đź‘«
“Alya, gue masuk, ya?” pinta Rey yang sudah menyelonong masuk tanpa persetujuan penghuni kamar.
Rey kira tidak ada jawaban dari Alya mungkin memang sudah tidur, ternyata Alya sedang menatap ke arah pintu tersebut dan otomatis sekarang sedang menatap Rey datar.
“Serem banget lo ngeliatin gue segitunya?” ungkap Rey bergidik di sana.
Sedangkan Alya masih anteng menatapnya.
“Kenapa sih?” Rey melipir pada cermin besar yang tergatung di dinding. “Gak ada apa-apa, malah makin ganteng perasan?” ungkap Rey sambil menyisir rambutnya dengan tingkah sok gantengnya.
Alya berdecak di sana, memutar bola mata malas.
Rey tersenyum tipis melihat reaksi Alya. Dirinya duduk membawa kursi rias dan duduk tepat di sebelah Alya.
Diambilnya piring yang berisi makanan yang belum Alya sentuh sedikit pun. Dengan apik Rey mengambil satu suapan yang sudah berisi nasi, ayam suwir, dan tumis kangkung buatan Buna Wenny. Alya sudah memalingkan wajah di sana karena suapan tersebut pasti untuk dirinya.
Alih-alih menyuapkan ke dalam mulut Alya, makanan tersebut mendarat di mulut Rey yang kini sedang mengunyahnya seperti orang yang tidak makan selama dua minggu.
“Rey!”
Rey menatap Alya singkat, dirinya fokus kembali pada makanan yang kini sudah suapan ke empat.
“Punya gue! Buna masak ini buat gue, bukan buat lo.“ Alya merebut piring dari tangan Rey yang nyaris tumpah.
“Buna masak ini buat di makan, bukan buat dipajang doang, lo pikir ini hiasan?” “Dari pada gak kemakan, mending gue yang makan?”
“Terus, gue?”
“Nunggu di infus aja, lebih praktis buat orang kayak lo.” Rey mengambil kembali piring tersebut.
“Keterlaluan banget?!” “Lo ngedoain gue di infus?” “Lo tuh, ya, buk—“
“Buka dulu mulutnya,” pinta Rey memotong omelan Alya.
“Gak mau …”
“Oh gue ambil sendok yang baru.”
“Gak usah.” Kini Alya melahap suapan tersebut karena takut merasa direpotkan.
“Al!” teriak Rey dengan wajah serius.
“Kenapa?” “Lo TBC?” seketika Alya berhenti mengunyah dan dengan sekuat tenaga untuk tidak menelannya.
“Gue pernah tes mantoux.”
“Terus hasilnya?” Alya melotot di sana.
“Negatif sih, hahaha,” “Muka lo kondisikan Alya, lagian kalau iya juga TBC gak nular lewat sendok gini,” Rey tertawa melihat wajah gemas Alya sambil mengambil suapan untuk Alya makan.
“Serius, Rey.”
“Mau gue seriusin?”
“Apaan sih?” “Sini piringnya, gue bisa sendiri.” Alya kini melahap makanannya yang sedari tadi hanya ia pandang.
— “Ada apa nih ribut-ribut.” Seseorang datang dengan ekspresi menggoda.
“Ayah ngapain ke sini,” ungkap Rey kesal karena pasti Menjadi bula-bulanan ayahnya.
Chandra hanya senyum-senyum di sana.
“Ya ampun anak buna, akhirnya makan juga, nak,” “Sini buna suapin, ya, sebelum buna pulang?”
“Gak perlu bun, dari tadi Alya ngerepotin buna terus.”
“Gak ada yang direpotin, sayang.”
“Ayo, bun.” Chandra mengajak Wenny pulang saat ini juga.
Rey ikut beranjak di sana siap-siap untuk pulang.
“Eits, aa mau ke mana?” tanya Chandra yang mebuat Rey melengak.
“Aa mah temenin Teh Alya we di sini.”
“Ah enggak, kan ada Om John?”
Chandra menyikut Rey, sebagai kode bahwa Alya sedang tidak mau berbicara dengan John.
Rey celingukan di sana.
“Alya kalau butuh apa-apa ke Aa aja, ya?” “Aa nginep di sini kok,” “Ayah pamit dulu sama buna.”
“Yah … bun …”
“Temenin Alya dulu, ya, sayang?” “Kalau badan Alya makin panas bilang ke buna, ya? atau enggak, kasih tau Om John.”
Rey hanya mengangguk terpaksa di sana.
“Alya, kalau aa nakal, bilang ke Ayah, ya?” goda Chandra dengan senyum jahil.
“Nakal? Emang aa bakaln ngapin Alya?” Rey menyaut.
“Barangkali khilaf.”
“Yah!”
“Dari tadi ngajak pulang, malah godain anak-anak?” Wenny menarik tangan suaminya untuk pulang.
Chandra pulang setia denga wajah senyum jahilnya, sedangkan Rey dongkol dibuatnya.
Melihat itu, Alya tertawa terbahak-bahak melihat Rey menanggapi kelakuan ayah dari temannya tersebut yang jahil bukan main.
“Yaudah sih, kenapa gak susul aja pake motor buat pulang?” tanya Alya dengan sisa tawanya.
“Hujan, Alya,” “Mending tidur,” ungkap Rey menuju sofa yang ada di kamar tersebut, kemudian membawa bantal dan selimut yang entah kapan sudah nangkring di sana.
“Makasih, ya, Rey,” “Makasih udah mau nemenin gue.”
“Makannya baikan sama papah.”
“Iya, nanti.”
“Kalau minta bantuan sesuatu panggil aja gue,” “Walaupun mata gue merem, tapi otak sama hati gue ngawasin lo,” ungkap Rey dengan suara melemah karena kantuk.
“Ck.” Alya berdecak dan tak henti-hentinya dibuat tersenyum melihat tingkah Rey.
—
Waktu menunjukkan pukul dua malam, Rey terbangun bukan karena ingin ke kamar mandi atau pun karena mimpi buruk yang menghampirinya, melainkan karena mendengar isakan tangis yang entah dari mana. Ini bukan film horor, tapi nyata adanya, seseorang yang sedang termenung di balkon menangis memeluk lutut, dengan meneggelamkan kepala diantara lutut dan perut.
Rey melangkah mendekati seseorang tersebut sambil mengambil selimut yang sempat Alya tinggalkan.
“Alya …” “Dari kapan lo di sini?” “Ada yang sakit?” “Mana yang sakit?”
Tidak ada jawaban di sana, yang ada hanya pundaknya yang semakin bergetar.
“Badan lo sampe dingin begini, Al …” “Masuk dulu, ya?”
Karena tidak ada jawaban dari Alya, Rey hanya bisa memakaikan selimut untuk menghangatkan badannya yang sedang lemah, menemani, dan membiarkan Alya menangis sejadi-jadinya.
“Al, mamah ga papa, mamah pasti baik-baik saja di sana, kita tengok mamah secepatnya, ya?”
Tetap tidak ada jawaban, Rey hanya bisa menepuk-nepuk pundaknya pelan.