☔️

tw // blood

Alya masih terduduk di meja makan, padahal makanan sudah ia lahap habis, entah kerasukan apa, bubur ayam dengan satu porsi yang segitu banyaknya, ia lahap sampai habis tanpa sisa, satu kejadia langka untuk Alya karena bisa menghabiskan makanan sebanyak itu.

Alya sarapan sendirian karena Papahnya sudah pergi sejak satu jam yang lalu. Ingin sekali marah terhadap papahnya tersebut, namun salah sendiri karena tidak berdamai dengan prasangka-prasangka yang ada dalam kepalanya dan memilih sendirian lagi.

Dengan terpaksa dirinya mengambil mangkok bekas bubur untuk ia cuci dan dengan langkah gontai ia menghampiri wastafel kemudian mencuci mangkok tersebut. Saat ini Alya bisa disebut tidak ramah dalam menggunakan air, bagaimana tidak, satu buah mangkok dan sendok yang ia cuci dapat menghabiskan lima puluh ember air, kasarnya. Saat membersihkan mangkok tersebut ia bilas dengan air mengalir yang deras selama sepuluh menit lamanya. Alya tersadar dari lamunannya kini ia mematikan keran dan menyimpan mangkok dan sendok tersebut.

Entah ada apa dengan Alya, mangkok yang ia cuci dengan memerlukan waktu cukup lama seketika mangkok tersebut meluncur ke lantai karena tidak tepat menyimpan ke dalam rak. Alhasil semua yang ia kerjakan rasanya sia-sia. Alya hanya bisa mengembuskan napas kasar dan dengan lemas membereskan pecahan mangkok beling tersebut agar tidak terinjak oleh kaki siapa pun itu.

Teringat bayang-bayang dahulu kala dimana dirinya bersama sang mamah. Sebenarnya Alya tidak begitu dekat dengan mamahnya tersebut. Kirana adalah nama dari istri John dan sekaligus mamah dari Alya memang jarang ada di rumah sejak dulu. Kirana sibuk berobat sana sini dan aka pulang mengurus anaknya kalau dirinya sudah membaik.

Keadaan kirana sudah jauh membaik berkat John yag selalu berusaha yang terbaik untuk istrinya dan Kirana yang selalu mau diusahakan. Satu bulan kemudian Kirana mendapatka anugerah besar dan memang selalu kirana dan John tunggu-tunggu yaitu Kirana kembali mengadung setelah sekian lama.

Lagi-lagi kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama, tiba-tiba saja terjadi sesuatu terhadap adik kecil yang Kirana kandung, bayi yang sudah tujuh bulan dalam kandungan teryata lebih dulu bertemu Tuhan dibandingkan bertemu dengan mamah dan papahnya juga Alya. Kejadian tersebut cukup membuat Kirana terpukul dan kembali berpikir keras sehingga Kirana kembali terpuruk yang menyebabkan depresi berat, diagnosa dokter tentang lenyakitnya itu kini menghampirinya kembali.

Kehilangan adik bayi memang salah satu kesedihan untuk John, tetapi kehilangan sosok istri karena mulai direnggut penyakitnya jauh lebih menyakitkan.

John kembali berusaha untuk mengobati Kirana namun hasil yang di dapat sampai sekarang yaitu bukan yang John harapkan.

Akhirnya John memutuskan untuk memasukkan Kirana ke tempat yang memaksakan Kirana tinggal di sana yaitu di poli jiwa.

Saat itu Alya sedang fokus ujian Sekolah Menengah Atas dan fokus mengikuti ujian masuk universitas. Dengan kesibukannya, Alya hanya iya-iya saja dan percaya dengan apa yang dikatakan John tentang keadaan mamahnya bahwasannya mamahnya sedang melakukan bisnis atau apalah itu. Dari dulu Alya tidak pernah diberi tahu kalau mamahnya mengidap penyakit yang kini sedang dideritanya.

Alya semakin terbisa tanpa kehadiran sang mamah karena satu waktu pasti rindu yang amat sangat tersebut akan reda ketika Kirana pulang dan memanjakan dirinya kembali seperti biasanya.

Alya terus seperti itu, bahkan Alya lebih dekat dengan sang nenek yang kebetulan dua tahun terakhir sudah meninggalkan dirinya kehadapan Tuhan. Rasa kesepian tersebut mulai muncul, mulai Alya rasakan ternyata ada yang hilang dalam dirinya yaitu kehangatan sang mamah.

Alya terus menunggu kehadiran sang mamah namun pada akhirnya sang mamah ternyata sudah berada di rumah sakit sejak lama dan belum bisa di bawa pulang ke rumah.

John juga enggan memberi tahu Alya dengan harapan Kirana bisa membaik kembali dan kembali pada keluarga kecilnya.

Waktu berjalan begitu cepat hingga Alya terus bertanya keadaan Kirana dan John selalu menjawab mamah sibuk, mamah baik-baik saja, mamah sebentar lagi pulang. Terus menjawab seperti itu dan John selalu menutupi dengan memberi banyak kasih sayang dan memberi perhatian terhadap putrinya agar rasa rindu tersebut dapat terobati.

Saat ini, entah kenapa Alya merasakan sesak begitu mendalam ketika mengingat harus membiarkan mamahnya tinggal ditempat yang tidak sehangat dengan rumahnya ini.

Muncul dibenak Alya untuk menjenguk sang mamah saat ini juga. Dengan sigap dirinya membereskan pecahan mangkok tersebut dan membawanya ke luar untuk ia buang ke tempat sampah khusus yang terletak di teras rumah tempat John dan bibi membuang botol kaca.

Melangkah melewati meja makan ternyata ponselnya sudah bergetar di sana, denga refleks Alya menjatuhkan pecahan tersebut yang sudah ia pungut dengan tangan telanjangnya yang kini tidak sengaja ia injak juga dengan kaki telanjangnya. Sempat menjerit kesakitan namun Alya hiraukan demi mengangkat sebuah telfon yang ia tunggu-tunggu sejak beberapa hari terakhir.

Alya mengangkat telfon tersebut dan belum ada jawaban di sana, hening selama tiga puluh detik. Alya hanya bisa menangis. Entah menangis karena rindu yang ia tahan atau karena sakit di kakinya karena mengijak pecahan beling yang kini ia merasakan perih ditelapak kakinya.

“Ayah …” “Halo?” “Halo?” Alya terus menunggu jawaban dari sana yang masih berujung sepi.

”Halo Alya?” Akhirnya suara Chandra jelas terdengar di telinga Alya.

“Halo …”

“Alya sehat di sana, sayang?” “Maaf ya, ayah baru memberikan kabar sekarang,” “Pesan Alya sudah ayah baca semua, sayang,” “Halo?”

“…”

“Halo?” “Alya gapapa, sayang?”

“Ayah apa kabar?”

“Baik sayang, kami semua disini baik-baik saja, buna, Rey, semuanya baik.”

“Alya boleh ke sana?” “Alya mau ke sana …”

“Jangan sayang?” “Sebentar lagi kita pulang, ya.”

“…”

“Alya jangan nangis, sayang,” “Kita semua pasti segera bertemu, ya?”

“Ayah …”

“Iya?”

“Rey mana?”

“Ada, sayang”

“Mau ngobrol boleh?”

“Boleh,” “Tapi nanti lagi, ya?”

“Kenapa harus nanti …” “Rey baik-baik aja, kan?”

“Baik, sayang.”

“Alya mau ke sana, yah …”

“Jangan, sayang,” “Masa papah mau ditinggal sendirian?”

“Alya mau ke sana pokonya.”

“Jangan, ya?” “Aa juga selalu bilang, jangan ada yang menengok ke sini, katanya.”

“Alya selalu doakan Aa, supaya aa cepat ke Indo, ya?” “Kita sambung nanti, Ini ada yang telfon ayah, penting, gapapa sayang?”

“…”

“Halo, sayang?”

“Iya, yah …”

“Maaf, ya? Sambung lagi nanti, boleh?”

“Iya …”

“Ayah tutup, ya?”

Telfonnya saat ini terputus sehingga membuat Alya menangis histeris di sana dengan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya.

Tidak lama kemudian John muncul dengan wajah panik karena melihat anaknya yang sudah menangis, dan lebih paniknya, darah yang mengalir dari telapak kaki sebelah kiri yang kini sudah mulai mengering karena saking lamanya ia biarkan terbuka.

John mengetahui Alya seperti ini karena baru saja mendapat pesan dari Chandra kalau putrinya sedang tidak baik-baik saja. Chandra terus meminta maaf kepada John karena Alya dibuat menangis olehnya. John langsung pulang saat itu juga dan meninggalkan Sarah dengan anaknya terlebih dahulu.

“KAKAK.” John semakin khawatir dan langsung menghampiri Alya.

John dengan segera membersihkan luka anaknya tersebut karena ditakutkan infeksi atau tidak darah yang mengalir keluar akan semakin banyak.

Sedangkan Alya masih terus menangis, sepertinya sakit dalam hatinya saat ini jauh lebih besar dibandingkan luka pada kakinya, karena ketika John membersihkan luka yang cukup besarpun tidak Alya hiraukan.

Setelah memberika pertolongan pertama pada luka yang entah berapa pecahan beling yang masuk, John kini memeluk anaknya hangat.

“Jangan nangis terus, sayang,” “Nanti kamu capek.” John kerus berusaha menenangkan anaknya.

Alya kini berada dalam dekapan John.

“Kenapa Nayla bisa …”

“Hmm?” “Siapa?”

“Kenapa Nayla bisa,” lirih Alya dengan suara gemetar dan lebih berat dari biasanya.

“Nayla?”

“Harusnya kakak juga bisa, kalau Nayla bisa …”

“Nayla teman kakak?”

“Nayla bisa tengok Rey ke sana, tapi kenapa kakak enggak bisa,” “Kakak salah apa sama Rey,” “Kakak salah apa sama Ayah Chandra,” “Kakak punya salah apa sama Buna Wenny.”

Alya kembali menangis.

John kini mengerti apa yang diucapkan putrinya tersebut.

Dadanya sakit ketika anaknya menangis karena ulah dirinya jug tidak mengizinkan anaknya untuk bertemu Rey.

“Kakak mau jenguk Rey?”

Alya menggeleng lemah di sana.

Alya kini melepaskan pelukan papahnya tersebut yang kini dirinya masih tersedu-sedu, beranjak menuju kamarnya dan berjalan pelan karena sakit pada kaki kirinya.

“Kak …”

“Sekarang bukan papah aja yang gak izinin kakak, tapi Ayah Chandra juga gak izinin kakak ke sana …” lirih Alya lemah.

“Kak …” John sambil membantu Alya yang saat ini kesusahan berjalan.

“Kakak mau istirahat dulu …” Alya melepaskan bantuan John dan memilih masuk kamar sendirian.