Menyambut

“Kalau lagi sakit mending istirahat aja di rumah,” “Dosen juga pasti ngasih keringanan,” “Kita yang gak tau apa-apa, jadi kena batunya juga.” Nayla tidak bisa menahan kesal akibat nilainya harus ikut terpotong juga.

“Dipanggil aslab noh?” ungkap Zahra ketus dan kini melewatinya ke luar untuk pulang. Sedangkan Ansel dan Abian hanya bisa menepuk punggung Alya seakan-akan mengatakan lo akan baik-baik saja. Lo gak akan mati karena hal-hal seperti ini.

Tubuh yang semakin panas tetapi muncul keringat dingin, Alya menghampiri Asisten lab tersebut dan kini Alya menghadap dosen penaggung jawab yang terkenal dengen dosen killer seantero kampus ini.


Sekilas Alya mendengar bisikan asisten lab yang sejak kapan mereka senang sekali bergosip dan bukannya fokus membimbing mahasiswa-nya malah berkumpul dan membanding-bandingkan dengan angkatan lainnya.

Maklum asisen lab yang bertugas di sini biasanya adalah alumni dengan nilai terbaik mereka sehingga tidak sembarangan orang yang bisa menjadi asisten.

Aslab di praktikum tersebut rata-rata orangnya pernah menggenggam predikat pujian atau sering disebut cumlaude, tapi sikap mereka tidak mencerminkan kalau mereka itu adalah asisten yang dapat menenangkan mahasiswanya.

“Rekor sih, kok bisa ... pecah?” “Ini angkatan berapa sih?” “Jorok banget gunain alat, dia gunain sambil pargoy apa gimana? Kok bisa mendarat di lantai, njir?” “Gak sekalian aja mecahin alat yang buat ngukur tegangan permukaan air yang ada cincinnya itu lho, du nouy yang harganys enam puluh juta, satu cincin.”

“Beda lab, njir!”

“Ya kan pernah kali semester kemarin, mereka praktikum itu.”

“Gak sekalian aja mecahin lemari asam?” ungkap salah satu aslab yang menimbulkan gelak tawa atas lelucon mereka yang tidak lucu sama sekali.

Seketika mereka terdiam setelah melihat Alya keluar dari ruangan Dosen dan dengan lunglai Alya melewati mereka dengan sopan. Tidak sempat menyapa mereka karena terlalu lemah, Alya melewatinya tanpa sapaan dan berjalan ke luar.

Entah apa yang dikatakan Dosen terebut, Alya kini keluar dari ruangan beliau dan kini keringatnya semakin deras. Hal yang disampaikan oleh doosen tersebut sebenarnya tidak menyakitkan, hanya saja mungkin kondis Alya saat ini sangat sensitif.

Memang benar, Alya mengakui kecerobohan dirinya, biasanya mahasiswa lain hanya memecahkan gelas ukur atau tidak beaker glass, tapi yang Alya pecahka yaitu Alat yang cukup jauh dari jangkauannya. Namun saat itu, Alya tiba-tiba merasa lemah dan menyenggol barang tersebut dan rusak bahkan alat tersebut dalam keadaan masih menyala.

Seketika terdengar bisikan para aslab tersebut.

“Ni anak songong juga, ya?” “Nyesel gue gak potong kinerja dia sampe seratus persen!”

Alya lagi-lagi mendengar bisikan mereka.

“Kenapa, ya, sebelum ngomong gak liat dulu kondisi orangnya?” “Gue lagi sakit BANGSATT,” “Ni badan padahal pagi-pagi masih enakan, kok sekarang jadi manja kayak gini?!” Dalam hati Alya sangat berapi-api, dada terus bergemuruh menahan emosi tapi apa daya raga tidak kuat untuk sekedar membalas omong kosong mereka semua.


Berjalan dengan pelan dengan langkah lunglai dan keringat semakin bercucuran, Alya memaksakan diri untuk pulang, agar dirinya cepat istirahat di rumahnya.

“Hey? Kok gak bales pesan saya?” Suara yang berhasil membuat Alya menatap siapa yang berbicara.

“Kamu sakit?”

Bukannya menjawab, Alya kini malah menangis menunduk dan bertanya terhadap diri sendiri. Sekacau apa dirinya, sampai-sampai berhalusinasi kalau didepannya saat ini adalah orang yang ia tunggu-tunggu sejak lama.

“Gue udah gila keknya ... ” “Ini gak bisa dibiarin.” Alya menatap kembali orang tersebut sambil terus memastikan kalau yang dilihatnya saat ini adalah Reynaldi.

“Hey?”

Beberapa detik kemudian Alya ambruk dipangkuannya, dengan cepat Rey membawanya ke dalam mobil dan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat.


Di rumah sakit. “Udah bangun, sayang?” John bergegas menghampiri putrinya setelah kembali dari kantor.

“Kenapa?” “Masih sakit?” “Sakitnya sebelah mana?” “Pusing?”

Alya hanya terdiam dan menatap John dengan tatapan mengasihani diri sendiri serta air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.

Dengan tatapan khawatir John mengecek suhu tubuh Alya dan memeriksa badannya sebisa mungkin ditakutkan ada luka atau apalah itu. Tidak berhenti sampai sana, John baru saja ingin memanggil dokter untuk mengecek kembali keluhan anaknya.

Baru saja akan akan beranjak, tiba-tiba tangan tangan John diraihnya oleh Alya.

“Tante Sarah mana?” John semakin bingung dibuatnya. Kenapa tiba-tiba anaknya menanyakan Sarah. Sudah beberapa minggu dirinya tidak mendengar kabar Sarah setelah John ditinggalkan mendiang istrinya.

“Pah ... kakak gapapa, kan?” “Kakak sekarang bisa liat orang, padahal orang itu udah gak ada di sini.” John semakin bingung, apa maksud dari perkataan anaknya tersebut.

“Sayang ...”

“Tante Sarah mana, pah? Kakak mau ketemu Tante Sarah, kakak mau bilang kalau kakak sekarang mulai berhalusinasi.” Mendengar itu hati John takut sekali, karena Alya menganggap penyakit yang diderita mamahnya kini turun pada dirinya.

“Kakak lagi capek, ya?” John kini merengkuh tubuh lemah anaknya yang sedang berbaring.

“Kakak beneran liat Rey, pah ...”

John semakin mengeratkan rengkuhannya dan terus berusaha menenagkan anaknya. sampai saat ini memang John belum lagi mendengar tentang keluarga sahabatnya tersebut.

“Tante?” Alya memanggil seseorang yang sepertinya sudah lama berdiri di depan pintu rawat inap VIP tersebut. John kini melepaskan pelukannnya tersebut denga pelan, dan tekejut ketika melihat Sarah diikuti dengan Hamzi. John mempersilakan John dan Hamzi untuk duduk dekat Alya yang kini posisi Alya sudah duduk walaupun masih di atas bangsal rumah sakit.

“Tidur aja sayang,” ungkap Sarah karena melihat Alya kerepotan padahal untuk sekedar duduk. Sedangkan Alya hanya menggelengkan kepalanya.

“Kok bisa tahu, kalau kakak ada di sini?” tanya John dengan wajah terheran-heran.

“Hamzi langsung jemput aku, katanya Alya di bawa ke rumah sakit sama Rey.” Mendengar itu Alya malah semakin sesak dadanya, kalaupun Rey yangmengantarnya ke sini, harusnya Rey ada bersamanya saat ini. Lantas kemana dia sekarang.

John juga belum sempat bertanya siapa yang mengantarkan Alya, karena John diberi tahu oleh temannya yang bekerja di rekam medis rumah sakit ini. Dirinya terlalu fokus pada anaknya. Dengan cepat John menuju pendaftaran dan menanyakan apakah benar Reynaldi yang mengantarkan putrinya?

Sarah kini duduk tepat di samping ranjang Alya dan berbincang tentang kedaan Alya saat ini. Hamzi juga menghampiri Alya namun tidak ikut bergabung untuk waktu lama, dirinya belum merasa nyaman dengan Alya, apalagi tentang dirinya yang terlalu bergantung pada John dan itu cukup membuat Alya marah waktu itu—bahkan sampai sekarang?

“Alya,” “Cepet sembuh, ya?” “Gue lebih seneng mampir ke rumah lo, dibandingkan harus mampir ke tempat kayak gini,” ungkap Hamzi tenang.

“Makasih Hamzi,” balas Alya sambil tersenyum dan dengan canggung Hamzi membalas senyum tersebut.

Hamzi menunggu di luar kamar dan memilih bermain game membiarkan Sarah berbincang dengan Alya.

John kini datang dan dan duduk bersama Hamzi.

“Gimana, om?”

“Reynaldi yang antar kakak, tapi Rey-nya ke mana, ya?”

“Pulang dulu kali.”

John terus menatap Hamzi yang sudah lama tidak melihatnya, tatapan hangat—sama seperti menatap putrinya.

“Kenapa jarang balas pesan, om?” John mengalihkan topik pembicaraan.

Mendengar itu Hamzi terlalu malu, bagaimanan dia memutuskan komunikasi tanpa sebab, bukan tanpa sebab sebetulnya, hanya saja dirinya dan Sarah menjaga perasaan Alya. Sedangkan Hamzi hanya tersenyum dan meminta maaf terhadap John.

“Ayo masuk?”

“Hamzi di sini aja, om.”

John menepuk pundak Hamzi dan memeluknya singkat, kemudian kembali memasuki kamar pasien. Sedangkan Hamzi merasakan kembali pelukan layaknya sang Ayah. Maklum Hamzi tidak pernah tahu bagaimana rasanya dipeluk oleh ayah kandungnya sendiri, sampai saat ini, pelukan John lah yang paling nyaman untuknya.


“Apa gue bilang,” “Yang tadi tuh lo,” “Gak salah liat kan,” “Kemana aja lo, Rey?”

Mendengar suara Hamzi menggema di sudut ruangan rumah sakit tersebut, Alya merasa tersentak dibuatnya, seketika jantungnya kini berdetak dengan cepat dan entah kenapa rasa sesak tersebut kian menghampirinya kembali. Dilihatnya Reynaldi yang kini berada di pintu masuk kamar tersebut tersenyum lebar dan menatap Alya dengan lembut. Tidak lama kemudian disusul dengan kehadiran Chandra dan juga Wenny dengan parsel ditangannya dan sama-sama menampilkan senyum indah mereka.

Semakin lama senyum indah Reynaldi semakin memudar ketika dirinya tidak mendapatkan balasan dari Alya, yang ia lihat saat ini Alya hanya menatapnya dengan tatapan sedih dengan air mata yang mulai mengelilingi bola matanya yang sebentar lagi akan tumpah ruah. Alya menggenggam erat tangan Sarah dan semakin berkeringat dingin. Kepalanya kini menunduk kembali bersama dengan jatuhnya air mata yang tak bisa ia tahan lagi.

“Aku gak berhalusinasi, kan?” lirih Alya dalam hati dan kini dirinya menangis tersedu-sedu tidak berani menatap kembali ke arah yang ia lihat, dirinya kini hanya bisa meratapi diri sendiri yang sudah tidak baik-baik saja sejak Rey dan mamahnya meninggalkan dirinya.