Hugs

Setelah Alya membuka pesan dari Rey yang tiba-tiba saja berubang centang biru semuanya, Alya langsung keuar dari gedung tersebut dan berakhir dibangku taman kampus pinggir jalan yang biasanya diisi anak-anak untuk nongkrong. Namun, karena hari ini jadwal milad Fakultas, jadi agenda perkuliahan diliburkan.

Bagi Alya llibur bukan sembarang libur, gunanya bayar sks ya karena ini, kewajiban dosen mengajar tetap masih ada, perkuliahan akan digantikan dengan menyusun kembali jadwal pengganti agar empat belas pertemuan belajar tatap muka tetap terpenuhi.

Alya duduk dan terus menghentakkan kakinya pada paving block yang ia pijak, sesekali berteriak yang cukup membuat orang-orang di sana menoleh karena heran dibuatnya, perbuatannya hari ini menjadi puncak rasa malu yang ia lakukan semasa hidupnya.

“Sumpah si Alya kalau bacot tuh emang suka gak mikir,” “Gue gak mau ketemu Rey lagi, gue udah terlanjur malu,” “Arghhh si jeano sintinggg.”

Kalau saja Jeano saat ini sedang makan, pasti sedang tersedak karena seseorang terus merutuk dirinya tanpa henti. Alya menyalahkan Jeano atas kejadian memalukan ini karena berkat dirinya ponsel Rey hidup kembali.

“Awas lo Jeano, gue smackdown ntar, biar tau rasa!”

Saat ini Alya tidak bisa berpikir jernih, tidak bisa memutuskan untuk memilih pulang atau melihat acara di fakultas saja. Alya terlalu malas, tujuan dia ke Fakults yaitu untuk mengambil jurnal praktikum di lab E, jurnal selesai di nilai, dan harus diambil agar besok bisa dibagikan ke teman sekelompok dan segera mengerjakan laporan praktikum dengan cepat.

Layar room chat kembali terlintas jelas dalam benak Alya. Alya terus berteriak, menyesali perbuatan yang membuat malu sampai menembus tujuh lapisan bumi saking malunya.

Alya hanya menarik nafas panjang kemudian mengembuska dengan kasar, menatap kosong jalan dengan lalu-lalang kendaraan, dengan layar yang masih menunjukan room chat Rey yang baru saja ia blokir.

Alya terpelengak karena seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Posisi saat ini Alya yang terduduk di kursi dan seseorang tersebut memeluknya berdiri dengan tubuh sedikit condong.

Refleks akan menepis perlakuan tersebut, namun matanya tak kalah cepat menemukan tanda lahir ditangan seseorang tersebut yang khas tepat di punggung tangan sebelah kanannya serta wangi parfum yang sangat ia rindukan.

“Kemana aja, Al … .”

“….” Alya hanya membuntang. Semakin lama dada Rey yang menempel pada punggungnya, kini detak jantungnya semakin cepat. Ini lumrah terjadi, orang yang sedang jatuh cinta pasti debaran jantung akan berdetak semakin cepat, akan tetapi debaran saat ini dikatakan jauh dari normal, belum lagi Alya merasakan kalau tangan Rey semakin berkeringat dingin.

Alya berbalik badan yang membuat Rey tergegau. “Lo sakit?”

Rey membuka masker hitam yang sedari tadi ia pakai, kini menampilkan wajah senyum terbaik yang belum pernah Alya lihat sebelumnya, namun ada yang kurang karena saat ini Rey tampak pucat pasi.

“Ritme jantung lo cepet banget?!”

“Biasa aja, lo melotot begitu apa gak takut bola matanya keluar?” Rey melepaskan pelukannya setelah Alya menyadari jantungnya berdebar sangat cepat.

Rey ikut terduduk di kursi tepat di samping Alya.

“Ih serius dulu, lo sakit?” “Bilang kalau iya, gak usah maksain ikut acara,” netra Alya mengikuti tubuh Rey yang kini duduk didekatnya.

“Jantung gue berdebar gini, ya ada alasannya,” “Kehadiran lo saat ini misal?” “Masa gitu aja gak ngerti?”

“Gue juga deg-degan setengah mati, tapi gak secepat itu.”

“Karena rasa gue lebih besar dari pada lo, Al.”

“Gue bisa bedain, Rey,” “Lo itu sekarang lagi sak—“

Kalimat yang Alya ucapkan seketika terhenti ketika tangan basah Rey memegang punggung tangan Alya.

“Gue mohon, berhenti lo natap gue kayak gitu,” “Gue paling gak suka dikasihani,” “Gue gak selemah itu kok, Al … .”

“Tapi lo tuh ngeyel …” “Kenapa lo ada di sini sekarang, harusnya lo di rumah, istirahat,” “Lo pulang sama gue, ya?” “Ini papah mau jemput kok, ya walaupun belum bales sih,” “Tadinya mau ngojek tapi duit gue abis, salah ambil dompet tadi.”

“Buru-buru?”

“Huum, ini mau ngerjain laporan praktikum, makanya ini gue bawa-bawa jurnal.”

“Gue gak bisa anterin lo, Al” “Gue tadi dianterin ayah.”

“Kan gue gak minta dianterin lo”

“Gue gojekin, ya?”

“Gak usah.”

“Gue pesenin sekarang.”

“Gak usah, Rey.”

“Siap-siap, Al.”

“Ya nanti!” “Gak peka banget sih.”

“Gak peka kenapa coba? Ini gue udah coba peka, kalau lo harus pulang sekarang,” “Makannya gue gojekin.”

Tengah perdebatan tersebut, deru motor yang tak asing menghampiri mereka berdua.

“Gue perhatiin dari tadi, kalian adu mulut pinggir jalan gini, kek bocah SD yang lagi pacaran terus berantem tau gak!”

“Jeje?” panggil Alya dengan tatapan mendelik.

“Ributin apaan sih?” seru Jeano tanpa membuka helmnya.

“Anterin Alya pulang, Je, sekalian,” pinta Rey seenaknya.

Kalau saja kemarahan Alya dapat terlihat dengan kasat mata, mungkin saat ini dikepala Alya sudah ada dua tanduk merah yang siap menubruk seorang Rey yang katanya tidak peka ini.

Bagi Rey reaksi Alya saat ini justru terlihat lebih menggemaskan.

“Oh, boleh cantik,” jawab Jeano santai.

“Dasar cowok gak peka!” “Gue tuh masih mau sama lo di sini,” “Malah lo usir,” pekik Alya sedikit berbisik terhadap Rey yang kini masih menatapnya gemas.

“Nanti lanjut di chat,” “Video call kalau perlu,” ungkap Rey dengan senyum yag masih merekah.

“Gue block kalau lo lupa!”

“ALYA JADI NEBENG GAK?” “Malah bisik-bisik tetangga!” Jeano mulai kesal karena terlalu lama menunggu.

“Nih bocil kematian gak sabaran banget heran,” “Kebelet boker, lo?”

“IYA”

“IYA LAGI?” “Yaudah Ayo, gak usah ngebut, nyawa gue cuman satu.”

Tanpa menghiraukan Alya yang terus mengomel, Jeano justru mengendarai mogenya dengan secepat kilat, sehingga Alya terkesiap dibuatnya.

Begitu punggung mereka sudah menghilang dari pandangannya, Rey akhirnya dapat meringis bebas karena rasa nyeri dalam dadanya kembali muncul dan kali ini lebih sakit dari biasanya.

Dengan cepat Rey memasuki gedung, dan menghubungi seseorang yang selalu ia andalkan.