Menuju Ending

Ditengah hectic-nya simulasi ujian Farmakognosi yang harus menebak tanaman yang sudah berbentuk simplisia atau tumbuhan yang sudah dilakukan pengeringan, serta harus menebak serbuk yang dianalisis melalui mikroskop agar tahu tanaman apa itu. Mahasiswa melakukan simulasi ujian tersebut harus menebak jawaban dalam tiga puluh detik setiap soal, mahasiswa melakukannya secara berangkaian, jika bel berbunyi maka mahasiswa harus segera pindah ke meja berikutnya untuk mengerjakan soal selanjutnya.

Ada yang heran dengan Nayla, entah ada kepentingan mendadak apa sehingga dosen penanggung jawab membolehkan Nayla melakukan simulasi mendahului dirinya.

Alya enggan bertanya karena sibuk dengan mengulang-ngulang hafalannya agar nilai dari simulasi tersebut dapat membuat papah dan Rey bangga.

Nayla telah selesai melakukan simulasi dan dengan begitu langsung pamit untuk pulang. Karena Alya begitu penasaran maka dirinya hendak bertanya, namun terurung kembali setelah para asisten dosen menyeru kloter dua untuk menempati meja masing-masing.

Setelah lima belas menit berlalu, Alya dapat bernapas lega karena sebagian besar soalnya dapat ia jawab walaupun ada beberapa soal yang keliru dan itu akan ia perbaiki di ujian nanti.

Alya keluar dengan wajah lunglai, bagaimana bisa setelah dua praktikum yang ia lewati, ternyata ada satu simulasi ujian praktikum ternyata ikut membuntutinya seolah-olah tidak akan membiarkan mahasiswa lengah dan menikmati hari selasa dengan indah.

Alya terkejut ketika membuka ponselnya dan ia hanya sempat membalas pesan dari John saja ditengah teman-teman Rey mengirim pesan untuknya.

Saat ini sudah ada John dengan tatapan sedihnya. Entah kenapa jantung Alya semakin berdetak cepat, hal mendesak apa yang membuat John yang selalu sibuk, kini menghampiri sampai ke depan laboratorium.

“Kak ...” John memanggil Alya dengan hati-hati disertai senyum yang menenangkan namun hambar.

“Rey kenapa?” Bukannya menjawab, John malah merapikan rambut Alya yang sudah mulai tidak beraturan, dengan sigap John mengelap keringat yang bercucuran yang membasahi pelipis anak gadisnya tersebut.

“Kenapa, pah?” Alya semakin bingung, karena John masih terdiam di sana.

“Mau makan dulu? Makan dimana?” tanya John sambil menyodorkan susu kotak tawar yang Alya sukai.

Tangan Alya semakin bergetar, tangannya dingin dan merasakan kebas disertai detak jantung yang tidak karuan. Alya terus menghubungi Rey tanpa henti. Tangan Alya semakin bergetar di sana.

“Tenang sayang, Rey gak apa-apa kok.”

“Kalau gapapa, mana mungkin papah nungguin kakak di sini,” “Kalau gapapa, terus ngapain temen-temen Rey menghubungi kakak,” “Kalau gapapa, kenapa Nayla berani meminta ganti kloter simulasi ujian, padahal itu hal yang tidak mungkin,” “Gapapa maksud papah tuh apa?” “Kakak mau berangkat sekarang, kakak mau ketemu Rey.” John hanyan bisa menuruti kemauan anaknya.


Kini mereka sudah ada di rumah sakit. Rey masih dalam penanganan dokter, hanya orang-orang terdekat Rey yang hadir untuk saat ini.

Dilihatnya Nayla dan keluarganya yang sedang menangis yang ditenangkan oleh Jeano, serta jeritan tangis Wenny yang begitu dalam, serta Chandra yang sibuk menelfon keluarga besarnya agar datang untuk menjenguk anaknya.

John menghampiri Hamzi serta Naren, meminta agar memantau anaknya, karena dirinya harus mengurus Wenny yang masih saja belum bisa tenang.

Alya terduduk di kursi yang tersedia, perasaan sesak yang semakin menjadi pun tidak membuatnya menangis, seakan akan gumpalan sesak dalam dadanya mengeras dan air mata yang ikut membeku tak bisa ia keluarkan, yang ia bisa hanya memukul dadanya karena sesak, ia pukul hingga sesak tersebut sedikit demi sedikit berkurang.

“Kak ...” Hamzi sudah menganggap Alya sebagai kakak sendiri kini ikut menemani Alya, diikuti dengan Naren.

“Kondisi Rey gimana?” tanya Alya pelan dengan suara bergetar.

“Sebelum koma, Rey sempat sadar, tapi udah gak inget siapa-siapa lagi, bahkan ke Om Chandra sama Tante Wenny,” ungkap Hamzi sembari terus menenangkan.

Alya semakin menunduk di sana, bagaimana kalau ternyata kemungkinan terburuknya benar-benar terjadi?

Alya tidak ikut menangis seperti yang lainnya, dirinya hanya berusaha memastikan bahwa situasi ini bukan lagi mimpi buruk.

Alya kini fokus melihat gerak-gerik Chandra yang kalut karena keluarganya tidak bisa ia hubungi sejak tadi. Ingin sekali Alya menenangkannya, namun apa daya tubuh dirinya rasanya terkunci, tak sanggup melangkah apalagi memeluk orang-orang yang sedang lemah. Jika ia paksakan untuk bangun, maka bukan langkah serta pelukan yang ia berikan, melainkam dirinya akan ikut ambruk karena lemahnya kaki yang bergetar sejak tadi, bahkan tak kuat menopang tubuh sendiri.

Dengan raut wajah Chandra sekarang, Alya tidak bisa menebak, berapa liter air mata yang ia keluarkan, sampai-sampai air matanya tidak berhenti mengalir tanpa permisi.

Chandra menyadari bahwasannya ada yang memerhatikan dirinya sejak tadi. Kini Chandra menghampiri calon menantunya tersebut dengan lemah dan raut wajah yang tidak bisa memberikan senyuman seperti biasanya.

Namun, lagi-lagi terhambat ketika Dokter Sahen menghampiri Chandra, padahal ingin sekali Alya menanyakan langsung terhadap Chandra.

“Chan, gimana?” “Keluarga lo udah bisa dihubungi?”

“Tadi sempat ada gangguan, jadi baru bisa terbang malem ini.”

“Sepertinya Rey ingin keluarganya kumpul dulu semua, baru dia bisa pergi dengan tenang,” Chandra sudah biasa mendengar kalimat ini ketika keadaan Rey juga tidak memungkinkan untuk pulih.

“Apa aa gak bisa bertahan satu hari aja, Hen?” Chandra memelankan suaranya ketika menyadari Alya ada didekatnya.

“Berdoa saja, Chan. Kita berdoa untuk Rey,” “Kita tunggu keajaiban Tuhan.”

Apa yang Alya dengar barusan, cukup membuat dirinya merasakan sesak lagi yang luar biasa, melebihi sesak dari sebelumnya, seketika tubuhnya bergetar kedinginan, ada apa ini? Kenapa Rey butuh satu hari buat bertahan? Bukannya Rey harus bertahan selama mungkin? Apakah Chandra benar-benar merelakan anaknya tetsebut? Apakah Wenny menjerit di sana karena berusaha mengikhlaskan semuanya? Dan apakah dirinya juga harus ikhlas seperti mereka yang sudah pasrah atas semuanya? Apakah ini saatnya untuk merelakan seseorang yang ia cintai melebihi cinta pada dirinya sendiri?

Situasi yang ia takuti setelah kematian sang mamah kini muncul kembali, kembali mematahkan dirinya.

Perasaan yang tak sanggup lagi menyaksikan situasi ini, dia tidak berdaya, dia ingin tertidur agar nanti terbangun dari mimpi buruk ini.

Tak sadar terus meremat tangan Hamzi yang entah kapan ia genggam sebagai pelampiasan sesak dalam dadanya, kini genggaman tangan tersebut mulai melemah, dan Hamzi langsung menyadari bahwasannya Alya kini tidak sadarkan diri.

“Kak!” Teriak Hamzi yang cukup membuat Chandra, Naren, dan Jeano menghampirinya, sedangkan Nayla dan lainnya hanya bisa menatap nanar kearah Alya. Dengan sigap Jeano membawa Alya ke UGD.

John yang sedang menemani Wenny, terkejut dibuatnya, ternyata puterinya juga tidak sanggup menyaksikan semua situasi ini. Kini dua perempuan yang sangat mencintai Reynaldi ini terbaring lemah tak berdaya.

“John, Alya gimana?” tanya Chandra yang ikut menyusul setelah dilihatnya Alya tak sadarkan diri.

“Kakak cuman syok, gak apa-apa, Wenny sama kakak biar gue yang urus, lo harus temenin Rey di sana?” “Udah bisa besuk Rey belum?”

“Udah John, tapi aa belum sadar,”

“Giliran aja, lo atur dulu siapa yang besuk duluan,” “Hamzi? Jeano?” Kalian ikut Chandra dulu, biar om di sini jaga Kakak sama Buna Wenny.

“Alya gimana om?” tanya Jeano khawatir.

“Gak apa-apa, Alya sebentar lagi pasti siuman,” “Jeano ikutin dulu Ayah Chandra gih.”

Jeano akhirnya pergi meninggalkan Alya dengan rasa khawatir yang begitu besar.

“Kak ...” Jika Alya banyak menangis untuk Rey, maka John menangis untuk anaknya, luka atas hilangnya sang mamah belum kering, kini luka tersebut terlihat basah kembali.

Tidak lama kemudian seseorang menggenggam tangan Alya yang cukup membuat John terperanjat.

“Alya bangun, ya?” “Bangun... kita temenin aa,” pinta Wenny dengan tubuh lemahnya.

“Wen ...”

“Alya? Bangun, nak,” “Kita harus saling menguatkan ...” “Agar aa juga kuat dalam menghadapi takdirnya ...” Wenny menggenggam erat tangan Alya dengan terus menangis ketika dirinya harus menghadapi ini entah keberapa kalinya.

“Bun ...” tangisan Wenny membuat Alya tersadar.

Ternyata dengan tidur sejenak saja tidak cukup membuat mimpi buruk ini hilang, hanya ada kenyataan pahit yang benar-benar harus ia hadapi.

“Kakak ...”

“Bun ...”

“Ini buna, sayang ...”

“Alya sayang sama Rey ...”

“Iya, nak, buna tau,” Wenny tidak henti-hentinya mengusap pucuk kepala Alya dan juga John yang terus menggenggam tangan Alya yang semakin dingin.

“Alya belum minta maaf sama Rey, bun ...”

Baru bisa kali ini Alya mengeluarkan sesak yang menggumpal dalam dadannya kini berubah menjadi air mata yang kini menerobos melalui pelupuk matanya.

“Alya tahu kan? Aa sakitnya dari sejak dia bayi?” “Mungkin aa sudah lelah, nak ... sekarang giliran kita yang harus ngertiin aa, ya?”

“Bun …”

“Gapapa, ya?”

“Bun …”

“Ikhlas, ya, sayang, ya?” “Buna juga udah ikhlas,” “Ayah Chandra juga,” “Papah juga,” “Semua orang udah ikhlas, nak ...”

Alya tidak sanggup lagi mendengar semua ini, setiap perkataan yang keluar dari mulut Wenny mejadi pedang yang menyayat seluruh hatinya, hatinya tercabik-cabik ketika harus ikhlas di situasi seperti ini.

Alya menangis sejadi-jadinya, dirinya dipaksa ikhlas untuk Rey, sedangkan Alya masih menyesali semuanya, yang paling membuat Alya terpukul adalah kenyataannya dirinya tidak dalam komunikasi yang baik dalam pertemuan terkahir kali sebelum Rey masuk rumah sakit.

Bagaimana bisa berpisah seperti ini atas semua yang terjadi? Alya tidak sanggup jika harus hidup dihantui rasa penyesalan, menyesal karena gagal membuat Rey bergantung pada dirinya, menerima semuanya termasuk rasa sakit yang terus menghampirinya.

“Aku gapaa kamu pergi, Rey …” “Aku gapapa kalau semua ekspektasi indah kita ternyata tidak akan pernah terwujud,” “Tapi aku mohon satu hal, Rey … “ “Aku ingin berpisah secara baik-baik…” “Kamu harus pamit sama aku …” “Tolong … bangun sebentar, Rey …” lirih Alya yang kini menunduk kembali untuk menangis.

Tidak lama kemudian tiba-tiba saja Chandra muncul setengah berlari dengan wajah yang masih menangis, langsung menghampiri Wenny, memeluknya sambil berbisik, “Kuat, ya? Kuat ya, sayang?”

Dengan cepat John juga memeluk puterinya kencang agar Alya lebih tenang dan lebih lapang dalam menerima kabar terbarunya Reynaldi Rafeyfa Zayan.