SweetBox
Alya terheran karena yang datang hari ini bukan sosok yang ia bayangkan sebelumnya.
Tadinya Rey dan Alya akan merayakan bersama untuk membayar kerja keras dan rasa lelah mereka sewaktu ujian. Namun, bayangan itu seketika hilang karena kehadiran Jeano dengan wajah sama khawatirnya nyata adanya.
“Al ...”
Alya hanya menatap Jeano dengan wajah lelahnya.
“Maaf nunggu lama,” “Mau pulang sekarang aja? Papah lo udah nunggu soalnya.”
“Di luar hujan ... .”
“Gue pake mobil, Al.”
“Buru-buru, gak?”
“Nyantai sih.”
Alya tersenyum tipis dan meraih lengan Jeano untuk ikut bersamanya ke dalam sana.
“SweetBox, Al?”
“Iya.”
Mereka terduduk, dan tidak lama kemudian film di putar. Sepanjang film di putar, Alya bahkan tidak fokus menonton, dirinya terus melihat tiga room chat whatssap yang tak kunjung ada balasan.
Jika Alya tidak fokus menonton karena tak kunjung mendapatkan kabar dari keluarga Rey, maka Jeano tidak fokus karena dilihatnya Alya terus menunduk dan gusar karena ketakutan demi ketakuan semakin memuncak. Dengan cepat, Alya mengubah rambut yang tadinya diikat rapi kini ia urai demi menutupi apa yang terjadi saat ini diwajahnya.
Alya berhasil menutupi wajah yang sudah banjir dengan air mata dari Jeano tapi tidak dengan pundaknya, pundaknya semakin bergetar di sana.
Jeano sadar akan hal itu, tapi dirinya lebih memilih untuk membiarkan Alya mengeluarkan semua kesedihannya. Alya memilih tempat ini ternyata bukan fokus untuk menonton, melainkan ingin menangis bebas dalam gelap yang hanya ada cahaya dari layar lebar saja.
Lampu bioskop kembali menyala tanda film sudah selesai tayang, kini mereka berjalan ke luar untuk pulang.
“Masih hujan …” Bisik Alya dengan suara seraknya, bergidik di sana, udara dingin seperti menembus tulangnya saat ini.
“Mau nunggu reda aja?” tatapan mereka bertemu, seketika Alya langsung memalingkan wajahnya kasar ke arah lain. Saat ini pasti wajahnya sangat merah lengkap dengan mata yang sembab, lama durasi film yang ditonton, selama itulah Alya menangis.
Jeano tersenyum tipis di sana, kemudian memakaikan jaket yang ia gunakan. Ingin sekali ia memakaikan jaket ini sedari mereka masih di dalam, tapi sejak Alya menangis, Jeano tidak ingin mengganggunya sedikit pun.
“Masuk mobil sekarang, ya?” “Kita pulang.”
Alya mengangguk dan masih dengan menunduk sambil terus mengekori Jeano sampai ke basement untuk menemukan mobilnya.
Di dalam mobil.
“Muka gue jelek banget, ya–sekarang?”
Jeano baru saja akan menghidupkan mesin mobilnya kini ia urungkan.
“Gue baru tau, ternyata film action begitu bisa bikin lo nangis.”
“Sedih banget tau.”
Jeano hanya pura-pura percaya di sana, dan sebenarnya Alya juga mengerti kalau Jeano berpura-pura, Jeano pasti tau alasan dirinya menangis.
Kini mobil tersebut melaju melawan hujan yang masih deras.
Begitu tiba, dilihatnya John yang masih setia menunggu putrinya untuk pulang kini langsung menghampiri putrinya tersebut.
“Al …”
“Kenapa, Je?”
“Rey nitip ini buat lo.”
Dilihatnya kado yang cukup besar, namun rasa takut menerima kado tersebut, Alya memilih menolak.
“Bilangin ke Rey, kasih langsung aja.”
Alya turun dari mobil, saat itu juga John yang sudah siap menjemput putri satu-satunya tersebut dengan payung besarnya.
“Turun dulu, Je. Om sudah siapkan makan malam untuk kalian.”
“Nanti lagi, om. Mama sama papa lagi nunggu Jeano juga untuk makan malam ternyata.”
“Ya sudah, hati-hati. Terima kasih, ya, nak?”
“Sama-sama, om. Jeano duluan.”
“Iya.”
Jeano pamit kepada mereka berdua, dan lagi-lagi tatapan mereka bertemu lagi. Selama beberapa detik Jeano terus menatap Alya, begitupun dengan Alya balik menatapnya. Setelah memastikan semuanya, Jeano memilih berangkat kembali.
John menyaksikan aksi keduanya tersebut. Tatapan Jeano adalah tatapan yang sering John lakukan terhadap mamahnya Alya dulu. Apa mungkin Jeano benar-benar menyukai anak gadisnya tersebut?