Renggang

Rey menutup pintu dari rumah John setelah menyerahkan makanan spesial buatan Buna Wenny. Rey dapat bernapas lega karena Alya nampaknya sudah tidur di kamarnya, jadi dirinya tidak repot-repot untuk menahan segala kecanggungan yang ada akibat Alya yang tiba-tiba merasa kecewa terhadapnya.

Baru saja Rey melangkah, kini terdengar jelas suara motor yang cukup tidak asing ditelinganya. Ternyata benar, motor yang melaju ke arah dirinya adalah motor Jeano yang sedang membonceng seorang wanita yang baru saja ia gumamkan dalam hatinya.

“Woy,” teriak Jeano menyapa Rey sambil mematikan mesin mogenya.

Rey menyapa kembali dengan senyum hambarnya. DIlihatnya Alya turun dari motor milik Jeano dan dibukakannya helm yang terpasang di kepala Alya.

“Mampir dulu, yuk?” pinta Alya terhadap Jeano.

“Gak dulu, banyak acara nih gue,” jawab Jeano dengan wajah genitnya.

“Okey, makasih, ya, buat hari ini.”

“Sama-sama cantik.”

Mendengar jawaban itu, seketika Alya menengok ke arah Rey. Namun, ekspresi Rey saat ini juga tidak bisa ditebak.

“Lo ngapain di sini, Rey?” tanya Jeano.

“Tadi ada perlu sama Om John.”

“Oh, gue duluan bro!” Jeano sudah melajukan moge miliknya terburu-buru.

“Siap hati-hati, Je.” Jeano melambaikan satu tangan tanda mendengarnya.

— “Gimana badan lo, Al …” “Kenapa maksain pulang, gerimis gini,” “Kan bisa tunggu reda dulu, atau minimal pake jas hujan,” tanya Rey dengan nada khawatir.

“Gue udah sehat, Rey,” “Gue duluan, ya,” ucap Alya datar.

Alya berjalan ke arah pintu, kemudian menutupnya dan tidak lama kemudian terdengar bunyi pintu yang sudah dikunci dari dalam.

Rey hanya tersenyum tipis di sana, kemudian ia merasakan matanya mulai memanas dan dadanya terasa cukup sesak.

“Sekecewa itu lo sama gue, Al … .”