jwooshining

Aku tidak sekuat Mbak Kinan yang mampu berbicara tegas pada laki-laki brengsek seperti Mas Aris dalam series terkenal berjudul Layangan Putus. Membela diri dan meluapkan semua keresahan dengan tepat. Sedangkan aku hanya bisa menangis menelan duri ini sendirian.

Bahkan setelah menatap matanya yang basah rupanya Mahen ikut menangis, hatiku hancur mulutku bungkam, tak mampu untuk sekedar berkata-kata.

Di sini, di dalam mobil Mahen ini, aku hanya bisa mengucapkan berkali-kali dengan lirih, “Hanan … Ibu … maafkan aku … .”

Mahen sempat ingin menenangkanku dengan merengkuh tubuhku yang bergetar hebat, namun aku tepis kasar.

“Maafkan saya, Aya … “

“Memang pada akhirnya Hanan emang harus tau semuanya … ” “Makasih karena sudah bantu aku kasih tau dia … tugasku sekarang tinggal menjelaskan semuanya …” “Aku gak mau Hanan jauh lebih sakit lagi gara-gara aku …” “Aku pulang sekarang … aku bisa pulang sendiri.”

Mahen menyalakan Auto door lock, otomatis aku enggak bisa keluar. “MAU LO APA SIH?!” Suaraku masih bergetar sedikit menjerit.

“Ikut saya temui Mommy sama Daddy, ya?”

“Apa lagi? Kamu mau liat aku diseret lagi sama mereka?!”

“Niat mereka kali ini baik Aya …”

“Gak bisa,” “Aku mau pulang.”

“Saya harus bawa kamu sekarang juga, Aya.” “Tolong kasih saya kesempatan,” “Saya benar-benar tulus sama kamu.”

“Turunin aku sekarang!!”

“Ikut, ya? Saya mohon … saya gak akan bisa bahagia kalau itu bukan kamu.”

“Omongan kamu tuh, ya. Terlihat tulus tapi semuanya sulit untuk dipercaya lagi!” “TURUNIN AKU, KAK!”

“Kalau saya gak berhasil bawa kamu ke Mommy sama Daddy, saya harus berakhir dijodohkan dengan sahabat kamu, Rara … .”

Deg

Aku tidak sekuat Mbak Kinan yang mampu berbicara tegas pada laki-laki brengsek seperti Mas Aris dalam series terkenal berjudul Layangan Putus. Membela diri dan meluapkan semua keresahan dengan tepat. Sedangkan aku hanya bisa menangis menelan duri ini sendirian.

Bahkan setelah menatap matanya yang basah rupanya Mahen ikut menangis, hatiku hancur mulutku bungkam, tak mampu untuk sekedar berkata-kata.

Di sini, di dalam mobil Mahen ini, aku hanya bisa mengucapkan berkali-kali dengan lirih, “Hanan … Ibu … maafkan aku … .”

Mahen sempat ingin menenangkanku dengan merengkuh tubuhku yang bergetar hebat, namun aku tepis kasar.

“Maafkan saya, Aya … “

“Memang pada akhirnya Hanan emang harus tau semuanya … ” “Makasih karena sudah bantu aku kasih tau dia … tugasku sekarang tinggal menjelaskan semuanya …” “Aku gak mau Hanan jauh lebih sakit lagi gara-gara aku …” “Aku pulang sekarang … aku bisa pulang sendiri.”

Mahen menyalakan Auto door lock, otomatis aku enggak bisa keluar. “MAU LO APA SIH?!” Suaraku masih bergetar sedikit menjerit.

“Ikut saya temui Mommy sama Daddy, ya?”

“Apa lagi? Kamu mau liat aku diseret lagi sama mereka?!”

“Niat mereka kali ini baik Aya …”

“Gak bisa,” “Aku mau pulang.”

“Saya harus bawa kamu sekarang juga, Aya.” “Tolong kasih saya kesempatan,” “Saya benar-benar tulus sama kamu.”

“Turunin aku sekarang!!”

“Ikut, ya? Saya mohon … saya gak akan bisa bahagia kalau itu bukan kamu.”

“Omongan kamu tuh, ya. Terlihat tulus tapi semuanya sulit untuk dipercaya lagi!” “TURUNIN AKU, KAK!”

“Kalau saya gak berhasil bawa kamu ke Mommy sama Daddy, saya harus berakhir dijodohkan dengan sahabat kamu, Rara …”

Deg

Happy Ending

Ternyata jadi seorang ibu dengan putra kembar itu tidak mudah, pagi-pagi sekali Alya harus memandikan anaknya yang berumur lima tahun. Pagi-pagi sudah kecolongan keluar rumah dan kompak bermain tanah di luar yang pada saat itu Alya sedang sibuk memasak.

Si kembar terus memberontak, karena tidak mau keramas sedangkan tanah yang ia mainkan sudah melekat sampai rambut entah bagaimana mereka bermain-main.

Untuk saat ini yang satu sibuk menumpahkan sabun mandi cair sedangkan yang satu menyemprotkan air terhadap Alya karena rasa marah dipaksa untuk keramas alhasil menjerit kedinginan. Alya tetap meredam emosinya walaupun bajunya kini basah kuyup seperti ikut mandi bersama mereka, bedanya Alya tidak melepaskan pakaiannya. — “Ayaaaah.” Si kembar kompak memanggil Jeano yang saat ini sudah berdiri di depan pintu yang masih terbuka.

“Kamu kapan ke sini?” tanya Alya dengan tangan sibuk mengelap badan si kembar dengan handuk.

“Al ...”

“Iya, Je?”

“Kamu kalau kewalahan kan bisa telfon aku.”

“Anak-anak hari ini Alhamdulillah sekali, Je...” Alya sedikit mengeluh pada Jeano.

“Yaudah sini minyak telon sama baju anak-anaknya, kamu ganti baju dulu gih, ntar masuk angin, basah gitu.” Alasan saja sebenarnya, terlalu bahaya jika baju putih Alya terbasahi dan memperlihatkan sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.

Dengan lunglai Alya menuju kamarnya, dan kini sudah berganti pakaian dengan warna hitam.

“Je ...”

“Apa sayang.”

“Sayang-sayang, bisa-bisanya kamu genit sama emak-emak anak dua?” “Cepetan nikah sana!”

“Ngapain nikah? Kan aku udah punya si kembar.”

“Serius? Kapan nikahnya? Kok gak ngundang?”

“Ya enggak, ini kurcil-kurcil kan anak aku juga.”

“Enak aja, gak usah ngajak huru-hara deh, ntar diturutin sama anak-anak.”

“Alvan sini sama mama.” Alya memakaikan baju untuk kakaknya, sedangkan Alvin diurus oleh Jeano.

“Baju hitam lagi?” ungkap Alvan melotot gemas keheranan.

“Hmm?” Alya menatap ke arah Jeano, “Kan mau pergi lihat papa, nak.”

“Papah kapan pulang, ma?”

“Papa kok lama perginya?” “Besok papa antar kita hari pertama sekolah, kan?”

“Besok juga hari ulang tahun kakak sama Alvin, papa datang, kan?” Alya dihantam banyak pertanyaan dari anaknya.

“Sama kakek John aja, ya?” “Atau mau sama Kakek Chandra aja?” “Sama Nenek Wenny, gimana?” bujuk Alya hati-hati.

“Maunya sama papa! yang lain juga diantar sama papa!” Alvan menunjuk ke arah foto pernikaham pengantin Alya dan Reynaldi lima tahun yang lalu.

“Iya, nanti lagi, ya?”

“Sama papa!” Alvin yang tadinya diam kini ikut membrontak seperti kakaknya.

“Iya, nanti lagi, ya?” “Besok sama mama dulu.” Alya berusaha sabar menghadapi anak-anaknya yang sudah mulai mengamuk.

“Mama bohong!”

Dengan rasa murkanya, Alvin kini membanting minyak telon yang melesat kencang nyaris mengenai wajah Alya.

Dengan sigap Jeano mengambil Alvin ke sisinya.

“Papa kapan ke rumah!”

Alya sudah mulai berkaca-kaca di sana, ia paling tidak bisa menjelaskan kalau papanya sudah tidak bisa berada di sisi mereka lagi.

“Gak bisa ....” “Kan Papa Rey sudah meninggal.” Jeano memutuskan untuk memberi tahu si kembar tentang semuanya.

“Je ...”

Mata anak-anak kini tertuju pada Jeano, tidak mengerti apa yang Jeano maksud.

Batin Alya sakit sekali rasanya, ketika anak-anak menatap Jeano polos dengan tatapan sayu, bagaimana Alya sanggup memberitahukan mereka semua, bagaimana ketika wajah polos mereka yang mudah tertawa akan menanggapi keadaan sebenarnya tersebut. Alya tak sanggup kalau harus melihat bagaimana Jeano menjelaskan keberadaan Rey sebenarnya.

Alya tak sanggup bahkan jika harus melihat reaksi mereka. Alya berlari ke dalam kamar dan menangis di sana, menangis sambil memeluk foto mereka berempat ketika Alvan dan Alvin baru lahir yang ditemani oleh Reynaldi. . . . . . . . . . . . . . . . “Sayang?” “Bangun,” “Kamu mimpi apa sampai keringetan gini?”

Alya terperanjat seketika langsung melotot dan memeluk orang yang kini ada di hadapannya.

“Mimpi buruk lagi?” “Mimpiin apa, sayang?”

Alya hanya memeluk erat suaminya tersebut.

“Kenapa?”

“Rey …”

“Iya, kenapa sayang?”

“Aku gak mau semua itu terjadi, bahkan itu dalam mimpi.” gumam Alya dalam hati, kini Alya terus mengeratkan pelukannya.

“Al … kamu gak apa-apa, kan?” “Coba tenangin diri kamu dulu, habis itu kamu ceritakan semuanya, biar kamu enggak ketakutan lagi kayak barusan.”

Alya hanya mampu berbicara lewat tubuhnya, dirinya hanya ingin dipeluk saja. Entah sudah berapa menit berlalu, Alya enggan menceritakan mimpinya.

Seketika keliru, Alya sulit membedakan mana mimpi mana nyata, apakah yang ia peluk sekarang adalah bagian dari mimpi? Atau justru sebaliknya?

Alya terus memastikan kalau yang terjadi saat ini adalah benar-benar nyata, seseorang yang ia peluk juga benar-benar nyata.

“Kenapa sayang?”

Alya kini mulai melonggarkan pelukannya dan memastikan dengan menatap wajah Rey intens.

“Si kembar mana?” Setelah dirinya mencubit pipinya sendiri dan meringis kesakitan, kini Alya hanya ingin memastikan satu hal lagi.

“Si kembar siapa?”

“Anak kita …”

Rey tersenyum di sana, “Mentang-mentang mau promil lagi, kamu sampai kebawa mimpi punya anak kembar, sayang?” ungkap Rey sambil mencubit hidung Alya gemas.

“Terus Jeano?”

“Kamu mimpi punya anak kembar dari Jeano?” “Tega, ya, kamu?”

“Apanya yang tega? Buktinya sampai sekarag aku punya anaknya dari kamu, toh?” “Ohiya anak kita? Aa Ray mana?” Alya sedikit berlari mencari anaknya.

“Nah kan lupa sama anak sendiri.” Rey mengekori Alya.

Tiba-tiba saja deru mobil Chandra mendekati rumah dirinya.

Samar-samar terdengar suara Rayan Ranajaya putra pertama Alya dan Rey yang kini sudah berumur empat tahun, memanggil sang mama dan papa.

Sedangkan Rey masih geleng-geleng kepala karena keanehan sang istri yang tampak bingung sedari tadi. Dengan begitu Rey juga menghampiri orang tuanya yang sudah dua hari mengajak Rayan menginap. Rayan sangat dekat sekali dengan Chandra dan Juga Wenny, sampai-sampai Rayan pernah menginap di rumah kakek neneknya tersebut selama satu minggu penuh saking betahnya.

“Mama!” seru Ray memanggil mamanya, ada rindu yang ia tahan sejak dua hari.

“Ya Ampun a, mama kangen banget tau.” Alya terus mengecup anaknya tanpa henti.

“Aa juga kangen sama mama, sama papa juga.”

“Aa …” panggil Rey yang kini memangku anaknya merebut dari Alya.

“Ayah mana, bun?” tanya Rey karena tidak melihat ada tanda-tanda Chandra di sini.

“Ada kok, lagi ngecek mobil dulu kayaknya,” jawab Wenny sambil menyimpan kantong kresek besar warna hitam yang entah apa isinya.

“Rusak?”

“Iya, tapi enggak parah.”

Tiba-tiba saja Chandra muncul dengan senyum dimpel khasnya. Alya menghampiri Chandra yang langsung salim, begitupun Rey.

“Sehat Pak Dosen?” goda Chandra terhadap Rey yang kini bekerja di dunia pendidikan.

“Apaan manggilnya kayak gitu,” “Panggil Aa aja kayak biasanya.” suara Rey memelan karena masih saja Chandra senang menggodanya.

“Masa mau dipanggil Aa terus, kan udah jadi papa,” “Cie udah jadi papa aja, nih?”

“Udah jadi kakek aja nih?” balas Rey sedikit kesal.

“Iya tau ayah makin tua,” “Ah elah diingetin lagi.”

“Suruh siapa mulai duluan?”

“Biasa aja saltingnya,” “Nikah udah empat taun, masih aja jaim?”

“Aa gak jaim?!”

“Jangan lupa, deket kalian ada Aa Ray, mau adu mulut terus?” Wenny menimbrung perselisihan ringan mereka.

“Tau tuh Aa.”

“Tau tuh Ayah.”

Alya hanya tersenyum, menurutnya ribut ringan seperti ini justru membuatnya merasa terhibur, karena mereka berantem tidak sampai menggunakan hati, dan itu hanya lelucon saja sebenarnya, karena mereka lah yang selalu mencairkan suasana.

“Aa weekend gini mau kemana? Kok udah rapi?”

“Ke kampus, Yah, ada Seminar Nasional.”

“Seminar apa ketemu yang muda?”

Seketika pandangan Alya mengarah tajam kepada Rey, dan Rey pun membalas dengan tatapan mengelak.

“Aa emang udah lama gak berantem sama istri,” ungkap Rey pasrah.

“Jangan dong, aku lagi gak mood berantem soalnya.”

“Tumben?”

“Ya gak bisa, kalau mau juga aku tahan.”

“Apa nih? Pasti ada maunya, pengen apa, sayang?” tanya Rey curiga.

“Gak pengen apa-apa.” ungkap Alya sambil menyuapi Rey makan kue buatan Wenny.

“Jujur sama saya, kamu habis mecahin barang saya, kan?”

“Aku kalau mecahain barang kamu juga, kamu gak pernah marah—depan aku,” “Gak tau sih kalau ngedumel di belakang mah.”

“Emang gak pernah,” “Kan gak sengaja juga,” ungkap Rey sambil memakan buah apel yang sudah dipotong-potong.

“Ah gereget,” ungkap Chandra tak sabar sembari memberikan kado untuk Rey, “Ini hadiah dari Ayah, selamat ulang tahun ya, A.”

Rey terkaget di sana, kok bisa dirinya tidak ingat hari ulang tahunnya. Mungkin karena kesibukan dirinya mengurus mahasiswa, hal tersebut jadi pemicu lupa akan momen penting ini.

Dibukanya kado dari sang ayah yang isinya adalah tas backpack yang sangat elegan juga telihat keren dan gagah jika Rey menggendongnya.

“Ayah harap, ini bisa nemenin pundak kamu yang semakin tangguh, menemani kamu dalam mencari rezeki demi memenuhi tanggung jawab kamu terhadap anak istri.”

“Ayah … terima kasih … Aa suka sekali sama hadiahnya.”

“Ini dari buna,” Wenny juga ikut menyodorkan hadiah untuk anaknya.

Rey membuka pemberian dari Wenny, ternyata isinya adalah jaket jubah, cocok untuk Rey jika berangkat pagi untuk mengajar. Jika dipadukan dengan tas backpack pemberian dari Chandra, maka perpaduannya sangat cocok terpasang di tubuh Reynaldi.

“Karena buna sudah jarang peluk Aa seperti dulu, maka buna harap jaket ini sama hangatnya dengan pelukan buna,” ungkap Wenny yang membuat semua orang terenyuh.

“Buna kan bisa peluk Aa kapan aja ...”

“Iya, tapi kan sekarang udah beda, Aa sibuk, Buna juga, belum lagi jarak dari rumah buna ke sini kan lumayan, makannya Buna kasih ini.”

“Buna, makasih, ya?”

“Sama-sama, sayang.”

Ray turun dari kursinya meminta tolong pada mamanya, kini dia menghampiri kakeknya untuk meminta hadiah yang kemarin ia pilih untuk diberikan pada papanya.

“Ini dari Aa, pakai uang kakek, tapi ini dari Aa.” Jelas memunculkan gelak tawa bagi mereka yang mendengarnya, dirinya terlalu jujur kalau dia memberi kado bukan memakai uang sendiri tetapi ingin dianggap hadiah dari dirinya. Alya juga terkaget mendengarnya, merasa tersentuh ketika anaknya juga ikut memberikan hadiah untuk Rey.

“Aa mau kasih kado juga sama papa?” tanya Rey semangat.

“Huum,” “Dibuka papa,” pinta Ray dengan polos dan menggemaskan.

“Ya ampun sayang,” “Papa buka, ya?”

“Iya.”

Rey membuka hadiah tersebut. Dari bentuknya sangat kecil, tapi entah kenapa ini membuat jantung Rey semakin berdetak, Rey sama sekali tidak bisa mengira apa yang Anaknya berikan di usia yang sangat muda ini.

Rey hampir saja meneteskan air mata setelah tahu hadiah yang diberikan Ray yang dibalut dengan kertas kado gambar kartun populer.

“Pasti ini ide nenek, ya?

“Enggak?” Wenny mengelak cepat. “Aa yang bilang sama buna, katanya Aa pengen buat gantungan akrilik yang dalamnya foto kalian bertiga,” “Tapi Aa Ray pengennya itu digantung di kaca spion depan mobil kamu, a.” “Aa Ray sempat diajak temen buna pakai mobil beliau, dan Aa ngeliat ada foto keluarga yang digantung di spion depan mobilnya.” “Aa udah lama pengen itu, tapi dikasihnya sekalian pas ulang tahun aja, gitu,” “Untung mama punya foto kalian bertiga.”

“Aa …” lirih Rey sambil memangku anaknya dan terus memeluknya dan sekali-kali mencium pucuk rambut anaknya tersebut. “Terima kasih, ya, sayang.”

“Sama-sama, papa,” balas Ray senang.

Ayo sekarang giliran Kak Alya,” pinta Wenny Antusias.

“Kamu juga bikin kado buat saya?” “Tapi kok gak pernah keliatan ada kado di rumah?”

Alya memukul ringa suaminya.

“Aku punya dua kado tau.”

“Banyak amat?”

“Mau mana dulu, mau yang pertama atau yang kedua?”

“Dua-duanya, dibarengin.”

“Serius ayang, ih.”

“Yasudah yang kedua aja dulu.”

“Ih kok langsung nomer dua?”

“Tadi disuruh milih?”

“Yaudah iya.”

“Yakin pilih nomer dua?”

“Iya, sayang?”

“Mau tuker ke nomer satu, kah?”

“Dua, sayang.” Alya hanya tertawa melihat wajah kesal Rey.

Alya kini mendekatkan kursinya pada Rey, yang tampak bingung kenapa istrinya bertingkah aneh.

Alya tersenyum terus menatap Rey tanpa henti. Sedangkan Ray hanya melihat polos kedua orang tuanya yang kini beralih duduk dipangkuan Chandra. Sedangkan Chandra dan wenny hanya bisa tersenyum karena sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Alya masih tersenyum indah di sana. “Selamat ulang tahun, ya, sayang,” “Ini hadiah kedua dari aku,” ungkap Alya sambil meraih tangan Rey dan mendaratkannya diperut dirinya.

Seketika jantung Rey berdebar kencang, tapi bukan karena sakit, melainkan ada perasaan haru yang kini air matanya mulai memenuhi pelupuk matanya namun tak jatuh.

“Sayang … .”

“Selamat, ya.”

“Kok bisa? Bukannya kita baru mau promil?”

“Mau gimana lagi, udah terlanjur jadi?”

“Dari kapan?”

“Aku tes tuh seminggu yang lalu.”

“Kok gak bilang saya?”

“Kan kejutan.”

“Sayang …” “Kamu udah telat berapa minggu?”

“Tiga mingguan kayaknya.”

“Ayo ke rumah sakit sekarang.”

“Hadiah pertamanya belum aku kasih.”

“Gak perlu, saya gak peduli hadiah lain, saya mau kamu ke dokter sekarang.”

“Ya nanti, kamunya seminar dulu.”

“Saya gak berangkat.”

“Udah bayar mahal-mahal itu.”

“Hadiah yang saya dapatkan tidak ada apa-apanya dengan uang itu.” Rey kini berdiri untuk membawa Alya ke rumah sakit.

“Seengaknya habisin dulu makanannya,” “Ada Ayah sama Buna yang lagi nikmatin makanannya,” “Ada Aa Ray juga yang belum kenyang.”

“Gak apa-apa, mereka pasti ngerti,” “Yah … Bun .. Aa titip Aa Ray dulu sebentar lagi, boleh?” “Nanti Aa pesan makanan lagi yang banyak biar kalian betah” “Itung-itung ayah sama buna istirahat weekend-nya di sini,” “Kapan lagi kan main ke sini, main sama cucu kalian.”

“Aa mah ngolo etateh.” (Aa ngebujuk itu)

“Yah … Bun …”

“Iya sayang, iya.”

“Aa sama kakek nenek dulu, ya, sebentar?” “Nanti papa beliin Aa makanan yang Aa suka,” “Atau papa beliin Aa apa aja deh.”

“Mau coklat sama eskrim yang banyak.”

“Aduh A, yang lain atuh.” Ray mengeluh di sana, raut mukanya berubah murung.

“Aa ikut mama boleh?”

Rey tidak berani membawa anak kecil ke rumah sakit, karena rawan terjadi sesuatu yang mengganggu kesehatannya. Sebenarnya tidak akan apa-apa, tubuhnya juga sedang fit, namun alangkah baiknya Ray tinggal sebentar di rumah bersama kakek neneknya agar tetap di rumahnya.

“Ya sudah, boleh makan coklat sama eskrimnya, tapi janga terlalu banyak,” ungkap Alya yang seketika senyum Ray terpancar kembali saking senangnya.

Alya dan Rey bergegas dan pamit untuk berangkat sebentar.

—-

Kini mereka sudah ada di mobil, Rey diam sebentar. Dan kini dirinya memeluk istrinya erat.

“Makasih, ya,” “Saya seneng untuk hadiahnya,” “Makasih sayang,” “I love you.”

“Sama-sama.”

Reynaldi tahu sekali ketika Alya melahirkan Ray itu tidak mudah. Bisa dikatakan Alya melahirkan anak pertamanya cukup sulit dan terus dirujuk dari rumah sakit ke rumah sakit lain.

Alya juga sempat mengatakan bahwa dirinya akan sulit lagi jika dirinya harus melahirkan kembali. Alya mendapatkan trauma yang cukup membekas dalam dirinya, bahkan Rey juga sepakat untuk tidak mempunyai anak lagi karena benar-benar tahu akan perjuangan istrinya.

Dengan pertimbangan bedah caesar, dirinya memberanikan diri. Dirinya sanggup walaupun nanti juga harus melahirkan dengan cara normal kembali. Alasannya karena Rey suka sekali dengan anak kecil, bahkan Alya sempat memergoki suaminya menonton channel yang isinya anak kecil.

Dan juga ketika Rey bertemu anak kecil di luar sana pasti Rey merasa gemas dibuatnya. Walaupun begitu Rey tidak menampakan secara terang-terangan tentang kecintaannya terhadap anak karena takut membebani istrinya.

Alya yang pernah melihat Rey melakukan itu, merasa tertampar keras, apa dirinya tidak mau berjuang lebih lagi bagi laki-laki yang totalitas mencintai dan menjaganya dirinya? apa dirinya tidak mau melihat suaminya mencintai anak-anak yang ia lahirkan?

Sempat merencanakan kehamilannya, namun dirinya sedikit ragu, sehingga dirinya terus mengundurkan acara dengan dokter kandungannya.

Sampai pada saat Rey tidak lagi menanyakan tentang program tersebut, hati Alya merasa bersalah dibuatnya, Rey kenapa menutupi rasa keinginannya demi menjaga perasaannya yang masih trauma dengan melahirkan.

Setelah itu dirinya mulai melepas kontrasepsi pil yang ia gunakan tanpa sepengetahuan Rey, akhirnya dirinya membernaikan diri.

Hadirnya Rey dan Ray menjadi kekuatan untuk Alya bahwasannya dirinya bisa, dengan doa mereka yang tulus, dan penjagaan yang hebat itu tidak mungkin dirinya akan mendapatkan kesulitan kembali.

Alya kini pasrah, apapun yang terjadi dirinya akan berusaha membuat suaminya bahagia akan kesenangannya. Alya yakin dengan dukungan serta doa suami dan semua keluarganya, pasti kali ini akan dimudahkan semuanya, dirinya bisa melahirkan anak-anak hebat dan berguna di masa depan nanti.

Bisa dikatakan Reynaldi dan Ray adalah orang terakhir yang tahu akan kehamilannya. Karena Alya memberitahukan Wenny dan Chandra terlebih dahulu, kemudian John. Hingga pada saat itu mereka tiba-tiba menghampiri rumahnya untuk menengok dirinya, sempat dicurigai Rey karena kedatangan orang tua yang tiba-tiba dan dengan formasi lengkap. Namun, Alya terus mengalihkan pembicaraan dengan apik.

Kemudian tidak lupa Alya memberitahukan kehamilannya pada teman-temannya termasuk Shaga yang sebentar lagi akan menikah, dan itu akan digelar di kampung halamannya di Kalimantan.

Entah bisa atau tidak Alya memenuhi undangan Shaga, akan tetapi Shaga memaklumi dirinya karena pengorbanan waktu juga, sedangkan acaranya bukan diacara libur kuliah atau apa, jadi Shaga memakluminya. Hanya saja itu semua tidak mudah, Alya harus menggantinya dengan kado yang setimpal dengan rasa sakit hati karena tidak bisa hadir, begitulah candaan Shaga terhadap Alya.

Tidak Lupa Alya juga mengabarkan kabar baik ini pada cinta pertamanya yaitu Dafa. Dafa yang sudah pindah ke Australia dan mempunyai keluarga kecil di sana pun ikut berbahagia, bahkan dirinya langsung memberikan hadiah, yang kini tersimpan apik di kamar kosong tanpa sepengetahuan Rey.

Sedangkan Jeano. Alya sudah lama tidak mendangar kabarnya. Karena sudah terlalu lama dirinya pergi menempuh pendidikannya di luar negri dan langsung bekerja di sana, kabarnya Jeano memang belum ada keinginan untuk menikah. Jeano sekali-kali video call suaminya bersama teman kuliahnya yang lain seperti Naren dan Hamzi, tapi itu dalam kurun waktu lama, kadang tiga bulan sekali, kadang empat bulan sekali mereka berkomunikasi intens.

Sedangkan Hamzi sama hebohnya dengan Sarah ibunya, dirinya langsung mengirimkan hadiah mentang-mentang sudah kerja, untung saja hadiahnya tidak ia kasih tepat di depan mata Rey.

Sarah dan John belum ada kejelasan untuk menikah, namun atas dorongan dirinya, dan juga harus ada yang mengurus satu sama lain, maka Alya dan Hamzi terus bekerja keras menyatukan mereka walaupun nyatanya memang sangat susah. Tapi peluang mereka untuk bersatu itu cukup yakin, karena dua-duanya juga saling menyayangi.

Sedangkan Ray belum Alya kasih tahu dari jauh-jauh hari, karena anak kecil begitu polos, dan rawan akan bocornya rahasia negara ini. Kalau saja dijelaskan pasti nanti akan banyak pertanyaan, dan akan lebih bahaya jika Ray bertanya pada papanya, pasti sudah gagal total sudah rencananya. Sudah terbayang kalau Rey akan banyak bertanya, maka dari itu Alya memberi tahu secara bersamaan dengan suaminya.

Saat ini Rey terus memeluk istrinya. “Sehat-sehat, ya, sayang.”

tw // kiss

Kini dirinya melepaskan pelukannya. Dan berganti meraih wajah sang istri, jarak mereka terkikis, Reynaldi mencium keningnya hingga turun mendarat di bibir merah mudanya, Rey melumatnya dengan perlahan sambil terus mengusap perut sang istri dengan perlahan yang cukup membuat gairah dirinya memuncak. Alya melingkarkan tangannya di leher sang suami dan turut membalas semua perlakuan suaminya, lebih dalam, hingga sesapannya begitu memabukkan. Kini Rey lepaskan ciumannya dan tersenyum sambil menatap wajah istrinya yang kini sangat merona karena tindakan Rey yang tiba-tiba.

“I love you.”

“Aku juga.”

Kini mobil mereka baru bisa melaju setelah perasaan mereka tersalurkan. Rey terus memegang punggung tangan istrinya disertai senyum yang terus merekah di sepanjang perjalanan.

Dirinya sudah membayangkan semuanya, bahkan dirinya tidak sabar akan direpotkan lagi dengan permintaan istrinya yang akan tampak aneh dan diluar kendali.

Pantas saja dalam dua minggu terakhir ini Alya jarang sekali memasak dan selalu membelinya atau tidak pasti dibuatkan oleh Wenny.

Tampaknya Alya memang sering morning sicknes namun ia tahan. Rey sudah siap dengan semuaya, apapun itu, asal istri dan anaknya sehat selamat menginjakan kaki di dunia yang fana ini.

—-

Cerita ini mengisahkan tentang Reynaldi yang sudah mau berjuang dengan takdir yang harus ia hadapi. Reynaldi sering kali mendapatkan sebutan Big boy bukan berarti kegagahannya secara fisik yang mampu melawan seribu banding satu untuk berperang, melainkan julukan tersebut karena dirinya dikenal sebagai orang besar karena prestasinya sejak ia kecil hingga mampu menjadi pemimpin di BEM hingga menjadi pemimpin bijak di dalam rumah tangganya. Sedangkan untuk Supremacy-nya sendiri kita bisa tahu dalam ceritanya Reynaldi memang memiliki banyak keunggulan dari segi manapun sehingga tidak ada yang bisa mengalahkan dan kita bisa menganggap dirinya begitu sempurna. Hanya saja dalam cerita ini bukan hanya itu saja keunggulan yag Reynaldi miliki. Keunggulannya sebenarnya yaitu dirinya bisa bertahan untuk menghadapi takdirnya yang memang tidak mudah, bisa menahan sakit yang hebat dari sejak dirinya masih bayi, bisa melawan rasa putus asa, memiliki kesabaran yang sangat besar, dan selalu berjuang demi membahagiakan semua orang yang ada disekitarnya.

—END.

#Happy Ending

Ternyata jadi seorang ibu dengan putra kembar itu tidak mudah, pagi-pagi sekali Alya harus memandikan anaknya yang berumur lima tahun. Pagi-pagi sudah kecolongan keluar rumah dan kompak bermain tanah di luar yang pada saat itu Alya sedang sibuk memasak.

Si kembar terus memberontak, karena tidak mau keramas sedangkan tanah yang ia mainkan sudah melekat sampai rambut entah bagaimana mereka bermain-main.

Untuk saat ini yang satu sibuk menumpahkan sabun mandi cair sedangkan yang satu menyemprotkan air terhadap Alya karena rasa marah dipaksa untuk keramas alhasil menjerit kedinginan. Alya tetap meredam emosinya walaupun bajunya kini basah kuyup seperti ikut mandi bersama mereka, bedanya Alya tidak melepaskan pakaiannya. — “Ayaaaah.” Si kembar kompak memanggil Jeano yang saat ini sudah berdiri di depan pintu yang masih terbuka.

“Kamu kapan ke sini?” tanya Alya dengan tangan sibuk mengelap badan si kembar dengan handuk.

“Al ...”

“Iya, Je?”

“Kamu kalau kewalahan kan bisa telfon aku.”

“Anak-anak hari ini Alhamdulillah sekali, Je...” Alya sedikit mengeluh pada Jeano.

“Yaudah sini minyak telon sama baju anak-anaknya, kamu ganti baju dulu gih, ntar masuk angin, basah gitu.” Alasan saja sebenarnya, terlalu bahaya jika baju putih Alya terbasahi dan memperlihatkan sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.

Dengan lunglai Alya menuju kamarnya, dan kini sudah berganti pakaian dengan warna hitam.

“Je ...”

“Apa sayang.”

“Sayang-sayang, bisa-bisanya kamu genit sama emak-emak anak dua?” “Cepetan nikah sana!”

“Ngapain nikah? Kan aku udah punya si kembar.”

“Serius? Kapan nikahnya? Kok gak ngundang?”

“Ya enggak, ini kurcil-kurcil kan anak aku juga.”

“Enak aja, gak usah ngajak huru-hara deh, ntar diturutin sama anak-anak.”

“Alvan sini sama mama.” Alya memakaikan baju untuk kakaknya, sedangkan Alvin diurus oleh Jeano.

“Baju hitam lagi?” ungkap Alvan melotot gemas keheranan.

“Hmm?” Alya menatap ke arah Jeano, “Kan mau pergi lihat papa, nak.”

“Papah kapan pulang, ma?”

“Papa kok lama perginya?” “Besok papa antar kita hari pertama sekolah, kan?”

“Besok juga hari ulang tahun kakak sama Alvin, papa datang, kan?” Alya dihantam banyak pertanyaan dari anaknya.

“Sama kakek John aja, ya?” “Atau mau sama Kakek Chandra aja?” “Sama Nenek Wenny, gimana?” bujuk Alya hati-hati.

“Maunya sama papa! yang lain juga diantar sama papa!” Alvan menunjuk ke arah foto pernikaham pengantin Alya dan Reynaldi lima tahun yang lalu.

“Iya, nanti lagi, ya?”

“Sama papa!” Alvin yang tadinya diam kini ikut membrontak seperti kakaknya.

“Iya, nanti lagi, ya?” “Besok sama mama dulu.” Alya berusaha sabar menghadapi anak-anaknya yang sudah mulai mengamuk.

“Mama bohong!”

Dengan rasa murkanya, Alvin kini membanting minyak telon yang melesat kencang nyaris mengenai wajah Alya.

Dengan sigap Jeano mengambil Alvin ke sisinya.

“Papa kapan ke rumah!”

Alya sudah mulai berkaca-kaca di sana, ia paling tidak bisa menjelaskan kalau papanya sudah tidak bisa berada di sisi mereka lagi.

“Gak bisa ....” “Kan Papa Rey sudah meninggal.” Jeano memutuskan untuk memberi tahu si kembar tentang semuanya.

“Je ...”

Mata anak-anak kini tertuju pada Jeano, tidak mengerti apa yang Jeano maksud.

Batin Alya sakit sekali rasanya, ketika anak-anak menatap Jeano polos dengan tatapan sayu, bagaimana Alya sanggup memberitahukan mereka semua, bagaimana ketika wajah polos mereka yang mudah tertawa akan menanggapi keadaan sebenarnya tersebut. Alya tak sanggup kalau harus melihat bagaimana Jeano menjelaskan keberadaan Rey sebenarnya.

Alya tak sanggup bahkan jika harus melihat reaksi mereka. Alya berlari ke dalam kamar dan menangis di sana, menangis sambil memeluk foto mereka berempat ketika Alvan dan Alvin baru lahir yang ditemani oleh Reynaldi. . . . . . . . . . . . . . . . “Sayang?” “Bangun,” “Kamu mimpi apa sampai keringetan gini?”

Alya terperanjat seketika langsung melotot dan memeluk orang yang kini ada di hadapannya.

“Mimpi buruk lagi?” “Mimpiin apa, sayang?”

Alya hanya memeluk erat suaminya tersebut.

“Kenapa?”

“Rey …”

“Iya, kenapa sayang?”

“Aku gak mau semua itu terjadi, bahkan itu dalam mimpi.” gumam Alya dalam hati, kini Alya terus mengeratkan pelukannya.

“Al … kamu gak apa-apa, kan?” “Coba tenangin diri kamu dulu, habis itu kamu ceritakan semuanya, biar kamu enggak ketakutan lagi kayak barusan.”

Alya hanya mampu berbicara lewat tubuhnya, dirinya hanya ingin dipeluk saja. Entah sudah berapa menit berlalu, Alya enggan menceritakan mimpinya.

Seketika keliru, Alya sulit membedakan mana mimpi mana nyata, apakah yang ia peluk sekarang adalah bagian dari mimpi? Atau justru sebaliknya?

Alya terus memastikan kalau yang terjadi saat ini adalah benar-benar nyata, seseorang yang ia peluk juga benar-benar nyata.

“Kenapa sayang?”

Alya kini mulai melonggarkan pelukannya dan memastikan dengan menatap wajah Rey intens.

“Si kembar mana?” Setelah dirinya mencubit pipinya sendiri dan meringis kesakitan, kini Alya hanya ingin memastikan satu hal lagi.

“Si kembar siapa?”

“Anak kita …”

Rey tersenyum di sana, “Mentang-mentang mau promil lagi, kamu sampai kebawa mimpi punya anak kembar, sayang?” ungkap Rey sambil mencubit hidung Alya gemas.

“Terus Jeano?”

“Kamu mimpi punya anak kembar dari Jeano?” “Tega, ya, kamu?”

“Apanya yang tega? Buktinya sampai sekarag aku punya anaknya dari kamu, toh?” “Ohiya anak kita? Aa Ray mana?” Alya sedikit berlari mencari anaknya.

“Nah kan lupa sama anak sendiri.” Rey mengekori Alya.

Tiba-tiba saja deru mobil Chandra mendekati rumah dirinya.

Samar-samar terdengar suara Rayan Ranajaya putra pertama Alya dan Rey yang kini sudah berumur empat tahun, memanggil sang mama dan papa.

Sedangkan Rey masih geleng-geleng kepala karena keanehan sang istri yang tampak bingung sedari tadi. Dengan begitu Rey juga menghampiri orang tuanya yang sudah dua hari mengajak Rayan menginap. Rayan sangat dekat sekali dengan Chandra dan Juga Wenny, sampai-sampai Rayan pernah menginap di rumah kakek neneknya tersebut selama satu minggu penuh saking betahnya.

“Mama!” seru Ray memanggil mamanya, ada rindu yang ia tahan sejak dua hari.

“Ya Ampun a, mama kangen banget tau.” Alya terus mengecup anaknya tanpa henti.

“Aa juga kangen sama mama, sama papa juga.”

“Aa …” panggil Rey yang kini memangku anaknya merebut dari Alya.

“Ayah mana, bun?” tanya Rey karena tidak melihat ada tanda-tanda Chandra di sini.

“Ada kok, lagi ngecek mobil dulu kayaknya,” jawab Wenny sambil menyimpan kantong kresek besar warna hitam yang entah apa isinya.

“Rusak?”

“Iya, tapi enggak parah.”

Tiba-tiba saja Chandra muncul dengan senyum dimpel khasnya. Alya menghampiri Chandra yang langsung salim, begitupun Rey.

“Sehat Pak Dosen?” goda Chandra terhadap Rey yang kini bekerja di dunia pendidikan.

“Apaan manggilnya kayak gitu,” “Panggil Aa aja kayak biasanya.” suara Rey memelan karena masih saja Chandra senang menggodanya.

“Masa mau dipanggil Aa terus, kan udah jadi papa,” “Cie udah jadi papa aja, nih?”

“Udah jadi kakek aja nih?” balas Rey sedikit kesal.

“Iya tau ayah makin tua,” “Ah elah diingetin lagi.”

“Suruh siapa mulai duluan?”

“Biasa aja saltingnya,” “Nikah udah empat taun, masih aja jaim?”

“Aa gak jaim?!”

“Jangan lupa, deket kalian ada Aa Ray, mau adu mulut terus?” Wenny menimbrung perselisihan ringan mereka.

“Tau tuh Aa.”

“Tau tuh Ayah.”

Alya hanya tersenyum, menurutnya ribut ringan seperti ini justru membuatnya merasa terhibur, karena mereka berantem tidak sampai menggunakan hati, dan itu hanya lelucon saja sebenarnya, karena mereka lah yang selalu mencairkan suasana.

“Aa weekend gini mau kemana? Kok udah rapi?”

“Ke kampus, Yah, ada Seminar Nasional.”

“Seminar apa ketemu yang muda?”

Seketika pandangan Alya mengarah tajam kepada Rey, dan Rey pun membalas dengan tatapan mengelak.

“Aa emang udah lama gak berantem sama istri,” ungkap Rey pasrah.

“Jangan dong, aku lagi gak mood berantem soalnya.”

“Tumben?”

“Ya gak bisa, kalau mau juga aku tahan.”

“Apa nih? Pasti ada maunya, pengen apa, sayang?” tanya Rey curiga.

“Gak pengen apa-apa.” ungkap Alya sambil menyuapi Rey makan kue buatan Wenny.

“Jujur sama saya, kamu habis mecahin barang saya, kan?”

“Aku kalau mecahain barang kamu juga, kamu gak pernah marah—depan aku,” “Gak tau sih kalau ngedumel di belakang mah.”

“Emang gak pernah,” “Kan gak sengaja juga,” ungkap Rey sambil memakan buah apel yang sudah dipotong-potong.

“Ah gereget,” ungkap Chandra tak sabar sembari memberikan kado untuk Rey, “Ini hadiah dari Ayah, selamat ulang tahun ya, A.”

Rey terkaget di sana, kok bisa dirinya tidak ingat hari ulang tahunnya. Mungkin karena kesibukan dirinya mengurus mahasiswa, hal tersebut jadi pemicu lupa akan momen penting ini.

Dibukanya kado dari sang ayah yang isinya adalah tas backpack yang sangat elegan juga telihat keren dan gagah jika Rey menggendongnya.

“Ayah harap, ini bisa nemenin pundak kamu yang semakin tangguh, menemani kamu dalam mencari rezeki demi memenuhi tanggung jawab kamu terhadap anak istri.”

“Ayah … terima kasih … Aa suka sekali sama hadiahnya.”

“Ini dari buna,” Wenny juga ikut menyodorkan hadiah untuk anaknya.

Rey membuka pemberian dari Wenny, ternyata isinya adalah jaket jubah, cocok untuk Rey jika berangkat pagi untuk mengajar. Jika dipadukan dengan tas backpack pemberian dari Chandra, maka perpaduannya sangat cocok terpasang di tubuh Reynaldi.

“Karena buna sudah jarang peluk Aa seperti dulu, maka buna harap jaket ini sama hangatnya dengan pelukan buna,” ungkap Wenny yang membuat semua orang terenyuh.

“Buna kan bisa peluk Aa kapan aja ...”

“Iya, tapi kan sekarang udah beda, Aa sibuk, Buna juga, belum lagi jarak dari rumah buna ke sini kan lumayan, makannya Buna kasih ini.”

“Buna, makasih, ya?”

“Sama-sama, sayang.”

Ray turun dari kursinya meminta tolong pada mamanya, kini dia menghampiri kakeknya untuk meminta hadiah yang kemarin ia pilih untuk diberikan pada papanya.

“Ini dari Aa, pakai uang kakek, tapi ini dari Aa.” Jelas memunculkan gelak tawa bagi mereka yang mendengarnya, dirinya terlalu jujur kalau dia memberi kado bukan memakai uang sendiri tetapi ingin dianggap hadiah dari dirinya. Alya juga terkaget mendengarnya, merasa tersentuh ketika anaknya juga ikut memberikan hadiah untuk Rey.

“Aa mau kasih kado juga sama papa?” tanya Rey semangat.

“Huum,” “Dibuka papa,” pinta Ray dengan polos dan menggemaskan.

“Ya ampun sayang,” “Papa buka, ya?”

“Iya.”

Rey membuka hadiah tersebut. Dari bentuknya sangat kecil, tapi entah kenapa ini membuat jantung Rey semakin berdetak, Rey sama sekali tidak bisa mengira apa yang Anaknya berikan di usia yang sangat muda ini.

Rey hampir saja meneteskan air mata setelah tahu hadiah yang diberikan Ray yang dibalut dengan kertas kado gambar kartun populer.

“Pasti ini ide nenek, ya?

“Enggak?” Wenny mengelak cepat. “Aa yang bilang sama buna, katanya Aa pengen buat gantungan akrilik yang dalamnya foto kalian bertiga,” “Tapi Aa Ray pengennya itu digantung di kaca spion depan mobil kamu, a.” “Aa Ray sempat diajak temen buna pakai mobil beliau, dan Aa ngeliat ada foto keluarga yang digantung di spion depan mobilnya.” “Aa udah lama pengen itu, tapi dikasihnya sekalian pas ulang tahun aja, gitu,” “Untung mama punya foto kalian bertiga.”

“Aa …” lirih Rey sambil memangku anaknya dan terus memeluknya dan sekali-kali mencium pucuk rambut anaknya tersebut. “Terima kasih, ya, sayang.”

“Sama-sama, papa,” balas Ray senang.

Ayo sekarang giliran Kak Alya,” pinta Wenny Antusias.

“Kamu juga bikin kado buat saya?” “Tapi kok gak pernah keliatan ada kado di rumah?”

Alya memukul ringa suaminya.

“Aku punya dua kado tau.”

“Banyak amat?”

“Mau mana dulu, mau yang pertama atau yang kedua?”

“Dua-duanya, dibarengin.”

“Serius ayang, ih.”

“Yasudah yang kedua aja dulu.”

“Ih kok langsung nomer dua?”

“Tadi disuruh milih?”

“Yaudah iya.”

“Yakin pilih nomer dua?”

“Iya, sayang?”

“Mau tuker ke nomer satu, kah?”

“Dua, sayang.” Alya hanya tertawa melihat wajah kesal Rey.

Alya kini mendekatkan kursinya pada Rey, yang tampak bingung kenapa istrinya bertingkah aneh.

Alya tersenyum terus menatap Rey tanpa henti. Sedangkan Ray hanya melihat polos kedua orang tuanya yang kini beralih duduk dipangkuan Chandra. Sedangkan Chandra dan wenny hanya bisa tersenyum karena sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Alya masih tersenyum indah di sana. “Selamat ulang tahun, ya, sayang,” “Ini hadiah kedua dari aku,” ungkap Alya sambil meraih tangan Rey dan mendaratkannya diperut dirinya.

Seketika jantung Rey berdebar kencang, tapi bukan karena sakit, melainkan ada perasaan haru yang kini air matanya mulai memenuhi pelupuk matanya namun tak jatuh.

“Sayang … .”

“Selamat, ya.”

“Kok bisa? Bukannya kita baru mau promil?”

“Mau gimana lagi, udah terlanjur jadi?”

“Dari kapan?”

“Aku tes tuh seminggu yang lalu.”

“Kok gak bilang saya?”

“Kan kejutan.”

“Sayang …” “Kamu udah telat berapa minggu?”

“Tiga mingguan kayaknya.”

“Ayo ke rumah sakit sekarang.”

“Hadiah pertamanya belum aku kasih.”

“Gak perlu, saya gak peduli hadiah lain, saya mau kamu ke dokter sekarang.”

“Ya nanti, kamunya seminar dulu.”

“Saya gak berangkat.”

“Udah bayar mahal-mahal itu.”

“Hadiah yang saya dapatkan tidak ada apa-apanya dengan uang itu.” Rey kini berdiri untuk membawa Alya ke rumah sakit.

“Seengaknya habisin dulu makanannya,” “Ada Ayah sama Buna yang lagi nikmatin makanannya,” “Ada Aa Ray juga yang belum kenyang.”

“Gak apa-apa, mereka pasti ngerti,” “Yah … Bun .. Aa titip Aa Ray dulu sebentar lagi, boleh?” “Nanti Aa pesan makanan lagi yang banyak biar kalian betah” “Itung-itung ayah sama buna istirahat weekend-nya di sini,” “Kapan lagi kan main ke sini, main sama cucu kalian.”

“Aa mah ngolo etateh.” (Aa ngebujuk itu)

“Yah … Bun …”

“Iya sayang, iya.”

“Aa sama kakek nenek dulu, ya, sebentar?” “Nanti papa beliin Aa makanan yang Aa suka,” “Atau papa beliin Aa apa aja deh.”

“Mau coklat sama eskrim yang banyak.”

“Aduh A, yang lain atuh.” Ray mengeluh di sana, raut mukanya berubah murung.

“Aa ikut mama boleh?”

Rey tidak berani membawa anak kecil ke rumah sakit, karena rawan terjadi sesuatu yang mengganggu kesehatannya. Sebenarnya tidak akan apa-apa, tubuhnya juga sedang fit, namun alangkah baiknya Ray tinggal sebentar di rumah bersama kakek neneknya agar tetap di rumahnya.

“Ya sudah, boleh makan coklat sama eskrimnya, tapi janga terlalu banyak,” ungkap Alya yang seketika senyum Ray terpancar kembali saking senangnya.

Alya dan Rey bergegas dan pamit untuk berangkat sebentar.

—-

Kini mereka sudah ada di mobil, Rey diam sebentar. Dan kini dirinya memeluk istrinya erat.

“Makasih, ya,” “Saya seneng untuk hadiahnya,” “Makasih sayang,” “I love you.”

“Sama-sama.”

Reynaldi tahu sekali ketika Alya melahirkan Ray itu tidak mudah. Bisa dikatakan Alya melahirkan anak pertamanya cukup sulit dan terus dirujuk dari rumah sakit ke rumah sakit lain.

Alya juga sempat mengatakan bahwa dirinya akan sulit lagi jika dirinya harus melahirkan kembali. Alya mendapatkan trauma yang cukup membekas dalam dirinya, bahkan Rey juga sepakat untuk tidak mempunyai anak lagi karena benar-benar tahu akan perjuangan istrinya.

Dengan pertimbangan bedah caesar, dirinya memberanikan diri. Dirinya sanggup walaupun nanti juga harus melahirkan dengan cara normal kembali. Alasannya karena Rey suka sekali dengan anak kecil, bahkan Alya sempat memergoki suaminya menonton channel yang isinya anak kecil.

Dan juga ketika Rey bertemu anak kecil di luar sana pasti Rey merasa gemas dibuatnya. Walaupun begitu Rey tidak menampakan secara terang-terangan tentang kecintaannya terhadap anak karena takut membebani istrinya.

Alya yang pernah melihat Rey melakukan itu, merasa tertampar keras, apa dirinya tidak mau berjuang lebih lagi bagi laki-laki yang totalitas mencintai dan menjaganya dirinya? apa dirinya tidak mau melihat suaminya mencintai anak-anak yang ia lahirkan?

Sempat merencanakan kehamilannya, namun dirinya sedikit ragu, sehingga dirinya terus mengundurkan acara dengan dokter kandungannya.

Sampai pada saat Rey tidak lagi menanyakan tentang program tersebut, hati Alya merasa bersalah dibuatnya, Rey kenapa menutupi rasa keinginannya demi menjaga perasaannya yang masih trauma dengan melahirkan.

Setelah itu dirinya mulai melepas kontrasepsi pil yang ia gunakan tanpa sepengetahuan Rey, akhirnya dirinya membernaikan diri.

Hadirnya Rey dan Ray menjadi kekuatan untuk Alya bahwasannya dirinya bisa, dengan doa mereka yang tulus, dan penjagaan yang hebat itu tidak mungkin dirinya akan mendapatkan kesulitan kembali.

Alya kini pasrah, apapun yang terjadi dirinya akan berusaha membuat suaminya bahagia akan kesenangannya. Alya yakin dengan dukungan serta doa suami dan semua keluarganya, pasti kali ini akan dimudahkan semuanya, dirinya bisa melahirkan anak-anak hebat dan berguna di masa depan nanti.

Bisa dikatakan Reynaldi dan Ray adalah orang terakhir yang tahu akan kehamilannya. Karena Alya memberitahukan Wenny dan Chandra terlebih dahulu, kemudian John. Hingga pada saat itu mereka tiba-tiba menghampiri rumahnya untuk menengok dirinya, sempat dicurigai Rey karena kedatangan orang tua yang tiba-tiba dan dengan formasi lengkap. Namun, Alya terus mengalihkan pembicaraan dengan apik.

Kemudian tidak lupa Alya memberitahukan kehamilannya pada teman-temannya termasuk Shaga yang sebentar lagi akan menikah, dan itu akan digelar di kampung halamannya di Kalimantan.

Entah bisa atau tidak Alya memenuhi undangan Shaga, akan tetapi Shaga memaklumi dirinya karena pengorbanan waktu juga, sedangkan acaranya bukan diacara libur kuliah atau apa, jadi Shaga memakluminya. Hanya saja itu semua tidak mudah, Alya harus menggantinya dengan kado yang setimpal dengan rasa sakit hati karena tidak bisa hadir, begitulah candaan Shaga terhadap Alya.

Tidak Lupa Alya juga mengabarkan kabar baik ini pada cinta pertamanya yaitu Dafa. Dafa yang sudah pindah ke Australia dan mempunyai keluarga kecil di sana pun ikut berbahagia, bahkan dirinya langsung memberikan hadiah, yang kini tersimpan apik di kamar kosong tanpa sepengetahuan Rey.

Sedangkan Jeano. Alya sudah lama tidak mendangar kabarnya. Karena sudah terlalu lama dirinya pergi menempuh pendidikannya di luar negri dan langsung bekerja di sana, kabarnya Jeano memang belum ada keinginan untuk menikah. Jeano sekali-kali video call suaminya bersama teman kuliahnya yang lain seperti Naren dan Hamzi, tapi itu dalam kurun waktu lama, kadang tiga bulan sekali, kadang empat bulan sekali mereka berkomunikasi intens.

Sedangkan Hamzi sama hebohnya dengan Sarah ibunya, dirinya langsung mengirimkan hadiah mentang-mentang sudah kerja, untung saja hadiahnya tidak ia kasih tepat di depan mata Rey.

Sarah dan John belum ada kejelasan untuk menikah, namun atas dorongan dirinya, dan juga harus ada yang mengurus satu sama lain, maka Alya dan Hamzi terus bekerja keras menyatukan mereka walaupun nyatanya memang sangat susah. Tapi peluang mereka untuk bersatu itu cukup yakin, karena dua-duanya juga saling menyayangi.

Sedangkan Ray belum Alya kasih tahu dari jauh-jauh hari, karena anak kecil begitu polos, dan rawan akan bocornya rahasia negara ini. Kalau saja dijelaskan pasti nanti akan banyak pertanyaan, dan akan lebih bahaya jika Ray bertanya pada papanya, pasti sudah gagal total sudah rencananya. Sudah terbayang kalau Rey akan banyak bertanya, maka dari itu Alya memberi tahu secara bersamaan dengan suaminya.

Saat ini Rey terus memeluk istrinya. “Sehat-sehat, ya, sayang.”

tw // kiss

Kini dirinya melepaskan pelukannya. Dan berganti meraih wajah sang istri, jarak mereka terkikis, Reynaldi mencium keningnya hingga turun mendarat di bibir merah mudanya, Rey melumatnya dengan perlahan sambil terus mengusap perut sang istri dengan perlahan yang cukup membuat gairah dirinya memuncak. Alya melingkarkan tangannya di leher sang suami dan turut membalas semua perlakuan suaminya, lebih dalam, hingga sesapannya begitu memabukkan. Kini Rey lepaskan ciumannya dan tersenyum sambil menatap wajah istrinya yang kini sangat merona karena tindakan Rey yang tiba-tiba.

“I love you.”

“Aku juga.”

Kini mobil mereka baru bisa melaju setelah perasaan mereka tersalurkan. Rey terus memegang punggung tangan istrinya disertai senyum yang terus merekah di sepanjang perjalanan.

Dirinya sudah membayangkan semuanya, bahkan dirinya tidak sabar akan direpotkan lagi dengan permintaan istrinya yang akan tampak aneh dan diluar kendali.

Pantas saja dalam dua minggu terakhir ini Alya jarang sekali memasak dan selalu membelinya atau tidak pasti dibuatkan oleh Wenny.

Tampaknya Alya memang sering morning sicknes namun ia tahan. Rey sudah siap dengan semuaya, apapun itu, asal istri dan anaknya sehat selamat menginjakan kaki di dunia yang fana ini.

—-

Cerita ini mengisahkan tentang Reynaldi yang sudah mau berjuang dengan takdir yang harus ia hadapi. Reynaldi sering kali mendapatkan sebutan Big boy bukan berarti kegagahannya secara fisik yang mampu melawan seribu banding satu untuk berperang, melainkan julukan tersebut karena dirinya dikenal sebagai orang besar karena prestasinya sejak ia kecil hingga mampu menjadi pemimpin di BEM hingga menjadi pemimpin bijak di dalam rumah tangganya. Sedangkan untuk Supremacy-nya sendiri kita bisa tahu dalam ceritanya Reynaldi memang memiliki banyak keunggulan dari segi manapun sehingga tidak ada yang bisa mengalahkan dan kita bisa menganggap dirinya begitu sempurna. Hanya saja dalam cerita ini bukan hanya itu saja keunggulan yag Reynaldi miliki. Keunggulannya sebenarnya yaitu dirinya bisa bertahan untuk menghadapi takdirnya yang memang tidak mudah, bisa menahan sakit yang hebat dari sejak dirinya masih bayi, bisa melawan rasa putus asa, memiliki kesabaran yang sangat besar, dan selalu berjuang demi membahagiakan semua orang yang ada disekitarnya.

—END.

Ditengah hectic-nya simulasi ujian Farmakognosi yang harus menebak tanaman yang sudah berbentuk simplisia atau tumbuhan yang sudah dilakukan pengeringan, serta harus menebak serbuk yang dianalisis melalui mikroskop agar tahu tanaman apa itu. Mahasiswa melakukan simulasi ujian tersebut harus menebak jawaban dalam tiga puluh detik setiap soal, mahasiswa melakukannya secara berangkaian, jika bel berbunyi maka mahasiswa harus segera pindah ke meja berikutnya untuk mengerjakan soal selanjutnya.

Ada yang heran dengan Nayla, entah ada kepentingan mendadak apa sehingga dosen penanggung jawab membolehkan Nayla melakukan simulasi mendahului dirinya.

Alya enggan bertanya karena sibuk dengan mengulang-ngulang hafalannya agar nilai dari simulasi tersebut dapat membuat papah dan Rey bangga.

Nayla telah selesai melakukan simulasi dan dengan begitu langsung pamit untuk pulang. Karena Alya begitu penasaran maka dirinya hendak bertanya, namun terurung kembali setelah para asisten dosen menyeru kloter dua untuk menempati meja masing-masing.

Setelah lima belas menit berlalu, Alya dapat bernapas lega karena sebagian besar soalnya dapat ia jawab walaupun ada beberapa soal yang keliru dan itu akan ia perbaiki di ujian nanti.

Alya keluar dengan wajah lunglai, bagaimana bisa setelah dua praktikum yang ia lewati, ternyata ada satu simulasi ujian praktikum ternyata ikut membuntutinya seolah-olah tidak akan membiarkan mahasiswa lengah dan menikmati hari selasa dengan indah.

Alya terkejut ketika membuka ponselnya dan ia hanya sempat membalas pesan dari John saja ditengah teman-teman Rey mengirim pesan untuknya.

Saat ini sudah ada John dengan tatapan sedihnya. Entah kenapa jantung Alya semakin berdetak cepat, hal mendesak apa yang membuat John yang selalu sibuk, kini menghampiri sampai ke depan laboratorium.

“Kak ...” John memanggil Alya dengan hati-hati disertai senyum yang menenangkan namun hambar.

“Rey kenapa?” Bukannya menjawab, John malah merapikan rambut Alya yang sudah mulai tidak beraturan, dengan sigap John mengelap keringat yang bercucuran yang membasahi pelipis anak gadisnya tersebut.

“Kenapa, pah?” Alya semakin bingung, karena John masih terdiam di sana.

“Mau makan dulu? Makan dimana?” tanya John sambil menyodorkan susu kotak tawar yang Alya sukai.

Tangan Alya semakin bergetar, tangannya dingin dan merasakan kebas disertai detak jantung yang tidak karuan. Alya terus menghubungi Rey tanpa henti. Tangan Alya semakin bergetar di sana.

“Tenang sayang, Rey gak apa-apa kok.”

“Kalau gapapa, mana mungkin papah nungguin kakak di sini,” “Kalau gapapa, terus ngapain temen-temen Rey menghubungi kakak,” “Kalau gapapa, kenapa Nayla berani meminta ganti kloter simulasi ujian, padahal itu hal yang tidak mungkin,” “Gapapa maksud papah tuh apa?” “Kakak mau berangkat sekarang, kakak mau ketemu Rey.” John hanyan bisa menuruti kemauan anaknya.


Kini mereka sudah ada di rumah sakit. Rey masih dalam penanganan dokter, hanya orang-orang terdekat Rey yang hadir untuk saat ini.

Dilihatnya Nayla dan keluarganya yang sedang menangis yang ditenangkan oleh Jeano, serta jeritan tangis Wenny yang begitu dalam, serta Chandra yang sibuk menelfon keluarga besarnya agar datang untuk menjenguk anaknya.

John menghampiri Hamzi serta Naren, meminta agar memantau anaknya, karena dirinya harus mengurus Wenny yang masih saja belum bisa tenang.

Alya terduduk di kursi yang tersedia, perasaan sesak yang semakin menjadi pun tidak membuatnya menangis, seakan akan gumpalan sesak dalam dadanya mengeras dan air mata yang ikut membeku tak bisa ia keluarkan, yang ia bisa hanya memukul dadanya karena sesak, ia pukul hingga sesak tersebut sedikit demi sedikit berkurang.

“Kak ...” Hamzi sudah menganggap Alya sebagai kakak sendiri kini ikut menemani Alya, diikuti dengan Naren.

“Kondisi Rey gimana?” tanya Alya pelan dengan suara bergetar.

“Sebelum koma, Rey sempat sadar, tapi udah gak inget siapa-siapa lagi, bahkan ke Om Chandra sama Tante Wenny,” ungkap Hamzi sembari terus menenangkan.

Alya semakin menunduk di sana, bagaimana kalau ternyata kemungkinan terburuknya benar-benar terjadi?

Alya tidak ikut menangis seperti yang lainnya, dirinya hanya berusaha memastikan bahwa situasi ini bukan lagi mimpi buruk.

Alya kini fokus melihat gerak-gerik Chandra yang kalut karena keluarganya tidak bisa ia hubungi sejak tadi. Ingin sekali Alya menenangkannya, namun apa daya tubuh dirinya rasanya terkunci, tak sanggup melangkah apalagi memeluk orang-orang yang sedang lemah. Jika ia paksakan untuk bangun, maka bukan langkah serta pelukan yang ia berikan, melainkam dirinya akan ikut ambruk karena lemahnya kaki yang bergetar sejak tadi, bahkan tak kuat menopang tubuh sendiri.

Dengan raut wajah Chandra sekarang, Alya tidak bisa menebak, berapa liter air mata yang ia keluarkan, sampai-sampai air matanya tidak berhenti mengalir tanpa permisi.

Chandra menyadari bahwasannya ada yang memerhatikan dirinya sejak tadi. Kini Chandra menghampiri calon menantunya tersebut dengan lemah dan raut wajah yang tidak bisa memberikan senyuman seperti biasanya.

Namun, lagi-lagi terhambat ketika Dokter Sahen menghampiri Chandra, padahal ingin sekali Alya menanyakan langsung terhadap Chandra.

“Chan, gimana?” “Keluarga lo udah bisa dihubungi?”

“Tadi sempat ada gangguan, jadi baru bisa terbang malem ini.”

“Sepertinya Rey ingin keluarganya kumpul dulu semua, baru dia bisa pergi dengan tenang.” Chandra sudah biasa mendengar kalimat ini ketika keadaan Rey juga tidak memungkinkan untuk pulih.

“Apa aa gak bisa bertahan satu hari aja, Hen?” Chandra memelankan suaranya ketika menyadari Alya ada didekatnya.

“Berdoa saja, Chan. Kita berdoa untuk Rey,” “Kita tunggu keajaiban Tuhan.”

Apa yang Alya dengar barusan, cukup membuat dirinya merasakan sesak lagi yang luar biasa, melebihi sesak dari sebelumnya, seketika tubuhnya bergetar kedinginan, ada apa ini? Kenapa Rey butuh satu hari buat bertahan? Bukannya Rey harus bertahan selama mungkin? Apakah Chandra benar-benar merelakan anaknya tetsebut? Apakah Wenny menjerit di sana karena berusaha mengikhlaskan semuanya? Dan apakah dirinya juga harus ikhlas seperti mereka yang sudah pasrah atas semuanya? Apakah ini saatnya untuk merelakan seseorang yang ia cintai melebihi cinta pada dirinya sendiri?

Situasi yang ia takuti setelah kematian sang mamah kini muncul kembali, kembali mematahkan dirinya.

Perasaan yang tak sanggup lagi menyaksikan situasi ini, dia tidak berdaya, dia ingin tertidur agar nanti terbangun dari mimpi buruk ini.

Tak sadar terus meremat tangan Hamzi yang entah kapan ia genggam sebagai pelampiasan sesak dalam dadanya, kini genggaman tangan tersebut mulai melemah, dan Hamzi langsung menyadari bahwasannya Alya kini tidak sadarkan diri.

“Kak!” Teriak Hamzi yang cukup membuat Chandra, Naren, dan Jeano menghampirinya, sedangkan Nayla dan lainnya hanya bisa menatap nanar kearah Alya. Dengan sigap Jeano membawa Alya ke UGD.

John yang sedang menemani Wenny, terkejut dibuatnya, ternyata puterinya juga tidak sanggup menyaksikan semua situasi ini. Kini dua perempuan yang sangat mencintai Reynaldi ini terbaring lemah tak berdaya.

“John, Alya gimana?” tanya Chandra yang ikut menyusul setelah dilihatnya Alya tak sadarkan diri.

“Kakak cuman syok, gak apa-apa, Wenny sama kakak biar gue yang urus, lo harus temenin Rey di sana?” “Udah bisa besuk Rey belum?”

“Udah John, tapi aa belum sadar,”

“Giliran aja, lo atur dulu siapa yang besuk duluan,” “Hamzi? Jeano?” Kalian ikut Chandra dulu, biar om di sini jaga Kakak sama Buna Wenny.

“Alya gimana om?” tanya Jeano khawatir.

“Gak apa-apa, Alya sebentar lagi pasti siuman,” “Jeano ikutin dulu Ayah Chandra gih.”

Jeano akhirnya pergi meninggalkan Alya dengan rasa khawatir yang begitu besar.

“Kak ...” Jika Alya banyak menangis untuk Rey, maka John menangis untuk anaknya, luka atas hilangnya sang mamah belum kering, kini luka tersebut terlihat basah kembali.

Tidak lama kemudian seseorang menggenggam tangan Alya yang cukup membuat John terperanjat.

“Alya bangun, ya?” “Bangun... kita temenin aa,” pinta Wenny dengan tubuh lemahnya.

“Wen ...”

“Alya? Bangun, nak,” “Kita harus saling menguatkan ...” “Agar aa juga kuat dalam menghadapi takdirnya ...” Wenny menggenggam erat tangan Alya dengan terus menangis ketika dirinya harus menghadapi ini entah keberapa kalinya.

“Bun ...” tangisan Wenny membuat Alya tersadar.

Ternyata dengan tidur sejenak saja tidak cukup membuat mimpi buruk ini hilang, hanya ada kenyataan pahit yang benar-benar harus ia hadapi.

“Kakak ...”

“Bun ...”

“Ini buna, sayang ...”

“Alya sayang sama Rey ...”

“Iya, nak, buna tau,” Wenny tidak henti-hentinya mengusap pucuk kepala Alya dan juga John yang terus menggenggam tangan Alya yang semakin dingin.

“Alya belum minta maaf sama Rey, bun ...”

Baru bisa kali ini Alya mengeluarkan sesak yang menggumpal dalam dadannya kini berubah menjadi air mata yang kini menerobos melalui pelupuk matanya.

“Alya tahu kan? Aa sakitnya dari sejak dia bayi?” “Mungkin aa sudah lelah, nak ... sekarang giliran kita yang harus ngertiin aa, ya?”

“Bun …”

“Gapapa, ya?”

“Bun …”

“Ikhlas, ya, sayang, ya?” “Buna juga udah ikhlas,” “Ayah Chandra juga,” “Papah juga,” “Semua orang udah ikhlas, nak ...”

Alya tidak sanggup lagi mendengar semua ini, setiap perkataan yang keluar dari mulut Wenny mejadi pedang yang menyayat seluruh hatinya, hatinya tercabik-cabik ketika harus ikhlas di situasi seperti ini.

Alya menangis sejadi-jadinya, dirinya dipaksa ikhlas untuk Rey, sedangkan Alya masih menyesali semuanya, yang paling membuat Alya terpukul adalah kenyataannya dirinya tidak dalam komunikasi yang baik dalam pertemuan terkahir kali sebelum Rey masuk rumah sakit.

Bagaimana bisa berpisah seperti ini atas semua yang terjadi? Alya tidak sanggup jika harus hidup dihantui rasa penyesalan, menyesal karena gagal membuat Rey bergantung pada dirinya, menerima semuanya termasuk rasa sakit yang terus menghampirinya.

“Aku gapaa kamu pergi, Rey …” “Aku gapapa kalau semua ekspektasi indah kita ternyata tidak akan pernah terwujud,” “Tapi aku mohon satu hal, Rey … “ “Aku ingin berpisah secara baik-baik…” “Kamu harus pamit sama aku …” “Tolong … bangun sebentar, Rey …” lirih Alya yang kini menunduk kembali untuk menangis.

Tidak lama kemudian tiba-tiba saja Chandra muncul setengah berlari dengan wajah yang masih menangis, langsung menghampiri Wenny, memeluknya sambil berbisik, “Kuat, ya? Kuat ya, sayang?”

Dengan cepat John juga memeluk puterinya kencang agar Alya lebih tenang dan lebih lapang dalam menerima kabar terbarunya Reynaldi Rafeyfa Zayan.

Ditengah hectic-nya simulasi ujian Farmakognosi yang harus menebak tanaman yang sudah berbentuk simplisia atau tumbuhan yang sudah dilakukan pengeringan, serta harus menebak serbuk yang dianalisis melalui mikroskop agar tahu tanaman apa itu. Mahasiswa melakukan simulasi ujian tersebut harus menebak jawaban dalam tiga puluh detik setiap soal, mahasiswa melakukannya secara berangkaian, jika bel berbunyi maka mahasiswa harus segera pindah ke meja berikutnya untuk mengerjakan soal selanjutnya.

Ada yang heran dengan Nayla, entah ada kepentingan mendadak apa sehingga dosen penanggung jawab membolehkan Nayla melakukan simulasi mendahului dirinya.

Alya enggan bertanya karena sibuk dengan mengulang-ngulang hafalannya agar nilai dari simulasi tersebut dapat membuat papah dan Rey bangga.

Nayla telah selesai melakukan simulasi dan dengan begitu langsung pamit untuk pulang. Karena Alya begitu penasaran maka dirinya hendak bertanya, namun terurung kembali setelah para asisten dosen menyeru kloter dua untuk menempati meja masing-masing.

Setelah lima belas menit berlalu, Alya dapat bernapas lega karena sebagian besar soalnya dapat ia jawab walaupun ada beberapa soal yang keliru dan itu akan ia perbaiki di ujian nanti.

Alya keluar dengan wajah lunglai, bagaimana bisa setelah dua praktikum yang ia lewati, ternyata ada satu simulasi ujian praktikum ternyata ikut membuntutinya seolah-olah tidak akan membiarkan mahasiswa lengah dan menikmati hari selasa dengan indah.

Alya terkejut ketika membuka ponselnya dan ia hanya sempat membalas pesan dari John saja ditengah teman-teman Rey mengirim pesan untuknya.

Saat ini sudah ada John dengan tatapan sedihnya. Entah kenapa jantung Alya semakin berdetak cepat, hal mendesak apa yang membuat John yang selalu sibuk, kini menghampiri sampai ke depan laboratorium.

“Kak ...” John memanggil Alya dengan hati-hati disertai senyum yang menenangkan namun hambar.

“Rey kenapa?” Bukannya menjawab, John malah merapikan rambut Alya yang sudah mulai tidak beraturan, dengan sigap John mengelap keringat yang bercucuran yang membasahi pelipis anak gadisnya tersebut.

“Kenapa, pah?” Alya semakin bingung, karena John masih terdiam di sana.

“Mau makan dulu? Makan dimana?” tanya John sambil menyodorkan susu kotak tawar yang Alya sukai.

Tangan Alya semakin bergetar, tangannya dingin dan merasakan kebas disertai detak jantung yang tidak karuan. Alya terus menghubungi Rey tanpa henti. Tangan Alya semakin bergetar di sana.

“Tenang sayang, Rey gak apa-apa kok.”

“Kalau gapapa, mana mungkin papah nungguin kakak di sini,” “Kalau gapapa, terus ngapain temen-temen Rey menghubungi kakak,” “Kalau gapapa, kenapa Nayla berani meminta ganti kloter simulasi ujian, padahal itu hal yang tidak mungkin,” “Gapapa maksud papah tuh apa?” “Kakak mau berangkat sekarang, kakak mau ketemu Rey.” John hanyan bisa menuruti kemauan anaknya.


Kini mereka sudah ada di rumah sakit. Rey masih dalam penanganan dokter, hanya orang-orang terdekat Rey yang hadir untuk saat ini.

Dilihatnya Nayla dan keluarganya yang sedang menangis yang ditenangkan oleh Jeano, serta jeritan tangis Wenny yang begitu dalam, serta Chandra yang sibuk menelfon keluarga besarnya agar datang untuk menjenguk anaknya.

John menghampiri Hamzi serta Naren, meminta agar memantau anaknya, karena dirinya harus mengurus Wenny yang masih saja belum bisa tenang.

Alya terduduk di kursi yang tersedia, perasaan sesak yang semakin menjadi pun tidak membuatnya menangis, seakan akan gumpalan sesak dalam dadanya mengeras dan air mata yang ikut membeku tak bisa ia keluarkan, yang ia bisa hanya memukul dadanya karena sesak, ia pukul hingga sesak tersebut sedikit demi sedikit berkurang.

“Kak ...” Hamzi sudah menganggap Alya sebagai kakak sendiri kini ikut menemani Alya, diikuti dengan Naren.

“Kondisi Rey gimana?” tanya Alya pelan dengan suara bergetar.

“Sebelum koma, Rey sempat sadar, tapi udah gak inget siapa-siapa lagi, bahkan ke Om Chandra sama Tante Wenny,” ungkap Hamzi sembari terus menenangkan.

Alya semakin menunduk di sana, bagaimana kalau ternyata kemungkinan terburuknya benar-benar terjadi?

Alya tidak ikut menangis seperti yang lainnya, dirinya hanya berusaha memastikan bahwa situasi ini bukan lagi mimpi buruk.

Alya kini fokus melihat gerak-gerik Chandra yang kalut karena keluarganya tidak bisa ia hubungi sejak tadi. Ingin sekali Alya menenangkannya, namun apa daya tubuh dirinya rasanya terkunci, tak sanggup melangkah apalagi memeluk orang-orang yang sedang lemah. Jika ia paksakan untuk bangun, maka bukan langkah serta pelukan yang ia berikan, melainkam dirinya akan ikut ambruk karena lemahnya kaki yang bergetar sejak tadi, bahkan tak kuat menopang tubuh sendiri.

Dengan raut wajah Chandra sekarang, Alya tidak bisa menebak, berapa liter air mata yang ia keluarkan, sampai-sampai air matanya tidak berhenti mengalir tanpa permisi.

Chandra menyadari bahwasannya ada yang memerhatikan dirinya sejak tadi. Kini Chandra menghampiri calon menantunya tersebut dengan lemah dan raut wajah yang tidak bisa memberikan senyuman seperti biasanya.

Namun, lagi-lagi terhambat ketika Dokter Sahen menghampiri Chandra, padahal ingin sekali Alya menanyakan langsung terhadap Chandra.

“Chan, gimana?” “Keluarga lo udah bisa dihubungi?”

“Tadi sempat ada gangguan, jadi baru bisa terbang malem ini.”

“Sepertinya Rey ingin keluarganya kumpul dulu semua, baru dia bisa pergi dengan tenang,” Chandra sudah biasa mendengar kalimat ini ketika keadaan Rey juga tidak memungkinkan untuk pulih.

“Apa aa gak bisa bertahan satu hari aja, Hen?” Chandra memelankan suaranya ketika menyadari Alya ada didekatnya.

“Berdoa saja, Chan. Kita berdoa untuk Rey,” “Kita tunggu keajaiban Tuhan.”

Apa yang Alya dengar barusan, cukup membuat dirinya merasakan sesak lagi yang luar biasa, melebihi sesak dari sebelumnya, seketika tubuhnya bergetar kedinginan, ada apa ini? Kenapa Rey butuh satu hari buat bertahan? Bukannya Rey harus bertahan selama mungkin? Apakah Chandra benar-benar merelakan anaknya tetsebut? Apakah Wenny menjerit di sana karena berusaha mengikhlaskan semuanya? Dan apakah dirinya juga harus ikhlas seperti mereka yang sudah pasrah atas semuanya? Apakah ini saatnya untuk merelakan seseorang yang ia cintai melebihi cinta pada dirinya sendiri?

Situasi yang ia takuti setelah kematian sang mamah kini muncul kembali, kembali mematahkan dirinya.

Perasaan yang tak sanggup lagi menyaksikan situasi ini, dia tidak berdaya, dia ingin tertidur agar nanti terbangun dari mimpi buruk ini.

Tak sadar terus meremat tangan Hamzi yang entah kapan ia genggam sebagai pelampiasan sesak dalam dadanya, kini genggaman tangan tersebut mulai melemah, dan Hamzi langsung menyadari bahwasannya Alya kini tidak sadarkan diri.

“Kak!” Teriak Hamzi yang cukup membuat Chandra, Naren, dan Jeano menghampirinya, sedangkan Nayla dan lainnya hanya bisa menatap nanar kearah Alya. Dengan sigap Jeano membawa Alya ke UGD.

John yang sedang menemani Wenny, terkejut dibuatnya, ternyata puterinya juga tidak sanggup menyaksikan semua situasi ini. Kini dua perempuan yang sangat mencintai Reynaldi ini terbaring lemah tak berdaya.

“John, Alya gimana?” tanya Chandra yang ikut menyusul setelah dilihatnya Alya tak sadarkan diri.

“Kakak cuman syok, gak apa-apa, Wenny sama kakak biar gue yang urus, lo harus temenin Rey di sana?” “Udah bisa besuk Rey belum?”

“Udah John, tapi aa belum sadar,”

“Giliran aja, lo atur dulu siapa yang besuk duluan,” “Hamzi? Jeano?” Kalian ikut Chandra dulu, biar om di sini jaga Kakak sama Buna Wenny.

“Alya gimana om?” tanya Jeano khawatir.

“Gak apa-apa, Alya sebentar lagi pasti siuman,” “Jeano ikutin dulu Ayah Chandra gih.”

Jeano akhirnya pergi meninggalkan Alya dengan rasa khawatir yang begitu besar.

“Kak ...” Jika Alya banyak menangis untuk Rey, maka John menangis untuk anaknya, luka atas hilangnya sang mamah belum kering, kini luka tersebut terlihat basah kembali.

Tidak lama kemudian seseorang menggenggam tangan Alya yang cukup membuat John terperanjat.

“Alya bangun, ya?” “Bangun... kita temenin aa,” pinta Wenny dengan tubuh lemahnya.

“Wen ...”

“Alya? Bangun, nak,” “Kita harus saling menguatkan ...” “Agar aa juga kuat dalam menghadapi takdirnya ...” Wenny menggenggam erat tangan Alya dengan terus menangis ketika dirinya harus menghadapi ini entah keberapa kalinya.

“Bun ...” tangisan Wenny membuat Alya tersadar.

Ternyata dengan tidur sejenak saja tidak cukup membuat mimpi buruk ini hilang, hanya ada kenyataan pahit yang benar-benar harus ia hadapi.

“Kakak ...”

“Bun ...”

“Ini buna, sayang ...”

“Alya sayang sama Rey ...”

“Iya, nak, buna tau,” Wenny tidak henti-hentinya mengusap pucuk kepala Alya dan juga John yang terus menggenggam tangan Alya yang semakin dingin.

“Alya belum minta maaf sama Rey, bun ...”

Baru bisa kali ini Alya mengeluarkan sesak yang menggumpal dalam dadannya kini berubah menjadi air mata yang kini menerobos melalui pelupuk matanya.

“Alya tahu kan? Aa sakitnya dari sejak dia bayi?” “Mungkin aa sudah lelah, nak ... sekarang giliran kita yang harus ngertiin aa, ya?”

“Bun …”

“Gapapa, ya?”

“Bun …”

“Ikhlas, ya, sayang, ya?” “Buna juga udah ikhlas,” “Ayah Chandra juga,” “Papah juga,” “Semua orang udah ikhlas, nak ...”

Alya tidak sanggup lagi mendengar semua ini, setiap perkataan yang keluar dari mulut Wenny mejadi pedang yang menyayat seluruh hatinya, hatinya tercabik-cabik ketika harus ikhlas di situasi seperti ini.

Alya menangis sejadi-jadinya, dirinya dipaksa ikhlas untuk Rey, sedangkan Alya masih menyesali semuanya, yang paling membuat Alya terpukul adalah kenyataannya dirinya tidak dalam komunikasi yang baik dalam pertemuan terkahir kali sebelum Rey masuk rumah sakit.

Bagaimana bisa berpisah seperti ini atas semua yang terjadi? Alya tidak sanggup jika harus hidup dihantui rasa penyesalan, menyesal karena gagal membuat Rey bergantung pada dirinya, menerima semuanya termasuk rasa sakit yang terus menghampirinya.

“Aku gapaa kamu pergi, Rey …” “Aku gapapa kalau semua ekspektasi indah kita ternyata tidak akan pernah terwujud,” “Tapi aku mohon satu hal, Rey … “ “Aku ingin berpisah secara baik-baik…” “Kamu harus pamit sama aku …” “Tolong … bangun sebentar, Rey …” lirih Alya yang kini menunduk kembali untuk menangis.

Tidak lama kemudian tiba-tiba saja Chandra muncul setengah berlari dengan wajah yang masih menangis, langsung menghampiri Wenny, memeluknya sambil berbisik, “Kuat, ya? Kuat ya, sayang?”

Dengan cepat John juga memeluk puterinya kencang agar Alya lebih tenang dan lebih lapang dalam menerima kabar terbarunya Reynaldi Rafeyfa Zayan.

Alya ke luar dengan menggunakan baju tidur yang dilengkapi cardigan warna pink yang senada dengan baju tidur warna abu muda.

Wajah Ceria Alya tidak pernah luntur setiap Rey ada di depannya. Entah sejak kapan dirinya mulai berani terang-terangan dan berani menampakan perasaan suka yang kata anak muda bisa dikatakan, kalau Alya sedang terila-gila dengan Rey.

Tiba-tiba saja Alya memeluk Rey erat, seperti tidak mau kehilangan kembali. Sedangkan Rey hanya tertawa sembari menyisir rambut pendeknya yang wangi.

Seketika Alya sadar dengan kelakuannya, dirinya mendongak dilihatnya Rey masih tersenyum padanya. Alya kembali memeluk Rey dengan pelukan rindunya. “Jangan ngomong aneh-aneh lagi, Rey,” lirih Alya pelan.

“Hmm?”

“Kamu boleh jatuh cinta sama laki-laki lain tuh, maksudnya apa?!!” “Sakit hati banget aku dengernya.”

“Tumben aku kamu? Lagi sadar, ya?”

“Ish serius dulu, malah becanda!” Rey melepaskan pelukannya pelan, diraihnya tangan Alya dan kini ia genggam sehinga hangatnya genggaman tangan mereka berdua mampu menghangatkan sekujur tubuh ditengah cuaca dingin yang menghampirinya malam ini.

Mereka berdua kini memasuki rumah besar Johnathan yang secara kebetulan papahnya Alya tersebut belum pulang dari kantor.

Rey terduduk di sofa menghadap televisi yang sudah menyala. Namun, acara Televisi semuanya mengabur ketika Alya mampu mengalihkan pandangannya—terus menatapnya tanpa henti.

“Kamu kok ngeliatin aku kayak gitu terus dari tadi? Kenapa?” “Aneh, ya? Liat aku rambut pendek kayak gini?” Alya menekuk wajahnya sedkit menyesal dan tidak berpikir panjang untuk memotong rambutnya.

“Cantik,” “Tapi leher kamu keliatan.”

“Ya emang kenapa sama leher aku?” Alya terheran dan kini mengecek lehernya, bercermin menggunakan ponselnya duduk dekat dengan Rey di sofa ruang tamu, “Ih emang ada apaan sih di leher aku?” Alya semakin penasaran dibuatnya.

“Cup!” tiba-tiba saja Rey mengecup singkat tepatnya di leher Alya sebelah kiri.

“Astaga, Rey! Kamu nakal banget?” “Diajarin siapa?!” Alya sedikit berteriak dengan tangan refleks memukul punggung Rey.

Reynaldi hanya tertawa di sana.

“Malah ketawa?” “Ni kalau papah liat kelakuan kamu, pasti papah marah tau.” Alya sedikit mengintimidasi dengan tatapan paniknya.

“Tapi papah kan gak ada.” Rey terus menjahili Alya.

“Tapi cctv ada, Rey ...” Seketika wajah Rey berubah menjadi serius dan mencari keberadaan cctv di setiap sudut ruangan ruang keluarga rumah ini.

“Beneran, Al?” Wajah Rey memerah dengan perasaan panik bukan main.

Kini giliran Alya tertawa lepas.

Alya juga tidak ingin kalah dengan Rey, giliran dirinya yang mengecup bibir Rey singkat. “Biasa aja kali, gak usah panik gitu,” “Aku ambil cemilan dulu buat kamu, bentar.” Alya tersenyum puas sembari pergi mengambil cemilan untuk Rey.

“Alya ...” Rey mengembuskan nafas kasar karena lega bahwa perbuatannya tidak akan pernah John tahu.

Ketika Alya sibuk mengambil cemilan untuk menjamu Rey, Rey juga kini sibuk mengambil makanan berat yang ia pesan melalui aplikasi “online” untuk ia lahap bersama kekasihnya.

“Tau gitu aku masak buat kamu, Rey,” “Ngapain harus beli segala?” Alya menatap kesal makanan tersebut.

“Emang kamu bisa masak?” Kini Rey membuka kotak makan tersebut, yang satu untuk dirinya dan yang satu untuk Alya makan.

“Ngeremehin nih?” “Kamu bisa buktiin nanti kalau kita udah nikah,” “Pasti aku masakin kamu tiap hari.” Aktivitas Rey seketika terhenti karena Alya tiba-tiba sudah berpikir sejauh itu.

“Udah bisa masak apa?” tanya Rey yang kini melanjutkan aktivitasnya kembali untuk menyuapi makanan ke dalam mulutnya dan bergantian menyuapi Alya untuk ikut makan.

“Banyak pokonya, pokonya aku bikin menu yang tiap harinya beda-beda, biar kamu sama anak kita nanti gak bosen buat makan masaka n aku.” Dengan sabar Rey menunggu Alya bercloteh tentang keinginannya di masa depan nanti.

Alya akan berbicara setelah menelan suapan makan dari Rey dan dengan sabar Rey menunggu Alya berbicara dan mengeluarkan semua harapan indahnya bersama dirinya.

“Kamu sudah memikirkan sejauh itu, ya, ternyata.” Rey berkata dengan tangan mengelap bibir Alya menggunakan tisu karena mulutnya sedikit belepotan.

“Emangnya kamu enggak?” “Gini lho ...” Alya menceritakan terang-terangan terhadap Rey, tentang mempunyai keluarga seperti sudah lama Alya pikirkan sejak mereka pertama kali dipertemukan di rumah Chandra dengan agenda pertemuan pertama untuk perjodohan. Alya melihat keluarga Chandra seketika memutuskan untuk menjadi panutan bagi dirinya dimasa yang akan datang. Keluarga kecil yang berkecukupan dan penuh kehangatan.

Alya sudah membayangkan dengan indah bagaimanan kehidupannya nanti dengan Rey, Rey dilahirkan dari keluarga yang sangat luar biasa, dan dia juga ingin memberikannya kebahagiaan tersebut mengalir sampai ke anak cucunya nanti.

Alya bukan tidak bahagia terlahir dikeluarga papahnya yaitu John. John selalu totalitas untuk dirinya, hanya saja, singkatnya kehadiran sosok ibu, cukup membuat Alya ingin sedikit lebih bahagia lagi dari sebelumnya.

Saking panjang lebarnya Alya bercerita, kini makanan pun berada dipenghujung suapan terakhir. Rey sengaja berkunjung dengan sekedar makan bersama, karena John sempat mengatakan beberap waktu lalu, kalau Alya sering merasakan keluhan sakit diperutnya karena telat makan dikarenakan sibuknya perkuliahan dan sebenarnya Alya sering malas makan seperti ini.

Alya sering melakukan yang simpel seperti dengan mengkonsumsi roti dan banyak meminum kopi. Mendengar itu Rey tidak bisa diam saja, dirinya harus bisa merubah kebiasaan buruk Alya sedikit demi sedikit.

“Jadi mau nikah aja?” tanya Rey tiba-tiba.

“Kecepetan gak sih?” “Mana kita juga lagi sibuk-sibuknya kuliah,” “Maaf, ya, Rey, kalau semua yang aku ceritain ini membuat kamu risih ...”

“Saya seneng, Al, karena tenyata harapan kamu itu ternyata adalah saya. Saya yang menjadi pemeran utamanya yang dapat mendampingi kamu nanti.”

“Janji ya, Rey, realisasikan keinginan aku.”

Rey mengangguk bejanji terhadap Alya.

“Jangan nyuruh buat mencintai orang selain kamu,” “Aku gak bisa Rey,” “Aku ingin kamu dan aku jadi orang yang banyak bahagia selama mungkin,” “Aku gak bisa nerima orang lain dengan mudah,” “Aku cuman mau kamu, Rey ...”

Rey hanya tersenyum tulus dan meyakinkan Alya di sana, walaupun raut wajah Rey kini sangat bahagia karena ungkapan Alya yang cukup membuat dirinya terpukau karena ternyata dia selayak itu untuk dicintai oleh seorang Alya ... yang sudah ia kagumi sejak lama.

Walaupun begitu, lain dengan gemuruh isi di kepala Rey, belum lagi batin Rey menangis mendengar ini semua, bagaimana ternyata kalau dirinya yang akan mematahkan semua ekspektasi indah sang kekasih, bagaimana kalau ternyata Alya akan hancur sehancur-hancurnya karena harapan tersebut tidak akan pernah terwujud, mengingat kondisi dirinya yang tak kunjung membaik.

tw // kiss

Setengah jam berlalu, orang yang Alya tunggu-tunggu tak kunjung datang. Dirinya terus menghubungi Rey atas janjinya sore ini untuk pergi berdua tapi tidak menunjukan tanda-tanda kemunculan dirinya bahkan whatssapp pun ceklist satu, telfon seluler juga tidak diangkat.

Dalam beberapa menit kemudian, ada satu kendaraan yang kini mneghampiri rumahnya. Pantas saja deru mobil tersebut tidak asing baginya, karena kendaraan tersebut adalah kendaraan John. Gurat kecewa dirinya kini tergambar dalam wajah cantiknya. John yang antusias menyapa putrinya tersebut kini merasa aneh karena anaknya tidak membalas kembali sapaannya dan memilih duduk kembali di kursi luar.

“Cantiknya anak papah sama mamah,” “Kok belum berangkat, sayang?” tanya John heran dan walaupun begitu, Alya tetap melakukan rutinitasnya untuk salim.

Wajah Alya mulai memerah bukan karena pujian yang dilontarkan John, melainkan merah padam seperti akan menangis.

“Kenapa?” John memeluk Alya seakan-akan tahu apa yang dirasakannya saat ini.

Alya memilih tidak menjawab dan hanya tenggelam dalam pikirannya dan sibuk menerka-nerka.

Selang beberapa waktu, mobil yang sering ia lihat dan digunakan oleh Rey kini ada di depan mata, namun kejutan tidak berhenti sampai di sini, yang turun dari mobil bukanlah Rey, melainkan Ayahnya Rey yaitu Chandra.

Chandra tahu Alya akan kecewa, dirinya kini menghampiri Alya dengan tersenyum seperti biasanya.

“Kok mukanya gak seneng gitu dijemput ayah?”

John terheran karena yang datang menjemput putrinya adalah Chandra. John terus memberikan kode komunikasi kenapa dirinya yang datang, bukannya Rey? Wajahnya seakan-akan mengatakan, Rey baik-baik saja, kan? Chandra mengatakan juga dengan wajahnya kalau puteranya tidak apa-apa, Rey baik-baik saja seperti biasa yang mereka lihat sebelumnya.

“Dipinjem dulu, ya? nanti dibalikin,” pinta Chandra dengan nada canda guraunya.

“Rey mana, yah?” Alya bersuara.

“Aa nunggunya di resto, aa ada penting dulu,” jawab Chandra meyakinkan agar tidak dihujani banyak pertanyaan dari Alya.

“Kepentingan apa? Perasaan tadi gak ada apa-apa?”

“Ada deh.” Chandra terus meyakinkan Alya.

Alya ingin sekali bertanya atas keresahan hatinya, tapi dirinya juga tidak mau merusak suasana Chandra yang selalu menampilkan wajah cerianya, dirinya saat ini akan terus mempercayainya dan percaya bahwa benar tidak terjadi apa-apa.

“Hati-hati, Chan,” “Aset gue satu-satunya itu,” pinta John menegaskan.

“Iya iya, gue tau.”


“Maaf ya Al, kalau ayah setelannya kayak gini,” “Ayah gak sempet mandi abis dari kantor,” “Maaf ya kalau ada bau enggak enak,” “Salahin aa aja nanti,” ungkap Chandra dengan stelan kaos hitam dan celana pendek serta topi hitamnya untuk menutupi arah rambutnya yang kesana-kemari.

Alya sudah terbiasa dengan lelucon Chandra yang memang sepeti ini.

“Kita sekarang ke resto, kan?”

“Iya, kan aa di sana.” Chandra menjawab dengan menampilkan dimple-nya.

Alya hanya memastikan, ditakutkan skenario dalam kepalanya tentang pikiran kalau dirinya bukan diantarkan ke resto, melainkan ke rumah sakit. Dalam otak Alya saat ini hanya khawatir terhadap Rey.

Alya merasa aneh karena Chandra menyetir dengan kecepatan sangat pelan, bahkan tidak heran kalau mobilnya terus mendapatkan bunyi klakson dari mobil lain di luar sana, belum lagi Chandra terus memeriksa ponselnya, dan ketika pop up notifikasi chat muncul, Chandra pasti akan melihat Alya canggung. Namun dirinya kemudian meyakinkan kalau tidak ada apa-apa dan kembali menyetir dengan kecepatan normal, Chandra terus meyakinkan Alya agar tidak perlu ada yang dikhawatirkan.

Mobil tersebut kini berhenti tepat di depan Restoran yang direncanakan oleh Rey, Restoran private room yang terjamin kenyamanannya termasuk dapat bersantap tanpa ada gangguan suasana riuh dari orang lain.

Chandra terus menatap layar ponelnya dan kini wajah Chandra lebih tenang dibandingkan beberapa menit yang lalu.

Alya terus mengekori Chandra dan kini telah sampai di booking-an meja dengan banyak sekali makanan, termasuk kue ulang tahun dengan satu lilin cantik entah untuk merayakan ulang tahun siapa.

“Duduk, nak,” Chandra ikut duduk di sana, sedangkan Alya merasa bingung atas apa yang terjadi. Kenapa Rey tidak ada di sini, Rey kemana?

Alya dan Chandra duduk berhadapan dengan Alya membelakangi arah pintu masuk. Chandra terus mengarahkan pembicaraan mencari topik untuk dibicarakan agar Alya tidak banyak bertanya kemana Rey telat memenuhi janjinya.

Tidak lama kemudian netra Chandra berbinar setelah melihat anaknya memasuki restoran tersebut. Rey terlihat baik-baik saja saat ini serta dalam mood yang baik. Apakah Sahen telah memberikan kabar baik untuk puteranya?

Alya yang sedang menyimak melihat arah pandangan Chandra saat ini terhadap siapa, dengan begitu Alya dan Rey saling menatap. Yang satu menatap karena bahagia sedangkan Alya menatap khawatir apa yang sebenarnya terjadi.

Reynaldi menghampiri meja tersebut dan duduk di samping Alya sambil meraih tangan Alya untuk ia genggam. Rey terus menatap Alya dengan senyum terus merekah.

“Maaf, ya,” “Maaf karena udah nunggu lama ...” “Ayah gak genit kan sama kamu?”

“Ayah lagi diem, a,” Chandra terkekeh sambil mengahabiskan satu keik dalam piring kecilnya.

“Dari mana aja?” Alya bertanya tanpa basa-basi dengan ekspresi masih sama.

Atmosfir di sini sudah mulai tidak enak, agar Rey lebih leluasa dalam menjelaskan versinya sendiri, maka Chandra pamit untuk pulang terlebih dahulu setelah menyantap keik lembut dengan mulutnya.

“Kamu marah karena saya datang telat, ya?” “Maaf, ya ... .”

“Mau telat segimana lama pun aku gak larang, asal dengan alasan yang jelas,” ungkap Alya dengan jawaban menohok.

“Al ...”

Dugaan Alya tetap sama, pasti Rey masih tidak mau jujur dan menjelaskan semuanya.

Raut muka Rey semakin memerah, entah dia sanggup menjelaskan semuany atau tidak. Melihat itu, Alya langsung mengalihkan pembicaraan, dia tidak mau kalau acara yang sudah Rey siapkan dari lama, menjadi berantakan dan tak berarti.

“Laper Rey, aku belum makan.” Alya mengalihkan semuanya.

“Hah?!”

“Laper, pengen makan, dari tadi nungguin kamu tau,” ungkap Alya tanpa menatap Rey dan matanya sibuk mencari korban santapan mulut kecilnya.

Rey mendekatkan makanan yang sudah tersaji.

“Suapin.” Alya pasti akan melakukan serangan tidak terduga kalau posisinya dalam kedaan canggung seperti saat ini.

“Gimana?’

“IH REYY, KAMU DENGERIN AKU GAK SIH?” “KOK KAYAK BINGUNG GITU?”

Senyum Rey kembali merekah.

Rey memberikan suapan besar untuk Alya.

“Gue tau gue laper, tapi suapan segede bantal gini gak muat di mulut gue,” sarkas Alya.

Alya meraih sendok yang berisi makanan terebut dan memasukannnya sendiri ke dalam mulut.

“Buka mulutnya,” perintah Alya agar Rey juga ikut makan.

Dengan begitu mereka berakhir makan sepiring berdua.

Kini mereka berdua telah menghabiskan makanan berat yang mereka lahap, saat ini mereka memakan makanan penutup.

Alya sibuk memakan makanan penutup hingga membuat Rey merasa gemas, mengapa Alya sefokus itu dalam mengambil makanan tersebut, bahkan menyendok dengan apik.

“Al?”

Alya tidak bisa menjawab dengan mulutnya, dirinya hanya mendongak dan menampakan wajah gemas dengan mulut penuh dengan keik sehingga menampilkan pipi chubby-nya.

Saking gemasnya, Rey tidak jadi berbicara.

Setelah Alya selesai menyantap makanan penutup, kini gilirannya banyak bicara.

“Mau ngomong apa tadi?”

“Apa ya, lupa,” ungkap Rey sambil tertawa.

“Yaudah inget-inget dulu, aku mau ke kamar mandi, lipstik aku luntur,” Alya berkata sambil membawa alat tempurnya yaitu dua buah lipstik.

“Iya.” Rey terus menatap Alya tanpa henti melihat kegemasannya.

Memandangi Alya hingga pundaknya tidak lagi terlihat.

Dengan begitu Rey kini memeriksa dada sebelah kirinya, dan mengusapnya dengan pelan. “terima kasih sudah bertahan, ya?” lirih Rey berbicara pada jantungnya, sesekali Rey meringis karena entah kenapa akhir-akhir ini dadanya terus merasakan sesak.

Sepuluh menit berlalu, Alya tak kunjung kembali, dan dirinya memilih untuk menelfon Alya, ditakutkan terjadi apa-apa. Namun, ternyata notifikasi ponsel tersebut jelas terdengar, karena ponsel Alya berada di saku mantelnya yang tergantung di kursi tempat duduk Alya. Rey akan menunggu Alya sekitar lima menitan lagi, jika Alya belum juga muncul maka dirinya harus menyusul, tapi Alya tidak mungkin pergi begitu saja dengan meninggalkan mantel dan ponselnya.


Sedangkan Alya hanya menatap datar cermin di kamar mandi wanita restoran tersebut, perasaan yang ia tahan saat berada dihadapan Rey, kini tumpah ruah. Dirinya terus meneteskan air mata yang berubah menjadi aliran cukup deras. Dengan cepat Alya menyeka kembali air matanya, karena dirinya masih harus bertemu dengan Rey.

Setibanya di private room tersebut, Alya melihat pundak Rey di sana, pundak yang terlihat gagah dan tegar itu tapi juga terlihat seperti sedang menahan sakit yang luar biasa. Ketika Rey di sini, cukup membuat Alya merasa terpukul, keadaan Rey tidak sebaik sebelumnya, tapi Rey masih menyembunyikan keadaan sebenarnya dari dirinya.

Dengan cepat Alya menghampiri Rey yang masih membelakangi dirinya, dan entah dorongan setan sebelah mana, Alya kini memberanikan diri untuk memeluk Rey dari belakang. Tubuhnya ia jatuhkan pada tubuh Rey, memeluk hangat dan tenang berharap dekapan tersebut yang dapat membuat Rey merasa lebih baik.

Rey cukup terperanjat, ketika dilihatnya tangan Alya sudah melingkari lehernya. Rey masih mematung atas kelakuan Alya yang tiba-tiba.

“Rey ...” “Jangan tinggalin aku tiba-tiba lagi, ya?” “Kalau misal kamu enggak baik-baik aja, coba kasih tau aku,” “Aku paling gak suka kalau orang lain tau kedaan kamu, sedangkan aku enggak,” “Kalau sakit bilang sama aku,” “Eh maksudnya kalau kamu tiba-tiba sakit, mau sakit ringan pun, coba deh, kasih tau aku,” “Aku lebih seneng kalau kamu lebih terbuka lagi sama aku.” Alya meminta dengan pura-pura polos.

Alya terus berbicara dengan tanpa melepaskan pelukan tersebut. Rey membalas dengan meraihnya jari jemari yang kini ada dihadapan wajahnya, Rey genggam dengan lembut.

Rey tidak bebicara sama sekali, dirinya bingung harus berkata apa agar Alya tidak ikut khawatir atas kondisi dirinya.

Rey paling benci jika dirinya harus terlihat lemah dihadapan orang yang ia cintai baik itu dengan keluarganya ataupun dengan Alya si pujaan hati. Dengan berani Rey kini membalikan tubuhnya terhadap Alya, cukup membuat Alya terkaget dengan mata yang membulat. Rey menatap Alya dengan tatapan yang benar-benar dalam dengan wajah serius, tatapan yang membuat Alya semakin tidak enak perasaan. Jantungnya seperti akan keluar saking tempo debaran yang semakin tidak beraturan—semakin kencang.

Dalam waktu dua puluh detik, Rey masih saja menatap Alya dengan tatapan tersebut.

Tidak lama kemudian Rey tersenyum melihat reaksi Alya dengan wajah semakin memerah. Namun, tatapan kembali serius dan kini Rey mulai mengikis jarak diantara mereka, tidak ada penolakan dari Alya karena dirinya seperti orang kebingungan untuk saat ini, bingung harus berbuat apa, bahkan untuk sekedar menghindari perlakuan Rey pun tidak sempat Alya lakukan, dirinya hanya terdiam dan mengikuti kearah mana Rey memperlakukan dirinya.

Dengan berani Rey menarik tubuh Alya kedalam tubuhnya dengan tangan melingkar di pinggang Alya dan tangan kanan yang menyentuh dagu Alya agar mempermudah akses dalam menyentuhkan bibirnya dengan bibir dirinya dengan lembut, tubuh semakin mendekat denga tangan yang semakin menarik dagunya untuk memperdalam ciumannya. Seketika tubuh Alya berubah menjadi sensitif, mengapa setiap sentuhan yang Rey berikan padanya cukup membuat dirinya merinding dan memunculkan gairah panas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Tidak sampai situ, Rey mengangkat Alya agar terduduk diatas meja makan dan kembali melanjutkan debaran tersebut, lebih dalam, dan lebih intens.

“Kalau lagi sakit mending istirahat aja di rumah,” “Dosen juga pasti ngasih keringanan,” “Kita yang gak tau apa-apa, jadi kena batunya juga.” Nayla tidak bisa menahan kesal akibat nilainya harus ikut terpotong juga.

“Dipanggil aslab noh?” ungkap Zahra ketus dan kini melewatinya ke luar untuk pulang. Sedangkan Ansel dan Abian hanya bisa menepuk punggung Alya seakan-akan mengatakan lo akan baik-baik saja. Lo gak akan mati karena hal-hal seperti ini.

Tubuh yang semakin panas tetapi muncul keringat dingin, Alya menghampiri Asisten lab tersebut dan kini Alya menghadap dosen penaggung jawab yang terkenal dengen dosen killer seantero kampus ini.


Sekilas Alya mendengar bisikan asisten lab yang sejak kapan mereka senang sekali bergosip dan bukannya fokus membimbing mahasiswa-nya malah berkumpul dan membanding-bandingkan dengan angkatan lainnya.

Maklum asisen lab yang bertugas di sini biasanya adalah alumni dengan nilai terbaik mereka sehingga tidak sembarangan orang yang bisa menjadi asisten.

Aslab di praktikum tersebut rata-rata orangnya pernah menggenggam predikat pujian atau sering disebut cumlaude, tapi sikap mereka tidak mencerminkan kalau mereka itu adalah asisten yang dapat menenangkan mahasiswanya.

“Rekor sih, kok bisa ... pecah?” “Ini angkatan berapa sih?” “Jorok banget gunain alat, dia gunain sambil pargoy apa gimana? Kok bisa mendarat di lantai, njir?” “Gak sekalian aja mecahin alat yang buat ngukur tegangan permukaan air yang ada cincinnya itu lho, du nouy yang harganys enam puluh juta, satu cincin.”

“Beda lab, njir!”

“Ya kan pernah kali semester kemarin, mereka praktikum itu.”

“Gak sekalian aja mecahin lemari asam?” ungkap salah satu aslab yang menimbulkan gelak tawa atas lelucon mereka yang tidak lucu sama sekali.

Seketika mereka terdiam setelah melihat Alya keluar dari ruangan Dosen dan dengan lunglai Alya melewati mereka dengan sopan. Tidak sempat menyapa mereka karena terlalu lemah, Alya melewatinya tanpa sapaan dan berjalan ke luar.

Entah apa yang dikatakan Dosen terebut, Alya kini keluar dari ruangan beliau dan kini keringatnya semakin deras. Hal yang disampaikan oleh doosen tersebut sebenarnya tidak menyakitkan, hanya saja mungkin kondis Alya saat ini sangat sensitif.

Memang benar, Alya mengakui kecerobohan dirinya, biasanya mahasiswa lain hanya memecahkan gelas ukur atau tidak beaker glass, tapi yang Alya pecahka yaitu Alat yang cukup jauh dari jangkauannya. Namun saat itu, Alya tiba-tiba merasa lemah dan menyenggol barang tersebut dan rusak bahkan alat tersebut dalam keadaan masih menyala.

Seketika terdengar bisikan para aslab tersebut.

“Ni anak songong juga, ya?” “Nyesel gue gak potong kinerja dia sampe seratus persen!”

Alya lagi-lagi mendengar bisikan mereka.

“Kenapa, ya, sebelum ngomong gak liat dulu kondisi orangnya?” “Gue lagi sakit BANGSATT,” “Ni badan padahal pagi-pagi masih enakan, kok sekarang jadi manja kayak gini?!” Dalam hati Alya sangat berapi-api, dada terus bergemuruh menahan emosi tapi apa daya raga tidak kuat untuk sekedar membalas omong kosong mereka semua.


Berjalan dengan pelan dengan langkah lunglai dan keringat semakin bercucuran, Alya memaksakan diri untuk pulang, agar dirinya cepat istirahat di rumahnya.

“Hey? Kok gak bales pesan saya?” Suara yang berhasil membuat Alya menatap siapa yang berbicara.

“Kamu sakit?”

Bukannya menjawab, Alya kini malah menangis menunduk dan bertanya terhadap diri sendiri. Sekacau apa dirinya, sampai-sampai berhalusinasi kalau didepannya saat ini adalah orang yang ia tunggu-tunggu sejak lama.

“Gue udah gila keknya ... ” “Ini gak bisa dibiarin.” Alya menatap kembali orang tersebut sambil terus memastikan kalau yang dilihatnya saat ini adalah Reynaldi.

“Hey?”

Beberapa detik kemudian Alya ambruk dipangkuannya, dengan cepat Rey membawanya ke dalam mobil dan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat.


Di rumah sakit. “Udah bangun, sayang?” John bergegas menghampiri putrinya setelah kembali dari kantor.

“Kenapa?” “Masih sakit?” “Sakitnya sebelah mana?” “Pusing?”

Alya hanya terdiam dan menatap John dengan tatapan mengasihani diri sendiri serta air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.

Dengan tatapan khawatir John mengecek suhu tubuh Alya dan memeriksa badannya sebisa mungkin ditakutkan ada luka atau apalah itu. Tidak berhenti sampai sana, John baru saja ingin memanggil dokter untuk mengecek kembali keluhan anaknya.

Baru saja akan akan beranjak, tiba-tiba tangan tangan John diraihnya oleh Alya.

“Tante Sarah mana?” John semakin bingung dibuatnya. Kenapa tiba-tiba anaknya menanyakan Sarah. Sudah beberapa minggu dirinya tidak mendengar kabar Sarah setelah John ditinggalkan mendiang istrinya.

“Pah ... kakak gapapa, kan?” “Kakak sekarang bisa liat orang, padahal orang itu udah gak ada di sini.” John semakin bingung, apa maksud dari perkataan anaknya tersebut.

“Sayang ...”

“Tante Sarah mana, pah? Kakak mau ketemu Tante Sarah, kakak mau bilang kalau kakak sekarang mulai berhalusinasi.” Mendengar itu hati John takut sekali, karena Alya menganggap penyakit yang diderita mamahnya kini turun pada dirinya.

“Kakak lagi capek, ya?” John kini merengkuh tubuh lemah anaknya yang sedang berbaring.

“Kakak beneran liat Rey, pah ...”

John semakin mengeratkan rengkuhannya dan terus berusaha menenagkan anaknya. sampai saat ini memang John belum lagi mendengar tentang keluarga sahabatnya tersebut.

“Tante?” Alya memanggil seseorang yang sepertinya sudah lama berdiri di depan pintu rawat inap VIP tersebut. John kini melepaskan pelukannnya tersebut denga pelan, dan tekejut ketika melihat Sarah diikuti dengan Hamzi. John mempersilakan John dan Hamzi untuk duduk dekat Alya yang kini posisi Alya sudah duduk walaupun masih di atas bangsal rumah sakit.

“Tidur aja sayang,” ungkap Sarah karena melihat Alya kerepotan padahal untuk sekedar duduk. Sedangkan Alya hanya menggelengkan kepalanya.

“Kok bisa tahu, kalau kakak ada di sini?” tanya John dengan wajah terheran-heran.

“Hamzi langsung jemput aku, katanya Alya di bawa ke rumah sakit sama Rey.” Mendengar itu Alya malah semakin sesak dadanya, kalaupun Rey yangmengantarnya ke sini, harusnya Rey ada bersamanya saat ini. Lantas kemana dia sekarang.

John juga belum sempat bertanya siapa yang mengantarkan Alya, karena John diberi tahu oleh temannya yang bekerja di rekam medis rumah sakit ini. Dirinya terlalu fokus pada anaknya. Dengan cepat John menuju pendaftaran dan menanyakan apakah benar Reynaldi yang mengantarkan putrinya?

Sarah kini duduk tepat di samping ranjang Alya dan berbincang tentang kedaan Alya saat ini. Hamzi juga menghampiri Alya namun tidak ikut bergabung untuk waktu lama, dirinya belum merasa nyaman dengan Alya, apalagi tentang dirinya yang terlalu bergantung pada John dan itu cukup membuat Alya marah waktu itu—bahkan sampai sekarang?

“Alya,” “Cepet sembuh, ya?” “Gue lebih seneng mampir ke rumah lo, dibandingkan harus mampir ke tempat kayak gini,” ungkap Hamzi tenang.

“Makasih Hamzi,” balas Alya sambil tersenyum dan dengan canggung Hamzi membalas senyum tersebut.

Hamzi menunggu di luar kamar dan memilih bermain game membiarkan Sarah berbincang dengan Alya.

John kini datang dan dan duduk bersama Hamzi.

“Gimana, om?”

“Reynaldi yang antar kakak, tapi Rey-nya ke mana, ya?”

“Pulang dulu kali.”

John terus menatap Hamzi yang sudah lama tidak melihatnya, tatapan hangat—sama seperti menatap putrinya.

“Kenapa jarang balas pesan, om?” John mengalihkan topik pembicaraan.

Mendengar itu Hamzi terlalu malu, bagaimanan dia memutuskan komunikasi tanpa sebab, bukan tanpa sebab sebetulnya, hanya saja dirinya dan Sarah menjaga perasaan Alya. Sedangkan Hamzi hanya tersenyum dan meminta maaf terhadap John.

“Ayo masuk?”

“Hamzi di sini aja, om.”

John menepuk pundak Hamzi dan memeluknya singkat, kemudian kembali memasuki kamar pasien. Sedangkan Hamzi merasakan kembali pelukan layaknya sang Ayah. Maklum Hamzi tidak pernah tahu bagaimana rasanya dipeluk oleh ayah kandungnya sendiri, sampai saat ini, pelukan John lah yang paling nyaman untuknya.


“Apa gue bilang,” “Yang tadi tuh lo,” “Gak salah liat kan,” “Kemana aja lo, Rey?”

Mendengar suara Hamzi menggema di sudut ruangan rumah sakit tersebut, Alya merasa tersentak dibuatnya, seketika jantungnya kini berdetak dengan cepat dan entah kenapa rasa sesak tersebut kian menghampirinya kembali. Dilihatnya Reynaldi yang kini berada di pintu masuk kamar tersebut tersenyum lebar dan menatap Alya dengan lembut. Tidak lama kemudian disusul dengan kehadiran Chandra dan juga Wenny dengan parsel ditangannya dan sama-sama menampilkan senyum indah mereka.

Semakin lama senyum indah Reynaldi semakin memudar ketika dirinya tidak mendapatkan balasan dari Alya, yang ia lihat saat ini Alya hanya menatapnya dengan tatapan sedih dengan air mata yang mulai mengelilingi bola matanya yang sebentar lagi akan tumpah ruah. Alya menggenggam erat tangan Sarah dan semakin berkeringat dingin. Kepalanya kini menunduk kembali bersama dengan jatuhnya air mata yang tak bisa ia tahan lagi.

“Aku gak berhalusinasi, kan?” lirih Alya dalam hati dan kini dirinya menangis tersedu-sedu tidak berani menatap kembali ke arah yang ia lihat, dirinya kini hanya bisa meratapi diri sendiri yang sudah tidak baik-baik saja sejak Rey dan mamahnya meninggalkan dirinya.

“Kalau lagi sakit mending istirahat aja di rumah,” “Dosen juga pasti ngasih keringanan,” “Kita yang gak tau apa-apa, jadi kena batunya juga.” Nayla tidak bisa menahan kesal akibat nilainya harus ikut terpotong juga.

“Dipanggil aslab noh?” ungkap Zahra ketus dan kini melewatinya ke luar untuk pulang. Sedangkan Ansel dan Abian hanya bisa menepuk punggung Alya seakan-akan mengatakan lo akan baik-baik saja. Lo gak akan mati karena hal-hal seperti ini.

Tubuh yang semakin panas tetapi muncul keringat dingin, Alya menghampiri Asisten lab tersebut dan kini Alya menghadap dosen penaggung jawab yang terkenal dengen dosen killer seantero kampus ini.


Sekilas Alya mendengar bisikan asisten lab yang sejak kapan mereka senang sekali bergosip dan bukannya fokus membimbing mahasiswa-nya malah berkumpul dan membanding-bandingkan dengan angkatan lainnya.

Maklum asisen lab yang bertugas di sini biasanya adalah alumni dengan nilai terbaik mereka sehingga tidak sembarangan orang yang bisa menjadi asisten.

Aslab di praktikum tersebut rata-rata orangnya pernah menggenggam predikat pujian atau sering disebut cumlaude, tapi sikap mereka tidak mencerminkan kalau mereka itu adalah asisten yang dapat menenangkan mahasiswanya.

“Rekor sih, kok bisa ... pecah?” “Ini angkatan berapa sih?” “Jorok banget gunain alat, dia gunain sambil pargoy apa gimana? Kok bisa mendarat di lantai, njir?” “Gak sekalian aja mecahin alat yang buat ngukur tegangan permukaan air yang ada cincinnya itu lho, du nouy yang harganys enam puluh juta, satu cincin.”

“Beda lab, njir!”

“Ya kan pernah kali semester kemarin, mereka praktikum itu.”

“Gak sekalian aja mecahin lemari asam?” ungkap salah satu aslab yang menimbulkan gelak tawa atas lelucon mereka yang tidak lucu sama sekali.

Seketika mereka terdiam setelah melihat Alya keluar dari ruangan Dosen dan dengan lunglai Alya melewati mereka dengan sopan. Tidak sempat menyapa mereka karena terlalu lemah, Alya melewatinya tanpa sapaan dan berjalan ke luar.

Entah apa yang dikatakan Dosen terebut, Alya kini keluar dari ruangan beliau dan kini keringatnya semakin deras. Hal yang disampaikan oleh doosen tersebut sebenarnya tidak menyakitkan, hanya saja mungkin kondis Alya saat ini sangat sensitif.

Memang benar, Alya mengakui kecerobohan dirinya, biasanya mahasiswa lain hanya memecahkan gelas ukur atau tidak beaker glass, tapi yang Alya pecahka yaitu Alat yang cukup jauh dari jangkauannya. Namun saat itu, Alya tiba-tiba merasa lemah dan menyenggol barang tersebut dan rusak bahkan alat tersebut dalam keadaan masih menyala.

Seketika terdengar bisikan para aslab tersebut.

“Ni anak songong juga, ya?” “Nyesel gue gak potong kinerja dia sampe seratus persen!”

Alya lagi-lagi mendengar bisikan mereka.

“Kenapa, ya, sebelum ngomong gak liat dulu kondisi orangnya?” “Gue lagi sakit BANGSATT,” “Ni badan padahal pagi-pagi masih enakan, kok sekarang jadi manja kayak gini?!” Dalam hati Alya sangat berapi-api, dada terus bergemuruh menahan emosi tapi apa daya raga tidak kuat untuk sekedar membalas omong kosong mereka semua.


Berjalan dengan pelan dengan langkah lunglai dan keringat semakin bercucuran, Alya memaksakan diri untuk pulang, agar dirinya cepat istirahat di rumahnya.

“Hey? Kok gak bales pesan saya?” Suara yang berhasil membuat Alya menatap siapa yang berbicara.

“Kamu sakit?”

Bukannya menjawab, Alya kini malah menangis menunduk dan bertanya terhadap diri sendiri. Sekacau apa dirinya, sampai-sampai berhalusinasi kalau didepannya saat ini adalah orang yang ia tunggu-tunggu sejak lama.

“Gue udah gila keknya ... ” “Ini gak bisa dibiarin.” Alya menatap kembali orang tersebut sambil terus memastikan kalau yang dilihatnya saat ini adalah Reynaldi.

“Hey?”

Beberapa detik kemudian Alya ambruk dipangkuannya, dengan cepat Rey membawanya ke dalam mobil dan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat.


Di rumah sakit. “Udah bangun, sayang?” John bergegas menghampiri putrinya setelah kembali dari kantor.

“Kenapa?” “Masih sakit?” “Sakitnya sebelah mana?” “Pusing?”

Alya hanya terdiam dan menatap John dengan tatapan mengasihani diri sendiri serta air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.

Dengan tatapan khawatir John mengecek suhu tubuh Alya dan memeriksa badannya sebisa mungkin ditakutkan ada luka atau apalah itu. Tidak berhenti sampai sana, John baru saja ingin memanggil dokter untuk mengecek kembali keluhan anaknya.

Baru saja akan akan beranjak, tiba-tiba tangan tangan John diraihnya oleh Alya.

“Tante Sarah mana?” John semakin bingung dibuatnya. Kenapa tiba-tiba anaknya menanyakan Sarah. Sudah beberapa minggu dirinya tidak mendengar kabar Sarah setelah John ditinggalkan mendiang istrinya.

“Pah ... kakak gapapa, kan?” “Kakak sekarang bisa liat orang, padahal orang itu udah gak ada di sini.” John semakin bingung, apa maksud dari perkataan anaknya tersebut.

“Sayang ...”

“Tante Sarah mana, pah? Kakak mau ketemu Tante Sarah, kakak mau bilang kalau kakak sekarang mulai berhalusinasi.” Mendengar itu hati John takut sekali, karena Alya menganggap penyakit yang diderita mamahnya kini turun pada dirinya.

“Kakak lagi capek, ya?” John kini merengkuh tubuh lemah anaknya yang sedang berbaring.

“Kakak beneran liat Rey, pah ...”

John semakin mengeratkan rengkuhannya dan terus berusaha menenagkan anaknya. sampai saat ini memang John belum lagi mendengar tentang keluarga sahabatnya tersebut.

“Tante?” Alya memanggil seseorang yang sepertinya sudah lama berdiri di depan pintu rawat inap VIP tersebut. John kini melepaskan pelukannnya tersebut denga pelan, dan tekejut ketika melihat Sarah diikuti dengan Hamzi. John mempersilakan John dan Hamzi untuk duduk dekat Alya yang kini posisi Alya sudah duduk walaupun masih di atas bangsal rumah sakit.

“Tidur aja sayang,” ungkap Sarah karena melihat Alya kerepotan padahal untuk sekedar duduk. Sedangkan Alya hanya menggelengkan kepalanya.

“Kok bisa tahu, kalau kakak ada di sini?” tanya John dengan wajah terheran-heran.

“Hamzi langsung jemput aku, katanya Alya di bawa ke rumah sakit sama Rey.” Mendengar itu Alya malah semakin sesak dadanya, kalaupun Rey yangmengantarnya ke sini, harusnya Rey ada bersamanya saat ini. Lantas kemana dia sekarang.

John juga belum sempat bertanya siapa yang mengantarkan Alya, karena John diberi tahu oleh temannya yang bekerja di rekam medis rumah sakit ini. Dirinya terlalu fokus pada anaknya. Dengan cepat John menuju pendaftaran dan menanyakan apakah benar Reynaldi yang mengantarkan putrinya?

Sarah kini duduk tepat di samping ranjang Alya dan berbincang tentang kedaan Alya saat ini. Hamzi juga menghampiri Alya namun tidak ikut bergabung untuk waktu lama, dirinya belum merasa nyaman dengan Alya, apalagi tentang dirinya yang terlalu bergantung pada John dan itu cukup membuat Alya marah waktu itu—bahkan sampai sekarang?

“Alya,” “Cepet sembuh, ya?” “Gue lebih seneng mampir ke rumah lo, dibandingkan harus mampir ke tempat kayak gini,” ungkap Hamzi tenang.

“Makasih Hamzi,” balas Alya sambil tersenyum dan dengan canggung Hamzi membalas senyum tersebut.

Hamzi menunggu di luar kamar dan memilih bermain game membiarkan Sarah berbincang dengan Alya.

John kini datang dan dan duduk bersama Hamzi.

“Gimana, om?”

“Reynaldi yang antar kakak, tapi Rey-nya ke mana, ya?”

“Pulang dulu kali.”

John terus menatap Hamzi yang sudah lama tidak melihatnya, tatapan hangat—sama seperti menatap putrinya.

“Kenapa jarang balas pesan, om?” John mengalihkan topik pembicaraan.

Mendengar itu Hamzi terlalu malu, bagaimanan dia memutuskan komunikasi tanpa sebab, bukan tanpa sebab sebetulnya, hanya saja dirinya dan Sarah menjaga perasaan Alya. Sedangkan Hamzi hanya tersenyum dan meminta maaf terhadap John.

“Ayo masuk?”

“Hamzi di sini aja, om.”

John menepuk pundak Hamzi dan memeluknya singkat, kemudian kembali memasuki kamar pasien. Sedangkan Hamzi merasakan kembali pelukan layaknya sang Ayah. Maklum Hamzi tidak pernah tahu bagaimana rasanya dipeluk oleh ayah kandungnya sendiri, sampai saat ini, pelukan John lah yang paling nyaman untuknya.


“Apa gue bilang,” “Yang tadi tuh lo,” “Gak salah liat kan,” “Kemana aja lo, Rey?”

Mendengar suara Hamzi menggema di sudut ruangan rumah sakit tersebut, Alya merasa tersentak dibuatnya, seketika jantungnya kini berdetak dengan cepat dan entah kenapa rasa sesak tersebut kian menghampirinya kembali. Dilihatnya Reynaldi yang kini berada di pintu masuk kamar tersebut tersenyum lebar dan menatap Alya dengan lembut. Tidak lama kemudian disusul dengan kehadiran Chandra dan juga Wenny dengan parsel ditangannya dan sama-sama menampilkan senyum indah mereka.

Semakin lama senyum indah Reynaldi semakin memudar ketika dirinya tidak mendapatkan balasan dari Alya, yang ia lihat saat ini Alya hanya menatapnya dengan tatapan sedih dengan air mata yang mulai mengelilingi bola matanya yang sebentar lagi akan tumpah ruah. Alya menggenggam erat tangan Sarah dan semakin berkeringat dingin. Kepalanya kini menunduk kembali bersama dengan jatuhnya air mata yang tak bisa ia tahan lagi.

“Aku gak berhalusinasi, kan?” lirih Alya dalam hati dan kini dirinya menangis tersedu-sedu tidak berani menatap kembali ke arah yang ia lihat, dirinya kini hanya bisa meratapi diri sendiri yang sudah tidak baik-baik saja sejak Rey dan mamahnya meninggalkan dirinya.