Sendirian di ruang gelap, terduduk di sudut ruangan tanpa ditemani seorang pun, mengeluarkan semua kesedihan yang dipendam selama bersama Aira. Rasa sesak yang di rasa, tidak sepenuhnya bisa dikeluarkan lewat tangisan, sehingga timbulah rasa kesal dan berpikir untuk menyusul kekasihnya tersebut.
Satu botol minuman keras dipegangnya, namun Alden belum menenggak sedikit pun. Dia sadar bahwa dia tidak kuat meminum minuman seperti ini walaupun sedikit. Masih berpikir jernih, karena di ruangan ini Alden mengunci diri sendiri di dalam kafe, sehingga kalau dipaksakan minum, maka siapa yang akan mengurusnya.
Tiba-tiba terdengar seseorang membuka pintu tersebut, kemudian menghampiri ke arah Alden duduk. Alden menyadari, namun Alden mengabaikan kedatangan seseorang tersebut dengan mata yang terus menunduk melihat minuman yang ia pegang.
“Kenapa diliatin doang? Kenapa gak di minum?”
Akhirnya alden melihat seseorang tersebut, setelah itu menunduk kembali dan terus menjatuhkan air mata yang seakan tidak mau berhenti mengalir.
Seseorang tersebut menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan Alden, dengan pelan mengambil minuman dari genggamannya kemudian menyimpannya di tempat agak jauh dari posisi Alden sekarang. Setelah itu dipeluknya tubuh Alden lalu berbisik lembut, “Gapapa, aku di sini, kalau mau nangis-nangis aja,” lirih seseorang tersebut sambil menepuk punggung Alden pelan yang terus bergetar karena menangis.
“Rah …,” ungkap Alden dengan suara seperti tercekik, susah untuk di keluarkan.
“Hmm?”
“Aira … .”
“Kalau kayak gini caranya, Teh Aira, perginya gak akan tenang loh,” balas Sarah pelan.
“Pengen nyusul, boleh?” tanya Alden pasrah.
Sarah hanya terdiam, dan terus menenangkan yang sudah dia anggap seperti kakak kandungnya sendiri.
Terus menenangkan, sampai pada akhirnya Sarah melihat satu botol obat yang isinya pil di saku jaket hitam Alden, kemudian diambilnya. Melepaskan pelukan dengan kasar, kemudian Sarah membanting botol tersebut dengan keras ke arah sana tepatnya ke dekat pintu belakang di kafe tersebut sehingga isinya berhamburan ke mana-mana.
“Ck, bisa-bisanya?! Kapan beli ini?!” “TOLONG SADAR A, TOLONGG!!!” “Inge—“ ucapan Sarah terhenti ketika dilihatnya tubuh Alden semakin bergetar karena tangisan yang tidak dapat berhenti.
Sarah kembali merengkuh tubuh lemah Alden, kemudian menenangkannya kembali. “Pulang sekarang, mau ya?” ucap Sarah dengan penuh harap.
“Lagi pengen sendiri dulu, pengen nenangin diri dulu di sini,” lirih Alden yang terus terisak dalam tangisnya.
“Mami sama papi udah khawatir loh … .”
“Tetep mau di sini, Rah … .”
“Okay, aku juga tidur di sini aja nemenin aa,” ungkap Sarah memaksa.
“Rah … .”
“Ya gak apa-apa, masa aku ninggalin aa sendirian? Yakali,” ungkap Sarah tulus.
“…”
“Rah … di sini dingin, kamu pulang aja,”
“Gak apa-apa, beneran,” tegas Sarah.
“Rah …”
“Apaaa?! Gak usah khawatir, kalau mau di sini ya silakan, aku tidur di mesh aja kalau aa mau di sini,” ungkap sarah sambil membuka jaketnya untuk ia gantung.
“Kita pulang aja,” ucap Alden singkat dan meyakinkan.
“Aku beneran gak apa-apa, kan lagi pengen sendiri dulu, maaf karena aku gak ngertiin perasaan aa, maaf …”
“Tiba-tiba, aa kangen mami sama papi,”
Sarah hanya melirik ke arah Alden dengan heran.
“Yuk, pulang aja.” Alden beranjak dari duduknya, dan pergi ke rumah bersama Sarah.
“Beneran?” Sarah meyakinkan kembali.
Alden hanya mengangguk.
“Aku gak maksa loh,” ungkap sarah sambil mengambil jaket yang baru saja ia gantung.
Tanpa mendengar balasan dari Alden, kini Sarah hanya bisa mengikuti kemauannya yang sudah terlebih dulu ke luar kafe tersebut.