Ikhlas
Hening selama beberapa menit, Alya berhasil memecah keheningan dan kecanggungan yang ada. Tetap pandangan ke samping kaca, Alya bersuara, “Hubungan kalian sebenarnya seperti apa?”
Sontak John dan Jeano membeku seketika.
“Hubungan papah sama Mamah Hamzi tuh gimana?” “Hubungan papah sama Hamzi tuh apa?” “Kakak, mau papah jujur …”
Mobil melaju dengan lambat, dan kini roda empat tersebut menepi di daerah yang cukup sunyi. Jeano berniat keluar mobil sebentar untuk memberi kebebasan antara papah dan anak kersebut untuk menuntaskan segala kesalapahaman.
John yang semula duduk di kursi depan dengan Jeano, kini dirinya beralih ke kursi belakang bersama putrinya.
“Gak ada apa-apa sayang,” ungkap John sambil mengusap rambut sang anak.
“Tapi papah sayang sama Hamzi?”
“Papah lebih sayang sama kakak.”
“Kalau dia?”
“Siapa?”
“Ya dia.”
“Tante Sarah, sayang,” “Namanya Tante Sarah.”
“Iya apa?”
“Tante Sarah itu yang rawat mamah kakak.”
“Iya tau …”
Entah kenapa Alya menangis, mendengar jawaban enteng dari John. Karena bukan itu jawaban yang dirinya inginkan. Kalau iya, jawab iya, begitupun sebaliknya. Jawaban seperti itu membuat Alya yakin kalau ternyata Sarah itu sangat berarti bagi papahnya, bahkan hubungannya kini jauh lebih dekat.
“Jadi gimana?”
“Gimana, apanya?”
“Papah mau nikah aja sama dia?”
John mengernyitkan dahinya akibat pertanyaan Alya yang tiba-tiba.
“Papah mau ninggalin mamah aja?” “Kalau papah ninggalin mamah, berarti papah juga ninggalin kakak …” “Karena kakak pasti ikut mamah, mamah gak punya siapa-siapa lagi selain kakak …”
“Siapa juga yang mau ninggalin mamah, sayang …”
“Gapapa …” “Kakak udah dapet kasih sayang dari seumur hidup kakak,” “Dan itu harus papah kasih juga sama Hamzi …”
“Maksud kakak apa, sih?”
Alya hanya diam.
“Yang ada dipikiran kakak tuh apa sebenarnya?” “Tanya kebenarannya secara langsung, jangan menyimpulkan sendiri.” Suara John semakin meninggi.
“Yaudah gimana?”
“Tante Sarah itu adik tingkat papah sewaktu kuliah, walaupun beda jurusan,” “Kita satu organisasi—dulu,” “Dan sahabat papah menikahi Sarah …” “Tapi sahabat papah tidak bertanggung jawab, dia pergi ninggalin Tante sarah yang tengah mengandung Hamzi,” “Papah merasa bersalah, karena papah mengenalkan Tante sarah pada laki-laki tidak bertanggung jawab seperti dia.”
“Jadi papah ngerasa harus tanggung jawab?”
“Iya, karena awalnya papah juga yang mengenalkan dia,” “Tapi sewajarnya, karena papah juga punya keluarga sendiri.”
“Jadi, papah dekat dengan mereka itu selama itu?”
“Tante sarah sempat pindah dulu ke luar kota, dan kebetulan tiga tahun terakhir kita bertemu lagi di rumah sakit.”
Yang Alya heran, apakah sarah tidak menikah lagi? Apakah Sarah tidak kewalahan mengurus Hamzi sendirian? Atau jangan-jangan Papahnya sudah menikahi Sarah dari dulu?
“Perasaan tanggung jawab itu muncul lagi?” Alya kembali melemparkan pertanyaan.
“Kakak …” “Buang semua pikiran buruk kamu, papah itu punya kalian, papah itu punya kakak, punya mamah juga, udah, ya?”
“Papah hanya jadi obat buat mereka, ketika mereka hancur karena Sarah direndahkan oleh keluarga sahabat papah itu.”
“Papah jadi obat buat mereka? Tapi papah mau meninggalkan luka sama kita?” “Bukannya sama aja?”
“Luka apa kak? Kita gak ada hubungan apa-apa? Wajar kalau Hamzi papah anggap seperti anak sendiri,” “Papah liat Hamzi itu teringat kakak, kalian seumuran,” “Udah, gak usah mendebatkan hal-hal seperti ini lagi.”
“Bukan ingat sama kakak itu, tapi karena Hamzi adalah anak dari orang yang papah kagumi selama ini.”
“Udah kak, papah gak pernah selingkuh sama siapa pun, apalagi sama Sarah,” “Jangan egois, ya? Hamzi juga butuh sosok papah, yang gak bisa Sarah kasih karena trauma yang masih mendalam, kak …”
“Maaf karena sudah egois …” “Maaf juga karena kakak diam-diam buka ponsel papah.”
Mata Johon menyalang.
“Diajarin siapa?” “Diajarin siapa kakak buka ponsel orang lain?!”
“Papah itu papahnya kakak!” “Bukan orang lain!” “Harusnya papah gak semarah ini kalau diponselnya gak ada apa-apa!”
“Emang gak ada apa-apa,” suara John kini lebih rendah karena melihat derasnya air mata yang keluar dari sudut matanya.
Alya terus memukul-mukul dadanya yang tiba-tiba saja sesak bukan main.
“Sepertinya lebih banyak foto Hamzi dibandingkan foto kakak sendiri? sepertinya lebih banyak foto dia dibandingkan foto mamah?!” “Papah kalau mau nikah lagi sama dia tuh bilang, jangam diem-diem kayak gini, sakit tau gak?” ungkap Alya dengan suara menjerit.
“Alya!” “Jangan keterlaluan!” “Itu hanya foto!” “Enggak usah mikir aneh-aneh!”
“Gimana gak aneh?” “Chat papah sama mereka aja semanis itu, malah sampe ada groupnya?!” “INI SALAH SIAPA SIH?” “SALAH KAKAK?!” “ATAU SALAH KARENA MAMAH SAKIT?”
“Alya buka ponsel papah sampai mana?!” “Ngerti privasi gak?!!”
“ENGGAK!”
“Kenapa kakak jadi kayak gini, sayang …” John kembali mengatur emosinya.
“Kenapa?” “Kasar?!”
“Maafin papah, ya?”
“Kakak gak akan ikut perwalian,” “Kakak mau berhenti kuliah,” “Kakak mau cari kerja,” “Kakak mau temenin mamah,” “Kakak mau biayain pengobatan mamah sendiri.”
“Sayang …”
“Papah boleh pergi …” “Papah boleh pergi sama mereka …” “Kakak ikhlas … asal papah bener-bener bisa bahagia …”
Hati John seperti ditusuk beribu-ribu pedang, sakit dalam hatinya sudah tak bisa ia tahan lagi. Ucapan anaknya tersebut berhasil membuat air mata John lolos.
Dengan cepat, John keluar dari mobil tersebut, agar tangisannya tidak terlihat oleh sang anak.
Jeano yang ada disekitar sana terkaget melihat John sekacau ini.
“Gue gagal, Je …” “Gue gagal bahagian keluarga gue sendiri …” “Gue gagal didik anak gue sendiri …” “Gue gagal karena udah bikin Alya nangis, padahal gue udah janji sama Kirana untuk enggak bikin putrinya nangis separah ini …”
“Om …” “Om enggak usah ngomong kayak gini,” “Mungkin emosi Alya lagi gak stabil juga …”
“Gue aja yang brengsek, Je.”
“Om …”
“Tolong anterin kakak pulang sampe rumah, ya?” “Biarkan kakak istirahat …”
“Terus om gimana? Kan mobil om mogok?” “Jeano jemput lagi aja ke sini, boleh?”
“Gak usah, om bisa cari kendaraan umum,” “Maaf, ya? Om repotin lagi.”
Jeano sebenernya menghindari mereka agar dirinya tidak mendengarkan apa yang mereka perdebatkan. Sayangnya Jeano tidak terlalu jauh dalam mengambil posisi, sehingga Jeano mendengar semuanya perdebatannya dengan jelas.