Eks

Pagi ini, Thio sudah berada di kantin Rumah Sakit untuk mengisi perutnya yang kelaparan karena dari kemarin sore tidak sempat untuk makan. Selesai melakukan aktivitas tersebut, Thio langsung bergegas untuk kembali ke kamar Aliesha. Dilihatnya perempuan tersebut baru saja meminum obat yang dikonsumsi sebelum makan.

“Cari apa, Sha?” tanya Thio sambil menutup kembali pintu kamar pasien.

”Handphone, pak,” balas Aliesha sambil terus mencari.

“Buat apa? Kan kata dokter jangan main handphone dulu,” ungkap Thio melarang Aliesha, mengingat tentang postingan mantan isterinya tentang Winar, maka dari itu Thio terus mencari alasan agar perempuannya tersebut tidak bisa melihatnya.

“Mau telfon Ibu,” lirih Aliesha.

Dengan segera Thio menyerahkan ponselnya untuk Aliesha pakai, “Pakai punya saya saja.”

“Ngaco, kan bapak gak punya nomor ibu,” ungkap Aliesha kesal.

Tidak lama kemudian terlihat sebuah pesan dari ponsel Thio yang masih tepat dihadapan Aliesha.

Raut wajah Aliesha seketika berubah menjadi murung, melihat namaya saja rasanya sudah muak untuk dilihat.

“Pak, ini ada pesan,” ungkap Aliesha sambil menyerahkan kembali ponselnya.

“Oh, Bundanya Caca,” ungkap Thio yang langsung membalas pesan tersebut.

” Dia lagi, dia lagi,” ungkap batin Aliesha.

Thio sudah selesai membalas pesan dari Clara, kini fokus kembali terhadap Aliesha.

“Jangan salah paham, barusan itu Bundanya Caca ... tapi bukan istri saya lagi,” celetuk Thio tanpa aba-aba.

Wajah Aliesha yang asalnya menunduk, murung, kini melihat kembali ke arah Thio.

“Bukannya itu pacar bapak?”

“Iya—tapi dulu, kita memutuskan menikah muda, tapi nasib gak ada yang tahu, kita memilih untuk berpisah ketika Caca masih bayi,” “Keputusan ini kita pilih, karena ini jalan terbaik buat kita,” “Kok saya jadi curhat, maaf ....”

“Saya penggemarnya Mbak Clara, lho. Kok gak pernah dengar beliau pernah menikah, apalagi sampai mempunyai anak?”

“Iya, karena Clara itu baru di dunia model, sekitar dua tahun yang lalu, sedangkan kita menikah itu, tiga tahun yang lalu,” “Wajar, kalau gak banyak orang tahu,” “Bahkan orang kantor juga, ngiranya kalau saya itu belum menikah.”

“Caca?”

“Gak pernah saya bawa ke kantor, kalau tiba-tiba saja, Caca saya bawa ke kantor, heboh nanti.”

“Paraaaah,” ungkap Aliesha tiba-tiba.

“Apanya yang parah?”

“Padahal bapak dulu sempet bilang ke saya, kalau Bundanya Caca itu, sudah—maaf,” “Meninggal ....”

“Kapan? Gak pernah, saya?”

“Pernah, waktu bapak mampir ke apart saya, yang waktu ngembaliin dompet?”

“Sha, kamu salah dengar kali.”

“Enggak kok?”

“RIBUTNYA BISA NANTI DULU GAK, DI KAMAR KEK, JANGAN DI TEMPAT UMUM GINI,” “Dari tadi saya punten puntenan gak ada yang jawab,” gerutu Firdhan sambil meletakkan buah di atas nakas.

“Firdhan?!”

“Halo, gimana kabarnya?”

“Lebih baik pokonya, nanti jam sembilanan mau pulang kok, jadinya nanti rawat jalan aja.”

“Bentar lagi juga jam sembilan?”

“Iya,” “Emm, Fir, boleh titip buat Rafa?”

“Boleh banget, nitip apaan?”

Aliesha langsung menyerahkan satu buah amplop putih yang berisi uang, untuk mengganti uang pendaftaran kemarin.

Dengan segera Thio menarik amplopnya, kemudian menghitung jumlah nominal uang tersebut. Dikembalikannya uang dari Aliesha dan Thio langsung mengeluarkan sejumlah uang untuk dibayarkan terhadap Rafa.

“Jadinya pakai duit Bang Thio, nih?” tanya Firdhan bingung.

“Iya, nih ongkir buat lo, dua ratus cukup kan?”

“Eh kebanyakan ini.”

“Bacot, udah sana berangkat! kuliah yang bener.”

“Pak ....” lirih Aliesha.

“Simpan saja uang kamu, biaya Rumah Sakit, saya yang tanggung.”

“Pak ....”