Intens
tw // kiss
Setengah jam berlalu, orang yang Alya tunggu-tunggu tak kunjung datang. Dirinya terus menghubungi Rey atas janjinya sore ini untuk pergi berdua tapi tidak menunjukan tanda-tanda kemunculan dirinya bahkan whatssapp pun ceklist satu, telfon seluler juga tidak diangkat.
Dalam beberapa menit kemudian, ada satu kendaraan yang kini mneghampiri rumahnya. Pantas saja deru mobil tersebut tidak asing baginya, karena kendaraan tersebut adalah kendaraan John. Gurat kecewa dirinya kini tergambar dalam wajah cantiknya. John yang antusias menyapa putrinya tersebut kini merasa aneh karena anaknya tidak membalas kembali sapaannya dan memilih duduk kembali di kursi luar.
“Cantiknya anak papah sama mamah,” “Kok belum berangkat, sayang?” tanya John heran dan walaupun begitu, Alya tetap melakukan rutinitasnya untuk salim.
Wajah Alya mulai memerah bukan karena pujian yang dilontarkan John, melainkan merah padam seperti akan menangis.
“Kenapa?” John memeluk Alya seakan-akan tahu apa yang dirasakannya saat ini.
Alya memilih tidak menjawab dan hanya tenggelam dalam pikirannya dan sibuk menerka-nerka.
Selang beberapa waktu, mobil yang sering ia lihat dan digunakan oleh Rey kini ada di depan mata, namun kejutan tidak berhenti sampai di sini, yang turun dari mobil bukanlah Rey, melainkan Ayahnya Rey yaitu Chandra.
Chandra tahu Alya akan kecewa, dirinya kini menghampiri Alya dengan tersenyum seperti biasanya.
“Kok mukanya gak seneng gitu dijemput ayah?”
John terheran karena yang datang menjemput putrinya adalah Chandra. John terus memberikan kode komunikasi kenapa dirinya yang datang, bukannya Rey? Wajahnya seakan-akan mengatakan, Rey baik-baik saja, kan? Chandra mengatakan juga dengan wajahnya kalau puteranya tidak apa-apa, Rey baik-baik saja seperti biasa yang mereka lihat sebelumnya.
“Dipinjem dulu, ya? nanti dibalikin,” pinta Chandra dengan nada canda guraunya.
“Rey mana, yah?” Alya bersuara.
“Aa nunggunya di resto, aa ada penting dulu,” jawab Chandra meyakinkan agar tidak dihujani banyak pertanyaan dari Alya.
“Kepentingan apa? Perasaan tadi gak ada apa-apa?”
“Ada deh.” Chandra terus meyakinkan Alya.
Alya ingin sekali bertanya atas keresahan hatinya, tapi dirinya juga tidak mau merusak suasana Chandra yang selalu menampilkan wajah cerianya, dirinya saat ini akan terus mempercayainya dan percaya bahwa benar tidak terjadi apa-apa.
“Hati-hati, Chan,” “Aset gue satu-satunya itu,” pinta John menegaskan.
“Iya iya, gue tau.”
“Maaf ya Al, kalau ayah setelannya kayak gini,” “Ayah gak sempet mandi abis dari kantor,” “Maaf ya kalau ada bau enggak enak,” “Salahin aa aja nanti,” ungkap Chandra dengan stelan kaos hitam dan celana pendek serta topi hitamnya untuk menutupi arah rambutnya yang kesana-kemari.
Alya sudah terbiasa dengan lelucon Chandra yang memang sepeti ini.
“Kita sekarang ke resto, kan?”
“Iya, kan aa di sana.” Chandra menjawab dengan menampilkan dimple-nya.
Alya hanya memastikan, ditakutkan skenario dalam kepalanya tentang pikiran kalau dirinya bukan diantarkan ke resto, melainkan ke rumah sakit. Dalam otak Alya saat ini hanya khawatir terhadap Rey.
Alya merasa aneh karena Chandra menyetir dengan kecepatan sangat pelan, bahkan tidak heran kalau mobilnya terus mendapatkan bunyi klakson dari mobil lain di luar sana, belum lagi Chandra terus memeriksa ponselnya, dan ketika pop up notifikasi chat muncul, Chandra pasti akan melihat Alya canggung. Namun dirinya kemudian meyakinkan kalau tidak ada apa-apa dan kembali menyetir dengan kecepatan normal, Chandra terus meyakinkan Alya agar tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Mobil tersebut kini berhenti tepat di depan Restoran yang direncanakan oleh Rey, Restoran private room yang terjamin kenyamanannya termasuk dapat bersantap tanpa ada gangguan suasana riuh dari orang lain.
Chandra terus menatap layar ponelnya dan kini wajah Chandra lebih tenang dibandingkan beberapa menit yang lalu.
Alya terus mengekori Chandra dan kini telah sampai di booking-an meja dengan banyak sekali makanan, termasuk kue ulang tahun dengan satu lilin cantik entah untuk merayakan ulang tahun siapa.
“Duduk, nak,” Chandra ikut duduk di sana, sedangkan Alya merasa bingung atas apa yang terjadi. Kenapa Rey tidak ada di sini, Rey kemana?
Alya dan Chandra duduk berhadapan dengan Alya membelakangi arah pintu masuk. Chandra terus mengarahkan pembicaraan mencari topik untuk dibicarakan agar Alya tidak banyak bertanya kemana Rey telat memenuhi janjinya.
Tidak lama kemudian netra Chandra berbinar setelah melihat anaknya memasuki restoran tersebut. Rey terlihat baik-baik saja saat ini serta dalam mood yang baik. Apakah Sahen telah memberikan kabar baik untuk puteranya?
Alya yang sedang menyimak melihat arah pandangan Chandra saat ini terhadap siapa, dengan begitu Alya dan Rey saling menatap. Yang satu menatap karena bahagia sedangkan Alya menatap khawatir apa yang sebenarnya terjadi.
Reynaldi menghampiri meja tersebut dan duduk di samping Alya sambil meraih tangan Alya untuk ia genggam. Rey terus menatap Alya dengan senyum terus merekah.
“Maaf, ya,” “Maaf karena udah nunggu lama ...” “Ayah gak genit kan sama kamu?”
“Ayah lagi diem, a,” Chandra terkekeh sambil mengahabiskan satu keik dalam piring kecilnya.
“Dari mana aja?” Alya bertanya tanpa basa-basi dengan ekspresi masih sama.
Atmosfir di sini sudah mulai tidak enak, agar Rey lebih leluasa dalam menjelaskan versinya sendiri, maka Chandra pamit untuk pulang terlebih dahulu setelah menyantap keik lembut dengan mulutnya.
“Kamu marah karena saya datang telat, ya?” “Maaf, ya ... .”
“Mau telat segimana lama pun aku gak larang, asal dengan alasan yang jelas,” ungkap Alya dengan jawaban menohok.
“Al ...”
Dugaan Alya tetap sama, pasti Rey masih tidak mau jujur dan menjelaskan semuanya.
Raut muka Rey semakin memerah, entah dia sanggup menjelaskan semuany atau tidak. Melihat itu, Alya langsung mengalihkan pembicaraan, dia tidak mau kalau acara yang sudah Rey siapkan dari lama, menjadi berantakan dan tak berarti.
“Laper Rey, aku belum makan.” Alya mengalihkan semuanya.
“Hah?!”
“Laper, pengen makan, dari tadi nungguin kamu tau,” ungkap Alya tanpa menatap Rey dan matanya sibuk mencari korban santapan mulut kecilnya.
Rey mendekatkan makanan yang sudah tersaji.
“Suapin.” Alya pasti akan melakukan serangan tidak terduga kalau posisinya dalam kedaan canggung seperti saat ini.
“Gimana?’
“IH REYY, KAMU DENGERIN AKU GAK SIH?” “KOK KAYAK BINGUNG GITU?”
Senyum Rey kembali merekah.
Rey memberikan suapan besar untuk Alya.
“Gue tau gue laper, tapi suapan segede bantal gini gak muat di mulut gue,” sarkas Alya.
Alya meraih sendok yang berisi makanan terebut dan memasukannnya sendiri ke dalam mulut.
“Buka mulutnya,” perintah Alya agar Rey juga ikut makan.
Dengan begitu mereka berakhir makan sepiring berdua.
Kini mereka berdua telah menghabiskan makanan berat yang mereka lahap, saat ini mereka memakan makanan penutup.
Alya sibuk memakan makanan penutup hingga membuat Rey merasa gemas, mengapa Alya sefokus itu dalam mengambil makanan tersebut, bahkan menyendok dengan apik.
“Al?”
Alya tidak bisa menjawab dengan mulutnya, dirinya hanya mendongak dan menampakan wajah gemas dengan mulut penuh dengan keik sehingga menampilkan pipi chubby-nya.
Saking gemasnya, Rey tidak jadi berbicara.
Setelah Alya selesai menyantap makanan penutup, kini gilirannya banyak bicara.
“Mau ngomong apa tadi?”
“Apa ya, lupa,” ungkap Rey sambil tertawa.
“Yaudah inget-inget dulu, aku mau ke kamar mandi, lipstik aku luntur,” Alya berkata sambil membawa alat tempurnya yaitu dua buah lipstik.
“Iya.” Rey terus menatap Alya tanpa henti melihat kegemasannya.
Memandangi Alya hingga pundaknya tidak lagi terlihat.
Dengan begitu Rey kini memeriksa dada sebelah kirinya, dan mengusapnya dengan pelan. “terima kasih sudah bertahan, ya?” lirih Rey berbicara pada jantungnya, sesekali Rey meringis karena entah kenapa akhir-akhir ini dadanya terus merasakan sesak.
Sepuluh menit berlalu, Alya tak kunjung kembali, dan dirinya memilih untuk menelfon Alya, ditakutkan terjadi apa-apa. Namun, ternyata notifikasi ponsel tersebut jelas terdengar, karena ponsel Alya berada di saku mantelnya yang tergantung di kursi tempat duduk Alya. Rey akan menunggu Alya sekitar lima menitan lagi, jika Alya belum juga muncul maka dirinya harus menyusul, tapi Alya tidak mungkin pergi begitu saja dengan meninggalkan mantel dan ponselnya.
Sedangkan Alya hanya menatap datar cermin di kamar mandi wanita restoran tersebut, perasaan yang ia tahan saat berada dihadapan Rey, kini tumpah ruah. Dirinya terus meneteskan air mata yang berubah menjadi aliran cukup deras. Dengan cepat Alya menyeka kembali air matanya, karena dirinya masih harus bertemu dengan Rey.
Setibanya di private room tersebut, Alya melihat pundak Rey di sana, pundak yang terlihat gagah dan tegar itu tapi juga terlihat seperti sedang menahan sakit yang luar biasa. Ketika Rey di sini, cukup membuat Alya merasa terpukul, keadaan Rey tidak sebaik sebelumnya, tapi Rey masih menyembunyikan keadaan sebenarnya dari dirinya.
Dengan cepat Alya menghampiri Rey yang masih membelakangi dirinya, dan entah dorongan setan sebelah mana, Alya kini memberanikan diri untuk memeluk Rey dari belakang. Tubuhnya ia jatuhkan pada tubuh Rey, memeluk hangat dan tenang berharap dekapan tersebut yang dapat membuat Rey merasa lebih baik.
Rey cukup terperanjat, ketika dilihatnya tangan Alya sudah melingkari lehernya. Rey masih mematung atas kelakuan Alya yang tiba-tiba.
“Rey ...” “Jangan tinggalin aku tiba-tiba lagi, ya?” “Kalau misal kamu enggak baik-baik aja, coba kasih tau aku,” “Aku paling gak suka kalau orang lain tau kedaan kamu, sedangkan aku enggak,” “Kalau sakit bilang sama aku,” “Eh maksudnya kalau kamu tiba-tiba sakit, mau sakit ringan pun, coba deh, kasih tau aku,” “Aku lebih seneng kalau kamu lebih terbuka lagi sama aku.” Alya meminta dengan pura-pura polos.
Alya terus berbicara dengan tanpa melepaskan pelukan tersebut. Rey membalas dengan meraihnya jari jemari yang kini ada dihadapan wajahnya, Rey genggam dengan lembut.
Rey tidak bebicara sama sekali, dirinya bingung harus berkata apa agar Alya tidak ikut khawatir atas kondisi dirinya.
Rey paling benci jika dirinya harus terlihat lemah dihadapan orang yang ia cintai baik itu dengan keluarganya ataupun dengan Alya si pujaan hati. Dengan berani Rey kini membalikan tubuhnya terhadap Alya, cukup membuat Alya terkaget dengan mata yang membulat. Rey menatap Alya dengan tatapan yang benar-benar dalam dengan wajah serius, tatapan yang membuat Alya semakin tidak enak perasaan. Jantungnya seperti akan keluar saking tempo debaran yang semakin tidak beraturan—semakin kencang.
Dalam waktu dua puluh detik, Rey masih saja menatap Alya dengan tatapan tersebut.
Tidak lama kemudian Rey tersenyum melihat reaksi Alya dengan wajah semakin memerah. Namun, tatapan kembali serius dan kini Rey mulai mengikis jarak diantara mereka, tidak ada penolakan dari Alya karena dirinya seperti orang kebingungan untuk saat ini, bingung harus berbuat apa, bahkan untuk sekedar menghindari perlakuan Rey pun tidak sempat Alya lakukan, dirinya hanya terdiam dan mengikuti kearah mana Rey memperlakukan dirinya.
Dengan berani Rey menarik tubuh Alya kedalam tubuhnya dengan tangan melingkar di pinggang Alya dan tangan kanan yang menyentuh dagu Alya agar mempermudah akses dalam menyentuhkan bibirnya dengan bibir dirinya dengan lembut, tubuh semakin mendekat denga tangan yang semakin menarik dagunya untuk memperdalam ciumannya. Seketika tubuh Alya berubah menjadi sensitif, mengapa setiap sentuhan yang Rey berikan padanya cukup membuat dirinya merinding dan memunculkan gairah panas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Tidak sampai situ, Rey mengangkat Alya agar terduduk diatas meja makan dan kembali melanjutkan debaran tersebut, lebih dalam, dan lebih intens.