Senang dan sedih

Kurang lebih tiga bulan lamanya, mahasiswa kini telah menyelesaikan masa liburannya. Alya menghabiskan masa liburannya di rumah sakit menemani sang mamah, walaupun terlambat, setidaknya tidak ada penyesalan bagi Alya untuk berbakti pada sang mamah.

Rasa bahagia diberikan kesempatan untuk mengurus surganya cukup membuat Alya menjadi anak yang berguna. Dibalik rasa itu, ada rasa sedih yang kini menghampirinya, sedih karna selama dirinya di rumah sakit, sang mamah sama sekali tidak mengingatnya.

Mungkin satu minggu pertama Alya selalu menangis karna wajah yang dulu menyayanginya sepenuh hati, kini berubah menjadi asing—sangat asing.

Akan tetapi lama-kelamaan Alya mulai terbiasa, karena Alya yakin, sebenarnya sang mamah mengingat dirinya walaupun kemungkinanya sangat kecil untuk saat ini, bagaimanapun mereka adalah satu darah.

Saat ini Alya kembali merasakan rasa itu, rasa sedih dan senang yang selalu datang bersamaan. Senang karena mamahnya sudah tidak merasakan sakit yang luar biasa lagi, sedihnya karena dirinya kini ditinggalkan tanpa pamit untuk selama-lamanya. Tangisan sang anak disertai hujan gerimis serta petir yang bergemuruh dan cahaya matahari yang cukup terang, layaknya malaikat yang sedang menjemput kehadiran mamah untuk diantarkan pada tempat yang paling baik, tempat yang paling tinggi dan paling nyaman.

Satu-persatu, orang yang mengantarkan kepulangan Kirana kini mulai berpamitan, termasuk Jeano dengan orang tuanya, teman-teman John, serta teman-teman Alya. Kini ditempat tersebut tersisa dirinya, John, dan Hamzi. Orang tua serta keluarga John tidak bisa menghadiri pemakaman karena ada kendala sebelum penerbangan, maklum John merantau di sini, jauh dari keluarga.

“Sayang, pulang sekarang, ya?” “Hujannya mulai lebat ... “ John bertanya dengan hati-hati.

Saat ini Alya dengan wajah sembabnya, tidak menangis, hanya diam terus menatap dimana sang ibu tertidur didalam sana.

“Kak ...” “Mamah sama adek sedih lho kalau liat kakak kayak gini terus ... .”

Alya kini menatap nanar sang papah.

John tersenyum,”mamah sama adek di atas sana lagi liatin kakak, tau.” Alya juga menatap Sarah dan Hamzi yang memberikan energi melalui senyum terbaik mereka agar Alya kembali hidup dengan jiwa seperti biasanya.

Alya kembali menatap kembali tanah merah yang masih basah serta sudah ditaburi ratusan kelopak bunga dan juga air doa.

John menatap Sarah bingung, entah bagaimana agar anaknya bisa menerima sepenuhnya kalau ini jelas kehilangan yang memang harus ia terima walaupun sangat berat.

Sarah kini menghampiri Alya dan menggenggam tangan dinginnya dengan tulus, berharap bisa memberikan kehangatan terutama hatinya yang sudah mati rasa. Hamzi juga menghampiri Alya, dan memakaikan jaket yang pernah John berikan untuknya diulang tahun kemarin, yakni Jaket yang sempat Alya perdebatkan dengan John.

Alya tetap diam seperti patung, dirinya sibuk dengan pikirannya saat ini, sibuk mencari bayang-bayang bersama sang mamah, yang kini tak bisa ia peluk lagi seperti kemarin.

Sarah dan Hamzi pamit pulang, dan membiarkan mereka berdua menyelesaikan semuanya sekarang.

“Sesak, ya?” “Lepaskan aja,” “Boleh nangis kok, boleh banget ... .”

Tidak sampai dua detik, Alya kini menangis sejadi-jadinya dipelukan papahnya. Mengutarakan semua penyesalan yang masih mengganjal di dalam hatinya, menyesal karena Alya terlambat mengetahui semuanya.

Begitupun John yang ikut menangis dan menyesal karena tidak coba nekat berterus terang pada anaknya tersebut. John terus menyalahkan dirinya sendiri karena seperti memisahkan anak dan mamahnya dengan tidak adil. John memang menuruti semua apa yang diinginkan sang istri namun dirinya tidak memikirkan dengan matang, bagaimana perasaan anak gadisnya nanti—seperti saat ini, perasaan yang sangat hancur, kosong, dan juga kesepian.