Harapan

Alya ke luar dengan menggunakan baju tidur yang dilengkapi cardigan warna pink yang senada dengan baju tidur warna abu muda.

Wajah Ceria Alya tidak pernah luntur setiap Rey ada di depannya. Entah sejak kapan dirinya mulai berani terang-terangan dan berani menampakan perasaan suka yang kata anak muda bisa dikatakan, kalau Alya sedang terila-gila dengan Rey.

Tiba-tiba saja Alya memeluk Rey erat, seperti tidak mau kehilangan kembali. Sedangkan Rey hanya tertawa sembari menyisir rambut pendeknya yang wangi.

Seketika Alya sadar dengan kelakuannya, dirinya mendongak dilihatnya Rey masih tersenyum padanya. Alya kembali memeluk Rey dengan pelukan rindunya. “Jangan ngomong aneh-aneh lagi, Rey,” lirih Alya pelan.

“Hmm?”

“Kamu boleh jatuh cinta sama laki-laki lain tuh, maksudnya apa?!!” “Sakit hati banget aku dengernya.”

“Tumben aku kamu? Lagi sadar, ya?”

“Ish serius dulu, malah becanda!” Rey melepaskan pelukannya pelan, diraihnya tangan Alya dan kini ia genggam sehinga hangatnya genggaman tangan mereka berdua mampu menghangatkan sekujur tubuh ditengah cuaca dingin yang menghampirinya malam ini.

Mereka berdua kini memasuki rumah besar Johnathan yang secara kebetulan papahnya Alya tersebut belum pulang dari kantor.

Rey terduduk di sofa menghadap televisi yang sudah menyala. Namun, acara Televisi semuanya mengabur ketika Alya mampu mengalihkan pandangannya—terus menatapnya tanpa henti.

“Kamu kok ngeliatin aku kayak gitu terus dari tadi? Kenapa?” “Aneh, ya? Liat aku rambut pendek kayak gini?” Alya menekuk wajahnya sedkit menyesal dan tidak berpikir panjang untuk memotong rambutnya.

“Cantik,” “Tapi leher kamu keliatan.”

“Ya emang kenapa sama leher aku?” Alya terheran dan kini mengecek lehernya, bercermin menggunakan ponselnya duduk dekat dengan Rey di sofa ruang tamu, “Ih emang ada apaan sih di leher aku?” Alya semakin penasaran dibuatnya.

“Cup!” tiba-tiba saja Rey mengecup singkat tepatnya di leher Alya sebelah kiri.

“Astaga, Rey! Kamu nakal banget?” “Diajarin siapa?!” Alya sedikit berteriak dengan tangan refleks memukul punggung Rey.

Reynaldi hanya tertawa di sana.

“Malah ketawa?” “Ni kalau papah liat kelakuan kamu, pasti papah marah tau.” Alya sedikit mengintimidasi dengan tatapan paniknya.

“Tapi papah kan gak ada.” Rey terus menjahili Alya.

“Tapi cctv ada, Rey ...” Seketika wajah Rey berubah menjadi serius dan mencari keberadaan cctv di setiap sudut ruangan ruang keluarga rumah ini.

“Beneran, Al?” Wajah Rey memerah dengan perasaan panik bukan main.

Kini giliran Alya tertawa lepas.

Alya juga tidak ingin kalah dengan Rey, giliran dirinya yang mengecup bibir Rey singkat. “Biasa aja kali, gak usah panik gitu,” “Aku ambil cemilan dulu buat kamu, bentar.” Alya tersenyum puas sembari pergi mengambil cemilan untuk Rey.

“Alya ...” Rey mengembuskan nafas kasar karena lega bahwa perbuatannya tidak akan pernah John tahu.

Ketika Alya sibuk mengambil cemilan untuk menjamu Rey, Rey juga kini sibuk mengambil makanan berat yang ia pesan melalui aplikasi “online” untuk ia lahap bersama kekasihnya.

“Tau gitu aku masak buat kamu, Rey,” “Ngapain harus beli segala?” Alya menatap kesal makanan tersebut.

“Emang kamu bisa masak?” Kini Rey membuka kotak makan tersebut, yang satu untuk dirinya dan yang satu untuk Alya makan.

“Ngeremehin nih?” “Kamu bisa buktiin nanti kalau kita udah nikah,” “Pasti aku masakin kamu tiap hari.” Aktivitas Rey seketika terhenti karena Alya tiba-tiba sudah berpikir sejauh itu.

“Udah bisa masak apa?” tanya Rey yang kini melanjutkan aktivitasnya kembali untuk menyuapi makanan ke dalam mulutnya dan bergantian menyuapi Alya untuk ikut makan.

“Banyak pokonya, pokonya aku bikin menu yang tiap harinya beda-beda, biar kamu sama anak kita nanti gak bosen buat makan masaka n aku.” Dengan sabar Rey menunggu Alya bercloteh tentang keinginannya di masa depan nanti.

Alya akan berbicara setelah menelan suapan makan dari Rey dan dengan sabar Rey menunggu Alya berbicara dan mengeluarkan semua harapan indahnya bersama dirinya.

“Kamu sudah memikirkan sejauh itu, ya, ternyata.” Rey berkata dengan tangan mengelap bibir Alya menggunakan tisu karena mulutnya sedikit belepotan.

“Emangnya kamu enggak?” “Gini lho ...” Alya menceritakan terang-terangan terhadap Rey, tentang mempunyai keluarga seperti sudah lama Alya pikirkan sejak mereka pertama kali dipertemukan di rumah Chandra dengan agenda pertemuan pertama untuk perjodohan. Alya melihat keluarga Chandra seketika memutuskan untuk menjadi panutan bagi dirinya dimasa yang akan datang. Keluarga kecil yang berkecukupan dan penuh kehangatan.

Alya sudah membayangkan dengan indah bagaimanan kehidupannya nanti dengan Rey, Rey dilahirkan dari keluarga yang sangat luar biasa, dan dia juga ingin memberikannya kebahagiaan tersebut mengalir sampai ke anak cucunya nanti.

Alya bukan tidak bahagia terlahir dikeluarga papahnya yaitu John. John selalu totalitas untuk dirinya, hanya saja, singkatnya kehadiran sosok ibu, cukup membuat Alya ingin sedikit lebih bahagia lagi dari sebelumnya.

Saking panjang lebarnya Alya bercerita, kini makanan pun berada dipenghujung suapan terakhir. Rey sengaja berkunjung dengan sekedar makan bersama, karena John sempat mengatakan beberap waktu lalu, kalau Alya sering merasakan keluhan sakit diperutnya karena telat makan dikarenakan sibuknya perkuliahan dan sebenarnya Alya sering malas makan seperti ini.

Alya sering melakukan yang simpel seperti dengan mengkonsumsi roti dan banyak meminum kopi. Mendengar itu Rey tidak bisa diam saja, dirinya harus bisa merubah kebiasaan buruk Alya sedikit demi sedikit.

“Jadi mau nikah aja?” tanya Rey tiba-tiba.

“Kecepetan gak sih?” “Mana kita juga lagi sibuk-sibuknya kuliah,” “Maaf, ya, Rey, kalau semua yang aku ceritain ini membuat kamu risih ...”

“Saya seneng, Al, karena tenyata harapan kamu itu ternyata adalah saya. Saya yang menjadi pemeran utamanya yang dapat mendampingi kamu nanti.”

“Janji ya, Rey, realisasikan keinginan aku.”

Rey mengangguk bejanji terhadap Alya.

“Jangan nyuruh buat mencintai orang selain kamu,” “Aku gak bisa Rey,” “Aku ingin kamu dan aku jadi orang yang banyak bahagia selama mungkin,” “Aku gak bisa nerima orang lain dengan mudah,” “Aku cuman mau kamu, Rey ...”

Rey hanya tersenyum tulus dan meyakinkan Alya di sana, walaupun raut wajah Rey kini sangat bahagia karena ungkapan Alya yang cukup membuat dirinya terpukau karena ternyata dia selayak itu untuk dicintai oleh seorang Alya ... yang sudah ia kagumi sejak lama.

Walaupun begitu, lain dengan gemuruh isi di kepala Rey, belum lagi batin Rey menangis mendengar ini semua, bagaimana ternyata kalau dirinya yang akan mematahkan semua ekspektasi indah sang kekasih, bagaimana kalau ternyata Alya akan hancur sehancur-hancurnya karena harapan tersebut tidak akan pernah terwujud, mengingat kondisi dirinya yang tak kunjung membaik.