Prioritas
Thio dibuat panik karena Firdhan terus-menerus menelfon dirinya, akan tetapi setelah berhasil terhubung pasti akan terputus kembali karena kendala sinyal. Thio terus menghubungi keluarganya yang lain yang satu mobil dengan Firdhan namun hasilnya tetap sama yaitu tidak bisa dihubungi. Terus begitu sampai pada akhirnya Firdhan menelpon setelah lima belas menit tidak bisa dihubungi. Thio berkomunikasi dengan Firdan secara diam-diam karena takut istrinya ikut panik jika mengetahui hal tersebut.
”Fir? Gimana?”
“Iya, bang. Sorry baru nemu sinyal, ini udah di daerah Bandung nih.”
“Caca kenapa, Fir? Rumah Sakit tutup maksudnya apa? Bukannya Rumah Sakit buka 24 jam, ya?”
“Tadi gue panik, bang. Klinik aja gue sebut rumah sakit.” “Bang, inimah cuman ngasih tau aja, jangan ikutan panik ya, bang. Tadi diperjalanan Caca muntah-muntah, terus keluar darah juga, nah tadi pas nelfon tuh udah nemu klinik, tapi ternyata udah tutup, dokter di sini prakteknya cuman sampai jam sembilan malam.”
“Terus sekarang Caca gimana?”
“Udah ditangani sama Dokter, aman kok bang.”
“Gue minta izin istri sama mertua dulu, gue mau ke sana malem ini.”
“Caca udah baikan, bang. Gak perlu ke sini kata Mama Vinda.”
“Becanda lo Fir? Anak gue lagi sakit, anjir!”
Thio langsung mematikan sambungan telfonnya tanpa memedulikan Firdhan yang masih berbicara di sana.
Thio masuk kembali ke dalam kamar, di sana sudah ada Aliesha yang sedang membereskan semua kado agar tidak terlalu menumpuk. Thio menghampiri istrinya untuk duduk di tepi kasur.
“Sayang, ngantuk, ya?”
“Huum, terus kayak remuk banget ini badan, pegel-pegel juga,” ungkap Alieshaa mengeluh pada suaminya.
“Istirahat saja, barang-barang ini kan bisa dibereskan besoknya lagi,” ungkap Thio sambil terus memerhatikan Aliesha.
“Bentar lagi,” jawab Aliesha sambil menatap Thio sekilas kemudian kembali fokus terhadap barang-barang yang ia bereskan.
“Sayang?”
“Kenapa?”
“Ibu sama bapak sudah tidur belum, ya?”
“Belum lah, kan masih banyak yang diurus, kenapa emangnya?” jawab Aliesha dengan mata sayu karena terlalu lelah setelah acara pernikahannya pagi tadi yang berlangsung sampai sore. Belum lagi Aliesha sering kurang istirahat karena ikut andil alam mempersiapkan acara tersebut. Melihat itu, Thio tidak mungkin mengajak istrinya pergi ke Bandung dengan keadaan lelah seperti itu.
“Saya ke bawah dulu, ya? Kamu istirahat saja,” ungkap Thio sambil mengusap surai rambut istrinya lembut.
Merasa ada yang tidak beres, Aliesha mengikuti suaminya ke bawah untuk menemui orang tuanya di ruang keluarga. Namun, sedikit terlambat karena tiba-tiba saja ada telfon dari temannya yang meminta maaf karena sangat terlambat menghadiri pernikahannya, rencananya akan menemuinya malam ini sekalian memberikan kado pernikahan secara langsung. Setelah selesai menelfon, kini Aliesha menyusul suaminya ke bawah karena rasa penasarannya. Di bawah sana suasananya berubah menjadi sangat serius.
“Teteh siap-siap dulu, ya? Hari ini ke Bandung temani suami kamu,” pinta Ibunya Aliesha dengan raut wajah panik.
“Bu, Yaya gak perlu ikut, kasian, dia harus istirahat malam ini, besok saya ke sini lagi kok, pagi-pagi kalau perlu,” pinta Thio.
Sedangkan Aliesha masih bingung apa yang mereka bahas, sampai-sampai Thio harus kembali ke Bandung hari ini.
“Teteh bisa istirahat di mobil kan, ya? Teteh ikut saja, kasian juga Nak Thio kalau harus bolak-balik ke sini,” ungkap Ibunya Aliesha bersikukuh.
Sedangkan Aliesha masih bingung dengan keadaan ini, akhirnya Thio menjelaskan keadaan Caca pada Aliesha, Thio meminta pengertian bahwasannya untuk malam ini dirinya harus pergi ke sana karena bagaimanapun dirinya adalah seorang ayah bagi Caca yang sedang terkapar lemah di rumah sakit. Mendengar itu Aliesha langsung ikut panik dan memutuskan untuk pergi bersama suaminya.
“Ayo kita berangkat sekarang!” ungkap Aliesha kemudian pergi ke kamarnya untuk menyiapkan beberapa barang penting untuk dibawa.
Tidak butuh waktu lama, Aliesha menyiapkan barang yang harus di bawa, kemudian memakaikan jaket untuk suaminya, lalu mereka berangkat untuk menemui Caca. Rasa kantuk yang menerpa Aliesha seketika langsung hilang, terus menghubungi Rafa dan Firdhan untuk memastikan kabar anak sambungnya tersebut.
Thio dan Aliesha kini sudah sampai di rumah sakit tempat Caca di rawat. Mereka tiba sekitar pukul satu dini hari. Pengantin baru tersebut langsung menghampiri Mama Vinda, Rafa, dan Firdhan yang masih setia menunggu di sana.
“Ma, Caca gimana sekarang?”
“Dibilangin baik-baik saja, kan cucu Mama mah hebat,” jawab Mama Vinda dengan sedikit bercanda, agar Thio tidak terlalu khawatir.
“Syukurlah ... Firdhan, Mama, sama Rafa boleh pulang sekarang, terima kasih sebelumnya karena sudah mau direpotkan,” ungkap Thio.
Mereka bertiga tidak langsung pulang karena masih lelah dengan perjalanan dari rumah Aliesha. Mereka memilih pergi ke supermarket yang buka dua puluh empat jam untuk memanjakan perut mereka terlebih dahulu.
Sedangkan keadaan di dalam kamar pasien ada Aliesha menungu Caca yang kini sudah terbangun.
“Caca, sayang, gimana sekarang udah enakan perutnya?” tanya Aliesha hati-hati, digenggamnya tanga Caca oleh Aliesha namun ditepis oleh Caca yang cukup membuat Aliesha terkaget.
“Sayang, kenapa kasar sama ibu?!” ungkap Thio yang baru kembali setelah menyelesaikan urusannya dari administrasi.
“Gak usah teriak kan bisa, wajar namanya juga anak kecil,” ungkap Alisha terhadap Thio.
Thio menghampiri anaknya tersebut dan langsung menanyakan kedaan yang dirasakan oleh anaknya.
“Bunda ...” ungkap Caca tiba-tiba.
Thio sudah tahu maksud Caca ia menanyakan siapa, sudah biasa jika Caca merasa sakit pasti yang diingatnya adalah Clara, karena biasanya Clara selalu hadir jika Caca sedang sakit berat.
“Karena sudah malam, jadi bunda enggak bisa datang dulu, sekarang sama ibu dulu, ya?” ungkap Thio memberi pengertian terhadap anaknya tersebut.
“Bunda mana, ayah! Caca maunya sama bunda, bukan sama ibu!” Jerit Caca mulai menangis.
“Besok ayah telfon bundanya, sekarang ditemenin ibu dulu, ya?”
“Caca gak mau sama ibu! Maunya sama bunda, ayaaah!” jerit Caca.
“Ca!” balas Thio dengan intonasi cukup tinggi.
Aliesha mendekat sehingga berada di samping Thio. “Jangan keras-keras, Caca kan lagi sakit, pasti lebih sensitif untuk sekarang,” ungkap Aliesha berusaha mengerti kondisi Caca saat ini sambil terus menenangkan Thio dengan mengusap punggungnya.
“Caca mau ke rumah bunda, sekarang!!!”
“Ca ... tolong ...” lirih Thio.
Tidak lama kemudian seseorang masuk ke ruangan tersebut dan langsung memeluk Caca.
“Clara?” Thio terperanjat karena tiba-tiba saja Clara datang padahal dia sendiri tidak memberitahunya.
“Ya ampun anak bunda, katanya janji gak akan sakit lagi, anak bunda kan kuat, ya?” Clara langsung menyapa dan memeluk serta mencium putrinya tanpa henti.
Mata Clara dan Aliesha sempat beradu pandang, baru saja Aliesha akan menyapanya namun Clara terlihat sangat dingin, tidak ada senyum ramah maupun saling menyapa, Clara langsung memalingkan wajahnya dan fokus kembali terhadap anaknya.
Entah perasaan Aliesha saja, kalau Clara yang ia kenal tidak pernah bersikap dingin seperti ini, setiap beradu pandang malah raut wajah datar yang Clara lemparkan terhadap Aliesha. Perasaan Aliesha sudah tidak enak, maka dirinya memutuskan untuk ke luar ruangan secara diam-diam dan memilih duduk di kursi tunggu sendirian. Suara mereka masih terdengar jelas oleh Aliesha, namun mendengar itu cukup membuat hati kecil Aliesha merasa sakit karena melihat kebersamaan mereka. Aliesha merasa seperti orang asing ketika berada di tengah-tengah mereka, padahal dia sendiri sudah berstatus sebagai istri sahnya Thio Mahatma.
“Ayaaah ...” panggil Caca.
“Hmm?”
“Caca pengen pulang ke rumah.”
“Rumah bunda?”
“Rumah Ayah ... tapi pulangnya sama bunda, kita tidur bertiga lagi di kamar ayah,” pinta Caca.
Thio hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan sambil menutup matanya sebagai isyarat kalau dirinya tidak bisa lagi seperti itu. Melihat reaksi seperti itu, Clara langsung menangis dan memeluk Clara.
“Ayah jahat, bundaa,” lirih Caca.
“Ayah gak jahat, sayang, jangan nangis, ya? Sekarang Caca istirahat dulu, kan udah ada bunda yang tungguin Caca di sini, jangan nangis lagi ... nanti kita tidur bertiga, ya?” ungkap Clara membujuk putrinya tersebut agar tidak menangis kembali.
Sedangkan Thio hanya tidak isa berkata-kata terhadapnya, kok bisa di malam pertama pernikahannya dia malah membujuk putrinya seperti yang putrinya mau padahal kondisinya sudah tidak seperti dulu lagi sedangkan Clara mengucapkan itu hanya agar putrinya lebih tenang lagi. Clara berbicara seperti itu tanpa memikirkan perasaan seseorang yang terduduk di bangku tunggu sendirian, mendengarkan pembicaraan mereka. Di satu sisi juga ternyata ada seseorang yang memerhatikan Aliesha dari jauh, enggan menghampiri karena sepertinya Aliesha sedang ingin sendirian, dan sedang tidak mau di ganggu.
Aliesha beranjak dari kursi tunggu tersebut dan memilih berjalan-jalan ke kantin yang memang sudah kosong, karena biasanya pegawai kantin akan beroperasi pukul enam pagi sampai jam tujuh malam. Aliesha terduduk di kursi dan langsung mengeluarkan ponselnya. Ada beberapa pesan dari grup yang berisi Vina dan Dinda yang sedang memastikan kalau mereka seperti bertemu dirinya di Bandung, Aliesha menjelaskan kehadirannya dan memang benar adanya kalau dirinya sudah berada di tempat tersebut.
Tidak lama kemudian Aliesha menangis sambil terus membalas pesan tersebut hingga tangisan tersebut mulai mereda ketika beberapa pesan yang temannya sampaikan cukup membuat Aliesha mengerti atas semuanya, sehingga tidak ada yang harus disalahkan dari posisi ini.
Seseorang yang terus memerhatikan Aliesha dari tadi, kini berniat menghampirinya namun ditahan oleh seseorang.
“Biar mama saja, Fir?” ucap Mama Vinda yang juga menyaksikan Aliesha menangis sedari tadi.
“Mama?”
“Kamu siapkan saja mobilnya, kita pulang bareng Yaya.”
“Bang Thio?”
“Cepat Firdhan, kamu harus menyetir, di mobil sudah ada Rafa.”
Vinda kini menghampiri Aliesha yang sudah selesai dengan tangisannya, sekarang hanya menatap kosong ke arah depan sana, berpikir kenapa dirinya bisa sensitif seperti ini, apakah karena sedang mengalami menstruasi yang memang hormonnya sedang tidak stabil atau memang egonya saja yang terlalu tinggi?.
“Yaya, masuk mobil sekarang, ya? Kita pulang ke rumah dulu, pagi kita ke sini lagi,” ungkap Vinda secara langsung agar tidak membuat Aliesha curiga bahwasanya dirinya menyaksikan Aliesha menangis.
“Duluan saja, ma. Yaya mau temenin Caca dulu di sini.”
“Nurut sama mama satu kali ini saja, kamu kan capek habis ada acara tadi siang, belum lagi kamu kurang tidur, kurang istirahat juga.” Vinda memaksa Aliesha dengan langsung membawanya ke dalam mobil.
Karena Aliesha tidak bisa mengelak lagi, maka dirinya langsung memberikan pesan terhadap Thio agar tidak mencari dirinya. Pesan yang ia kirim belum Thio baca sepertinya, karena masih tidak ada respon apa-apa.
Sesampainya di rumah Thio, Aliesha langsung menuju kamar utama yang sudah dibereskan sebelumnya oleh bibi. Aliesha masih berharap kalau pesannya akan Thio balas, namun sepertinya suaminya tesebut masih sibuk di sana. Baru saja akan mengabari Thio kembali, ponselnya habis baterai karena sedari tadi Aliesha tidak sempat untuk mengisi daya ponselnya tersebut. Sambil menunggu baterai terisi, Aliesha langsung membersihkan diri di kamar mandi, selesai itu dirinya lupa menghidupkan ponsel dan memilih untuk merebahkan diri sebentar sebelum menelfon suaminya untuk mengetahui kabar Caca saat ini.
Tidak lama kemudian Thio datang ke rumah untuk menyusul Aliesha setelah diberi tahu Firdhan kalau Aliesha pulang bersama dirinya. Thio bertemu Mama Vinda yang sedang duduk di sofa ruang keluarga sendirian.
“Mama kok gak balas pesan Thio, padahal mama belum tidur?” tanya Thio sambil mencari sosok Aliesha.
“Mau kemana?” tanya Vinda sinis.
“Thio masuk kamar dulu, ya. Ma?”
“Berhenti menghubungi Clara.”
“....”
“Kenapa Clara tiba-tiba tertarik dengan anaknya ketika kamu sudah mempunyai keluarga sendiri?” “Bukankah dari dulu Clara memang sukanya menelantarkan anaknya? Kenapa harus sekarang?”
“Ma, dia masih ibu kandung Caca.”
“Jangan terus berhubungan dengan wanita picik itu, kalau Caca ingin ketemu dia, biar mama yang urus, mama yang akan pertemukan mereka.”
“Ma ....”
“Sekarang kamu masuk kamar, istirahat dengan istri kamu, mama yang akan kembali ke rumah sakit untuk menemani cucu mama.”
“Thio saja yang menemani Caca, terlalu bahaya untuk wanita keluar malam-malam begini. Thio berangkat lagi setelah memastikan Yaya istirahat.”
Vinda tidak mengatakan apapun lagi, dirinya langsung pergi ke kamar dengan menampakkan raut wajah kecewa terhadap putranya tersebut.
Thio membuka pintu kamarnya dengan pelan, masuk ke dalam dengan hati-hati dikarenakan takut membuat istrinya terbangun. Aliesha tertidur dengan tanpa menggunakan selimut, tertidur menyamping menghadap kiri, tertidur tanpa selimut. Thio terduduk di pinggir kasur dekat Aliesha, ditatapnya wanita tersebut, kemudian mengelus pucuk rambut istrinya, kemudian tidak lama kemudian dirinya beranjak dari duduknya dan menyelimuti istrinya, kemudian tubuh Thio mendekat untuk mencium dahi istrinya yang sedang tertidur pulas.
“Sayang, maaf ... saya terlalu bodoh, bodoh karena tidak bisa memahami perasaan kamu, saya gagal menjaga perasaan kamu, sayang ...” “Besok saya harus meminta pengampunan karena saya telah menyakiti hati kamu,” “Saya harap, kamu mau mengampuni saya ....”
Thio terus menyesali perbuatannya malam ini terhadap Aliesha istrinya.
Tidak lama kemudian Clara menelfon Thio, dengan cepat dirinya bergegas untuk kembali ke rumah sakit.
Sebetulnya Aliesha tidak tertidur, dirinya mendengarkan semua ungkapkan Thio begitupun saat Clara menelfon dirinya agar cepat-cepat kembali ke rumah sakit, namun tubuh Aliesha telalu lelah untuk bangun dari tidurnya.