jwooshining

“Kalau lagi sakit mending istirahat aja di rumah,” “Dosen juga pasti ngasih keringanan,” “Kita yang gak tau apa-apa, jadi kena batunya juga.” Nayla tidak bisa menahan kesal akibat nilainya harus ikut terpotong juga.

“Dipanggil aslab noh?” ungkap Zahra ketus dan kini melewatinya ke luar untuk pulang. Sedangkan Ansel dan Abian hanya bisa menepuk punggung Alya seakan-akan mengatakan lo akan baik-baik saja. Lo gak akan mati karena hal-hal seperti ini.

Tubuh yang semakin panas tetapi muncul keringat dingin, Alya menghampiri Asisten lab tersebut dan kini Alya menghadap dosen penaggung jawab yang terkenal dengen dosen killer seantero kampus ini.


Sekilas Alya mendengar bisikan asisten lab yang sejak kapan mereka senang sekali bergosip dan bukannya fokus membimbing mahasiswa-nya malah berkumpul dan membanding-bandingkan dengan angkatan lainnya.

Maklum asisen lab yang bertugas di sini biasanya adalah alumni dengan nilai terbaik mereka sehingga tidak sembarangan orang yang bisa menjadi asisten.

Aslab di praktikum tersebut rata-rata orangnya pernah menggenggam predikat pujian atau sering disebut cumlaude, tapi sikap mereka tidak mencerminkan kalau mereka itu adalah asisten yang dapat menenangkan mahasiswanya.

“Rekor sih, kok bisa ... pecah?” “Ini angkatan berapa sih?” “Jorok banget gunain alat, dia gunain sambil pargoy apa gimana? Kok bisa mendarat di lantai, njir?” “Gak sekalian aja mecahin alat yang buat ngukur tegangan permukaan air yang ada cincinnya itu lho, du nouy yang harganys enam puluh juta, satu cincin.”

“Beda lab, njir!”

“Ya kan pernah kali semester kemarin, mereka praktikum itu.”

“Gak sekalian aja mecahin lemari asam?” ungkap salah satu aslab yang menimbulkan gelak tawa atas lelucon mereka yang tidak lucu sama sekali.

Seketika mereka terdiam setelah melihat Alya keluar dari ruangan Dosen dan dengan lunglai Alya melewati mereka dengan sopan. Tidak sempat menyapa mereka karena terlalu lemah, Alya melewatinya tanpa sapaan dan berjalan ke luar.

Entah apa yang dikatakan Dosen terebut, Alya kini keluar dari ruangan beliau dan kini keringatnya semakin deras. Hal yang disampaikan oleh doosen tersebut sebenarnya tidak menyakitkan, hanya saja mungkin kondis Alya saat ini sangat sensitif.

Memang benar, Alya mengakui kecerobohan dirinya, biasanya mahasiswa lain hanya memecahkan gelas ukur atau tidak beaker glass, tapi yang Alya pecahka yaitu Alat yang cukup jauh dari jangkauannya. Namun saat itu, Alya tiba-tiba merasa lemah dan menyenggol barang tersebut dan rusak bahkan alat tersebut dalam keadaan masih menyala.

Seketika terdengar bisikan para aslab tersebut.

“Ni anak songong juga, ya?” “Nyesel gue gak potong kinerja dia sampe seratus persen!”

Alya lagi-lagi mendengar bisikan mereka.

“Kenapa, ya, sebelum ngomong gak liat dulu kondisi orangnya?” “Gue lagi sakit BANGSATT,” “Ni badan padahal pagi-pagi masih enakan, kok sekarang jadi manja kayak gini?!” Dalam hati Alya sangat berapi-api, dada terus bergemuruh menahan emosi tapi apa daya raga tidak kuat untuk sekedar membalas omong kosong mereka semua.


Berjalan dengan pelan dengan langkah lunglai dan keringat semakin bercucuran, Alya memaksakan diri untuk pulang, agar dirinya cepat istirahat di rumahnya.

“Hey? Kok gak bales pesan saya?” Suara yang berhasil membuat Alya menatap siapa yang berbicara.

“Kamu sakit?”

Bukannya menjawab, Alya kini malah menangis menunduk dan bertanya terhadap diri sendiri. Sekacau apa dirinya, sampai-sampai berhalusinasi kalau didepannya saat ini adalah orang yang ia tunggu-tunggu sejak lama.

“Gue udah gila keknya ... ” “Ini gak bisa dibiarin.” Alya menatap kembali orang tersebut sambil terus memastikan kalau yang dilihatnya saat ini adalah Reynaldi.

“Hey?”

Beberapa detik kemudian Alya ambruk dipangkuannya, dengan cepat Rey membawanya ke dalam mobil dan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat.


Di rumah sakit. “Udah bangun, sayang?” John bergegas menghampiri putrinya setelah kembali dari kantor.

“Kenapa?” “Masih sakit?” “Sakitnya sebelah mana?” “Pusing?”

Alya hanya terdiam dan menatap John dengan tatapan mengasihani diri sendiri serta air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.

Dengan tatapan khawatir John mengecek suhu tubuh Alya dan memeriksa badannya sebisa mungkin ditakutkan ada luka atau apalah itu. Tidak berhenti sampai sana, John baru saja ingin memanggil dokter untuk mengecek kembali keluhan anaknya.

Baru saja akan akan beranjak, tiba-tiba tangan tangan John diraihnya oleh Alya.

“Tante Sarah mana?” John semakin bingung dibuatnya. Kenapa tiba-tiba anaknya menanyakan Sarah. Sudah beberapa minggu dirinya tidak mendengar kabar Sarah setelah John ditinggalkan mendiang istrinya.

“Pah ... kakak gapapa, kan?” “Kakak sekarang bisa liat orang, padahal orang itu udah gak ada di sini.” John semakin bingung, apa maksud dari perkataan anaknya tersebut.

“Sayang ...”

“Tante Sarah mana, pah? Kakak mau ketemu Tante Sarah, kakak mau bilang kalau kakak sekarang mulai berhalusinasi.” Mendengar itu hati John takut sekali, karena Alya menganggap penyakit yang diderita mamahnya kini turun pada dirinya.

“Kakak lagi capek, ya?” John kini merengkuh tubuh lemah anaknya yang sedang berbaring.

“Kakak beneran liat Rey, pah ...”

John semakin mengeratkan rengkuhannya dan terus berusaha menenagkan anaknya. sampai saat ini memang John belum lagi mendengar tentang keluarga sahabatnya tersebut.

“Tante?” Alya memanggil seseorang yang sepertinya sudah lama berdiri di depan pintu rawat inap VIP tersebut. John kini melepaskan pelukannnya tersebut denga pelan, dan tekejut ketika melihat Sarah diikuti dengan Hamzi. John mempersilakan John dan Hamzi untuk duduk dekat Alya yang kini posisi Alya sudah duduk walaupun masih di atas bangsal rumah sakit.

“Tidur aja sayang,” ungkap Sarah karena melihat Alya kerepotan padahal untuk sekedar duduk. Sedangkan Alya hanya menggelengkan kepalanya.

“Kok bisa tahu, kalau kakak ada di sini?” tanya John dengan wajah terheran-heran.

“Hamzi langsung jemput aku, katanya Alya di bawa ke rumah sakit sama Rey.” Mendengar itu Alya malah semakin sesak dadanya, kalaupun Rey yangmengantarnya ke sini, harusnya Rey ada bersamanya saat ini. Lantas kemana dia sekarang.

John juga belum sempat bertanya siapa yang mengantarkan Alya, karena John diberi tahu oleh temannya yang bekerja di rekam medis rumah sakit ini. Dirinya terlalu fokus pada anaknya. Dengan cepat John menuju pendaftaran dan menanyakan apakah benar Reynaldi yang mengantarkan putrinya?

Sarah kini duduk tepat di samping ranjang Alya dan berbincang tentang kedaan Alya saat ini. Hamzi juga menghampiri Alya namun tidak ikut bergabung untuk waktu lama, dirinya belum merasa nyaman dengan Alya, apalagi tentang dirinya yang terlalu bergantung pada John dan itu cukup membuat Alya marah waktu itu—bahkan sampai sekarang?

“Alya,” “Cepet sembuh, ya?” “Gue lebih seneng mampir ke rumah lo, dibandingkan harus mampir ke tempat kayak gini,” ungkap Hamzi tenang.

“Makasih Hamzi,” balas Alya sambil tersenyum dan dengan canggung Hamzi membalas senyum tersebut.

Hamzi menunggu di luar kamar dan memilih bermain game membiarkan Sarah berbincang dengan Alya.

John kini datang dan dan duduk bersama Hamzi.

“Gimana, om?”

“Reynaldi yang antar kakak, tapi Rey-nya ke mana, ya?”

“Pulang dulu kali.”

John terus menatap Hamzi yang sudah lama tidak melihatnya, tatapan hangat—sama seperti menatap putrinya.

“Kenapa jarang balas pesan, om?” John mengalihkan topik pembicaraan.

Mendengar itu Hamzi terlalu malu, bagaimanan dia memutuskan komunikasi tanpa sebab, bukan tanpa sebab sebetulnya, hanya saja dirinya dan Sarah menjaga perasaan Alya. Sedangkan Hamzi hanya tersenyum dan meminta maaf terhadap John.

“Ayo masuk?”

“Hamzi di sini aja, om.”

John menepuk pundak Hamzi dan memeluknya singkat, kemudian kembali memasuki kamar pasien. Sedangkan Hamzi merasakan kembali pelukan layaknya sang Ayah. Maklum Hamzi tidak pernah tahu bagaimana rasanya dipeluk oleh ayah kandungnya sendiri, sampai saat ini, pelukan John lah yang paling nyaman untuknya.


“Apa gue bilang,” “Yang tadi tuh lo,” “Gak salah liat kan,” “Kemana aja lo, Rey?”

Mendengar suara Hamzi menggema di sudut ruangan rumah sakit tersebut, Alya merasa tersentak dibuatnya, seketika jantungnya kini berdetak dengan cepat dan entah kenapa rasa sesak tersebut kian menghampirinya kembali. Dilihatnya Reynaldi yang kini berada di pintu masuk kamar tersebut tersenyum lebar dan menatap Alya dengan lembut. Tidak lama kemudian disusul dengan kehadiran Chandra dan juga Wenny dengan parsel ditangannya dan sama-sama menampilkan senyum indah mereka.

Semakin lama senyum indah Reynaldi semakin memudar ketika dirinya tidak mendapatkan balasan dari Alya, yang ia lihat saat ini Alya hanya menatapnya dengan tatapan sedih dengan air mata yang mulai mengelilingi bola matanya yang sebentar lagi akan tumpah ruah. Alya menggenggam erat tangan Sarah dan semakin berkeringat dingin. Kepalanya kini menunduk kembali bersama dengan jatuhnya air mata yang tak bisa ia tahan lagi.

“Aku gak berhalusinasi, kan?” lirih Alya dalam hati dan kini dirinya menangis tersedu-sedu tidak berani menatap kembali ke arah yang ia lihat, dirinya kini hanya bisa meratapi diri sendiri yang sudah tidak baik-baik saja sejak Rey dan mamahnya meninggalkan dirinya.

Kurang lebih tiga bulan lamanya, mahasiswa kini telah menyelesaikan masa liburannya. Alya menghabiskan masa liburannya di rumah sakit menemani sang mamah, walaupun terlambat, setidaknya tidak ada penyesalan bagi Alya untuk berbakti pada sang mamah.

Rasa bahagia diberikan kesempatan untuk mengurus surganya cukup membuat Alya menjadi anak yang berguna. Dibalik rasa itu, ada rasa sedih yang kini menghampirinya, sedih karna selama dirinya di rumah sakit, sang mamah sama sekali tidak mengingatnya.

Mungkin satu minggu pertama Alya selalu menangis karna wajah yang dulu menyayanginya sepenuh hati, kini berubah menjadi asing—sangat asing.

Akan tetapi lama-kelamaan Alya mulai terbiasa, karena Alya yakin, sebenarnya sang mamah mengingat dirinya walaupun kemungkinanya sangat kecil untuk saat ini, bagaimanapun mereka adalah satu darah.

Saat ini Alya kembali merasakan rasa itu, rasa sedih dan senang yang selalu datang bersamaan. Senang karena mamahnya sudah tidak merasakan sakit yang luar biasa lagi, sedihnya karena dirinya kini ditinggalkan tanpa pamit untuk selama-lamanya. Tangisan sang anak disertai hujan gerimis serta petir yang bergemuruh dan cahaya matahari yang cukup terang, layaknya malaikat yang sedang menjemput kehadiran mamah untuk diantarkan pada tempat yang paling baik, tempat yang paling tinggi dan paling nyaman.

Satu-persatu, orang yang mengantarkan kepulangan Kirana kini mulai berpamitan, termasuk Jeano dengan orang tuanya, teman-teman John, serta teman-teman Alya. Kini ditempat tersebut tersisa dirinya, John, dan Hamzi. Orang tua serta keluarga John tidak bisa menghadiri pemakaman karena ada kendala sebelum penerbangan, maklum John merantau di sini, jauh dari keluarga.

“Sayang, pulang sekarang, ya?” “Hujannya mulai lebat ... “ John bertanya dengan hati-hati.

Saat ini Alya dengan wajah sembabnya, tidak menangis, hanya diam terus menatap dimana sang ibu tertidur didalam sana.

“Kak ...” “Mamah sama adek sedih lho kalau liat kakak kayak gini terus ... .”

Alya kini menatap nanar sang papah.

John tersenyum,”mamah sama adek di atas sana lagi liatin kakak, tau.” Alya juga menatap Sarah dan Hamzi yang memberikan energi melalui senyum terbaik mereka agar Alya kembali hidup dengan jiwa seperti biasanya.

Alya kembali menatap kembali tanah merah yang masih basah serta sudah ditaburi ratusan kelopak bunga dan juga air doa.

John menatap Sarah bingung, entah bagaimana agar anaknya bisa menerima sepenuhnya kalau ini jelas kehilangan yang memang harus ia terima walaupun sangat berat.

Sarah kini menghampiri Alya dan menggenggam tangan dinginnya dengan tulus, berharap bisa memberikan kehangatan terutama hatinya yang sudah mati rasa. Hamzi juga menghampiri Alya, dan memakaikan jaket yang pernah John berikan untuknya diulang tahun kemarin, yakni Jaket yang sempat Alya perdebatkan dengan John.

Alya tetap diam seperti patung, dirinya sibuk dengan pikirannya saat ini, sibuk mencari bayang-bayang bersama sang mamah, yang kini tak bisa ia peluk lagi seperti kemarin.

Sarah dan Hamzi pamit pulang, dan membiarkan mereka berdua menyelesaikan semuanya sekarang.

“Sesak, ya?” “Lepaskan aja,” “Boleh nangis kok, boleh banget ... .”

Tidak sampai dua detik, Alya kini menangis sejadi-jadinya dipelukan papahnya. Mengutarakan semua penyesalan yang masih mengganjal di dalam hatinya, menyesal karena Alya terlambat mengetahui semuanya.

Begitupun John yang ikut menangis dan menyesal karena tidak coba nekat berterus terang pada anaknya tersebut. John terus menyalahkan dirinya sendiri karena seperti memisahkan anak dan mamahnya dengan tidak adil. John memang menuruti semua apa yang diinginkan sang istri namun dirinya tidak memikirkan dengan matang, bagaimana perasaan anak gadisnya nanti—seperti saat ini, perasaan yang sangat hancur, kosong, dan juga kesepian.

“Halo Sarah?”

Sarah mengangkat telfonnya, namun tidak ada suara sedikit pun. John tahu sarah mendengarnya saat ini, maka dari itu dirinya terus meminta alasan.

“Kasih saya alasan yang jelas, kenapa?”

Sarah tetap memberikan jawaban seperti halnya dalam pesan whatsapp. Mendesak Sarah pun rasanya akan percuma, Sarah masih tidak jujur atas alasan mengapa tiba-tiba ingin berhenti dari pekerjaannya.

John menjambak frustrasi rambutnya sendiri, wajah memerah serta nada bicara yang semakin meninggi. Bukannya menjawab, Sarah malah semakin diam, enggan bersuara.

“Kamu di mana?”

Sarah tetap bungkam, walaupun sebenarnya tahu, diam atau tidak, pasti John saat ini sedang berapi-api untuk menghampirinya.

“Di rumah atau di Rs?!” sudah Sarah duga, John pasti murka.

“Hargai keputusan ak—“

“Saya ke rumah kamu, sekarang.” Kadang insting John sekuat itu. Sarah yang saat ini di rumah pun hanya diam dengan sedikit ketakutan.

John menutup telfonnya kasar, memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Diraihnya jas serta kunci mobil degan gesit.

Seketika langkah buru-buru tersebut terhenti karena Alya sudah ada di depannya saat ini, tepatnya di pintu kamar John.

“Kakak yang nyuruh dia buat resign ...” lirih Alya, menatap mata John tajam.

John sudah menduga kalau anaknya akan berbuat seperti ini. John tidak mau berdebat panjang dan lebih baik untuk tidak menanggapi Alya untuk sementara waktu. John hanya diam menatap datar putrinya dan tegambar jelas, kalau papahnya sangat kecewa untuk saat ini.

“Kunci pintu, nak ... papah bawa kunci cadangan.” John tetap pergi untuk tetap menghampiri Sarah.

“Nakes di Jawa Barat tuh banyak!” “Banyak yang udah teregistrasi!” “Dan yang palin penting, banyak yang lebih profesional dari dia!”

Saat ini, John terlihat menahan amarahnya yang mulai memanas, wajahnya merah padam, dan mata yang tajam melihat ke arah putrinya. Namun begitu, John masih berhasil mengatur emosinya tersebut.

“Kakak berbicara seperti ini sama Tante Sarah, nak?”

‘IYA!”Sebetulnya Alya tidak mengatakan apapun secara langsung terhadap Sarah. Jangankan mengatakan hal buruk, untuk sekedar bertemu pun tidak sempat. Keinginan Sarah untuk berhenti mengurus ibunya pun, Alya minta melalui Hamzi menggunakan pesan whatsapp.

“Kakak gak boleh berbicara seperti itu ...” “Dia yang mengurus mamah selama sakit, bahkan rela mengorbankan waktunya mengurus mamah padahal di luar jam kerja ... .”

“Bukannya semua pasien itu harus diperlakukan sama? Kenapa Dia harus memberikan pelayanan spesial?” “Dia ngelakuin itu karena papah! Dia ingin memikat papah! Dia mau ngerebut papah dari mamah!”

“Bahasannya kenapa ke sana terus sih, kak?!”

“Yaudah kalau gak ada perasaan kayak gitu, biarin dia resign!” “Itu emang kemauan dia sendiri, sadar diri itu namanya!”

“Tante sarah itu orang tua, sayang...” “Enggak sopan kalau kakak meminta beliau untuk berhenti gitu aja, itu satu-satunya pekerjaan yang beliau punya.”

“Yaudah, gampang!” “Pindahkan mamah dari sana!”

“Rumah sakit manapun, sekalipun itu paling elit, maaf, papah enggak bisa, nak ...”

“kalau mau jahat—jahat sekalian, jangan kayak gini, pah ...” “Kenapa papah tega nyakitin mamah kaya gini ...” “Emang cinta bisa berubah secepat itu, ya?”

“Definisi cinta menurut kakak itu seperti apa?” “Perasaan papah sama mamah itu lebih dari apa yang kakak kira,” “Kakak seharusnya gak perlu capek-capek mikirin ini semua, sayang ... .”

“BOHONG!” “SEMUA YANG DIKATAKAN PAPAH BUAT MAMAH ITU BOHONG!”

Air mata John kali ini tak bisa ia bendung lagi, tak bisa ia tahan setelah mendengar apa yang dikatakan anaknya tersebut dan Alya melihat itu. Hati Alya rasanya sakit sekali karena pertama kalinya melihat John menangis seperti ini. Tapi karena kebenciannya saat ini lebih besar, Alya tidak meluluh sedikitpun.

“Maaf ...” Entah untuk apa John meminta maaf, sepertinya permintaan maaf tersebut karena menampakan sisi yang paling lemah dari dirinya.

Bukan pelukan yang menenangkan yang Alya dapatkan saat ini, akan tetapi, tepukan di punggung, dan setelah itu, John melewati dirinya.

“Pah ... jangan pergi ... .”

John tidak menjawab apapun, dirinya terus melangkah menuju ke luar rumah.

Melihat itu, Alya menangis sejadi-jadinya. Tangisan menyakitkan tersebut terdengar jelas oleh John. Tetapi John harus tetap membujuk Sarah, karena Sarah adalah salah satu harapannya saat ini.


Deru mobil papahnya bahkan sudah tidak lagi terdengar, artinya John sudah pergi menemui wanita itu. Alya membayangkan papahnya berubah seperti ini cukup membuat dirinya berlari ke kamar papahnya. Foto pernikahan yang biasanya Alya lihat di dinding, serta foto yang terpajang di nakas dekat ranjang papahnya pun kini sudah tidak terlihat lagi.

Apakah benar papahnya kini sudah mulai muak dengan keadaan seperti ini, dan membiarkan memutuskan untuk mencari kebahagiaannya lagi, termasuk mulai melupakan mamahnya? Album foto dirinya bersama dengan mamah dan papahnya juga tidak ada di tempat biasanya yaitu di dalam rak buku. Pikiran Alya semakin kacau, apakah dirinya juga sudah membuat papahnya kelelahan?

Matanya terus menerawang ke segala sudut ruangan ini, seketika Alya berhenti karena melihat Album fotonya yang kini sudah berada dalam satu kotak cukup besar yang berada di bawah ranjang, sepertinya John ingin menyembunyikan kotak tersebut, namun tak sepenuhnya ia sembunyikan dengan baik, buktinya Alya saat ini mematung dan mengartikan semuanya. Album dan foto pernikahan tersebut tergeletak di atas tumpukan surat-surat serta resep dari dokter yang berada dalam satu kotak cukup besar, dan ada satu dokumen yang membuat Alya semakin bingung, surat cerai?

“Halo Sarah?”

Sarah mengangkat telfonnya, namun tidak ada suara sedikit pun. John tahu sarah mendengarnya saat ini, maka dari itu dirinya terus meminta alasan.

“Kasih saya alasan yang jelas, kenapa?”

Sarah tetap memberikan jawaban seperti halnya dalam pesan whatsapp. Mendesak Sarah pun rasanya akan percuma, Sarah masih tidak jujur atas alasan mengapa tiba-tiba ingin berhenti dari pekerjaannya.

John menjambak frustrasi rambutnya sendiri, wajah memerah serta nada bicara yang semakin meninggi. Bukannya menjawab, Sarah malah semakin diam, enggan bersuara.

“Kamu di mana?”

Sarah tetap bungkam, walaupun sebenarnya tahu, diam atau tidak, pasti John saat ini sedang berapi-api untuk menghampirinya.

“Di rumah atau di Rs?!” sudah Sarah duga, John pasti murka.

“Hargai keputusan ak—“

“Saya ke rumah kamu, sekarang.” Kadang insting John sekuat itu. Sarah yang saat ini di rumah pun hanya diam dengan sedikit ketakutan.

John menutup telfonnya kasar, memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Diraihnya jas serta kunci mobil degan gesit.

Seketika langkah buru-buru tersebut terhenti karena Alya sudah ada di depannya saat ini, tepatnya di pintu kamar John.

“Kakak yang nyuruh dia buat resign ...” lirih Alya, menatap mata John tajam.

John sudah menduga kalau anaknya akan berbuat seperti ini. John tidak mau berdebat panjang dan lebih baik untuk tidak menanggapi Alya untuk sementara waktu. John hanya diam menatap datar putrinya dan tegambar jelas, kalau papahnya sangat kecewa untuk saat ini.

“Kunci pintu, nak ... papah bawa kunci cadangan.” John tetap pergi untuk tetap menghampiri Sarah.

“Nakes di Jawa Barat tuh banyak!” “Banyak yang udah teregistrasi!” “Dan yang palin penting, banyak yang lebih profesional dari dia!”

Saat ini, John terlihat menahan amarahnya yang mulai memanas, wajahnya merah padam, dan mata yang tajam melihat ke arah putrinya. Namun begitu, John masih berhasil mengatur emosinya tersebut.

“Kakak berbicara seperti ini sama Tante Sarah, nak?”

‘IYA!”Sebetulnya Alya tidak mengatakan apapun secara langsung terhadap Sarah. Jangankan mengatakan hal buruk, untuk sekedar bertemu pun tidak sempat. Keinginan Sarah untuk berhenti mengurus ibunya pun, Alya minta melalui Hamzi menggunakan pesan whatsapp.

“Kakak gak boleh berbicara seperti itu ...” “Dia yang mengurus mamah selama sakit, bahkan rela mengorbankan waktunya mengurus mamah padahal di luar jam kerja ... .”

“Bukannya semua pasien itu harus diperlakukan sama? Kenapa Dia harus memberikan pelayanan spesial?” “Dia ngelakuin itu karena papah! Dia ingin memikat papah! Dia mau ngerebut papah dari mamah!”

“Bahasannya kenapa ke sana terus sih, kak?!”

“Yaudah kalau gak ada perasaan kayak gitu, biarin dia resign!” “Itu emang kemauan dia sendiri, sadar diri itu namanya!”

“Tante sarah itu orang tua, sayang...” “Enggak sopan kalau kakak meminta beliau untuk berhenti gitu aja, itu satu-satunya pekerjaan yang beliau punya.”

“Yaudah, gampang!” “Pindahkan mamah dari sana!”

“Rumah sakit manapun, sekalipun itu paling elit, maaf, papah enggak bisa, nak ...”

“kalau mau jahat—jahat sekalian, jangan kayak gini, pah ...” “Kenapa papah tega nyakitin mamah kaya gini ...” “Emang cinta bisa berubah secepat itu, ya?”

“Definisi cinta menurut kakak itu seperti apa?” “Perasaan papah sama mamah itu lebih dari apa yang kakak kira,” “Kakak seharusnya gak perlu capek-capek mikirin ini semua, sayang ... .”

“BOHONG!” “SEMUA YANG DIKATAKAN PAPAH BUAT MAMAH ITU BOHONG!”

Air mata John kali ini tak bisa ia bendung lagi, tak bisa ia tahan setelah mendengar apa yang dikatakan anaknya tersebut dan Alya melihat itu. Hati Alya rasanya sakit sekali karena pertama kalinya melihat John menangis seperti ini. Tapi karena kebenciannya saat ini lebih besar, Alya tidak meluluh sedikitpun.

“Maaf ...” Entah untuk apa John meminta maaf, sepertinya permintaan maaf tersebut karena menampakan sisi yang paling lemah dari dirinya.

Bukan pelukan yang menenangkan yang Alya dapatkan saat ini, akan tetapi, tepukan di punggung, dan setelah itu, John melewati dirinya.

“Pah ... jangan pergi ... .”

John tidak menjawab apapun, dirinya terus melangkah menuju ke luar rumah.

Melihat itu, Alya menangis sejadi-jadinya. Tangisan menyakitkan tersebut terdengar jelas oleh John. Tetapi John harus tetap membujuk Sarah, karena Sarah adalah salah satu harapannya saat ini.


Deru mobil papahnya bahkan sudah tidak lagi terdengar, artinya John sudah pergi menemui wanita itu. Alya membayangkan papahnya berubah seperti ini cukup membuat dirinya berlari ke kamar papahnya. Foto pernikahan yang biasanya Alya lihat di dinding, serta foto yang terpajang di nakas dekat ranjang papahnya pun kini sudah tidak terlihat lagi.

Apakah benar papahnya kini sudah mulai muak dengan keadaan seperti ini, dan membiarkan memutuskan untuk mencari kebahagiaannya lagi, termasuk mulai melupakan mamahnya? Album foto dirinya bersama dengan mamah dan papahnya juga tidak ada di tempat biasanya yaitu di dalam rak buku. Pikiran Alya semakin kacau, apakah dirinya juga sudah membuat papahnya kelelahan?

Matanya terus menerawang ke segala sudut ruangan ini, seketika Alya berhenti karena melihat Album fotonya yang kini sudah berada dalam satu kotak cukup besar yang berada di bawah ranjang, sepertinya John ingin menyembunyikan kotak tersebut, namun tak sepenuhnya ia sembunyikan dengan baik, buktinya Alya saat ini mematung dan mengartikan semuanya. Album dan foto pernikahan tersebut tergeletak di atas tumpukan surat-surat serta resep dari dokter yang berada dalam satu kotak cukup besar, dan ada satu dokumen yang membuat Alya semakin bingung, surat cerai?

Ikhlas

Hening selama beberapa menit, Alya berhasil memecah keheningan dan kecanggungan yang ada. Tetap pandangan ke samping kaca, Alya bersuara, “Hubungan kalian sebenarnya seperti apa?”

Sontak John dan Jeano membeku seketika.

“Hubungan papah sama Mamah Hamzi tuh gimana?” “Hubungan papah sama Hamzi tuh apa?” “Kakak, mau papah jujur …”

Mobil melaju dengan lambat, dan kini roda empat tersebut menepi di daerah yang cukup sunyi. Jeano berniat keluar mobil sebentar untuk memberi kebebasan antara papah dan anak kersebut untuk menuntaskan segala kesalapahaman.

John yang semula duduk di kursi depan dengan Jeano, kini dirinya beralih ke kursi belakang bersama putrinya.

“Gak ada apa-apa sayang,” ungkap John sambil mengusap rambut sang anak.

“Tapi papah sayang sama Hamzi?”

“Papah lebih sayang sama kakak.”

“Kalau dia?”

“Siapa?”

“Ya dia.”

“Tante Sarah, sayang,” “Namanya Tante Sarah.”

“Iya apa?”

“Tante Sarah itu yang rawat mamah kakak.”

“Iya tau …”

Entah kenapa Alya menangis, mendengar jawaban enteng dari John. Karena bukan itu jawaban yang dirinya inginkan. Kalau iya, jawab iya, begitupun sebaliknya. Jawaban seperti itu membuat Alya yakin kalau ternyata Sarah itu sangat berarti bagi papahnya, bahkan hubungannya kini jauh lebih dekat.

“Jadi gimana?”

“Gimana, apanya?”

“Papah mau nikah aja sama dia?”

John mengernyitkan dahinya akibat pertanyaan Alya yang tiba-tiba.

“Papah mau ninggalin mamah aja?” “Kalau papah ninggalin mamah, berarti papah juga ninggalin kakak …” “Karena kakak pasti ikut mamah, mamah gak punya siapa-siapa lagi selain kakak …”

“Siapa juga yang mau ninggalin mamah, sayang …”

“Gapapa …” “Kakak udah dapet kasih sayang dari seumur hidup kakak,” “Dan itu harus papah kasih juga sama Hamzi …”

“Maksud kakak apa, sih?”

Alya hanya diam.

“Yang ada dipikiran kakak tuh apa sebenarnya?” “Tanya kebenarannya secara langsung, jangan menyimpulkan sendiri.” Suara John semakin meninggi.

“Yaudah gimana?”

“Tante Sarah itu adik tingkat papah sewaktu kuliah, walaupun beda jurusan,” “Kita satu organisasi—dulu,” “Dan sahabat papah menikahi Sarah …” “Tapi sahabat papah tidak bertanggung jawab, dia pergi ninggalin Tante sarah yang tengah mengandung Hamzi,” “Papah merasa bersalah, karena papah mengenalkan Tante sarah pada laki-laki tidak bertanggung jawab seperti dia.”

“Jadi papah ngerasa harus tanggung jawab?”

“Iya, karena awalnya papah juga yang mengenalkan dia,” “Tapi sewajarnya, karena papah juga punya keluarga sendiri.”

“Jadi, papah dekat dengan mereka itu selama itu?”

“Tante sarah sempat pindah dulu ke luar kota, dan kebetulan tiga tahun terakhir kita bertemu lagi di rumah sakit.”

Yang Alya heran, apakah sarah tidak menikah lagi? Apakah Sarah tidak kewalahan mengurus Hamzi sendirian? Atau jangan-jangan Papahnya sudah menikahi Sarah dari dulu?

“Perasaan tanggung jawab itu muncul lagi?” Alya kembali melemparkan pertanyaan.

“Kakak …” “Buang semua pikiran buruk kamu, papah itu punya kalian, papah itu punya kakak, punya mamah juga, udah, ya?”

“Papah hanya jadi obat buat mereka, ketika mereka hancur karena Sarah direndahkan oleh keluarga sahabat papah itu.”

“Papah jadi obat buat mereka? Tapi papah mau meninggalkan luka sama kita?” “Bukannya sama aja?”

“Luka apa kak? Kita gak ada hubungan apa-apa? Wajar kalau Hamzi papah anggap seperti anak sendiri,” “Papah liat Hamzi itu teringat kakak, kalian seumuran,” “Udah, gak usah mendebatkan hal-hal seperti ini lagi.”

“Bukan ingat sama kakak itu, tapi karena Hamzi adalah anak dari orang yang papah kagumi selama ini.”

“Udah kak, papah gak pernah selingkuh sama siapa pun, apalagi sama Sarah,” “Jangan egois, ya? Hamzi juga butuh sosok papah, yang gak bisa Sarah kasih karena trauma yang masih mendalam, kak …”

“Maaf karena sudah egois …” “Maaf juga karena kakak diam-diam buka ponsel papah.”

Mata Johon menyalang.

“Diajarin siapa?” “Diajarin siapa kakak buka ponsel orang lain?!”

“Papah itu papahnya kakak!” “Bukan orang lain!” “Harusnya papah gak semarah ini kalau diponselnya gak ada apa-apa!”

“Emang gak ada apa-apa,” suara John kini lebih rendah karena melihat derasnya air mata yang keluar dari sudut matanya.

Alya terus memukul-mukul dadanya yang tiba-tiba saja sesak bukan main.

“Sepertinya lebih banyak foto Hamzi dibandingkan foto kakak sendiri? sepertinya lebih banyak foto dia dibandingkan foto mamah?!” “Papah kalau mau nikah lagi sama dia tuh bilang, jangam diem-diem kayak gini, sakit tau gak?” ungkap Alya dengan suara menjerit.

“Alya!” “Jangan keterlaluan!” “Itu hanya foto!” “Enggak usah mikir aneh-aneh!”

“Gimana gak aneh?” “Chat papah sama mereka aja semanis itu, malah sampe ada groupnya?!” “INI SALAH SIAPA SIH?” “SALAH KAKAK?!” “ATAU SALAH KARENA MAMAH SAKIT?”

“Alya buka ponsel papah sampai mana?!” “Ngerti privasi gak?!!”

“ENGGAK!”

“Kenapa kakak jadi kayak gini, sayang …” John kembali mengatur emosinya.

“Kenapa?” “Kasar?!”

“Maafin papah, ya?”

“Kakak gak akan ikut perwalian,” “Kakak mau berhenti kuliah,” “Kakak mau cari kerja,” “Kakak mau temenin mamah,” “Kakak mau biayain pengobatan mamah sendiri.”

“Sayang …”

“Papah boleh pergi …” “Papah boleh pergi sama mereka …” “Kakak ikhlas … asal papah bener-bener bisa bahagia …”

Hati John seperti ditusuk beribu-ribu pedang, sakit dalam hatinya sudah tak bisa ia tahan lagi. Ucapan anaknya tersebut berhasil membuat air mata John lolos.

Dengan cepat, John keluar dari mobil tersebut, agar tangisannya tidak terlihat oleh sang anak.

Jeano yang ada disekitar sana terkaget melihat John sekacau ini.

“Gue gagal, Je …” “Gue gagal bahagian keluarga gue sendiri …” “Gue gagal didik anak gue sendiri …” “Gue gagal karena udah bikin Alya nangis, padahal gue udah janji sama Kirana untuk enggak bikin putrinya nangis separah ini …”

“Om …” “Om enggak usah ngomong kayak gini,” “Mungkin emosi Alya lagi gak stabil juga …”

“Gue aja yang brengsek, Je.”

“Om …”

“Tolong anterin kakak pulang sampe rumah, ya?” “Biarkan kakak istirahat …”

“Terus om gimana? Kan mobil om mogok?” “Jeano jemput lagi aja ke sini, boleh?”

“Gak usah, om bisa cari kendaraan umum,” “Maaf, ya? Om repotin lagi.”

Jeano sebenernya menghindari mereka agar dirinya tidak mendengarkan apa yang mereka perdebatkan. Sayangnya Jeano tidak terlalu jauh dalam mengambil posisi, sehingga Jeano mendengar semuanya perdebatannya dengan jelas.

Mamah

“Nyatanya emang ada ya anak durhaka tuh.”

“Berisik!”

“Udah mau dua taun mamah lo di sini, tapi lo baru nengok sekarang?”

“Lo ikhlas gak sih sebenernya? Lo juga kalau gak dipaksa Dafa, gak akan mau kan nganterin gue?” ungkap Alya kesal sambil berjalan menuju lobi dengan Shaga yang mengekori dirinya.

“Asal lo tau, setelah lo bikin tweet emot nangis di akun lo itu, gue langsung telfon lo!” “Gue langsung telfon lo, karena di suruh Dafa sih,” ungkap Shaga sambil unjuk gigi layaknya iklan-iklan pasta gigi.

“Nyengir lo!”

“Mau gue gendong gak?” “Gue yang liatin lo jalan pincang sebelah gitu, gue yang pegel.”

“Beneran?”

“Minta papah lo yang gendong sana, badan gue remuk ntar.”

“Lo tuh ngeselin banget, sumpah!” gerutu Alya sambil memukul pundak Shaga tanpa ampun.

Pukulan tersebut berhenti ketika seorang wanita paruh baya muncul dihadapannya bersama anak laki-laki seumuran dengan dirinya, dan yang membuat Alya lebih mematung adalah, anak laki-laki tersebut memakai jaket yang seperti tidak asing untuk dirinya.

Jaket Jordan yang Alya idam-idamkan, kini terpasang pada tubuh gagah Hamzi Prayoga Aditama yaitu anak satu-satunya dari Sarah yang berprofesi sebagai perawat rumah sakit jiwa tempat Kirana dirawat.

“Alya?” sapa Sarah dengan wajah terheran.

Tidak ada jawaban dari Alya. Dirinya pura-pura tidak mendengar sapaan dari Sarah yang kini menghampirinya.

“Kakinya lagi sakit, ya?”

Alya hanya menatap Sarah tajam dengan mata merah yang kini sudah berlinang air mata serta mengeratkan giginya seperti menahan marah.

“Alya udah!” “Gak sopan lo liatin orang tua kayak gitu!” Shaga menyadarkan Alya yang masih menatap dengan tatapan seperti benar-benar ingin membunuhnya.

“Kak …” tiba-tiba saja John datang dengan Jeano. Dipeluknya Alya agar anaknya tidak bersikap melewati batas.

Alya berontak dan melepaskan pelukan sang papah dengan kasar.

Tatatapan mematikan tersebut, kini beralih pada John.

“Di sini?” “Di sini juga?” “Di tempat ini?”

“Kak …”

“Bisa-bisanya papah di sini dengan wanita ini lagi?” Alya menunjuk Sarah masih dengan tatapan kebencian.

“Yang sopan kak!” “Kenapa harus sampai nunjuk-nunjuk segala?!” John dibuat marah untuk kali ini.

“Papah belain dia, sekarang?!”

“PULANG KAK!”

“MAMAH DIRAWAT DI SINI, PAH!” “MAMAH TINGGAL DI SINI KALAU LUPA!” “MAMAH LAGI SAKIT!”

“PULANG!” John meraih tangan Alya untuk mengajaknya pulang saat ini juga.

“LEPAS!” Alya berjalan melewati Sarah dan sekilas melihat wajah Hamzi dengan tatapan yang sama terhadap Sarah sebelumnya.

Tanpa memedulikan kakinya yang sakit karena luka yang belum kering, Alya berjalan ke arah luar.

“Alya …” Shaga kini bingung dibuatnya, kenapa keadaan bisa memanas seperti ini. Shaga langsung mengejar Alya.

Diikuti dengan John dan Jeano.

Sebelum pergi mengejar Alya, John sempat menepuk pundak Sarah, meminta maaf atas kelakuan putrinya serta memaksa mengerti keadaan putrinya untuk saat ini.

“Alya … kaki lo lagi sakit …” “Pelan-pelan jalannya …” Shaga terus menghawatirkan Alya yang berjalan pincang.

Rasa sakit dalam hati Alya, sepertinya lebih besar dibandingkan dengan luka fisik yang ia punya saat ini. Alya tidak memedulikan apa yang dikatakan Shaga, dirina hanya fokus untuk berjalan, Alya hanya ingin pulang dan menangis sejadi-jadinya.

Dilihatnya kaki Alya yang dibalut dengan kasa gulung yang kini bercak merahnya mulai terlihat semakin banyak, karena hentakan langkah yang cukup keras.

Melihat itu Jeano langsung berjalan mendahului Alya dan dirinya membungkuk tepat di depan Alya sehingga langkah Alya berhenti seketika.

“Naik, Al.” Jeano menawarkan punggung kekarnya untuk menggendong Alya.

“…”

“Mobilnya parkir sebelah sana, masih jauh.” Jeano membujuk Alya.

Karena rasa sakit yang semakin terasa, Alya kini mendaratkan tubuhnya pada Jeano.

“Perih, Je …”

“Tahan sebentar, ya?”

John langsung membukakan pintu mobil Jeano, agar Alya bisa masuk, sedangkan Shaga hanya pamit untuk pulang karena dirinya jua membawa mobil.

“Serius gak apa-apa saya numpang pake mobil kamu lagi, Je?”

“Gapapa banget, om.”

“Ya sudah, saya saja yang nyetir.”

“Jeano aja, om,” ungkap Jeano sambil masuk ke dalam dan langsung melihat Alya dari kaca spion depan ke arah Alya yang duduk di kursi tengah, sedangkan John duduk di kursi depan dengan dirinya.

Sepanjang perjalanan, Alya tidak bersuara sedikit pun, dirinya terus melemparkan tatapan kosong ke arah samping kiri kaca untuk melihat apa yang terjadi saat itu diluaran sana.

Mamah

“Nyatanya emang ada ya anak durhaka tuh.”

“Berisik!”

“Udah mau dua taun mamah lo di sini, tapi lo baru nengok sekarang?”

“Lo ikhlas gak sih sebenernya? Lo juga kalau gak dipaksa Dafa, gak akan mau kan nganterin gue?” ungkap Alya kesal sambil berjalan menuju lobi dengan Shaga yang mengekori dirinya.

“Asal lo tau, setelah lo bikin tweet emot nangis di akun lo itu, gue langsung telfon lo!” “Gue langsung telfon lo, karena di suruh Dafa sih,” ungkap Shaga sambil unjuk gigi layaknya iklan-iklan pasta gigi.

“Nyengir lo!”

“Mau gue gendong gak?” “Gue yang liatin lo jalan pincang sebelah gitu, gue yang pegel.”

“Beneran?”

“Minta papah lo yang gendong sana, badan gue remuk ntar.”

“Lo tuh ngeselin banget, sumpah!” gerutu Alya sambil memukul pundak Shaga tanpa ampun.

Pukulan tersebut berhenti ketika seorang wanita paruh baya muncul dihadapannya bersama anak laki-laki seumuran dengan dirinya, dan yang membuat Alya lebih mematung adalah, anak laki-laki tersebut memakai jaket yang seperti tidak asing untuk dirinya.

Jaket Jordan yang Alya idam-idamkan, kini terpasang pada tubuh gagah Hamzi Prayoga Aditama yaitu anak satu-satunya dari Sarah yang berprofesi sebagai perawat rumah sakit jiwa tempat Kirana dirawat.

“Alya?” sapa Sarah dengan wajah terheran.

Tidak ada jawaban dari Alya. Dirinya pura-pura tidak mendengar sapaan dari Sarah yang kini menghampirinya.

“Kakinya lagi sakit, ya?”

Alya hanya menatap Sarah tajam dengan mata merah yang kini sudah berlinang air mata serta mengeratkan giginya seperti menahan marah.

“Alya udah!” “Gak sopan lo liatin orang tua kayak gitu!” Shaga menyadarkan Alya yang masih menatap dengan tatapan seperti benar-benar ingin membunuhnya.

“Kak …” tiba-tiba saja John datang dengan Jeano. Dipeluknya Alya agar anaknya tidak bersikap melewati batas.

Alya berontak dan melepaskan pelukan sang papah dengan kasar.

Tatatapan mematikan tersebut, kini beralih pada John.

“Di sini?” “Di sini juga?” “Di tempat ini?”

“Kak …”

“Bisa-bisanya papah di sini dengan wanita ini lagi?” Alya mnunjuk Sarah masih dengan tatapan kebencian.

“Yang sopan kak!” “Kenapa harus sampai nunjuk-nunjuk segala?!” John dibuat marah untuk kali ini.

“Papah belain dia, sekarang?!”

“PULANG KAK!”

“MAMAH DIRAWAT DI SINI, PAH!” “MAMAH TINGGAL DI SINI KALAU LUPA!” “MAMAH LAGI SAKIT!”

“PULANG!” John meraih tangan Alya untuk mengajaknya pulang saat ini juga.

“LEPAS!” Alya berjalan melewati Sarah dan sekilas melihat wajah Hamzi dengan tatapan yang sama terhadap Sarah sebelumnya.

Tanpa memedulikan kakinya yang sakit karena luka yang belum kering, Alya berjalan ke arah luar.

“Alya …” Shaga kini bingung dibuatnya, kenapa keadaan bisa memanas seperti ini. Shaga langsung mengejar Alya.

Diikuti dengan John dan Jeano.

Sebelum pergi mengejar Alya, John sempat menepuk pundak Sarah, meminta maaf atas kelakuan putrinya serta memaksa mengerti keadaan putrinya untuk saat ini.

“Alya … kaki lo lagi sakit …” “Pelan-pelan jalannya …” Shaga terus menghawatirkan Alya yang berjalan pincang.

Rasa sakit dalam hati Alya, sepertinya lebih besar dibandingkan dengan luka fisik yang ia punya saat ini. Alya tidak memedulikan apa yang dikatakan Shaga, dirina hanya fokus untuk berjalan, Alya hanya ingin pulang dan menangis sejadi-jadinya.

Dilihatnya kaki Alya yang dibalut dengan kasa gulung yang kini bercak merahnya mulai terlihat semakin banyak, karena hentakan langkah yang cukup keras.

Melihat itu Jeano langsung berjalan mendahului Alya dan dirinya membungkuk tepat di depan Alya sehingga langkah Alya berhenti seketika.

“Naik, Al.” Jeano menawarkan punggung kekarnya untuk menggendong Alya.

“…”

“Mobilnya parkir sebelah sana, masih jauh.” Jeano membujuk Alya.

Karena rasa sakit yang semakin terasa, Alya kini mendaratkan tubuhnya pada Jeano.

“Perih, Je …”

“Tahan sebentar, ya?”

John langsung membukakan pintu mobil Jeano, agar Alya bisa masuk, sedangkan Shaga hanya pamit untuk pulang karena dirinya jua membawa mobil.

“Serius gak apa-apa saya numpang pake mobil kamu lagi, Je?”

“Gapapa banget, om.”

“Ya sudah, saya saja yang nyetir.”

“Jeano aja, om,” ungkap Jeano sambil masuk ke dalam dan langsung melihat Alya dari kaca spion depan ke arah Alya yang duduk di kursi tengah, sedangkan John duduk di kursi depan dengan dirinya.

Sepanjang perjalanan, Alya tidak bersuara sedikit pun, dirinya terus melemparkan tatapan kosong ke arah samping kiri kaca untuk melihat apa yang terjadi saat itu diluaran sana.

tw // blood

Alya masih terduduk di meja makan, padahal makanan sudah ia lahap habis, entah kerasukan apa, bubur ayam dengan satu porsi yang segitu banyaknya, ia lahap sampai habis tanpa sisa, satu kejadia langka untuk Alya karena bisa menghabiskan makanan sebanyak itu.

Alya sarapan sendirian karena Papahnya sudah pergi sejak satu jam yang lalu. Ingin sekali marah terhadap papahnya tersebut, namun salah sendiri karena tidak berdamai dengan prasangka-prasangka yang ada dalam kepalanya dan memilih sendirian lagi.

Dengan terpaksa dirinya mengambil mangkok bekas bubur untuk ia cuci dan dengan langkah gontai ia menghampiri wastafel kemudian mencuci mangkok tersebut. Saat ini Alya bisa disebut tidak ramah dalam menggunakan air, bagaimana tidak, satu buah mangkok dan sendok yang ia cuci dapat menghabiskan lima puluh ember air, kasarnya. Saat membersihkan mangkok tersebut ia bilas dengan air mengalir yang deras selama sepuluh menit lamanya. Alya tersadar dari lamunannya kini ia mematikan keran dan menyimpan mangkok dan sendok tersebut.

Entah ada apa dengan Alya, mangkok yang ia cuci dengan memerlukan waktu cukup lama seketika mangkok tersebut meluncur ke lantai karena tidak tepat menyimpan ke dalam rak. Alhasil semua yang ia kerjakan rasanya sia-sia. Alya hanya bisa mengembuskan napas kasar dan dengan lemas membereskan pecahan mangkok beling tersebut agar tidak terinjak oleh kaki siapa pun itu.

Teringat bayang-bayang dahulu kala dimana dirinya bersama sang mamah. Sebenarnya Alya tidak begitu dekat dengan mamahnya tersebut. Kirana adalah nama dari istri John dan sekaligus mamah dari Alya memang jarang ada di rumah sejak dulu. Kirana sibuk berobat sana sini dan aka pulang mengurus anaknya kalau dirinya sudah membaik.

Keadaan kirana sudah jauh membaik berkat John yag selalu berusaha yang terbaik untuk istrinya dan Kirana yang selalu mau diusahakan. Satu bulan kemudian Kirana mendapatka anugerah besar dan memang selalu kirana dan John tunggu-tunggu yaitu Kirana kembali mengadung setelah sekian lama.

Lagi-lagi kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama, tiba-tiba saja terjadi sesuatu terhadap adik kecil yang Kirana kandung, bayi yang sudah tujuh bulan dalam kandungan teryata lebih dulu bertemu Tuhan dibandingkan bertemu dengan mamah dan papahnya juga Alya. Kejadian tersebut cukup membuat Kirana terpukul dan kembali berpikir keras sehingga Kirana kembali terpuruk yang menyebabkan depresi berat, diagnosa dokter tentang lenyakitnya itu kini menghampirinya kembali.

Kehilangan adik bayi memang salah satu kesedihan untuk John, tetapi kehilangan sosok istri karena mulai direnggut penyakitnya jauh lebih menyakitkan.

John kembali berusaha untuk mengobati Kirana namun hasil yang di dapat sampai sekarang yaitu bukan yang John harapkan.

Akhirnya John memutuskan untuk memasukkan Kirana ke tempat yang memaksakan Kirana tinggal di sana yaitu di poli jiwa.

Saat itu Alya sedang fokus ujian Sekolah Menengah Atas dan fokus mengikuti ujian masuk universitas. Dengan kesibukannya, Alya hanya iya-iya saja dan percaya dengan apa yang dikatakan John tentang keadaan mamahnya bahwasannya mamahnya sedang melakukan bisnis atau apalah itu. Dari dulu Alya tidak pernah diberi tahu kalau mamahnya mengidap penyakit yang kini sedang dideritanya.

Alya semakin terbisa tanpa kehadiran sang mamah karena satu waktu pasti rindu yang amat sangat tersebut akan reda ketika Kirana pulang dan memanjakan dirinya kembali seperti biasanya.

Alya terus seperti itu, bahkan Alya lebih dekat dengan sang nenek yang kebetulan dua tahun terakhir sudah meninggalkan dirinya kehadapan Tuhan. Rasa kesepian tersebut mulai muncul, mulai Alya rasakan ternyata ada yang hilang dalam dirinya yaitu kehangatan sang mamah.

Alya terus menunggu kehadiran sang mamah namun pada akhirnya sang mamah ternyata sudah berada di rumah sakit sejak lama dan belum bisa di bawa pulang ke rumah.

John juga enggan memberi tahu Alya dengan harapan Kirana bisa membaik kembali dan kembali pada keluarga kecilnya.

Waktu berjalan begitu cepat hingga Alya terus bertanya keadaan Kirana dan John selalu menjawab mamah sibuk, mamah baik-baik saja, mamah sebentar lagi pulang. Terus menjawab seperti itu dan John selalu menutupi dengan memberi banyak kasih sayang dan memberi perhatian terhadap putrinya agar rasa rindu tersebut dapat terobati.

Saat ini, entah kenapa Alya merasakan sesak begitu mendalam ketika mengingat harus membiarkan mamahnya tinggal ditempat yang tidak sehangat dengan rumahnya ini.

Muncul dibenak Alya untuk menjenguk sang mamah saat ini juga. Dengan sigap dirinya membereskan pecahan mangkok tersebut dan membawanya ke luar untuk ia buang ke tempat sampah khusus yang terletak di teras rumah tempat John dan bibi membuang botol kaca.

Melangkah melewati meja makan ternyata ponselnya sudah bergetar di sana, denga refleks Alya menjatuhkan pecahan tersebut yang sudah ia pungut dengan tangan telanjangnya yang kini tidak sengaja ia injak juga dengan kaki telanjangnya. Sempat menjerit kesakitan namun Alya hiraukan demi mengangkat sebuah telfon yang ia tunggu-tunggu sejak beberapa hari terakhir.

Alya mengangkat telfon tersebut dan belum ada jawaban di sana, hening selama tiga puluh detik. Alya hanya bisa menangis. Entah menangis karena rindu yang ia tahan atau karena sakit di kakinya karena mengijak pecahan beling yang kini ia merasakan perih ditelapak kakinya.

“Ayah …” “Halo?” “Halo?” Alya terus menunggu jawaban dari sana yang masih berujung sepi.

”Halo Alya?” Akhirnya suara Chandra jelas terdengar di telinga Alya.

“Halo …”

“Alya sehat di sana, sayang?” “Maaf ya, ayah baru memberikan kabar sekarang,” “Pesan Alya sudah ayah baca semua, sayang,” “Halo?”

“…”

“Halo?” “Alya gapapa, sayang?”

“Ayah apa kabar?”

“Baik sayang, kami semua disini baik-baik saja, buna, Rey, semuanya baik.”

“Alya boleh ke sana?” “Alya mau ke sana …”

“Jangan sayang?” “Sebentar lagi kita pulang, ya.”

“…”

“Alya jangan nangis, sayang,” “Kita semua pasti segera bertemu, ya?”

“Ayah …”

“Iya?”

“Rey mana?”

“Ada, sayang”

“Mau ngobrol boleh?”

“Boleh,” “Tapi nanti lagi, ya?”

“Kenapa harus nanti …” “Rey baik-baik aja, kan?”

“Baik, sayang.”

“Alya mau ke sana, yah …”

“Jangan, sayang,” “Masa papah mau ditinggal sendirian?”

“Alya mau ke sana pokonya.”

“Jangan, ya?” “Aa juga selalu bilang, jangan ada yang menengok ke sini, katanya.”

“Alya selalu doakan Aa, supaya aa cepat ke Indo, ya?” “Kita sambung nanti, Ini ada yang telfon ayah, penting, gapapa sayang?”

“…”

“Halo, sayang?”

“Iya, yah …”

“Maaf, ya? Sambung lagi nanti, boleh?”

“Iya …”

“Ayah tutup, ya?”

Telfonnya saat ini terputus sehingga membuat Alya menangis histeris di sana dengan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya.

Tidak lama kemudian John muncul dengan wajah panik karena melihat anaknya yang sudah menangis, dan lebih paniknya, darah yang mengalir dari telapak kaki sebelah kiri yang kini sudah mulai mengering karena saking lamanya ia biarkan terbuka.

John mengetahui Alya seperti ini karena baru saja mendapat pesan dari Chandra kalau putrinya sedang tidak baik-baik saja. Chandra terus meminta maaf kepada John karena Alya dibuat menangis olehnya. John langsung pulang saat itu juga dan meninggalkan Sarah dengan anaknya terlebih dahulu.

“KAKAK.” John semakin khawatir dan langsung menghampiri Alya.

John dengan segera membersihkan luka anaknya tersebut karena ditakutkan infeksi atau tidak darah yang mengalir keluar akan semakin banyak.

Sedangkan Alya masih terus menangis, sepertinya sakit dalam hatinya saat ini jauh lebih besar dibandingkan luka pada kakinya, karena ketika John membersihkan luka yang cukup besarpun tidak Alya hiraukan.

Setelah memberika pertolongan pertama pada luka yang entah berapa pecahan beling yang masuk, John kini memeluk anaknya hangat.

“Jangan nangis terus, sayang,” “Nanti kamu capek.” John kerus berusaha menenangkan anaknya.

Alya kini berada dalam dekapan John.

“Kenapa Nayla bisa …”

“Hmm?” “Siapa?”

“Kenapa Nayla bisa,” lirih Alya dengan suara gemetar dan lebih berat dari biasanya.

“Nayla?”

“Harusnya kakak juga bisa, kalau Nayla bisa …”

“Nayla teman kakak?”

“Nayla bisa tengok Rey ke sana, tapi kenapa kakak enggak bisa,” “Kakak salah apa sama Rey,” “Kakak salah apa sama Ayah Chandra,” “Kakak punya salah apa sama Buna Wenny.”

Alya kembali menangis.

John kini mengerti apa yang diucapkan putrinya tersebut.

Dadanya sakit ketika anaknya menangis karena ulah dirinya jug tidak mengizinkan anaknya untuk bertemu Rey.

“Kakak mau jenguk Rey?”

Alya menggeleng lemah di sana.

Alya kini melepaskan pelukan papahnya tersebut yang kini dirinya masih tersedu-sedu, beranjak menuju kamarnya dan berjalan pelan karena sakit pada kaki kirinya.

“Kak …”

“Sekarang bukan papah aja yang gak izinin kakak, tapi Ayah Chandra juga gak izinin kakak ke sana …” lirih Alya lemah.

“Kak …” John sambil membantu Alya yang saat ini kesusahan berjalan.

“Kakak mau istirahat dulu …” Alya melepaskan bantuan John dan memilih masuk kamar sendirian.

tw // bood

Alya masih terduduk di meja makan, padahal makanan sudah ia lahap habis, entah kerasukan apa, bubur ayam dengan satu porsi yang segitu banyaknya, ia lahap sampai habis tanpa sisa, satu kejadia langka untuk Alya karena bisa menghabiskan makanan sebanyak itu.

Alya sarapan sendirian karena Papahnya sudah pergi sejak satu jam yang lalu. Ingin sekali marah terhadap papahnya tersebut, namun salah sendiri karena tidak berdamai dengan prasangka-prasangka yang ada dalam kepalanya dan memilih sendirian lagi.

Dengan terpaksa dirinya mengambil mangkok bekas bubur untuk ia cuci dan dengan langkah gontai ia menghampiri wastafel kemudian mencuci mangkok tersebut. Saat ini Alya bisa disebut tidak ramah dalam menggunakan air, bagaimana tidak, satu buah mangkok dan sendok yang ia cuci dapat menghabiskan lima puluh ember air, kasarnya. Saat membersihkan mangkok tersebut ia bilas dengan air mengalir yang deras selama sepuluh menit lamanya. Alya tersadar dari lamunannya kini ia mematikan keran dan menyimpan mangkok dan sendok tersebut.

Entah ada apa dengan Alya, mangkok yang ia cuci dengan memerlukan waktu cukup lama seketika mangkok tersebut meluncur ke lantai karena tidak tepat menyimpan ke dalam rak. Alhasil semua yang ia kerjakan rasanya sia-sia. Alya hanya bisa mengembuskan napas kasar dan dengan lemas membereskan pecahan mangkok beling tersebut agar tidak terinjak oleh kaki siapa pun itu.

Teringat bayang-bayang dahulu kala dimana dirinya bersama sang mamah. Sebenarnya Alya tidak begitu dekat dengan mamahnya tersebut. Kirana adalah nama dari istri John dan sekaligus mamah dari Alya memang jarang ada di rumah sejak dulu. Kirana sibuk berobat sana sini dan aka pulang mengurus anaknya kalau dirinya sudah membaik.

Keadaan kirana sudah jauh membaik berkat John yag selalu berusaha yang terbaik untuk istrinya dan Kirana yang selalu mau diusahakan. Satu bulan kemudian Kirana mendapatka anugerah besar dan memang selalu kirana dan John tunggu-tunggu yaitu Kirana kembali mengadung setelah sekian lama.

Lagi-lagi kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama, tiba-tiba saja terjadi sesuatu terhadap adik kecil yang Kirana kandung, bayi yang sudah tujuh bulan dalam kandungan teryata lebih dulu bertemu Tuhan dibandingkan bertemu dengan mamah dan papahnya juga Alya. Kejadian tersebut cukup membuat Kirana terpukul dan kembali berpikir keras sehingga Kirana kembali terpuruk yang menyebabkan depresi berat, diagnosa dokter tentang lenyakitnya itu kini menghampirinya kembali.

Kehilangan adik bayi memang salah satu kesedihan untuk John, tetapi kehilangan sosok istri karena mulai direnggut penyakitnya jauh lebih menyakitkan.

John kembali berusaha untuk mengobati Kirana namun hasil yang di dapat sampai sekarang yaitu bukan yang John harapkan.

Akhirnya John memutuskan untuk memasukkan Kirana ke tempat yang memaksakan Kirana tinggal di sana yaitu di poli jiwa.

Saat itu Alya sedang fokus ujian Sekolah Menengah Atas dan fokus mengikuti ujian masuk universitas. Dengan kesibukannya, Alya hanya iya-iya saja dan percaya dengan apa yang dikatakan John tentang keadaan mamahnya bahwasannya mamahnya sedang melakukan bisnis atau apalah itu. Dari dulu Alya tidak pernah diberi tahu kalau mamahnya mengidap penyakit yang kini sedang dideritanya.

Alya semakin terbisa tanpa kehadiran sang mamah karena satu waktu pasti rindu yang amat sangat tersebut akan reda ketika Kirana pulang dan memanjakan dirinya kembali seperti biasanya.

Alya terus seperti itu, bahkan Alya lebih dekat dengan sang nenek yang kebetulan dua tahun terakhir sudah meninggalkan dirinya kehadapan Tuhan. Rasa kesepian tersebut mulai muncul, mulai Alya rasakan ternyata ada yang hilang dalam dirinya yaitu kehangatan sang mamah.

Alya terus menunggu kehadiran sang mamah namun pada akhirnya sang mamah ternyata sudah berada di rumah sakit sejak lama dan belum bisa di bawa pulang ke rumah.

John juga enggan memberi tahu Alya dengan harapan Kirana bisa membaik kembali dan kembali pada keluarga kecilnya.

Waktu berjalan begitu cepat hingga Alya terus bertanya keadaan Kirana dan John selalu menjawab mamah sibuk, mamah baik-baik saja, mamah sebentar lagi pulang. Terus menjawab seperti itu dan John selalu menutupi dengan memberi banyak kasih sayang dan memberi perhatian terhadap putrinya agar rasa rindu tersebut dapat terobati.

Saat ini, entah kenapa Alya merasakan sesak begitu mendalam ketika mengingat harus membiarkan mamahnya tinggal ditempat yang tidak sehangat dengan rumahnya ini.

Muncul dibenak Alya untuk menjenguk sang mamah saat ini juga. Dengan sigap dirinya membereskan pecahan mangkok tersebut dan membawanya ke luar untuk ia buang ke tempat sampah khusus yang terletak di teras rumah tempat John dan bibi membuang botol kaca.

Melangkah melewati meja makan ternyata ponselnya sudah bergetar di sana, denga refleks Alya menjatuhkan pecahan tersebut yang sudah ia pungut dengan tangan telanjangnya yang kini tidak sengaja ia injak juga dengan kaki telanjangnya. Sempat menjerit kesakitan namun Alya hiraukan demi mengangkat sebuah telfon yang ia tunggu-tunggu sejak beberapa hari terakhir.

Alya mengangkat telfon tersebut dan belum ada jawaban di sana, hening selama tiga puluh detik. Alya hanya bisa menangis. Entah menangis karena rindu yang ia tahan atau karena sakit di kakinya karena mengijak pecahan beling yang kini ia merasakan perih ditelapak kakinya.

“Ayah …” “Halo?” “Halo?” Alya terus menunggu jawaban dari sana yang masih berujung sepi.

”Halo Alya?” Akhirnya suara Chandra jelas terdengar di telinga Alya.

“Halo …”

“Alya sehat di sana, sayang?” “Maaf ya, ayah baru memberikan kabar sekarang,” “Pesan Alya sudah ayah baca semua, sayang,” “Halo?”

“…”

“Halo?” “Alya gapapa, sayang?”

“Ayah apa kabar?”

“Baik sayang, kami semua disini baik-baik saja, buna, Rey, semuanya baik.”

“Alya boleh ke sana?” “Alya mau ke sana …”

“Jangan sayang?” “Sebentar lagi kita pulang, ya.”

“…”

“Alya jangan nangis, sayang,” “Kita semua pasti segera bertemu, ya?”

“Ayah …”

“Iya?”

“Rey mana?”

“Ada, sayang”

“Mau ngobrol boleh?”

“Boleh,” “Tapi nanti lagi, ya?”

“Kenapa harus nanti …” “Rey baik-baik aja, kan?”

“Baik, sayang.”

“Alya mau ke sana, yah …”

“Jangan, sayang,” “Masa papah mau ditinggal sendirian?”

“Alya mau ke sana pokonya.”

“Jangan, ya?” “Aa juga selalu bilang, jangan ada yang menengok ke sini, katanya.”

“Alya selalu doakan Aa, supaya aa cepat ke Indo, ya?” “Kita sambung nanti, Ini ada yang telfon ayah, penting, gapapa sayang?”

“…”

“Halo, sayang?”

“Iya, yah …”

“Maaf, ya? Sambung lagi nanti, boleh?”

“Iya …”

“Ayah tutup, ya?”

Telfonnya saat ini terputus sehingga membuat Alya menangis histeris di sana dengan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya.

Tidak lama kemudian John muncul dengan wajah panik karena melihat anaknya yang sudah menangis, dan lebih paniknya, darah yang mengalir dari telapak kaki sebelah kiri yang kini sudah mulai mengering karena saking lamanya ia biarkan terbuka.

John mengetahui Alya seperti ini karena baru saja mendapat pesan dari Chandra kalau putrinya sedang tidak baik-baik saja. Chandra terus meminta maaf kepada John karena Alya dibuat menangis olehnya. John langsung pulang saat itu juga dan meninggalkan Sarah dengan anaknya terlebih dahulu.

“KAKAK.” John semakin khawatir dan langsung menghampiri Alya.

John dengan segera membersihkan luka anaknya tersebut karena ditakutkan infeksi atau tidak darah yang mengalir keluar akan semakin banyak.

Sedangkan Alya masih terus menangis, sepertinya sakit dalam hatinya saat ini jauh lebih besar dibandingkan luka pada kakinya, karena ketika John membersihkan luka yang cukup besarpun tidak Alya hiraukan.

Setelah memberika pertolongan pertama pada luka yang entah berapa pecahan beling yang masuk, John kini memeluk anaknya hangat.

“Jangan nangis terus, sayang,” “Nanti kamu capek.” John kerus berusaha menenangkan anaknya.

Alya kini berada dalam dekapan John.

“Kenapa Nayla bisa …”

“Hmm?” “Siapa?”

“Kenapa Nayla bisa,” lirih Alya dengan suara gemetar dan lebih berat dari biasanya.

“Nayla?”

“Harusnya kakak juga bisa, kalau Nayla bisa …”

“Nayla teman kakak?”

“Nayla bisa tengok Rey ke sana, tapi kenapa kakak enggak bisa,” “Kakak salah apa sama Rey,” “Kakak salah apa sama Ayah Chandra,” “Kakak punya salah apa sama Buna Wenny.”

Alya kembali menangis.

John kini mengerti apa yang diucapkan putrinya tersebut.

Dadanya sakit ketika anaknya menangis karena ulah dirinya jug tidak mengizinkan anaknya untuk bertemu Rey.

“Kakak mau jenguk Rey?”

Alya menggeleng lemah di sana.

Alya kini melepaskan pelukan papahnya tersebut yang kini dirinya masih tersedu-sedu, beranjak menuju kamarnya dan berjalan pelan karena sakit pada kaki kirinya.

“Kak …”

“Sekarang bukan papah aja yang gak izinin kakak, tapi Ayah Chandra juga gak izinin kakak ke sana …” lirih Alya lemah.

“Kak …” John sambil membantu Alya yang saat ini kesusahan berjalan.

“Kakak mau istirahat dulu …” Alya melepaskan bantuan John dan memilih masuk kamar sendirian.

tw // bood

Alya masih terduduk di meja makan, padahal makanan sudah ia lahap habis, entah kerasukan apa, bubur ayam dengan satu porsi yag segitu banyaknya, ia lahap habis tapa sisa, satu kejadia langka untuk Alya karena bisa menghabiskan makanan sebanyak itu.

Alya sarapan sendirian karena Ayahnya sudah pergi sejak satu jam yang lalu. Ingin sekali marah terhadap papahnya tersebut, namun salah sendiri karena tidak berdamai dengan prasangka-prasangka yang ada dalam kepalanya dan memilih sendirian lagi.

Dengan terpaksa dirinya mengambil mangkok bekas bubur untuk ia cuci dan dengan langkah gontai ia menghampiri wastafel kemudian mencuci mangkok tersebut. Saat ini Alya bisa disebut tidak ramah air, bagaimana tidak mangkok dan sendok yang ia cuci dapat menghabiskan lima puluh ember air, kasarnya. Saat membersihkan mangkok tersebut ia bilas dengan air mengalir yang deras selama sepuluh menit lamanya. Alya tersadar dari lamunannya kini ia mematikan keran dan menyimpan mangkok dan sendok tersebut.

Entah ada apa dengan Alya, mangkok yang ia cuci dengan memerlukan waktu cukup lama seketika mangkok tersebut meluncur ke lantai karena tidak tepat menyimpan ke dalam rak. Alhasil semua yang ia kerjakan rasanya sia-sia. Alya hanya bisa mengembuskan napas kasar dan dengan lemas membereskan pecahan mangkok beling tersebut agar tidak terinjak oleh kaki siapa pun itu.

Teringat bayang-bayang dahulu kala dimana dirinya bersama sang mamah. Sebenarnya Alya tidak begitu dekat dengan mamahnya tersebut. Kirana adalah nama dari istri John dan sekaligus mamah dari Alya memang jarang ada di rumah sejak dulu. Kirana sibuk berobat sana sini dan aka pulang mengurus anaknya kalau dirinya sudah membaik.

Keadaan kirana sudah jauh membaik berkat John yag selau berusaha yang terbaik untuk istrinya dan Kirana yang selalu mau diusahakan. Satu bulan kemudian Kirana mendapatka anugerah besar dan memang selalu kirana dan John tunggu-tunggu yaitu Kirana kembai mengadung setelah sekian lama. Lagi-lagi kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama, tiba-tiba saja terjadi sesuatu terhadap adik kecil yang Kirana kandung, bayi yang sudah tujuh bulan dalam kandungan teryata lebih dulu bertemu Tuhan dibandingkan bertemu dengan ibu dan ayahnya juga Alya. Kejadian tersebut cukup membuat Kirana terpukul dan kembali berpikir keras sehingga Kirana kembali terpuruk yang menyebabkan depresi berat, diagnosa dokter dahulu kala, kini menghampirinya kembali.

Kehilangan adik bayi memang salah satu kesedihan untuk John, tetapi kehilangan sosok istri karena mulai direnggut penyakitnya jauh lebih sakit.

John kembali berusaha untuk mengobati Kirana namun hasil yang di dapat sampai sekarang yaitu bukan yang John harapkan. Akhirnya John memutuskan untuk memasukkan Kirana ke tempat yang memaksakan Kirana tinggal di sana yaitu di poli jiwa.

Saat itu Alya sedang fokus ujian Sekolah Menengah Atas dan fokus mengikuti ujian masuk universitas. Dengan kesibukannya, Alya hanya iya-iya saja dan percaya ap yang dikatakan John tentang keadaan mamahnya bahwasannya mamahnya sedang melakukan bisnis atau apalah itu.

Alya semakin terbisa tanpa kehadiran sang mamah karena satu waktu pasti rindu yang amat sangat tersebut akan reda ketika Kirana pulang dan memanjakan dirinya kembali seperti biasanya. Alya terus seperti itu, bahkan Alya lebih dekat dengan sang nenek yang kebetulan dua tahun terakhir sudah meninggalkan dirinya kehadapan tuhan. Rasa kesepian tersebut mulai muncul, mulai Alya rasakan ternyata ada yang hilang dalam dirinya yaitu kehangatan sang mamah.

Alya terus menunggu kehadiran sang mamah namun pda akhirnya sang mamah ternyata sudah berada di rumah sakit sejak lama dan belum bisa di bawa pulang ke rumah.

John juga enggan memberi tahu Alya dengan harapan Kirana bisa membaik kembali dan kembali pada keluarga kecilnya.

Waktu berjalan begitu cepat hingga Alya terus bertanya keadaan Kirana dan John selalu menjawab mamah sibuk, mamah baik-baik saja, mamah sebentar lagi pulang. Terus menjawab seperti itu dan John selalu menutupi dengan mwmberi banyak kasih sayang dan memberi perhatian terhadap putrinya agar rasa ribdu tersebut dapat terobati.

Entah kenapa Alya merasakan sesak begitu mendalam ketika mengingat harus membiarkan mamahnya tinggal ditempat yang tidak sehangat dengan rumahnya saai ini.

Muncul dibenak Alya untuk menjenguk sang mamah saat ini juga. Dengan sigap dirinya membereskan pecahan mangkok tersebut dan membawanya ke luar untuk ia buang ke tempat sampah khusus yang terletak di teras rumah tempat John dan bibi membuang botol kaca.

Melangkah melewati meja makan ternyata ponselnya sudah bergetar di sana, denga refleks Alya menjatuhkan pecahan tersebut yag sudah ia pungut dengan tangan telanjangnya yang kini tidak sengaja ia injak juga dengan kaki telanjangnya. Sempat menjerit kesakitan namun Alya hiraukan demi mengangkat sebuah telfon yang ia tunggu-tunggu sejak beberapa hari terakhir.

Alya mengangkat telfon tersebut dan belum ada jawaban di sana, hening selama tiga puluh detik. Alya hanya bisa menangis. Entah menangis karena rindu yang ia tahan atau karena sakit di kakinya karena mengijak pecahan beling yang kini ia merasakan perih ditelapak kakinya.

“Ayah …” “Halo?” “Halo” Alya terus menunggu jawaban dari sana yang masih berujung sepi.

”Halo Alya?” Akhirnya suara Chandra jelas terdengar di telinga Alya.

“Halo …”

“Alya sehat di sana, sayang?” “Maaf ya ayah baru memberikan kabar sekarang,” “Pesan Alya sudah ayah baca semua, sayang,” “Halo?”

“…”

“Halo?” “Alya gapapa, sayang?”

“Ayah apa kabar?”

“Baik sayang, kami semua disini baik-baik saja, buna, Rey, semuanya baik.”

“Alya boleh ke sana?” “Alya mau ke sana …”

“Jangan sayang?” “Sebentar lagi kita pulang, ya.”

“…”

“Alya jangan nangis, sayang,” “Kita semua pasti segera bertemu, ya?”

“Ayah …”

“Iya?”

“Rey mana?”

“Ada, sayang”

“Mau ngobrol boleh?”

“Boleh,” “Tapi nanti lagi, ya?”

“Kenapa harus nanti …” “Rey baik-baik aja, kan?”

“Baik, sayang.”

“Alya mau ke sana, yah.”

“Jangan, sayang,” “Masa papah mau ditinggal sendirian?”

“Alya mau ke sana pokonya.”

“Jangan, ya?” “Aa juga selalu bilang, jangan ada yang menengok ke sini, katanya.”

“Alya selalu doakan Aa, supaya aa cepat ke Indo, ya?” “Kita sambung nanti, Ini ada yang telfon ayah, penting, gapapa sayang?”

“…”

“Halo, sayang?”

“Iya, yah …”

“Maaf, ya? Sambung lagi nanti, boleh?”

“Iya …”

“Ayah tutup, ya?”

Telfonnya saat ini terputus sehingga membuat Alya menangis histeris di sana dengan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya.

Tidak lama kemudian John muncul dengan wajah panik karena melihat anaknya yang sudah menangis, dan lebih paniknya, darah yang mengalir dari telapak kaki sebelah kiri yang kini sudah mulai mengering karena saking lamanya ia biarkan terbuka.

John mengetahui Alya seperti ini karena baru saja mendapat pesan dari Chandra kalau putrinya sedang tidak baik-baik saja. Chandra terus meminta maaf kepada John karena Alya dibuat menangis olehnya. John langsung pulang saat itu juga dan meninggalkan Sarah dengan anaknya lebih dulu.

“KAKAK.” John semakin khawatir dan langsung menghampiri Alya.

John dengan segera mmbersihkan luka anaknya tersebut karena ditakutkan infeksi atau tidak darah yang mengalir keluar akan semakin banyak.

Sedangkan Alya masih terus menangis, sepertinya sakit dalam hatinya saat ini jauh lebih besar dibandingkan luka pada kakinya, karena ketika John membersihkan luka yang cukup besarpun tidak Alya hiraukan.

Setelah memberika pertolonan pertama pada luka yag entah berapa pecahan beling yang masuk, John kini memeluk anaknya hangat.

“Jangan nangis terus, sayang,” “Nanti kamu capek.” John kerus berusaha menenangkan ankanya.

Alya kini berada dalam dekapan John.

“Kenapa Nayla bisa …”

“Hmm?” “Siapa?”

“Kenapa Nayla bisa,” lirih Alya dengan suara gemetar dan lebih berat dari biasanya.

“Nayla?”

“Harusnya kakak juga bisa, kalau Nayla bisa …”

“Nayla teman kakak?”

“Nayla bisa tengok Rey ke sana, tapi kenapa kakak enggak bisa,” “Kakak salah apa sama Rey,” “Kakak salah apa sama Ayah Chandra,” “Kakak punya salah apa sama Buna Wenny.”

Alya kembali menangis.

John kini mengerti apa yang diucapkan putrinya tersebut. Dadanya sakit ketika anaknya menangis karena ulah dirinya jug tidak mengizinkan anaknya untuk bertemu Rey.

“Kakak mau jenguk Rey?”

Alya menggeleng lemah di sana.

Alya kini melepaskan pelukan papahnya tersebut yang kini dirinya masih tersedu-sedu, beranjak menuju kamarnya dan berjalan pelan karena sakit pada kaki kirinya.

“Kak …”

“Sekarang bukan papah aja yang gak izinin kakak, tapi Ayah Chandra juga gak izinin kakak ke sana …” lirih Alya lemah.

“Kak …” John sambil membantu Alya yang saat ini kesusahan berjalan.

“Kakak mau istirahat dulu …” Alya melepaskan bantuan John dan memilih masuk kamar sendirian.