jwooshining

Happy

#Happy Ending

Ternyata jadi seorang ibu dengan putra kembar itu tidak mudah, pagi-pagi sekali Alya harus memandikan anaknya yang berumur lima tahun. Pagi-pagi sudah kecolongan keluar rumah dan kompak bermain tanah di luar yang pada saat itu Alya sedang sibuk memasak.

Si kembar terus memberontak, karena tidak mau keramas sedangkan tanah yang ia mainkan sudah melekat sampai rambut entah bagaimana mereka bermain-main.

Untuk saat ini yang satu sibuk menumpahkan sabun mandi cair sedangkan yang satu menyemprotkan air terhadap Alya karena rasa marah dipaksa untuk keramas alhasil menjerit kedinginan. Alya tetap meredam emosinya walaupun bajunya kini basah kuyup seperti ikut mandi bersama mereka, bedanya Alya tidak melepaskan pakaiannya. — “Ayaaaah.” Si kembar kompak memanggil Jeano yang saat ini sudah berdiri di depan pintu yang masih terbuka.

“Kamu kapan ke sini?” tanya Alya dengan tangan sibuk mengelap badan si kembar dengan handuk.

“Al ...”

“Iya, Je?”

“Kamu kalau kewalahan kan bisa telfon aku.”

“Anak-anak hari ini Alhamdulillah sekali, Je...” Alya sedikit mengeluh pada Jeano.

“Yaudah sini minyak telon sama baju anak-anaknya, kamu ganti baju dulu gih, ntar masuk angin, basah gitu.” Alasan saja sebenarnya, terlalu bahaya jika baju putih Alya terbasahi dan memperlihatkan sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.

Dengan lunglai Alya menuju kamarnya, dan kini sudah berganti pakaian dengan warna hitam.

“Je ...”

“Apa sayang.”

“Sayang-sayang, bisa-bisanya kamu genit sama emak-emak anak dua?” “Cepetan nikah sana!”

“Ngapain nikah? Kan aku udah punya si kembar.”

“Serius? Kapan nikahnya? Kok gak ngundang?”

“Ya enggak, ini kurcil-kurcil kan anak aku juga.”

“Enak aja, gak usah ngajak huru-hara deh, ntar diturutin sama anak-anak.”

“Alvan sini sama mama.” Alya memakaikan baju untuk kakaknya, sedangkan Alvin diurus oleh Jeano.

“Baju hitam lagi?” ungkap Alvan melotot gemas keheranan.

“Hmm?” Alya menatap ke arah Jeano, “Kan mau pergi lihat papa, nak.”

“Papah kapan pulang, ma?”

“Papa kok lama perginya?” “Besok papa antar kita hari pertama sekolah, kan?”

“Besok juga hari ulang tahun kakak sama Alvin, papa datang, kan?” Alya dihantam banyak pertanyaan dari anaknya.

“Sama kakek John aja, ya?” “Atau mau sama Kakek Chandra aja?” “Sama Nenek Wenny, gimana?” bujuk Alya hati-hati.

“Maunya sama papa! yang lain juga diantar sama papa!” Alvan menunjuk ke arah foto pernikaham pengantin Alya dan Reynaldi lima tahun yang lalu.

“Iya, nanti lagi, ya?”

“Sama papa!” Alvin yang tadinya diam kini ikut membrontak seperti kakaknya.

“Iya, nanti lagi, ya?” “Besok sama mama dulu.” Alya berusaha sabar menghadapi anak-anaknya yang sudah mulai mengamuk.

“Mama bohong!”

Dengan rasa murkanya, Alvin kini membanting minyak telon yang melesat kencang nyaris mengenai wajah Alya.

Dengan sigap Jeano mengambil Alvin ke sisinya.

“Papa kapan ke rumah!”

Alya sudah mulai berkaca-kaca di sana, ia paling tidak bisa menjelaskan kalau papanya sudah tidak bisa berada di sisi mereka lagi.

“Gak bisa ....” “Kan Papa Rey sudah meninggal.” Jeano memutuskan untuk memberi tahu si kembar tentang semuanya.

“Je ...”

Mata anak-anak kini tertuju pada Jeano, tidak mengerti apa yang Jeano maksud.

Batin Alya sakit sekali rasanya, ketika anak-anak menatap Jeano polos dengan tatapan sayu, bagaimana Alya sanggup memberitahukan mereka semua, bagaimana ketika wajah polos mereka yang mudah tertawa akan menanggapi keadaan sebenarnya tersebut. Alya tak sanggup kalau harus melihat bagaimana Jeano menjelaskan keberadaan Rey sebenarnya.

Alya tak sanggup bahkan jika harus melihat reaksi mereka. Alya berlari ke dalam kamar dan menangis di sana, menangis sambil memeluk foto mereka berempat ketika Alvan dan Alvin baru lahir yang ditemani oleh Reynaldi. . . . . . . . . . . . . . . . “Sayang?” “Bangun,” “Kamu mimpi apa sampai keringetan gini?”

Alya terperanjat seketika langsung melotot dan memeluk orang yang kini ada di hadapannya.

“Mimpi buruk lagi?” “Mimpiin apa, sayang?”

Alya hanya memeluk erat suaminya tersebut.

“Kenapa?”

“Rey …”

“Iya, kenapa sayang?”

“Aku gak mau semua itu terjadi, bahkan itu dalam mimpi.” gumam Alya dalam hati, kini Alya terus mengeratkan pelukannya.

“Al … kamu gak apa-apa, kan?” “Coba tenangin diri kamu dulu, habis itu kamu ceritakan semuanya, biar kamu enggak ketakutan lagi kayak barusan.”

Alya hanya mampu berbicara lewat tubuhnya, dirinya hanya ingin dipeluk saja. Entah sudah berapa menit berlalu, Alya enggan menceritakan mimpinya.

Seketika keliru, Alya sulit membedakan mana mimpi mana nyata, apakah yang ia peluk sekarang adalah bagian dari mimpi? Atau justru sebaliknya?

Alya terus memastikan kalau yang terjadi saat ini adalah benar-benar nyata, seseorang yang ia peluk juga benar-benar nyata.

“Kenapa sayang?”

Alya kini mulai melonggarkan pelukannya dan memastikan dengan menatap wajah Rey intens.

“Si kembar mana?” Setelah dirinya mencubit pipinya sendiri dan meringis kesakitan, kini Alya hanya ingin memastikan satu hal lagi.

“Si kembar siapa?”

“Anak kita …”

Rey tersenyum di sana, “Mentang-mentang mau promil lagi, kamu sampai kebawa mimpi punya anak kembar, sayang?” ungkap Rey sambil mencubit hidung Alya gemas.

“Terus Jeano?”

“Kamu mimpi punya anak kembar dari Jeano?” “Tega, ya, kamu?”

“Apanya yang tega? Buktinya sampai sekarag aku punya anaknya dari kamu, toh?” “Ohiya anak kita? Aa Ray mana?” Alya sedikit berlari mencari anaknya.

“Nah kan lupa sama anak sendiri.” Rey mengekori Alya.

Tiba-tiba saja deru mobil Chandra mendekati rumah dirinya.

Samar-samar terdengar suara Rayan Ranajaya putra pertama Alya dan Rey yang kini sudah berumur empat tahun, memanggil sang mama dan papa.

Sedangkan Rey masih geleng-geleng kepala karena keanehan sang istri yang tampak bingung sedari tadi. Dengan begitu Rey juga menghampiri orang tuanya yang sudah dua hari mengajak Rayan menginap. Rayan sangat dekat sekali dengan Chandra dan Juga Wenny, sampai-sampai Rayan pernah menginap di rumah kakek neneknya tersebut selama satu minggu penuh saking betahnya.

“Mama!” seru Ray memanggil mamanya, ada rindu yang ia tahan sejak dua hari.

“Ya Ampun a, mama kangen banget tau.” Alya terus mengecup anaknya tanpa henti.

“Aa juga kangen sama mama, sama papa juga.”

“Aa …” panggil Rey yang kini memangku anaknya merebut dari Alya.

“Ayah mana, bun?” tanya Rey karena tidak melihat ada tanda-tanda Chandra di sini.

“Ada kok, lagi ngecek mobil dulu kayaknya,” jawab Wenny sambil menyimpan kantong kresek besar warna hitam yang entah apa isinya.

“Rusak?”

“Iya, tapi enggak parah.”

Tiba-tiba saja Chandra muncul dengan senyum dimpel khasnya. Alya menghampiri Chandra yang langsung salim, begitupun Rey.

“Sehat Pak Dosen?” goda Chandra terhadap Rey yang kini bekerja di dunia pendidikan.

“Apaan manggilnya kayak gitu,” “Panggil Aa aja kayak biasanya.” suara Rey memelan karena masih saja Chandra senang menggodanya.

“Masa mau dipanggil Aa terus, kan udah jadi papa,” “Cie udah jadi papa aja, nih?”

“Udah jadi kakek aja nih?” balas Rey sedikit kesal.

“Iya tau ayah makin tua,” “Ah elah diingetin lagi.”

“Suruh siapa mulai duluan?”

“Biasa aja saltingnya,” “Nikah udah empat taun, masih aja jaim?”

“Aa gak jaim?!”

“Jangan lupa, deket kalian ada Aa Ray, mau adu mulut terus?” Wenny menimbrung perselisihan ringan mereka.

“Tau tuh Aa.”

“Tau tuh Ayah.”

Alya hanya tersenyum, menurutnya ribut ringan seperti ini justru membuatnya merasa terhibur, karena mereka berantem tidak sampai menggunakan hati, dan itu hanya lelucon saja sebenarnya, karena mereka lah yang selalu mencairkan suasana.

“Aa weekend gini mau kemana? Kok udah rapi?”

“Ke kampus, Yah, ada Seminar Nasional.”

“Seminar apa ketemu yang muda?”

Seketika pandangan Alya mengarah tajam kepada Rey, dan Rey pun membalas dengan tatapan mengelak.

“Aa emang udah lama gak berantem sama istri,” ungkap Rey pasrah.

“Jangan dong, aku lagi gak mood berantem soalnya.”

“Tumben?”

“Ya gak bisa, kalau mau juga aku tahan.”

“Apa nih? Pasti ada maunya, pengen apa, sayang?” tanya Rey curiga.

“Gak pengen apa-apa.” ungkap Alya sambil menyuapi Rey makan kue buatan Wenny.

“Jujur sama saya, kamu habis mecahin barang saya, kan?”

“Aku kalau mecahain barang kamu juga, kamu gak pernah marah—depan aku,” “Gak tau sih kalau ngedumel di belakang mah.”

“Emang gak pernah,” “Kan gak sengaja juga,” ungkap Rey sambil memakan buah apel yang sudah dipotong-potong.

“Ah gereget,” ungkap Chandra tak sabar sembari memberikan kado untuk Rey, “Ini hadiah dari Ayah, selamat ulang tahun ya, A.”

Rey terkaget di sana, kok bisa dirinya tidak ingat hari ulang tahunnya. Mungkin karena kesibukan dirinya mengurus mahasiswa, hal tersebut jadi pemicu lupa akan momen penting ini.

Dibukanya kado dari sang ayah yang isinya adalah tas backpack yang sangat elegan juga telihat keren dan gagah jika Rey menggendongnya.

“Ayah harap, ini bisa nemenin pundak kamu yang semakin tangguh, menemani kamu dalam mencari rezeki demi memenuhi tanggung jawab kamu terhadap anak istri.”

“Ayah … terima kasih … Aa suka sekali sama hadiahnya.”

“Ini dari buna,” Wenny juga ikut menyodorkan hadiah untuk anaknya.

Rey membuka pemberian dari Wenny, ternyata isinya adalah jaket jubah, cocok untuk Rey jika berangkat pagi untuk mengajar. Jika dipadukan dengan tas backpack pemberian dari Chandra, maka perpaduannya sangat cocok terpasang di tubuh Reynaldi.

“Karena buna sudah jarang peluk Aa seperti dulu, maka buna harap jaket ini sama hangatnya dengan pelukan buna,” ungkap Wenny yang membuat semua orang terenyuh.

“Buna kan bisa peluk Aa kapan aja ...”

“Iya, tapi kan sekarang udah beda, Aa sibuk, Buna juga, belum lagi jarak dari rumah buna ke sini kan lumayan, makannya Buna kasih ini.”

“Buna, makasih, ya?”

“Sama-sama, sayang.”

Ray turun dari kursinya meminta tolong pada mamanya, kini dia menghampiri kakeknya untuk meminta hadiah yang kemarin ia pilih untuk diberikan pada papanya.

“Ini dari Aa, pakai uang kakek, tapi ini dari Aa.” Jelas memunculkan gelak tawa bagi mereka yang mendengarnya, dirinya terlalu jujur kalau dia memberi kado bukan memakai uang sendiri tetapi ingin dianggap hadiah dari dirinya. Alya juga terkaget mendengarnya, merasa tersentuh ketika anaknya juga ikut memberikan hadiah untuk Rey.

“Aa mau kasih kado juga sama papa?” tanya Rey semangat.

“Huum,” “Dibuka papa,” pinta Ray dengan polos dan menggemaskan.

“Ya ampun sayang,” “Papa buka, ya?”

“Iya.”

Rey membuka hadiah tersebut. Dari bentuknya sangat kecil, tapi entah kenapa ini membuat jantung Rey semakin berdetak, Rey sama sekali tidak bisa mengira apa yang Anaknya berikan di usia yang sangat muda ini.

Rey hampir saja meneteskan air mata setelah tahu hadiah yang diberikan Ray yang dibalut dengan kertas kado gambar kartun populer.

“Pasti ini ide nenek, ya?

“Enggak?” Wenny mengelak cepat. “Aa yang bilang sama buna, katanya Aa pengen buat gantungan akrilik yang dalamnya foto kalian bertiga,” “Tapi Aa Ray pengennya itu digantung di kaca spion depan mobil kamu, a.” “Aa Ray sempat diajak temen buna pakai mobil beliau, dan Aa ngeliat ada foto keluarga yang digantung di spion depan mobilnya.” “Aa udah lama pengen itu, tapi dikasihnya sekalian pas ulang tahun aja, gitu,” “Untung mama punya foto kalian bertiga.”

“Aa …” lirih Rey sambil memangku anaknya dan terus memeluknya dan sekali-kali mencium pucuk rambut anaknya tersebut. “Terima kasih, ya, sayang.”

“Sama-sama, papa,” balas Ray senang.

Ayo sekarang giliran Kak Alya,” pinta Wenny Antusias.

“Kamu juga bikin kado buat saya?” “Tapi kok gak pernah keliatan ada kado di rumah?”

Alya memukul ringa suaminya.

“Aku punya dua kado tau.”

“Banyak amat?”

“Mau mana dulu, mau yang pertama atau yang kedua?”

“Dua-duanya, dibarengin.”

“Serius ayang, ih.”

“Yasudah yang kedua aja dulu.”

“Ih kok langsung nomer dua?”

“Tadi disuruh milih?”

“Yaudah iya.”

“Yakin pilih nomer dua?”

“Iya, sayang?”

“Mau tuker ke nomer satu, kah?”

“Dua, sayang.” Alya hanya tertawa melihat wajah kesal Rey.

Alya kini mendekatkan kursinya pada Rey, yang tampak bingung kenapa istrinya bertingkah aneh.

Alya tersenyum terus menatap Rey tanpa henti. Sedangkan Ray hanya melihat polos kedua orang tuanya yang kini beralih duduk dipangkuan Chandra. Sedangkan Chandra dan wenny hanya bisa tersenyum karena sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Alya masih tersenyum indah di sana. “Selamat ulang tahun, ya, sayang,” “Ini hadiah kedua dari aku,” ungkap Alya sambil meraih tangan Rey dan mendaratkannya diperut dirinya.

Seketika jantung Rey berdebar kencang, tapi bukan karena sakit, melainkan ada perasaan haru yang kini air matanya mulai memenuhi pelupuk matanya namun tak jatuh.

“Sayang … .”

“Selamat, ya.”

“Kok bisa? Bukannya kita baru mau promil?”

“Mau gimana lagi, udah terlanjur jadi?”

“Dari kapan?”

“Aku tes tuh seminggu yang lalu.”

“Kok gak bilang saya?”

“Kan kejutan.”

“Sayang …” “Kamu udah telat berapa minggu?”

“Tiga mingguan kayaknya.”

“Ayo ke rumah sakit sekarang.”

“Hadiah pertamanya belum aku kasih.”

“Gak perlu, saya gak peduli hadiah lain, saya mau kamu ke dokter sekarang.”

“Ya nanti, kamunya seminar dulu.”

“Saya gak berangkat.”

“Udah bayar mahal-mahal itu.”

“Hadiah yang saya dapatkan tidak ada apa-apanya dengan uang itu.” Rey kini berdiri untuk membawa Alya ke rumah sakit.

“Seengaknya habisin dulu makanannya,” “Ada Ayah sama Buna yang lagi nikmatin makanannya,” “Ada Aa Ray juga yang belum kenyang.”

“Gak apa-apa, mereka pasti ngerti,” “Yah … Bun .. Aa titip Aa Ray dulu sebentar lagi, boleh?” “Nanti Aa pesan makanan lagi yang banyak biar kalian betah” “Itung-itung ayah sama buna istirahat weekend-nya di sini,” “Kapan lagi kan main ke sini, main sama cucu kalian.”

“Aa mah ngolo etateh.” (Aa ngebujuk itu)

“Yah … Bun …”

“Iya sayang, iya.”

“Aa sama kakek nenek dulu, ya, sebentar?” “Nanti papa beliin Aa makanan yang Aa suka,” “Atau papa beliin Aa apa aja deh.”

“Mau coklat sama eskrim yang banyak.”

“Aduh A, yang lain atuh.” Ray mengeluh di sana, raut mukanya berubah murung.

“Aa ikut mama boleh?”

Rey tidak berani membawa anak kecil ke rumah sakit, karena rawan terjadi sesuatu yang mengganggu kesehatannya. Sebenarnya tidak akan apa-apa, tubuhnya juga sedang fit, namun alangkah baiknya Ray tinggal sebentar di rumah bersama kakek neneknya agar tetap di rumahnya.

“Ya sudah, boleh makan coklat sama eskrimnya, tapi janga terlalu banyak,” ungkap Alya yang seketika senyum Ray terpancar kembali saking senangnya.

Alya dan Rey bergegas dan pamit untuk berangkat sebentar.

—-

Kini mereka sudah ada di mobil, Rey diam sebentar. Dan kini dirinya memeluk istrinya erat.

“Makasih, ya,” “Saya seneng untuk hadiahnya,” “Makasih sayang,” “I love you.”

“Sama-sama.”

Reynaldi tahu sekali ketika Alya melahirkan Ray itu tidak mudah. Bisa dikatakan Alya melahirkan anak pertamanya cukup sulit dan terus dirujuk dari rumah sakit ke rumah sakit lain.

Alya juga sempat mengatakan bahwa dirinya akan sulit lagi jika dirinya harus melahirkan kembali. Alya mendapatkan trauma yang cukup membekas dalam dirinya, bahkan Rey juga sepakat untuk tidak mempunyai anak lagi karena benar-benar tahu akan perjuangan istrinya.

Dengan pertimbangan bedah caesar, dirinya memberanikan diri. Dirinya sanggup walaupun nanti juga harus melahirkan dengan cara normal kembali. Alasannya karena Rey suka sekali dengan anak kecil, bahkan Alya sempat memergoki suaminya menonton channel yang isinya anak kecil.

Dan juga ketika Rey bertemu anak kecil di luar sana pasti Rey merasa gemas dibuatnya. Walaupun begitu Rey tidak menampakan secara terang-terangan tentang kecintaannya terhadap anak karena takut membebani istrinya.

Alya yang pernah melihat Rey melakukan itu, merasa tertampar keras, apa dirinya tidak mau berjuang lebih lagi bagi laki-laki yang totalitas mencintai dan menjaganya dirinya? apa dirinya tidak mau melihat suaminya mencintai anak-anak yang ia lahirkan?

Sempat merencanakan kehamilannya, namun dirinya sedikit ragu, sehingga dirinya terus mengundurkan acara dengan dokter kandungannya.

Sampai pada saat Rey tidak lagi menanyakan tentang program tersebut, hati Alya merasa bersalah dibuatnya, Rey kenapa menutupi rasa keinginannya demi menjaga perasaannya yang masih trauma dengan melahirkan.

Setelah itu dirinya mulai melepas kontrasepsi pil yang ia gunakan tanpa sepengetahuan Rey, akhirnya dirinya membernaikan diri.

Hadirnya Rey dan Ray menjadi kekuatan untuk Alya bahwasannya dirinya bisa, dengan doa mereka yang tulus, dan penjagaan yang hebat itu tidak mungkin dirinya akan mendapatkan kesulitan kembali.

Alya kini pasrah, apapun yang terjadi dirinya akan berusaha membuat suaminya bahagia akan kesenangannya. Alya yakin dengan dukungan serta doa suami dan semua keluarganya, pasti kali ini akan dimudahkan semuanya, dirinya bisa melahirkan anak-anak hebat dan berguna di masa depan nanti.

Bisa dikatakan Reynaldi dan Ray adalah orang terakhir yang tahu akan kehamilannya. Karena Alya memberitahukan Wenny dan Chandra terlebih dahulu, kemudian John. Hingga pada saat itu mereka tiba-tiba menghampiri rumahnya untuk menengok dirinya, sempat dicurigai Rey karena kedatangan orang tua yang tiba-tiba dan dengan formasi lengkap. Namun, Alya terus mengalihkan pembicaraan dengan apik.

Kemudian tidak lupa Alya memberitahukan kehamilannya pada teman-temannya termasuk Shaga yang sebentar lagi akan menikah, dan itu akan digelar di kampung halamannya di Kalimantan.

Entah bisa atau tidak Alya memenuhi undangan Shaga, akan tetapi Shaga memaklumi dirinya karena pengorbanan waktu juga, sedangkan acaranya bukan diacara libur kuliah atau apa, jadi Shaga memakluminya. Hanya saja itu semua tidak mudah, Alya harus menggantinya dengan kado yang setimpal dengan rasa sakit hati karena tidak bisa hadir, begitulah candaan Shaga terhadap Alya.

Tidak Lupa Alya juga mengabarkan kabar baik ini pada cinta pertamanya yaitu Dafa. Dafa yang sudah pindah ke Australia dan mempunyai keluarga kecil di sana pun ikut berbahagia, bahkan dirinya langsung memberikan hadiah, yang kini tersimpan apik di kamar kosong tanpa sepengetahuan Rey.

Sedangkan Jeano. Alya sudah lama tidak mendangar kabarnya. Karena sudah terlalu lama dirinya pergi menempuh pendidikannya di luar negri dan langsung bekerja di sana, kabarnya Jeano memang belum ada keinginan untuk menikah. Jeano sekali-kali video call suaminya bersama teman kuliahnya yang lain seperti Naren dan Hamzi, tapi itu dalam kurun waktu lama, kadang tiga bulan sekali, kadang empat bulan sekali mereka berkomunikasi intens.

Sedangkan Hamzi sama hebohnya dengan Sarah ibunya, dirinya langsung mengirimkan hadiah mentang-mentang sudah kerja, untung saja hadiahnya tidak ia kasih tepat di depan mata Rey.

Sarah dan John belum ada kejelasan untuk menikah, namun atas dorongan dirinya, dan juga harus ada yang mengurus satu sama lain, maka Alya dan Hamzi terus bekerja keras menyatukan mereka walaupun nyatanya memang sangat susah. Tapi peluang mereka untuk bersatu itu cukup yakin, karena dua-duanya juga saling menyayangi.

Sedangkan Ray belum Alya kasih tahu dari jauh-jauh hari, karena anak kecil begitu polos, dan rawan akan bocornya rahasia negara ini. Kalau saja dijelaskan pasti nanti akan banyak pertanyaan, dan akan lebih bahaya jika Ray bertanya pada papanya, pasti sudah gagal total sudah rencananya. Sudah terbayang kalau Rey akan banyak bertanya, maka dari itu Alya memberi tahu secara bersamaan dengan suaminya.

Saat ini Rey terus memeluk istrinya. “Sehat-sehat, ya, sayang.”

tw // kiss

Kini dirinya melepaskan pelukannya. Dan berganti meraih wajah sang istri, jarak mereka terkikis, Reynaldi mencium keningnya hingga turun mendarat di bibir merah mudanya, Rey melumatnya dengan perlahan sambil terus mengusap perut sang istri dengan perlahan yang cukup membuat gairah dirinya memuncak. Alya melingkarkan tangannya di leher sang suami dan turut membalas semua perlakuan suaminya, lebih dalam, hingga sesapannya begitu memabukkan. Kini Rey lepaskan ciumannya dan tersenyum sambil menatap wajah istrinya yang kini sangat merona karena tindakan Rey yang tiba-tiba.

“I love you.”

“Aku juga.”

Kini mobil mereka baru bisa melaju setelah perasaan mereka tersalurkan. Rey terus memegang punggung tangan istrinya disertai senyum yang terus merekah di sepanjang perjalanan.

Dirinya sudah membayangkan semuanya, bahkan dirinya tidak sabar akan direpotkan lagi dengan permintaan istrinya yang akan tampak aneh dan diluar kendali.

Pantas saja dalam dua minggu terakhir ini Alya jarang sekali memasak dan selalu membelinya atau tidak pasti dibuatkan oleh Wenny.

Tampaknya Alya memang sering morning sicknes namun ia tahan. Rey sudah siap dengan semuaya, apapun itu, asal istri dan anaknya sehat selamat menginjakan kaki di dunia yang fana ini.

—-

Cerita ini mengisahkan tentang Reynaldi yang sudah mau berjuang dengan takdir yang harus ia hadapi. Reynaldi sering kali mendapatkan sebutan Big boy bukan berarti kegagahannya secara fisik yang mampu melawan seribu banding satu untuk berperang, melainkan julukan tersebut karena dirinya dikenal sebagai orang besar karena prestasinya sejak ia kecil hingga mampu menjadi pemimpin di BEM hingga menjadi pemimpin bijak di dalam rumah tangganya. Sedangkan untuk Supremacy-nya sendiri kita bisa tahu dalam ceritanya Reynaldi memang memiliki banyak keunggulan dari segi manapun sehingga tidak ada yang bisa mengalahkan dan kita bisa menganggap dirinya begitu sempurna. Hanya saja dalam cerita ini bukan hanya itu saja keunggulan yag Reynaldi miliki. Keunggulannya sebenarnya yaitu dirinya bisa bertahan untuk menghadapi takdirnya yang memang tidak mudah, bisa menahan sakit yang hebat dari sejak dirinya masih bayi, bisa melawan rasa putus asa, memiliki kesabaran yang sangat besar, dan selalu berjuang demi membahagiakan semua orang yang ada disekitarnya.

—END.