Detak

Saat ini tubuh Rey merasakan goncangan hebat, mobil bagian depan menjadi tidak berbentuk karena berbenturan dengan mobil lain, badan Rey tersungkur ke depan yang membuat kepalanya membentur setir mobil serta dadanya yang mulai sesak dan ritme jantung yang semakin cepat.

Pandangan mata semakin kabur. Sayup-sayup terdengar teriakan seseorang yang tak asing baginya. Seorang Wanita yang langsung mebuka pintu mobil tersebut karena kebetulan kaca mobil tidak Rey tutup full sehingga tangan wanita tersebut bisa membuka pintu mobil dari luar.

“Rey, tahan sebentar, ya?” “Rey!” wanita tersebut hanya bisa menangis histeris dan terus berteriak meminta pertolongan kepada siapa pun yang ada di sana.

Tubuh Rey semakin melemah, hingga kini sudah berada di mobil ambulan bersama wanita tersebut.

“Ya ampun Rey, tolong ...” “Bertahan sebentar lagi, ya?” “Ini bentar lagi sampai ...” wanita tersebut terus meminta Rey agar tetap bertahan.

Rey terus meremat dadanya karena semakin sakit akibat hentakan yang cukup keras dan juga juga kecelakaan yang secara tiba-tiba ini membuat dirinya mengalami syok sehingga kondisinya semakin memburuk.

“Na ... Nay ... sesak,” ungkap Rey sambil meraih tangan Nayla kuat-kuat, sehingga rasa sakit yang dirasakannya dapat Nayla ukur bahwa itu sangatlah dahsyat.

“Iya, gue tau, bentar, ya?” pinta Nayla sembari menelfon Wenny dan Chandra. Nayla sudah berusaha tenang namun Telfon tak kunjung diangkat oleh mereka.

Untungnya dalam mobil tersebut tersedia pertolongan pertama oleh petugas ambulan, akan tetapi genggaman tangan Rey terhadap Nayla malah semakin kencang akibat menahan rasa sesaknya.

“Rey, bentar lagi, ya? Beneran bentar lagi,” “Rey!” “Rey!!!” “Bangun!!” Alya mengoncangkan tubuh Rey namun tidak ada respon apa pun.

Nayla semain ketakutan dan dengan buasnya terus menggoncangkan tubuhnya semakin kuat. Perlakuan tersebut petugas hentikan dan memberitahukan bahwasannya masih ada harapan untuk Rey.

Begitu tiba di UGD, Alya menyerahkan Rey terhadap tim medis. Matanya mencari seseorang dengan cepat dan yang saat ini tidak ia temukan kehadirannya.

Nayla berlari sekuat tenaga mencari seseorang yang akan membuat Rey baik-baik saja. Nasib baik menghampiri dirinya, seseorang yang ia cari kini berada di depannya yang nyaris ia tabrak.

Badan Nayla sempoyongan dan hampir saja ambruk yang kini ditahan oleh Sahen. Sahen tersentak melihat kacaunya wajah Nayla. Seketika mulutnya kelu untuk berbicara jelas terhadap Sahen, badannya ambruk, sisa kekuatan untuk berlari ke lantai dua kini telah habis tak tersisa.

“Nayla? Ada apa?” tanya Sahen yang berhasil menyangga tubuh lemah Nayla dengan wajah terheran-heran.

“Dok ...” “Jangan dulu pulang,” lirih Nayla sambil menatap nanar Sahen yang kini sudah menenteng tasnya bersiap untuk pulang.

“Iya, kenapa Nayla?” “Kamu sakit?” ungkap Sahen menenangkan dan membiarkan Nayla duduk di kursi dan memberinya minum air putih yang ia bawa dalam tasnya.

“Rey, Dok ...”

“Rey kenapa?”

“Rey kecelakaan,”

“Parah?!”

Nayla menggeleng. “Tapi jantungnya ...”

Tanpa aba-aba, Sahen melempar kembali tas yang ia bawa, kemudian berlari ke tempat Rey berada diikuti dengan Nayla yang masih menangis tanpa suara.

Setelah kedaan lebih tenang, Sahen terus menghubungi keluarga Rey namun tak kunjung ada jawaban. Karena tidak ada jawaban, Sahen hanya bisa mengirim pesan dan menegaskan untuk tidak khawatir berlebihan.

Padahal diri sendirinya juga panik bukan main karena baru kali ini Rey mengalami masalah pada jantungnya semenjak transplantasi jantung dua tahun yang lalu.


Sekitar lima belas menit kemudian, orang tua Rey dapat dihubungi dan kini sudah berada di UGD.

“Nayla sayang, aa gimanan sekarang? Aa di mana?” tanya Wenny yang sudah kacau wajahnya karena terus menangis sepanjang perjalanan.

“Buna tenang, ya?” “Aa udah ditangani sama Dokter Sahen, pasti bentar lagi Dokter Sahennya keluar.”

Tidak lama kemudian Sahen datang dengan menarik napas kasar karena merasa lega. Dengan cepat Chandra menghampiri Sahen dan dihujani dengan banyak pertanyaan. Alih-alih menjawab, Sahen hanya memerintahkan ketiga orang tersebut untuk segera menengok Rey yang baru saja tersadar dari pingsannya.

“Kalian bisa lihat sendiri kalau Rey jauh lebih baik dari apa yang kalian kira,” “Kan udah gue ingatkan terus, Chan. Kalau anak lo itu manusia ajaib,” “Bagi dia keadaan ini tuh kecil, bukan lagi melewati masalah terbesarnya yaitu transplantasi,” “Bahkan dengan kecelakaan yang cukup keras, tidak ada satu benda pun yang ingin menyentuh anak ini sampai berdarah-darah seperti korban yang lain,” “Rey sekarang baik-baik saja, jauhkan pikiran buruk kalian, karena ini akan menyakiti kalian dan juga Rey,” “Ayo, buat Rey semangat lagi,” “Buat Rey percaya sama dirinya sendiri, percaya untuk kuat.” Sahen mencoba menenangkan.

“Oh, ya, Chan, kalau lo sudah memastika kedaan Rey, tolong ke ruangan gue, ada yang mau gue omongin.” Sedangkan Chandra membalas dengan anggukan kasar.


“Aa, Sayang,” “Gimana keadaan kamu sekarang?” “Masih ada yang sakit?” “Bilang sama buna kalau ada yang sakit, ya? Jangan ditahan-tahan.”

Rey hanya bisa mengangguk dengan kedipan matanya yang cukup lama menunjukan kalau dirinya baik-baik saja serta tersenyum tipis di sana melihat bunanya khawatir seperti ini.

Rey ingin sekali menjawab bahwasannya masih ada sedikit nyeri di dada bagian kirinya. Tapi dirinya memilih tersenyum pada malaikatnya tersebut, dengan harap senyumannya tersebut akan memberikan kekuatan untuk Wenny yang gampang rapuh jika ini mengenai dirinya.

“A ...” Wenny terus bertanya dan tak kuasa menutup kesedihannya lagi di depan Rey yang tampak lemah saat ini.

“Aa mah kalau kangen dokter Sahen gak gini caranya,” “Kan kita bisa undang beliau buat traktir makan enak buatan buna,” “Ada-ada saja kamu ini, a,” ungkap Chandra tersenyum sambil menampilkan lesung pipitnya namun kesedihannya tidak dapat dibohongi karena bulir air mata yang mulai memenuhi matanya dapat tampak terlihat jelas walaupun tidak jadi jatuh membasahi pipinya.

Nayla tersenyum melihat kehebatan Chandra yang pintar menahan semua rasa sakitnya, sakit melihat anak satu-satunya saat ini harus terbaring lemah kembali di sini, di tempat yang sama beberapa tahun yang lalu.

“Makasih, ya, sayang,” ungkap Wenny sambil menatap hangat Nayla. “Makasih karena kamu menyelamatkan aa untuk kedua kalinya, entah apa yang harus buna balas untuk kebaikan Nayla dan keluarga.”

“Sama-sama Buna. Nayla udah menyangka, bun. Kalau Rey tuh sekuat ini, makasih juga buat buna sama Ayah yang sudah jaga Rey sampai Rey bisa bertahan sampai sini.”

Rey menatap Nayla dengan tatapan tulus dan bersyukur karena selalu ada Nayla disisinya sejak tiga tahun yang lalu.

Di luar sana Alya menyaksikan semuanya, kini rasa bersalah yang ada pada dirinya tumbuh membesar, bagaimana seorang Rey yang sering ia repotkan dan diperlakukan seenaknya, ternyata menahan semuanya sendirian karena sakitnya. Ia merasa tidak pantas berada di sini, dirinya memilih pulang ke rumah setelah memastika kedaan Rey dari jauh.

John mengira Alya sudah selesai bertemu dengan Rey dan mengobrol langsung maka dari itu dirinya menuruti Alya yang saat ini ingin sekali pulang, padahal dari tadi ia mengomel dan memaksa kalau dirinya ingin menginap di rumah sakit untuk menjaga Rey semalaman. Permintaan Alya yang begitu tiba-tiba ingin pulang karena ada jadwal praktikum besok, John langsung menuruti anaknya yang saat ini tampak murung.