namun tangan Dafa tidak kalah cepat meraih tangannya.

“Mau ke mana? Ayo berangkat sekarang.” Demi Tuhan, Dafa bak pangeran dari negri dongeng, hanya dengan kemeja dan celana kain yang dipakainya sungguh membuat Alya terpana.

“Aneh, ya?” “Kayak mau kerja kantoran?”

“Kerja kantoran mah dimasukin bajunya,” mereka berjalan menghampiri mobil yang akan menjadi saksi bisu apa yang tejadi dengan mereka hari ini.

“Gue males nyetrika baju yang lain, jadi gue pake aja apa yang tersisa di lemari,” “Masuk!”

“....”

“Kenapa?” tanya Dafa dengan wajah terheran.

“Lepasin dulu tangannya ...”

“Oh iya lupa, sorry-ya?” Dafa melepaskan tautan tangannya dengan lembut.

Melepas rasa canggung yang tiba-tiba menghampiri mereka berdua, Alya terus mencari topik pembicaraan, mulai dari menanyakan kabar papa mama Dafa yang pagi-pagi sudah berangkat ke butik dan lanjut untuk membeli belanja bulanan, menceritakan betapa ributnya dari pukul empat pagi, ribut karena mama Dafa kehabisan uang tunai untuk berbelanja sayuran di pasar yang memang sayurannya sangat murah dan kualitasnya baik. Papa Dafa yang masih mengantuk pun jadi marah-marah katanya gara-gara mama, mimpinya bertemu bidadari dari kayangan menjadi gagal total.

Alya menanggapi cerita Dafa dan memberikan reaksi antusias dan menggemaskan. Sehingga bukan sekali dua kali Dafa terus mencubit pipi dan hidung mungilnya.

Kini giliran Alya menceritakan betapa overthinking-nya malam tadi karena Dafa yang tiba-tiba membatalkan rencana jalan dengannya, walaupun begitu dia tetap nekat nyetrika malam-malam, memilih baju yang cocok, cari tas, cari sepatu, rambutnya apa diikat atau tidak, pokoknya harus maju demi mebujuk seorang Dafa.

Mendengar itu, Dafa tersenyum tulus, cukup membuat Dafa terenyuh, orang yang sangat ia cintai kini mulai peduli dengannya?

Dafa terus mengusap rambut Alya karena rasa bersyukur. Alya semakin mematung bukan karena saraf-sarafnya yang mati, tapi perlakuan Dafa yang memang membuat sekujur tubuhnya menjadi kaku tetapi tangan tidak mau berhenti bergetar.

Karena bingung harus berbuat apa dalam situasi ini, tiba-tiba saja Alya membuka laci dashboard mobil yang baru di cuci ini. Alya menemukan satu barang yang ternyata itu adalah sebuah alat tempur wanita yaitu sebuah lipstik.

“Ternyata lipstik mama seleranya kayak muda mudi juga, ya? Sama kayak punya gue ini,” ungkap Alya sambil mebuka lipstik tersebut untuk ia coba.

“Hmm?” Dafa melihat apa yang Alya ambil. “Bukan punya mama itu,” “Punya sahabat lo,” jawab Dafa singkat dan kembali fokus untuk menyetir.

“Shaga pake lipstik?”

“Punya Adinda ...”

Mendengar nama itu, Seketika Alya menyimpan barang itu kembali pada tempat asalnya.

Dafa hanya tersenyum tipis di sana serta disertai rasa bersalah yang menyertainya.

Dafa memarkirkan mobilnya sebentar karena pikirannya akan memberi tahu Alya satu hal penting kini semakin menjadi-jadi.

“Al ...” suasana berubah begitu mencekam rasanya.

Alya tetap terbenam dalam pikirannya, rasanya hatitinya begitu sakit padahal hanya nama dia yang ia sebut, bukan pula wujud aslinya yang ada dihadapannya.

“Alya ...” tanya Dafa sambil menepuk pundaknya pelan.

“Eh?”

“Gue boleh tanya satu hal?” “Tapi gue mau lo jujur sama gue.”

“Kenapa?

“Lo pernah suka sama gue gak, Al? Setidaknya sekali?” suara Dafa semakin memelan.

“Tiba-tiba?”

“Jawab, Al.”

Alya hanya menunduk dengan tawa hambarnya.

“Apa gapapa kalau gue terlalu jujur, Daf?”

“Gapapa ...”

Dengan buas Alya memberanikan diri untuk menatap mata Dafa yang kini sedang menatapnya tulus. “Pernah,” “Karena,” “Karena, lo itu cinta pertama gue,” ungkap Alya dengan senyum tipisnya dan kini menunduk kembali demi menyembunyikan perasaan pasrah yang tergambar jelas diwajahnya.

Seketika dada Dafa menyeruak ada rasa sesak dan sebagian menyerang ke arah matanya sehingga menstimulasi bulir air matanya keluar tanpa permisi, menilik Alya yang menunduk dengan rambut yang menghalangi wajahnya. Dafa memalingkan muka ke samping kanannya agar air mata yang jatuh dengan sendirinya tidak terlihat oleh Alya. Terus menyeka air mata yang terus menerus keluar, akan tetapi semakin di lap malah semakin deras keluar, tangan yang digunakan untuk mengelap malah menjadi pemicu turunnya air mata.

“Dafa?” “Lo, nangis?” “Kenapa?”

Sorry, Al.” Dafa semakin memalingkan wajahnya agar tidak terlihat oleh Alya.

“Gak usah minta maaf, ih,” “Kenapa?” “Sakit?”

“Aduh sorry, Al. Beneran sorry banget,” “Udah kok udah, haha.” Dafa dengan tawa hambarnya kembali menatap Alya lamat-lamat.

“Kenapa ...”

“Makasih, ya.”

Alya hanya bingung untuk apa Dafa berterima kasih.

“Buat?”

“Ternyata gue pernah ada dimasa kalau gue gak jatuh cinta sendirian—sama lo.” Dafa terus menatap Alya dengan senyum yang terus merekah.

“Al...”

“Kenapa?” Giliran Alya yang menatap lamat-lamat seorang Dafa, sedangkan yang ditatap kini hanya memandang ke arah depan yang banyak lalu-lalang orang lain sedang menyebrang.

“Lo tau kan gue harus nyelesein pendidikan gue secepatnya, gue harus lulus cepet, biar gue bisa cepet-cepet pindah nyusul keluarga gue yang lain di Australi,” “Sebelum nyelesein dua peristiwa itu, ada satu hal yang gue mau kasih tau ke lo.” Dafa menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. “Lo liat barang-barang yang tadi berjejeran di ruang keluarga, kan?”

Dafa kembali menarik napas dan mengembuskannya kembali lebih kasar dari sebelumnya. “Itu untuk acara gue, Al,” “Doain, ya?” “Gue mau tunangan sama Adinda, rencananya habis wisuda kita langsung nikah,” ungkap Dafa masih dengan pandangan datar ke depan sana.

Seperti ada petir di siang bolong, Alya hanya terpegun. Akankah cinta pertamanya benar-benar harus ia relakan? Begitu pun dengan Dafa, apakah benar-benar merelakan cinta yang sedari dulu ia jaga hanya untuk seorang Alya, sanggup bisa melepaskan seutuhnya?

Alya hanya tersenyum di sana dengan menyembunyikan seribu kesedihan yang ia tahan saat ini. Alya bukan tidak mencintai Dafa, hanya saja kalau hubungan ini dilanjutkan, pasti akan tumbuh banyak luka yang lebih besar lagi.

“Selamat, ya?”

Hugs

Setelah Alya membuka pesan dari Rey yang tiba-tiba saja berubang centang biru semuanya, Alya langsung keuar dari gedung tersebut dan berakhir dibangku taman kampus pinggir jalan yang biasanya diisi anak-anak untuk nongkrong. Namun, karena hari ini jadwal milad Fakultas, jadi agenda perkuliahan diliburkan.

Bagi Alya llibur bukan sembarang libur, gunanya bayar sks ya karena ini, kewajiban dosen mengajar tetap masih ada, perkuliahan akan digantikan dengan menyusun kembali jadwal pengganti agar empat belas pertemuan belajar tatap muka tetap terpenuhi.

Alya duduk dan terus menghentakkan kakinya pada paving block yang ia pijak, sesekali berteriak yang cukup membuat orang-orang di sana menoleh karena heran dibuatnya, perbuatannya hari ini menjadi puncak rasa malu yang ia lakukan semasa hidupnya.

“Sumpah si Alya kalau bacot tuh emang suka gak mikir,” “Gue gak mau ketemu Rey lagi, gue udah terlanjur malu,” “Arghhh si jeano sintinggg.”

Kalau saja Jeano saat ini sedang makan, pasti sedang tersedak karena seseorang terus merutuk dirinya tanpa henti. Alya menyalahkan Jeano atas kejadian memalukan ini karena berkat dirinya ponsel Rey hidup kembali.

“Awas lo Jeano, gue smackdown ntar, biar tau rasa!”

Saat ini Alya tidak bisa berpikir jernih, tidak bisa memutuskan untuk memilih pulang atau melihat acara di fakultas saja. Alya terlalu malas, tujuan dia ke Fakults yaitu untuk mengambil jurnal praktikum di lab E, jurnal selesai di nilai, dan harus diambil agar besok bisa dibagikan ke teman sekelompok dan segera mengerjakan laporan praktikum dengan cepat.

Layar room chat kembali terlintas jelas dalam benak Alya. Alya terus berteriak, menyesali perbuatan yang membuat malu sampai menembus tujuh lapisan bumi saking malunya.

Alya hanya menarik nafas panjang kemudian mengembuska dengan kasar, menatap kosong jalan dengan lalu-lalang kendaraan, dengan layar yang masih menunjukan room chat Rey yang baru saja ia blokir.

Alya terpelengak karena seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Posisi saat ini Alya yang terduduk di kursi dan seseorang tersebut memeluknya berdiri dengan tubuh sedikit condong.

Refleks akan menepis perlakuan tersebut, namun matanya tak kalah cepat menemukan tanda lahir ditangan seseorang tersebut yang khas tepat di punggung tangan sebelah kanannya serta wangi parfum yang sangat ia rindukan.

“Kemana aja, Al … .”

“….” Alya hanya membuntang. Semakin lama dada Rey yang menempel pada punggungnya, kini detak jantungnya semakin cepat. Ini lumrah terjadi, orang yang sedang jatuh cinta pasti debaran jantung akan berdetak semakin cepat, akan tetapi debaran saat ini dikatakan jauh dari normal, belum lagi Alya merasakan kalau tangan Rey semakin berkeringat dingin.

Alya berbalik badan yang membuat Rey tergegau. “Lo sakit?”

Rey membuka masker hitam yang sedari tadi ia pakai, kini menampilkan wajah senyum terbaik yang belum pernah Alya lihat sebelumnya, namun ada yang kurang karena saat ini Rey tampak pucat pasi.

“Ritme jantung lo cepet banget?!”

“Biasa aja, lo melotot begitu apa gak takut bola matanya keluar?” Rey melepaskan pelukannya setelah Alya menyadari jantungnya berdebar sangat cepat.

Rey ikut terduduk di kursi tepat di samping Alya.

“Ih serius dulu, lo sakit?” “Bilang kalau iya, gak usah maksain ikut acara,” netra Alya mengikuti tubuh Rey yang kini duduk didekatnya.

“Jantung gue berdebar gini, ya ada alasannya,” “Kehadiran lo saat ini misal?” “Masa gitu aja gak ngerti?”

“Gue juga deg-degan setengah mati, tapi gak secepat itu.”

“Karena rasa gue lebih besar dari pada lo, Al.”

“Gue bisa bedain, Rey,” “Lo itu sekarang lagi sak—“

Kalimat yang Alya ucapkan seketika terhenti ketika tangan basah Rey memegang punggung tangan Alya.

“Gue mohon, berhenti lo natap gue kayak gitu,” “Gue paling gak suka dikasihani,” “Gue gak selemah itu kok, Al … .”

“Tapi lo tuh ngeyel …” “Kenapa lo ada di sini sekarang, harusnya lo di rumah, istirahat,” “Lo pulang sama gue, ya?” “Ini papah mau jemput kok, ya walaupun belum bales sih,” “Tadinya mau ngojek tapi duit gue abis, salah ambil dompet tadi.”

“Buru-buru?”

“Huum, ini mau ngerjain laporan praktikum, makanya ini gue bawa-bawa jurnal.”

“Gue gak bisa anterin lo, Al” “Gue tadi dianterin ayah.”

“Kan gue gak minta dianterin lo”

“Gue gojekin, ya?”

“Gak usah.”

“Gue pesenin sekarang.”

“Gak usah, Rey.”

“Siap-siap, Al.”

“Ya nanti!” “Gak peka banget sih.”

“Gak peka kenapa coba? Ini gue udah coba peka, kalau lo harus pulang sekarang,” “Makannya gue gojekin.”

Tengah perdebatan tersebut, deru motor yang tak asing menghampiri mereka berdua.

“Gue perhatiin dari tadi, kalian adu mulut pinggir jalan gini, kek bocah SD yang lagi pacaran terus berantem tau gak!”

“Jeje?” panggil Alya dengan tatapan mendelik.

“Ributin apaan sih?” seru Jeano tanpa membuka helmnya.

“Anterin Alya pulang, Je, sekalian,” pinta Rey seenaknya.

Kalau saja kemarahan Alya dapat terlihat dengan kasat mata, mungkin saat ini dikepala Alya sudah ada dua tanduk merah yang siap menubruk seorang Rey yang katanya tidak peka ini.

Bagi Rey reaksi Alya saat ini justru terlihat lebih menggemaskan.

“Oh, boleh cantik,” jawab Jeano santai.

“Dasar cowok gak peka!” “Gue tuh masih mau sama lo di sini,” “Malah lo usir,” pekik Alya sedikit berbisik terhadap Rey yang kini masih menatapnya gemas.

“Nanti lanjut di chat,” “Video call kalau perlu,” ungkap Rey dengan senyum yag masih merekah.

“Gue block kalau lo lupa!”

“ALYA JADI NEBENG GAK?” “Malah bisik-bisik tetangga!” Jeano mulai kesal karena terlalu lama menunggu.

“Nih bocil kematian gak sabaran banget heran,” “Kebelet boker, lo?”

“IYA”

“IYA LAGI?” “Yaudah Ayo, gak usah ngebut, nyawa gue cuman satu.”

Tanpa menghiraukan Alya yang terus mengomel, Jeano justru mengendarai mogenya dengan secepat kilat, sehingga Alya terkesiap dibuatnya.

Begitu punggung mereka sudah menghilang dari pandangannya, Rey akhirnya dapat meringis bebas karena rasa nyeri dalam dadanya kembali muncul dan kali ini lebih sakit dari biasanya.

Dengan cepat Rey memasuki gedung, dan menghubungi seseorang yang selalu ia andalkan.

Hugs

Setelah Alya membuka pesan dari Rey yang tiba-tiba saja berubang centang biru semuanya, Alya langsung keuar dari gedung tersebut dan berakhir dibangku taman kampus pinggir jalan yang biasanya diisi anak-anak untuk nongkrong. Namun, karena hari ini jadwal milad Fakultas, jadi agenda perkuliahan diliburkan.

Bagi Alya llibur bukan sembarang libur, gunanya bayar sks ya karena ini, kewajiban dosen mengajar tetap masih ada, perkuliahan akan digantikan dengan menyusun kembali jadwal pengganti agar empat belas pertemuan belajar tatap muka tetap terpenuhi.

Alya duduk dan terus menghentakkan kakinya pada paving block yang ia pijak, sesekali berteriak yang cukup membuat orang-orang di sana menoleh karena heran dibuatnya, perbuatannya hari ini menjadi puncak rasa malu yang ia lakukan semasa hidupnya.

“Sumpah si Alya kalau bacot tuh emang suka gak mikir,” “Gue gak mau ketemu Rey lagi, gue udah terlanjur malu,” “Arghhh si jeano sintinggg,”

Kalau saja Jeano saat ini sedang makan, pasti sedang tersedak karena seseorang terus merutuk dirinya tanpa henti. Alya menyalahkan Jeano atas kejadian memalukan ini karena berkat dirinya ponsel Rey hidup kembali.

“Awas lo Jeano, gue smackdown ntar, biar tau rasa!”

Saat ini Alya tidak bisa berpikir jernih, tidak bisa memutuskan untuk memilih pulang atau melihat acara di fakultas saja. Alya terlalu malas, tujuan dia ke Fakults yaitu untuk mengambil jurnal praktikum di lab E, jurnal selesai di nilai, dan harus diambil agar besok bisa dibagikan ke teman sekelompok dan segera mengerjakan laporan praktikum dengan cepat.

Layar room chat kembali terlintas jelas dalam benak Alya. Alya terus berteriak, menyesali perbuatan yang membuat malu sampai menembus tujuh lapisa bumi saking malunya.

Alya hanya menarik nafas panjang kemudian mengembuska dengan kasar, menatap kosong jalan dengan lalu-lalang kebdaraan, dengan layar yang masih menunjukan room chat Rey yang baru saja ia blokir.

Alya terpelengak karena seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Posisi saat ini Alya yang terduduk di kursi dan seseorang tersebut memeluknya berdiri dengan tubuh sedikit condong.

Refleks akan menepis perlakuan tersebut namun matanya tak kalah cepat menemukan tanda lahir ditangan seseorang tersebut yang khas tepat di punggung tangan sebelah kanannya serta wangi parfum yang sangat ia rindukan.

“Kemana aja, Al?”

“….” Alya hanya membuntang. Semakin lama dada Rey yang menempel pada punggung Alya, kini detak jantungnya semakin cepat. Ini lumrah terjadi, orang yang sedang jatuh cinta pasti debaran jantung akan berdetak semakin cepat, akan tetapi debaran saat ini dikatakan jauh dari normal, belum lagi Alya merasakan kalau tangan Rey semakin berkeringat dingin.

Alya berbalik badan yang membuat Rey tergegau. “Lo sakit?”

Rey membuka masker hitam yang sedari tadi ia pakai, kini menampilkan wajah senyum terbaik yang belum pernah Alya lihat sebelumnya, namun ada yang kurang karena saat ini Rey tampak pucat pasi.

“Ritme jantung lo cepet banget?!”

“Biasa aja, lo melotot begitu apa gak takut bola matanya keluar?” Rey melepaskan pelukannya setelah Alya menyadari jantungnya berdebar sangat cepat.

Rey ikut terduduk di kursi tepat di samping Alya.

“Ih serius dulu, lo sakit?” “Bilang kalau iya, gak usah maksain ikut acara,” netra Alya mengikuti tubuh Rey yang kini duduk didekatnya.

“Jantung gue berdebar gini, ya ada alasannya,” “Kehadiran lo saat ini misal?” “Masa gitu aja gak ngerti?”

“Gue juga deg-degan setengah mati, tapi gak secepat itu.”

“Karena rasa gue lebih besar dari pada lo, al.”

“Gue bisa bedain, Rey,” “Lo itu sekarang lagi sak—“

Kalimat yang Alya ucapkan seketika terhenti ketika tangan basah Rey memegang punggung tangan Alya.

“Gue mohon, berhenti lo natap gue kayak gitu,” “Gue paling gak auka dikasihani,” “Gue gak selemah itu kok, Al … .”

“Tapi lo tuh ngeyel …” “Kenapa lo ada di sini sekarang, harusnya lo di rumah, istirahat,” “Lo pulang sama gue, ya?” “Ini papah mau jemput kok, ya walaupun belum bales sih,” “Tadinya mau ngojek tapi duit gue abis, salah ambil dompet tadi.”

“Buru-buru?”

“Huum, ini mau ngerjain laporan praktikum, makanya ini gue bawa-bawa jurnal.”

“Gue gak bisa anterin lo, Al” “Gue tadi dianterin ayah,”

“Kan gue gak minta dianterin lo”

“Gue gojekin, ya?”

“Gak usah.”

“Gue pesenin sekarang.”

“Gak usah, Rey.”

“Siap-siap, Al.”

“Ya nanti!” “Gak peka banget sih.”

“Gak peka kenapa coba? Ini gue udah coba peka, kalau lo harus pulang sekarang,” “Makannya gue gojekin.”

Tengah perdebatan tersebut, deru motor yang tak asing menghampiri mereka berdua.

“Gue perhatiin dari tadi, kalian adu mulut pinggir jalan gini, kek bocah SD yang lagi pacaran terus berantem tau gak!”

“Jeje?” panggil Alya denan tatapan mendelik.

“Ributin apaan sih?” seru Jeano tanpa membuka helmnya.

“Anterin Alya pulang, Je, sekalian,” pinta Rey seenaknya.

Kalau saja kemarahan Alya dapat terlihat dengan kasat mata, mungkin saat ini dikepala Alya sudah ada dua tanduk merah yang siap menubruk seorang Rey yang katanya tidak peka ini.

Bagi Rey reaksi Alya saat ini justru terlihat lebih menggemaskan.

“Oh, boleh cantik,” jawab Jeano santai.

“Dasar cowok gak peka!” “Gue tuh masih mau sama lo di sini,” “Malah lo usir,” pekin Alya sedikit berbisik terhadap Rey yang kini masih dengan menatap gemas.

“Nanti lanjut di chat,” “Video call kalau perlu,” ungkap Rey dengan senyum yag masih merekah.

“Gue block kalau lo lupa!”

“ALYA JADI NEBENG GAK?” “Malah bisik-bisik tetangga!” Jeano mulai kesal karena terlalu lama menunggu.

“Nih bocil kematian gak sabaran banget heran,” “Kebelet boker, lo?”

“IYA”

“IYA LAGI?” “Yaudah Ayo, gak usah ngebut, nyawa gue cuman satu.”

Tanpa menghiraukan Alya yang terus mengomel, Jeano justru mengendarai mogenya dengan secepat kilat, sehingga Alya terkesiap dibuatnya.

Begitu punggung mereka sudah menghilang dari pandangannya, Rey akhirnya dapat meringis bebas karena rasa nyeri dalam dadanya kembali muncul dan kali ini lebih sakit dari biasanya.

Dengan cepat Rey memasuki gedung, dan menghubungi seseorang yang selalu ia andalkan.

Saat ini tubuh Rey merasakan goncangan hebat, mobil bagian depan menjadi tidak berbentuk karena berbenturan dengan mobil lain, badan Rey tersungkur ke depan yang membuat kepalanya membentur setir mobil serta dadanya yang mulai sesak dan ritme jantung yang semakin cepat.

Pandangan mata semakin kabur. Sayup-sayup terdengar teriakan seseorang yang tak asing baginya. Seorang Wanita yang langsung mebuka pintu mobil tersebut karena kebetulan kaca mobil tidak Rey tutup full sehingga tangan wanita tersebut bisa membuka pintu mobil dari luar.

“Rey, tahan sebentar, ya?” “Rey!” wanita tersebut hanya bisa menangis histeris dan terus berteriak meminta pertolongan kepada siapa pun yang ada di sana.

Tubuh Rey semakin melemah, hingga kini sudah berada di mobil ambulan bersama wanita tersebut.

“Ya ampun Rey, tolong ...” “Bertahan sebentar lagi, ya?” “Ini bentar lagi sampai ...” wanita tersebut terus meminta Rey agar tetap bertahan.

Rey terus meremat dadanya karena semakin sakit akibat hentakan yang cukup keras dan juga juga kecelakaan yang secara tiba-tiba ini membuat dirinya mengalami syok sehingga kondisinya semakin memburuk.

“Na ... Nay ... sesak,” ungkap Rey sambil meraih tangan Nayla kuat-kuat, sehingga rasa sakit yang dirasakannya dapat Nayla ukur bahwa itu sangatlah dahsyat.

“Iya, gue tau, bentar, ya?” pinta Nayla sembari menelfon Wenny dan Chandra. Nayla sudah berusaha tenang namun Telfon tak kunjung diangkat oleh mereka.

Untungnya dalam mobil tersebut tersedia pertolongan pertama oleh petugas ambulan, akan tetapi genggaman tangan Rey terhadap Nayla malah semakin kencang akibat menahan rasa sesaknya.

“Rey, bentar lagi, ya? Beneran bentar lagi,” “Rey!” “Rey!!!” “Bangun!!” Alya mengoncangkan tubuh Rey namun tidak ada respon apa pun.

Nayla semain ketakutan dan dengan buasnya terus menggoncangkan tubuhnya semakin kuat. Perlakuan tersebut petugas hentikan dan memberitahukan bahwasannya masih ada harapan untuk Rey.

Begitu tiba di UGD, Alya menyerahkan Rey terhadap tim medis. Matanya mencari seseorang dengan cepat dan yang saat ini tidak ia temukan kehadirannya.

Nayla berlari sekuat tenaga mencari seseorang yang akan membuat Rey baik-baik saja. Nasib baik menghampiri dirinya, seseorang yang ia cari kini berada di depannya yang nyaris ia tabrak.

Badan Nayla sempoyongan dan hampir saja ambruk yang kini ditahan oleh Sahen. Sahen tersentak melihat kacaunya wajah Nayla. Seketika mulutnya kelu untuk berbicara jelas terhadap Sahen, badannya ambruk, sisa kekuatan untuk berlari ke lantai dua kini telah habis tak tersisa.

“Nayla? Ada apa?” tanya Sahen yang berhasil menyangga tubuh lemah Nayla dengan wajah terheran-heran.

“Dok ...” “Jangan dulu pulang,” lirih Nayla sambil menatap nanar Sahen yang kini sudah menenteng tasnya bersiap untuk pulang.

“Iya, kenapa Nayla?” “Kamu sakit?” ungkap Sahen menenangkan dan membiarkan Nayla duduk di kursi dan memberinya minum air putih yang ia bawa dalam tasnya.

“Rey, Dok ...”

“Rey kenapa?”

“Rey kecelakaan,”

“Parah?!”

Nayla menggeleng. “Tapi jantungnya ...”

Tanpa aba-aba, Sahen melempar kembali tas yang ia bawa, kemudian berlari ke tempat Rey berada diikuti dengan Nayla yang masih menangis tanpa suara.

Setelah kedaan lebih tenang, Sahen terus menghubungi keluarga Rey namun tak kunjung ada jawaban. Karena tidak ada jawaban, Sahen hanya bisa mengirim pesan dan menegaskan untuk tidak khawatir berlebihan.

Padahal diri sendirinya juga panik bukan main karena baru kali ini Rey mengalami masalah pada jantungnya semenjak transplantasi jantung dua tahun yang lalu.


Sekitar lima belas menit kemudian, orang tua Rey dapat dihubungi dan kini sudah berada di UGD.

“Nayla sayang, aa gimanan sekarang? Aa di mana?” tanya Wenny yang sudah kacau wajahnya karena terus menangis sepanjang perjalanan.

“Buna tenang, ya?” “Aa udah ditangani sama Dokter Sahen, pasti bentar lagi Dokter Sahennya keluar.”

Tidak lama kemudian Sahen datang dengan menarik napas kasar karena merasa lega. Dengan cepat Chandra menghampiri Sahen dan dihujani dengan banyak pertanyaan. Alih-alih menjawab, Sahen hanya memerintahkan ketiga orang tersebut untuk segera menengok Rey yang baru saja tersadar dari pingsannya.

“Kalian bisa lihat sendiri kalau Rey jauh lebih baik dari apa yang kalian kira,” “Kan udah gue ingatkan terus, Chan. Kalau anak lo itu manusia ajaib,” “Bagi dia keadaan ini tuh kecil, bukan lagi melewati masalah terbesarnya yaitu transplantasi,” “Bahkan dengan kecelakaan yang cukup keras, tidak ada satu benda pun yang ingin menyentuh anak ini sampai berdarah-darah seperti korban yang lain,” “Rey sekarang baik-baik saja, jauhkan pikiran buruk kalian, karena ini akan menyakiti kalian dan juga Rey,” “Ayo, buat Rey semangat lagi,” “Buat Rey percaya sama dirinya sendiri, percaya untuk kuat.” Sahen mencoba menenangkan.

“Oh, ya, Chan, kalau lo sudah memastika kedaan Rey, tolong ke ruangan gue, ada yang mau gue omongin.” Sedangkan Chandra membalas dengan anggukan kasar.


“Aa, Sayang,” “Gimana keadaan kamu sekarang?” “Masih ada yang sakit?” “Bilang sama buna kalau ada yang sakit, ya? Jangan ditahan-tahan.”

Rey hanya bisa mengangguk dengan kedipan matanya yang cukup lama menunjukan kalau dirinya baik-baik saja serta tersenyum tipis di sana melihat bunanya khawatir seperti ini.

Rey ingin sekali menjawab bahwasannya masih ada sedikit nyeri di dada bagian kirinya. Tapi dirinya memilih tersenyum pada malaikatnya tersebut, dengan harap senyumannya tersebut akan memberikan kekuatan untuk Wenny yang gampang rapuh jika ini mengenai dirinya.

“A ...” Wenny terus bertanya dan tak kuasa menutup kesedihannya lagi di depan Rey yang tampak lemah saat ini.

“Aa mah kalau kangen dokter Sahen gak gini caranya,” “Kan kita bisa undang beliau buat traktir makan enak buatan buna,” “Ada-ada saja kamu ini, a,” ungkap Chandra tersenyum sambil menampilkan lesung pipitnya namun kesedihannya tidak dapat dibohongi karena bulir air mata yang mulai memenuhi matanya dapat tampak terlihat jelas walaupun tidak jadi jatuh membasahi pipinya.

Nayla tersenyum melihat kehebatan Chandra yang pintar menahan semua rasa sakitnya, sakit melihat anak satu-satunya saat ini harus terbaring lemah kembali di sini, di tempat yang sama beberapa tahun yang lalu.

“Makasih, ya, sayang,” ungkap Wenny sambil menatap hangat Nayla. “Makasih karena kamu menyelamatkan aa untuk kedua kalinya, entah apa yang harus buna balas untuk kebaikan Nayla dan keluarga.”

“Sama-sama Buna. Nayla udah menyangka, bun. Kalau Rey tuh sekuat ini, makasih juga buat buna sama Ayah yang sudah jaga Rey sampai Rey bisa bertahan sampai sini.”

Rey menatap Nayla dengan tatapan tulus dan bersyukur karena selalu ada Nayla disisinya sejak tiga tahun yang lalu.

Di luar sana Alya menyaksikan semuanya, kini rasa bersalah yang ada pada dirinya tumbuh membesar, bagaimana seorang Rey yang sering ia repotkan dan diperlakukan seenaknya, ternyata menahan semuanya sendirian karena sakitnya. Ia merasa tidak pantas berada di sini, dirinya memilih pulang ke rumah setelah memastika kedaan Rey dari jauh.

John mengira Alya sudah selesai bertemu dengan Rey dan mengobrol langsung maka dari itu dirinya menuruti Alya yang saat ini ingin sekali pulang, padahal dari tadi ia mengomel dan memaksa kalau dirinya ingin menginap di rumah sakit untuk menjaga Rey semalaman. Permintaan Alya yang begitu tiba-tiba ingin pulang karena ada jadwal praktikum besok, John langsung menuruti anaknya yang saat ini tampak murung.

Rey menutup pintu dari rumah John setelah menyerahkan makanan spesial buatan Buna Wenny. Rey dapat bernapas lega karena Alya nampaknya sudah tidur di kamarnya, jadi dirinya tidak repot-repot untuk menahan segala kecanggungan yang ada akibat Alya yang tiba-tiba merasa kecewa terhadapnya.

Baru saja Rey melangkah, kini terdengar jelas suara motor yang cukup tidak asing ditelinganya. Ternyata benar, motor yang melaju ke arah dirinya adalah motor Jeano yang sedang membonceng seorang wanita yang baru saja ia gumamkan dalam hatinya.

“Woy,” teriak Jeano menyapa Rey sambil mematikan mesin mogenya.

Rey menyapa kembali dengan senyum hambarnya. DIlihatnya Alya turun dari motor milik Jeano dan dibukakannya helm yang terpasang di kepala Alya.

“Mampir dulu, yuk?” pinta Alya terhadap Jeano.

“Gak dulu, banyak acara nih gue,” jawab Jeano dengan wajah genitnya.

“Okey, makasih, ya, buat hari ini.”

“Sama-sama cantik.”

Mendengar jawaban itu, seketika Alya menengok ke arah Rey. Namun, ekspresi Rey saat ini juga tidak bisa ditebak.

“Lo ngapain di sini, Rey?” tanya Jeano.

“Tadi ada perlu sama Om John.”

“Oh, gue duluan bro!” Jeano sudah melajukan moge miliknya terburu-buru.

“Siap hati-hati, Je.” Jeano melambaikan satu tangan tanda mendengarnya.

— “Gimana badan lo, Al …” “Kenapa maksain pulang, gerimis gini,” “Kan bisa tunggu reda dulu, atau minimal pake jas hujan,” tanya Rey dengan nada khawatir.

“Gue udah sehat, Rey,” “Gue duluan, ya,” ucap Alya datar.

Alya berjalan ke arah pintu, kemudian menutupnya dan tidak lama kemudian terdengar bunyi pintu yang sudah dikunci dari dalam.

Rey hanya tersenyum tipis di sana, kemudian ia merasakan matanya mulai memanas dan dadanya terasa cukup sesak.

“Sekecewa itu lo sama gue, Al … .”

“Alya, gue masuk, ya?” pinta Rey yang sudah menyelonong masuk tanpa persetujuan penghuni kamar.

Rey kira tidak ada jawaban dari Alya mungkin memang sudah tidur, ternyata Alya sedang menatap ke arah pintu tersebut dan otomatis sekarang sedang menatap Rey datar.

“Serem banget lo ngeliatin gue segitunya?” ungkap Rey bergidik di sana.

Sedangkan Alya masih anteng menatapnya.

“Kenapa sih?” Rey melipir pada cermin besar yang tergatung di dinding. “Gak ada apa-apa, malah makin ganteng perasan?” ungkap Rey sambil menyisir rambutnya dengan tingkah sok gantengnya.

Alya berdecak di sana, memutar bola mata malas.

Rey tersenyum tipis melihat reaksi Alya. Dirinya duduk membawa kursi rias dan duduk tepat di sebelah Alya.

Diambilnya piring yang berisi makanan yang belum Alya sentuh sedikit pun. Dengan apik Rey mengambil satu suapan yang sudah berisi nasi, ayam suwir, dan tumis kangkung buatan Buna Wenny. Alya sudah memalingkan wajah di sana karena suapan tersebut pasti untuk dirinya.

Alih-alih menyuapkan ke dalam mulut Alya, makanan tersebut mendarat di mulut Rey yang kini sedang mengunyahnya seperti orang yang tidak makan selama dua minggu.

“Rey!”

Rey menatap Alya singkat, dirinya fokus kembali pada makanan yang kini sudah suapan ke empat.

“Punya gue! Buna masak ini buat gue, bukan buat lo.“ Alya merebut piring dari tangan Rey yang nyaris tumpah.

“Buna masak ini buat di makan, bukan buat dipajang doang, lo pikir ini hiasan?” “Dari pada gak kemakan, mending gue yang makan?”

“Terus, gue?”

“Nunggu di infus aja, lebih praktis buat orang kayak lo.” Rey mengambil kembali piring tersebut.

“Keterlaluan banget?!” “Lo ngedoain gue di infus?” “Lo tuh, ya, buk—“

“Buka dulu mulutnya,” pinta Rey memotong omelan Alya.

“Gak mau …”

“Oh gue ambil sendok yang baru.”

“Gak usah.” Kini Alya melahap suapan tersebut karena takut merasa direpotkan.

“Al!” teriak Rey dengan wajah serius.

“Kenapa?” “Lo TBC?” seketika Alya berhenti mengunyah dan dengan sekuat tenaga untuk tidak menelannya.

“Gue pernah tes mantoux.”

“Terus hasilnya?” Alya melotot di sana.

“Negatif sih, hahaha,” “Muka lo kondisikan Alya, lagian kalau iya juga TBC gak nular lewat sendok gini,” Rey tertawa melihat wajah gemas Alya sambil mengambil suapan untuk Alya makan.

“Serius, Rey.”

“Mau gue seriusin?”

“Apaan sih?” “Sini piringnya, gue bisa sendiri.” Alya kini melahap makanannya yang sedari tadi hanya ia pandang.

— “Ada apa nih ribut-ribut.” Seseorang datang dengan ekspresi menggoda.

“Ayah ngapain ke sini,” ungkap Rey kesal karena pasti Menjadi bula-bulanan ayahnya.

Chandra hanya senyum-senyum di sana.

“Ya ampun anak buna, akhirnya makan juga, nak,” “Sini buna suapin, ya, sebelum buna pulang?”

“Gak perlu bun, dari tadi Alya ngerepotin buna terus.”

“Gak ada yang direpotin, sayang.”

“Ayo, bun.” Chandra mengajak Wenny pulang saat ini juga.

Rey ikut beranjak di sana siap-siap untuk pulang.

“Eits, aa mau ke mana?” tanya Chandra yang mebuat Rey melengak.

“Aa mah temenin Teh Alya we di sini.”

“Ah enggak, kan ada Om John?”

Chandra menyikut Rey, sebagai kode bahwa Alya sedang tidak mau berbicara dengan John.

Rey celingukan di sana.

“Alya kalau butuh apa-apa ke Aa aja, ya?” “Aa nginep di sini kok,” “Ayah pamit dulu sama buna.”

“Yah … bun …”

“Temenin Alya dulu, ya, sayang?” “Kalau badan Alya makin panas bilang ke buna, ya? atau enggak, kasih tau Om John.”

Rey hanya mengangguk terpaksa di sana.

“Alya, kalau aa nakal, bilang ke Ayah, ya?” goda Chandra dengan senyum jahil.

“Nakal? Emang aa bakaln ngapin Alya?” Rey menyaut.

“Barangkali khilaf.”

“Yah!”

“Dari tadi ngajak pulang, malah godain anak-anak?” Wenny menarik tangan suaminya untuk pulang.

Chandra pulang setia denga wajah senyum jahilnya, sedangkan Rey dongkol dibuatnya.

Melihat itu, Alya tertawa terbahak-bahak melihat Rey menanggapi kelakuan ayah dari temannya tersebut yang jahil bukan main.

“Yaudah sih, kenapa gak susul aja pake motor buat pulang?” tanya Alya dengan sisa tawanya.

“Hujan, Alya,” “Mending tidur,” ungkap Rey menuju sofa yang ada di kamar tersebut, kemudian membawa bantal dan selimut yang entah kapan sudah nangkring di sana.

“Makasih, ya, Rey,” “Makasih udah mau nemenin gue.”

“Makannya baikan sama papah.”

“Iya, nanti.”

“Kalau minta bantuan sesuatu panggil aja gue,” “Walaupun mata gue merem, tapi otak sama hati gue ngawasin lo,” ungkap Rey dengan suara melemah karena kantuk.

“Ck.” Alya berdecak dan tak henti-hentinya dibuat tersenyum melihat tingkah Rey.

Waktu menunjukkan pukul dua malam, Rey terbangun bukan karena ingin ke kamar mandi atau pun karena mimpi buruk yang menghampirinya, melainkan karena mendengar isakan tangis yang entah dari mana. Ini bukan film horor, tapi nyata adanya, seseorang yang sedang termenung di balkon menangis memeluk lutut, dengan meneggelamkan kepala diantara lutut dan perut.

Rey melangkah mendekati seseorang tersebut sambil mengambil selimut yang sempat Alya tinggalkan.

“Alya …” “Dari kapan lo di sini?” “Ada yang sakit?” “Mana yang sakit?”

Tidak ada jawaban di sana, yang ada hanya pundaknya yang semakin bergetar.

“Badan lo sampe dingin begini, Al …” “Masuk dulu, ya?”

Karena tidak ada jawaban dari Alya, Rey hanya bisa memakaikan selimut untuk menghangatkan badannya yang sedang lemah, menemani, dan membiarkan Alya menangis sejadi-jadinya.

“Al, mamah ga papa, mamah pasti baik-baik saja di sana, kita tengok mamah secepatnya, ya?”

Tetap tidak ada jawaban, Rey hanya bisa menepuk-nepuk pundaknya pelan.

Sesabar-sabarnya Aliesha menghadapi semua perbuatan semena-mena Clara, kini dibuat meledak juga. Tapi bukan cacian atau makian yang dijadikan pelampiasan, melainkan tetesan air mata yang berlangsung selama hitungan detik namun air matanya keluar cukup deras.

Aliesha merasa semakin tidak dihargai oleh suaminya tersebut. Thio tidak bilang kalau dirinya mampir ke rumah mantan istrinya tersebut walaupun alasannya memang ponselnya tertinggal di mobil, tapi alasan tersebut tidak dapat Aliesha terima karena dia bisa mengabari sebelum berangkat ke rumah Clara atau bisa mengabari melalui ponsel Caca.

Aliesha kini terduduk di kursi meja makan sambil menggendong anak bungsunya yang baru saja selesai menyusu ASI-nya.

Aliesha menatap nanar makanan-makanan yang ia siapkan dari siang tadi yang kini sudah mulai dingin karena terlalu lama ia pajang di meja.

Tidak lama kemudian Thio dan Caca datang dan dengan sigap Aliesha membawa tas sekolah caca dan baju seragam yang Thio tenteng. Setelah mengambil barang tersebut baru Aliesha melakukan rutinitasnya yaitu mencium tangan suaminya, tanpa melakukan rutinitas lain seperti kecupan di pipi, dahi, atau pun bibir yang biasanya ia lakukan kalau Thio pulang dari kantor.

Gurat kecewa yang Aliesha tunjukkan sangat jelas terlihat. Thio hanya bisa memandang istrinya yag semakin jauh dari pandangannya karena menyimpan barang-barang tersebut sambil menggendong si bungsu yang tampak rewel.

Kini Aliesha telah kembali dengan nafas kasar karena lelah.

“Adiknya sini, sayang,” pinta Thio untuk menggendong anaknya tersebut. Aliesha memberikannya tanpa menoleh terhadap Thio.

“Ibuuuu,” panggil Caca ceria.

“Sini ibu peluk dulu, ibu pengen peluk Caca dari siang, tauu.” Aliesha mengeratkan pelukannya terhadap anak sambungnya tersebut.

“Ini hadiah dari Caca buat ibu, selamat hari ibu, ya,” “Caca sayang banget sama ibu,” ungkap Caca sambil menyodorkan hadiah yang cukup besar yang sudah terbungkus denga bungkus kado yang rapi.

Aliesha dibuat terharu oleh anaknya tersebut. Walaupun sebenarnya ini pasti menggunakan uang suaminya. Maka dari itu, Aliesha melirik ke arah suaminya, yang dilihatnya sedang menatapnya hangat. “Makasih, ya,” ungkap Aliesha dengan senyum tipisnya kemudian meletakkannya di atas kursi kosong.

“Makasih, Ca, nanti ibu buka kadonya di kamar, ya?” Dibalas anggukan kasar oleh Caca.

“Caca udah makan ya sama bunda? Jadi langsung mandi aja, ya? Abis itu langsung tidur, besok kan masih harus sekolah pagi-pagi,” ungkap Aliesha dengan senyum tulusnya tanpa memperlihatkan rasa kecewanya.

Lagi-lagi Caca mengangguk dan langsung meluncur ke kamarnya.

“Jangan lupa sikat gigi, cuci muka, sama cuci kaki, ya, kak,” perintah Aliesha sedikit mengeraskan suaranya karena Caca mulai menjauh.

“Baik, ibu,” jawab Caca dari jauh.

Hening menyergap, kini keduanya kikuk setelah perdebatannya melalui pesan whatssap beberapa menit yang lalu.

Baru saja Aliesha akan membereskan makanan yang belum sempat ia sentuh lagi, tetapi Thio menahannya.

“Jangan dulu dibereskan, aku mau makan masakan kamu dulu,” pinta Thio sambil membawa piringnya dan mengisinya denga nasi putih da lauk pauk yang banyak sekali macamnya.

“Jangan terlalu dipaksakan, gak enak juga kalau perut terlalu penuh, masakan ini kita pakai buat sarapan pagi aja, kalau memang masih layak dimakan itu juga,” ungkap Aliesha sedikit ketus.

Jujur Thio tidak menyangka kalau Aliesha aka memasak sebanyak ini, karena biasanya ia selalu memasak sedikit menu namun harus habis sekali makan. Namun, karena semangatnya yang membara karena ini adalah hari yang spesial untuknya, yaitu sebagai hari ibu. Setidaknya Aliesha ingin jadi ibu yang berguna bagi suami dan anak sambungnya tersebut.

Aliesha hanya menunduk namun masih terlihat dari sudut matanya kalau suaminya memakan makanannya dengan lahap.

“Kamu kenapa gak makan, sayang?” tanya Thio dengan nada canggungnya.

“Udah selesai tadi.” Padahal sebenarnya Aliesha belum makan karena memang keburu tidak ada nafsu untuk makan, Aliesha hanya memakan sedikit makanan yang ia cicipi.

Beberapa menit kemudian seseorang mengetuk pintu dan dilihatnya Firdhan muncul dati balik pintu.

“Widih, makan besar nih?” “Kirain gue si Rafa bohongan,” “Katanya kak Yaya kek lagi hajatan,” “Masaknya banyak bener,” “Pas banget perut lagi laper banget nih, boleh gak kak?”

“Boleh dong, kalau bisa habiskan, ya?”

“Oh tentu,” jawab Firdhan dengan semangat.

Thio makan masih dengan adik bungsu dipangkuannya kini Aliesha membawanya untuk ia tidurkan. Sembari membawa kado dari Caca, kini Aliesha menjauh dari tempat makan.

“Tumben banget si bungsu gak rewel?”

Tanpa sahutan dari Thio.

“Udah bosen apa ya, soalnya si Rafa bilang, kalau Si bungsu rewelnya minta ampun siang tadi.”

Thio semakin merasa bersalah ketika Firdhan mengatakan tentang bungsu yang rewel, padahal dalam satu sisi, Aliesha harus menyiapkan makanan ini sendirian yang harus berakhir kecewa karena dirinya.

“Rafa dimana sekarang, Fir?”

“Nginep di apotek, sambil revisi proposal penelitian katanya.”

Thio hanya mengangguk lemah.

“Fir, yang lahap ya makannya, kalau gak abis tolong punten tutupin pakai tudung saji aja.”

“Okey, bang.” jawab Firdhan semangat karena rasa laparnya membuat dirinya tidak menyadari kalau Thio dan Aliesha terlihat canggung karena perdebatannya.

—- Aliesha tertidur, setelah membuka isi kado yang berisikan tas mewah untuknya, dan sepertinya cukup mahal. Aliesha hanya tersenyum kecut di sana. Penasaran apa Clara juga diberikan tas mewah seperti ini oleh suaminya? Aliesha tidak ambil pusing, dirinya hanya ingin istirahat dengan pikiran tenang malam ini.

Beberapa menit kemudian, Thio sudah ada dikamar bersama Aliesha yang baru saja selesai mandi. Dilihatnya istrinya tersebut tertidur lelap karena sepertinya kecapean. Aliesha tertidur sambil memeluk si bungsu dan memunggungi dirinya.

Dengan pelan Thio memakaikan selimut terhadap Aliesha dan kini Thio mendekatkan dirinya sekedar menatap istrinya tersebut dengan perasaan bersalah, sesekali ia belai rambut istrinya tersebut sambil terus menatapnya sendu.

“Sayang, maaf, ya?” lirih Thio pelan mendekati pundak istrinya yang membelakangi dirinya.

Thio tersentak ketika istrinya tersebut langsung menghadap suaminya dan memeluknya.

“Sayang, aku beneran minta maaf …. .”

Aliesha yang belum tidur terlalu nyenyak, dirinya enggan untuk membalas permintaan maaf suaminya melalui ucapan, dirinya hanya bisa mengeratkan pelukannya saja sebagai tanda kalau dirinya baik-baik saja. Dengan aksi tersebut Thio merasa bersyukur karena mempunyai pendamping hidup sesabar Aliesha. Semoga besok pagi, Aliesha tetap mengampuninya.

Rey sempat mengirim pesan terhadap Alya dan memang pesannya terkirim dan sempat dibaca, namun Alya tidak kunjung membalasnya sampai akhirnya Alya mematikan ponselnya dan memilih belanja tas dengan tenang. Rey menyusul Alya ke salah satu mal yang ada di Bandung yang memang menyediakan berbagai tas branded yang sangat disukai para wanita yang tahu akan gaya hidup dan fashion.

Rey telah menemukan seseorang yang ia cari sedari tadi, kini dilihatnya Alya tampak sedang memilih tas tersebut dengan tatapan kosong akan tetapi tangan sibuk membawa banyak tas yang ia pilih.

Rey menghampiri Alya dengan tatapan nanar terhadapnya.

“Alya?” panggil Rey pelan.

Alya terkaget dan langsung menengok dan melemparkan senyuman terhadap Rey, “Eh, Rey? Mau nemenin gue belanja tas, ya? Bagus deh lo ke sini, gue bingung pilih yang mana.”

Rey hanya diam tidak menjawab sambil terus membuntuti Alya.

“Lo suka liat cewek pakai tas gimana, Rey?” Alya terus mengambil satu persatu tasnya, padahal ditangannya sudah ada enam tas yang ia pegang.

“Alya ...” panggil Rey lagi.

“Iya, Rey. Berhenti natap gue kayak gitu, mending pilihin tas buat gue, gue bingung banget ini, bagus semua tapi masa iya gue borong?”

Tidak lama kemudian John datang dan langsung menghampiri putrinya tersebut dengan wajah yang penuh amarah. John sempat saling bertatapan dengan Alya, namun Alya berpura-pura tidak melihatnya dan langsung menghampiri kasir dengan sepuluh tas ditangannya.

“Kak,” teriak John, namun ditahan oleh Rey dikarenakan posisi saat ini sedang banyak pengunjung dan Rey tidak ingin John menjadi pusat perhatian karena memarahi putrinya.

John hanya bisa terduduk di kursi yang tersedia di sana, sambil terus memerhatikan anaknya.

Terlihat seperti ada masalah ketika pembayaran berlangsung, John langsung menghampiri kasir tersebut dan membayar menggunakan kartu lain miliknya.

Alya yang kini sudah menenteng tas belanja tanpa menatap Rey ataupun John, dirinya kini berjalan ke arah luar untuk pulang.

Kini mereka bertiga sudah ada di basement, alih-alih pergi dengan John, Alya memilih masuk ke dalam mobil Rey.

John hanya bisa pasrah melihat anaknya yang terus mengabaikan dirinya. Akhirnya John pulang mendahului anaknya setelah meminta permintaan terhadap Rey kalau anaknya harus segera ia antar ke rumahnya.

Selama perjalanan, Rey dan Alya hanya terdiam tanpa ada obrolan sedikit pun. Rey bisa mengerti dengan kedaan tersebut, ada kekecewaan yang Alya pendam namun Alya memilih bungkam.

Setibanya di rumah John, Alya tidak langsung keluar dari mobil, dirinya terus menghela napas kasar dan kini memberanikan diri untuk keluar dari mobil setelah mengucapkan terima kasih terhadap Rey karena sudah membolehkan dirinya untuk menumpang pulang.

“Tas nya gak di bawa, Al?” tanya Rey heran.

“Gak usah, Rey, nanti lagi aja,” balas Alya sambil tersenyum tipis terhadap Rey.

“Tasnya gue turunin dulu aja, ya? solanya gue harus pulang sekarang,” ungkap Rey sambil membuka bagasi mobilnya.

“Rey, gue takut ...” lirih Alya dengan suara pelan.

Rey yang baru saja akan membuka bagasinya, kini ia urungkan dan menghampirii Alya.

“Takut kenapa?” tanya Rey khawatir.

Sebenarnya Rey tahu apa yang ditakutkan Alya, hanya saja ia ingin memastikan bahwa apa yang dipikirannya saat ini adalah Alya takut atas kemarahan papahnya sendiri. Alya berani berontak akan tetapi sebenarnya keberaniannya tidak sebesar itu.

“Gue antar lo sampai depan pintu kamar, abis itu gue pulang, ya?” pinta Rey sambil terus menatap Alya yang saat ini ketakutannya bertambah besar.

Dilihatnya oleh Rey yaitu mobil John yang sudah terparkir, tandanya John sudah ada di dalam rumah, dan memang benar, John kini berada di ruang tamu untuk menunggu anaknya pulang.

Alya dan Rey membuka pintunya pelan, dan dilihatnya John sedang duduk di kursi ruang tamu dengan badan yang condong ke depan serta siku menempel pada paha dan jari tangan yang menopang kepalnya untuk ia pijat kecil pada pelipisnya.

“Duduk, kak,” perintah John dingin. kini Rey dan Alya duduk di sofa secara berdekatan, “Rey boleh pulang, terima kasih sudah cari kakak, dan mengantarnya ke sini,” pinta John.

Baru saja Rey akan berdiri untuk meninggalkan dua orang tersebut, namun tangannya ditahan oleh Alya, Alya butuh kehadiran Rey agar papahnya tidak terlalu murka.

Rey menatap Alya dan meminta agar dirinya pergi dengan tujuan dirinya tidak ikut campur akan masalah ini. Akan tetapi pegangan Alya begitu kuat, dan dilihatnya mata Alya mulai berkaca-kaca dan tangan semakin basah karena keringat dingin.

“Dewasa, kak ...” “Papah kurang apa selama ini, apa yang papah kurang perhatikan untuk kamu, semua bekal materi sudah papah cukupkan, kasih sayang juga rasanya papah sudah papah berikan, menyempatkan kakak bagaimana pun caranya, apa lagi yang membuat kaka jadi tidak bersyukur dan sering bersikap berlebihan seperti ini?”

“....”

“Jawab, kak! Janga malah nangis!” teriakan John dengan intonasi semakin meninggi.

Rey dapat merasakan bahwasannya pegangannya saat ini jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya, sedangkan Rey hanya bisa mengusap tangan Alya dengan ibu jari miliknya agar sedikit lebih tenang.

“Al, papah nanya, coba dijawab dulu,” bisik Rey pelan.

“Alya memang suka gak sopan seperti ini Rey, susah dibilangin,” “Pantas memang kalau anaknya seperti tidak di didik dengan baik, percuma, masuk kuping kanan, keluar kuping kiri, Rey,” ungkap John semakin kesal.

“...”

“Mana tasnya kak?! Mana tas yang tadi kakak beli? Kenapa gak kamu bawa?” “Karena tidak terlau penting, kan?!” “Tas itu cukup punya tiga sampai empat saja, kak, kenapa harus beli sebanyak itu dengan harga yang lumayan mahal?” “Uang yang kakak gunakan tadi, bisa cukup untuk keperluan dua bulan kedepan, lho,kak,” “Banyak kebutuhan lain yang harus papah prioritaskan.”

“Prioritas papah tuh apa? Siapa?” “Kakak, atau perempuan itu!” Alya berteriak dengan mata yang memerah dan menatap geram papahnya.

“....”

“Papah gak bisa jawab, kan?” “Perempuan yang selama ini diem-diem papah tranfer uang ke dia, terus rutin ketemu pas weekend malam?” “Papah diem-diem nikah lagi, kan?” “Papah mau tinggalin mamah?” “Papah mau tinggalin kita?!” “Kakak sakit hati kalau ngeliat papah berkelakuan seperti itu, papah bawa perempuan itu padahal bisa papah liat sendiri foto pernikahan papah sama mamah masih tertera jelas di ruangan ini dengan ukuran cukup besar, apa dengan ukuran foto sebesar ini pun membuat papah buta?”

“Kak! Bahasanya!”

“Apa?!”

Baru saja John akan melayangkan satu tamparan untuk Alya namun tiba-tiba Wenny datang menyadarka John.

“John, jangan pakai kekerasan, kita selesaikan baik-baik.”

“Buna?” Rey terkaget karena kehadiran Wenny yang iba-tiba.

Wenny menghampiri Alya dan menenangkan dirinya karena emosi yang mulai tidak stabil.

“Kakak mau pergi cari mamah sekarang!” “Kakak mau putus kuliah,” “Kakak gak mau lagi tinggal sama papah!” “Kakak benci sama papah!”

“Nak, jangan gini, ya? Nanti buna jelasin sesuatu ke Alya, ya? Kenapa papah bersikap seperti itu,” ungkap Wenny dengan suara menenangkan.

“Jelasin apa lagi sih?! Jelasin sekarang! gak usah dinanti-nanti!”

“ALYA CELINA NORA!” “Berani-beraninya kamu berteriak kasar sama Buna Wenny?!” Wenny terus menahan John yang terus mendekati Alya untuk melayangkan tamparannya.

“Yaudah jelasin sekarang! ngapain harus orang lain yang jelasin, kakak butuh penjelasan papah, sekarang!!!!” Alya berteriak dan tangisannya semakin kencang. “Kakak muak!!!”

“Sayang, tenang, ya?” “Nanti kamu capek kalau nangis terus seperti ini ...” Wenny terus menenangkan Alya.

“PAH!”

“Baik, kak,” “Kalau ini kemauan kakak,” “Kita berangkat besok pagi,” “Besok pagi kita berangkat ke rumah sakit jiwa,” “Kita tengok mamah ...”

“Pah ...”

“Maafkan papah, nak,” John langsung pergi tanpa menjelaskan panjang lebar apa yang terjadi dengan istrinya tersebut, saat ini John hanya bisa memilih pergi ke kamar karena tidak sanggup lagi menahan tangisannya, memilih untuk menangis sendirian dikamarnya.

Sedangkan Alya hanya menganga tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia dengar, masih tidak tahu atas apa yang dkatakan papahnya, kenapa mamahnya tiba-tiba masuk rumah sakit jiwa? apa yang terjadi padahal sudah dua tahun berlalu, mengapa papahnya baru memberitahukannya sekarang?